Sejak menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman di bangku
universitas, saya sudah memiliki mimpi untuk ke Jerman. Bahkan sejak kecil saya
sudah bercita-cita ingin menjelajahi Eropa, negeri dongengnya Hans Christian
Andersen (di kemudian hari baru saya tahu kalau beliau “hanya” menceritakan
kembali dongeng-dongeng yang dikumpulkan Grimm Bersaudara yang asli Jerman).
Alasan saya ingin ke Eropa sebenarnya simple saja: saya
terinspirasi buku-buku cerita yang sering saya baca waktu SD. Di kemudian hari,
saya mulai mendapati bahwa gaya pemikiran barat itu menarik untuk diteliti,
penasaran banget. Waktu itu saya cuma gemar mencari info lewat buku-buku dan
film-film, oh ya saya juga punya beberapa kenalan dari beberapa negara barat.
Tapi tetap saja shock culture itu nyata!
Terinspirasi beberapa kenalan di kampus berhasil ke Jerman
lewat cara aupair, saya pun mencobanya. Berhasil. Namun sayang, baru empat
bulan bertugas di keluarga tersebut saya minta berhenti, karena anak dan tugasnya
sama-sama kebanyakan. Lalu saya dikenalkan dengan seseorang yang memiliki
praktek dokter gigi yang kebetulan memerlukan seorang Auszubildende (sejenis tenaga magang). Di sanalah saya “melanjutkan
ijin tinggal saya”.
Di praktek dokter gigi itu saya benar-benar belajar
Ausbildung (pendidikan)-nya, sekaligus belajar budaya Jerman. Sedikit
menjelaskan ya, buat yang belum tahu apa itu Ausbildung. Arti katanya sendiri education, schooling, training. Padanannya kalau di Indonesia
sejenis praktik atau magang begitu. Ausbildung
rata-rata berlangsung selama tiga tahun. (Biar gajinya kecil, setiap tahun gaji
kita dinaikkan). Selama tiga tahun itu kita diharuskan ke sekolah juga.
Sekolahnya namanya Berufschule
(rata-rata murid di sana berusia sekitar 15-22 tahun—jangan takut, yang lebih
tua ada juga, contohnya saya hehehe). Saya beri contoh saya sekarang; Ausbildung di tahun pertama, Selasa dan
Kamis saya harus ke sekolah (7.30-14.40), sedangkan Senin, Rabu, dan Jumat (7.30-18.00)
saya harus ke praktek dokter gigi saya tadi (Zahnarzt Praxis). Seminggu kerja
maximal 40 Jam. Itu maksimal ya, artinya tidak boleh lebih, kurang itu rejeki J Oh ya, jam sekolah itu
juga terhitung sebagai jam kerja. Setelah tiga tahun Ausblidung, kita akan menerima sertifikat, sejenis ijazah, yang
bisa kita gunakan untuk mencari pekerjaan di Praxis-Praxis lainnya, pada saat
itulah gaji kita bernominal di atas seribu euro J
jejjjj!!!
Ehem, saya tadi bilang “menjelaskan sedikit” ya? Maaf,
jarinya sepuluh soalnya :D
Di tulisan saya kali ini sebenarnya ingin saya fokuskan ke
budaya Jerman. Telinga saya meskipun sudah dicekoki berkali-kali di kampus
tentang budaya Jerman, tetap saja shocked waktu sampai di sini. Apa saja yang
bikin saya membelalak?
1.
Budaya tepat waktu. Di Indonesia itu menahan bis/angkot/bajaj/becak/ojek
bisa di mana saja kan, jam berapa saja, tengah malam pun ada. Di jerman hanya
ada bis, kereta dan taksi. Taksi mahal, itu pun kalau tidak sedang di stasiun
pusat, bersiaplah keluarkan pulsa untuk menelpon si perusahaan taksi. Jika kamu
nyasar atau tinggal di desa banget, bis bisa-bisa lewat Cuma dua atau tiga jam
sekali. Itu pun berhentinya di halte-halte yang sudah ditentukan ya. Dan jangan
telat, semenit aja telat itu bisa fatal banget. Bis-bis di Jerman 99,99% tepat
waktu. Begitu pula dengan kereta-keretanya.
Ketemuan? Tepat waktu! Orang Jerman susah sekali menaruh
kepercayaan ke orang lain, sekalinya dikecewakan dia bakal ingat terus. Kalo
kamu bilang 10 menit lagi aku tiba, ya harus benar-benar buktikan, jangan jam
karet.
2.
Budaya teliti. Di Jerman itu receh aja dihitung.
Bukannya mereka gimana-gimana, mereka memang gemar teliti. Di kasir di
supermarket, bakalan terlihat orang-orang yang bayar pake receh. Mereka tidak
malu, harga barang 3 euro dibayar pake berkeping-keping 20 cent, santai aja…
Kalau di Indonesia? Kalian tahu sendiri kan… (Di sinilah saya belajar
menghargai uang. Uang bukan disembah, tapi dihargai. Itu tetes keringat)
Ketelitian orang Jerman itu bakalan terlihat sekali kalau
kalian ngobrol dengan mereka. Mereka nggak pernah kasi info setengah-setengah,
apa pun itu (kecuali hal private). Misalnya kita menanyakan jalan, menanyakan
pendapat, menanyakan kualitas sebuah barang… Mereka bakal menjelaskan sampai
kita paham… ramah banget kan?
3.
Budaya jujur. Orang Jerman rata-rata jujur. Yah,
kalo ada yang kentut mana mau ngaku itu jelas :D Jujur yang saya maksudkan
mereka itu tidak suka omong kosong. Penjual pakaian misalnya, dia bakal bilang dengan
gamblang kalau jaket yang sedang mau kamu beli ritsletingnya rusak atau
semacamnya. Jujur memang selalu lebih baik kok… Jujurlah, pasti jalan bakal
lebih mulus kalau kita nggak neko-neko, repot nanti!
4.
Budaya mandiri. Berdiri di atas kaki sendiri. Sejak
umur 18 tahun seorang anak secara hukum sudah boleh keluar dari rumah dan
tinggal terpisah dari orang tuanya. (Di Jerman hukum itu kuat banget. Hukum
bahkan mengatur supaya sampai usia tertentu seorang anak masih harus dapat uang
saku dari orang tuanya!) Tapi jangan heran, bukan baru di usia ini seorang anak
Jerman belajar mandiri ya, bahkan sejak lahir sudah mandiri. Bayi Jerman kalo
menangis mana ada mamanya lari pontang panting dari dapur sampe ketemu bayinya
langsung digendong terus dinyanyiin ning nang ning nong…. Yang ada bayinya
dibiarin sampai diam sendiri: you have choice, sweetie J
Kemandirian inilah salah satu alasan kenapa orang Jerman
terlihat individualistis. Sebenarnya individualistis itu sama sekali tidak negatif
seperti yang kebanyakan orang Timur asumsikan. Ayo, apa gunanya juga kalau
gotong royong terus mayoritasnya jadi benalu yang menggantung sana-sini? Harap gampang,
mental enak, mental menunggu jaga gawang, malas dan pesimis, sudah begitu nanti
iri kalau tetangganya sukses?!!
Pelajaran yang saya petik dari kemandirian orang Jerman
itu berharga sekali, membuat saya memaknai slogan gotong royong Nusantara
dengan perspektif yang kritis. Contoh kecil orang Indonesia sering sebel kalau
temannya tidak mau meminjamkan dia sesuatu yang dia butuhkan, (Ya hak-hak orang
lah, orang itu barang milik dia!) bisa-bisa temannya dikatai sombong lah,
kacang lupa kulit lah (“dia nggak ingat apa dulu waktu dia kehujanan saya antar
pake sepeda?” nah, keungkit semua kan :D lol)
5.
Budaya mendengarkan (Zuhören). Ini luar biasa banget.
Di Berufschule tempat saya sekolah
memang juga berisik, biar ada guru sekalipun. Tapi nggak segaduh murid-murid di
Indonesia. Tapi gaduh mereka tidak berlarut-larut kok, kalau ditegur gurunya
pasti jadi hening. Ini konteks di kelas. Kalau konteks pribadi, akan kelihatan
sekali orang Jerman itu pendengar yang baik. Mereka akan dengan sabar menunggu kita
selesai bicara (sebelepotan apa pun Bahasa Jerman kamu), barulah mereka memberi
respon. Bahkan untuk mengucapkan “Ya” atau “oke” sekalipun di tengah-tengah
kalimat lawan bicara yang belum selesai bicara: hampir tidak pernah terjadi
sodara-sodara! (Penulis mendapati diri sendiri suka begitu lantas dipelototi si
Jerman, sejak itu jadi kapok deh). Memotong pembicaraan orang itu bukan saja
tidak sopan, tetapi juga tanda kurangnya pendidikan.
Alhasil dari budaya mendengarkan orang Jerman ini, mereka
jadi orang yang memperhatikan, paham benar-benar, tidak kelewatan info sehingga
tidak sebarkan info yang setengah-setengah, paham instruksi, cekatan dan tepat.
Di Indonesia sering kita dapati: si pembicara bicara di
depan, yang lain ngobrol sendiri di belakang. Di Jerman tidak ada yang begitu.
Orang kita juga bahkan di acara kumpul keluarga ada yang sibuk autis sendiri
dengan handphone: di Jerman itu tidak sopan sekali.
Before you learn to learn, Learn to listen!