Senin, 14 Mei 2012

Menjadi Perempuan Tanpa Melahirkan Anak

Waktu semester satu, di sela-sela perkuliahan, pak dosen mengajukan pertanyaan konyol ini (karena mungkin topiknya tentang perbandingan jumlah penduduk di Indonesia dan di Jerman) : siapa di kelas ini yang tidak ingin memiliki anak? Dengan sangat inosennya saya mengangkat tangan. Mudah ditebak, tangan saya adalah satu-satunya yang melayang di udara. Diikuti semua pasang mata yang menjadikanku kiblat di kelas itu. Si dosen sampai tidak bisa berkata apa-apa. Ini mungkin tidak berjalan sesuai rencananya. Ia pasti tadi mengira tidak bakalan ada yang mengangkat tangan, sehingga ia pikir tak perlu menyiapkan senjata penangkalnya. Sayangnya ia salah. Dan sayalah orang yang membuat dia salah sangka itu.

Untunglah saya tidak dihujani astaghfirullah secara jurusan kami adalah Bahasa Jerman jadi mendapati wanita yang tidak ingin memilki anak adalah hal biasa. Namun yang tidak biasa adalah karena wanita tersebut adalah orang Indonesia yang masih belia (saat itu saya baru berusia 18) dan teman-temanku mungkin karena mereka baru semester satu....Astaga Tuhan, betapa polosnya mereka....semenjak itu mereka selalu menghujaniku pertanyaan ini-itu. “Kenapa tidak mau punya anak?” “Tau nggak, kita baru dikatakan wanita sejati kalau kita sukses melahirkan anak ke dunia ini.” “Suami akan lebih bahagia jika istrinya bisa memberinya anak.” “Anak itu rejeki.” “Tidak punya anak rumah tangga tidak bahagia, bisa-bisa cerai.” Dan berbagai lontaran komentar stereotip lainnya. Lucunya, saya hanya menanggapi itu semua setengah telinga. Saya malah memanas-manasi mereka bahwa “Saya kan nggak mau kalo payudara saya melorot.” atau “Jangan ah, nanti perut saya melar.” atau satu yang lebih vulgar lagi...tidak usah saya sebutkan di sini, Dreamers yang sudah dewasa pasti tau apa... maka semakin sebal mereka. Padahal sebenarnya bukan itu alasan saya tidak mau punya anak. Sepertinya mereka tidak puas mendoktrinkan ajaran itu pada saya. Kalau dalam budaya Jerman jadul, wanita itu 3 K : Kinder (anak), Kochen (masak), Küchen (dapur).

Teman-teman saya itu seolah ingin menyelamatkan saya kembali ke jalan yang benar.

Begini, saya akan bercerita sedikit kenapa saya ingin ovum saya bebas dari sperma. Saya dilahirkan dari keluarga yang luar biasa. Saya berani mengatakan itu karena saya sadar betul perjuangan orang tua saya. Mereka tidak pernah bilang apa yang telah mereka lakukan untuk kami anak-anak, tapi saya tahu dengan sendirinya bahwa mereka bersusah payah dalam hal finansial dan tanggung jawab moral sebagai orang tua. Dan mereka orang-orang yang jujur di tengah dunia yang penuh tipu daya ini dan mereka orang-orang yang masih mau mengutamakan pengalaman daripada uang (yang mana saya heran sampai hari ini : kok bisa? Hari gini?). Timbul pertanyaan dalam benak saya : apakah saya sanggup sama seperti mereka? Apakah saya sanggup membesarkan satu orang anak saja? Karena orang tua saya membesarkan 3 anak kandung (termasuk saya yang bungsu) dan anak-anak bukan kandung entah sudah berapa banyak. Saya ragu. Saya takut. Tanggung jawab adalah kosa kata yang selalu saya hindari, jujur saja. Sanggupkah saya mendidik mereka, menjaga kesehatan mereka, memberi perhatian yang cukup, membiayai pendidikan mereka, dan berbagai kebutuhan jasmani rohani mereka? Dan anak saya kan tidak dilahirkan hanya untuk hidup di dunia ini selama 5 atau 10 tahun saja. Melainkan dia akan hidup selama 70 atau 80 tahun ke depan. Dan seandainya saya masih hidup, selama itu pula saya akan selalu mengkhawatirkannya!! Sanggupkah saya???  Dan bagaimana dengan suami saya? Dia juga harus mendapatkan perhatian, bukan? Dan bagaimana juga dengan karir dan cita-cita saya? Ini alasan pertama.

Yang ke dua. Saya tipe yang kurang mengenali gejala fisik siapa pun itu, termasuk diri saya sendiri.

Yang ke tiga, individualistis adalah kata yang cocok untuk saya. Memiliki seseorang sangat berarti bagi saya, tetapi biasanya saya tidak tahan bila ada dua orang atau lebih di sekitar saya yang harus saya hadapi sekaligus dan urusi setiap hari. Saya lebih senang menyendiri ke suatu tempat tanpa suara bersama paling banyak hanya satu orang. Bagaimana mungkin manusia dengan karakter terasing seperti ini bisa dipercayakan memiliki titipan Yang Kuasa?

Yang ke empat, saya tipe yang tidak bisa untuk tidak penasaran dengan petualangan ke tempat-tempat baru. Jelas saya tidak mungkin memboyong satu keluarga setiap kali saya ingin ke tempat-tempat itu, bukan? Memangnya zaman nomaden? Lalu siapa yang akan menggendong dan mengawasi anak-anak saya? Saya rasa tidak bijaksana bila ada orang lain selain orang tua kandung yang mengasuh seorang anak.

Yang ke lima, saya terlahir bungsu. Bukannya mau menyalahkan orang tua saya atau apa, tapi ini sangat berpengaruh karena saya tidak terbiasa mengurusi anak kecil. Sayalah yang terkecil di rumah.

Saya adalah perempuan dengan sejuta mimpi. Anehnya, di semua mimpi-mimpi saya itu tidak pernah satu kali pun yang ada adegan anak kecilnya. Bisakah seseorang menjelaskan ini?

Membaca tulisan saya ini, jangan takut berhadapan  dengan saya. Meskipun tidak ingin memiliki anak, saya adalah pencinta anak kecil. Saya bukan pribadi kering yang jauh dari keceriaan dan kekonyolan anak kecil. Beberapa waktu lalu saya mengajar anak kelas 1 SD selama 16 kali pertemuan yang berlangsung 2 bulan. Jumlah mereka 10 orang lalu mulai berkurang semata-mata karena masalah finansial. Meskipun begitu, we had fun in the class, kami menikmati interaksi yang terjadi di antara kami. Semuanya luar biasa dan di luar dugaan. Saya pun pernah free trial di sebuah play group dan mendapat reaksi yang sama. Lama-kelamaan saya berpikir, Hey, I’m not that bad to have kids, my own kids.

Nah, inilah curhatan dari saya. Tidak ada gunanya saya menggurui teman-teman saya itu, biarlah kita sama-sama belajar dari kehidupan.

Jadi jelas bukan? Bahwa keinginan aneh saya dalam kaca mata orang Indonesia itu bukan tanpa alasan. Bahkan saya memaparkan analisis yang mungkin bisa dijadikan skripsi! Oleh anak fakultas Psikologi, mungkin? (kwkwkwkw) Yang jelas, semoga berguna untuk Dreamers sekalian.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar