Sabtu, 14 Desember 2019

Resensi Buku "Sang Alkemis" karya Paulo Coelho

Dengarkan kata hatimu dan ikuti takdirmu!

Judul Buku: Sang Alkemis
Pengarang: Paulo Coelho
Genre: novel, fiksi petualangan
Tebal: 215 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 2005
Tempat terbit: Jakarta

Cerita dalam buku ini mengambil latar tempat di Andalusia, Spanyol dan latar waktu sangat jauh ke belakang, pembaca hampir tidak mengenali tepatnya kapan jika itu bisa dituliskan dalam angka. Jaman di mana menggembala domba masih salah satu jejak karir...

Catatan pribadi Saya (pembaca boleh loncati saja paragraf ini): Buku ini pertama kali diterbitkan di Brasil, asal sang pengarang, pada tahun 1988. Saya baru membacanya tahun 2018 pertama kali dan kesan Saya saat itu: buku ini bagus tapi Saya tidak merasa diajak berdiskusi olehnya.
Sekarang tahun 2019: Secara random Saya mulai baca kembali buku ini beberapa hari lalu, entah kenapa. Satu hal membuat Saya terperanjat: selama membaca, malam-malam Saya menjadi lebih menegangkan dalam pengertian positif. Saya jadi lebih banyak berdialog dan bermonolog dalam hati. Horison Saya seperti diperlebar dalam tingkat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Saya bahkan sampai merasa Paulo Coelho menuliskan ini semata-mata untuk seorang Mona baca! Berhubung beberapa hari sebelum baca buku ini Saya sudah baca buku-buku John Strelecky, maka di kepala Saya langsung muncul bunyi klik ketika Saya baca "Sang Alkemis" untuk yang ke dua kalinya, karena ke dua buku ini menyampaikan pesan moral yang sama persis namun dengan gaya dan latar penceritaan yang beda jauh.
Benar kata Guru Bahasa Indonesia Saya dulu di SMA dan dosen sastra Saya di kampus, pemahaman sastra seseorang berubah dari waktu ke waktu. Artinya, bisa jadi kalau Saya baca buku ini untuk ke tiga kalinya beberapa tahun lagi: Saya akan memahaminya dengan lebih baik atau bahkan mendapat pemahaman yang komplet berbeda dari yang sekarang Saya tulis.

Inti cerita:
Adalah seorang anak muda, Santiago, yang keluar dari seminari (sekolah pastor, sejenis pesantren) karena hatinya tergerak untuk mengembara. Berasal dari keluarga miskin, satu-satunya cara yang tersisa untuk bisa melancong ke seluruh penjuru negeri adalah dengan menggembalakan domba-domba. Santiago dengan keyakinan penuh terjun ke dunia penggembalaan pada usianya yang masih sangat belia, mengantarkan 60 domba-dombanya mencari rumput dan air; tidur di alam terbuka; bernegosiasi dengan para pedagang kain yang membeli bulu domba; terancam dirampok dan dibunuh; semua itu baginya bukan lagi risiko, melainkan bagian dari hidupnya: dia sudah terlanjur mendengarkan kata hatinya untuk bisa berkelana ke tempat-tempat baru karena jiwanya ingin sebebas angin.
Pada suatu waktu ia didatangi mimpi yang berulang, yang mengatakan bahwa ia harus ke Mesir untuk menemukan harta karunnya yang dikubur di piramida-piramida itu. Petualangan pun dimulai. Santiago yang pergi sebagai anak muda berambisi tidak pernah pulang sebagai orang yang sama lagi.

Toko-tokoh dan karakter:
Karakter yang mendominasi dalam cerita ini adalah protagonisnya, Santiago sendiri.
Petualangannya dari padang rumput di Spanyol sampai ke gurun Sahara dan Giza, di mana primaida-piramida bertengger, telah membuatnya bertemu dengan begitu banyak tokoh-tokoh yang mengesankan. Mereka semua memiliki kisah dan jalan hidup masing-masing yang sangat menarik untuk dicermati. Selama membaca buku ini Saya bahkan bisa merelasikan beberapa dari tokoh ini dengan orang-orang yang Saya kenal secara pribadi: ini menggambarkan betapa relevannya buku ini dengan kehidupan modern kita saat ini. 
Bagi Saya, Santiago adalah anak muda dengan karakter yang sangat kentara: intelegensinya menjadi senjata yang tak terkalahkan di padang gurun karena ia memiliki kepekaan terhadap naluri manusia dan suara-suara tak terdengar yang disampaikan alam sekitarnya. Biarpun terdengar cakap, Santiago tetap saja anak muda, darah muda, umuran jagung: sirat pola pikirnya yang naif, kadang "ceplas-ceplos", pernah teledor (membiarkan keseluruhan uangnya dipegang oleh tukang tipu di Tangier) dan nekat kadang bisa dirasakan dalam beberapa dialog dan/atau monolognya. Ini membuktikan bahwa Coelho tetap konsekuen dengan konstruksi karakter yang dia tampilkan dalam sosok seorang Satiago. Kalau seandainya dia terlalu serius dan bijaksana, bisa-bisa kesannya ketuaan.
Seperti yang kalian pembaca bisa rasa, Saya sangat mengagumi Santiago, dan terlebih lagi Paulo Coelho dalam keterampilannya menciptakan sosok anak muda ideal seperti Santiago: datang dari keluarga miskin, namun berjiwa besar; bermimpi tinggi, namun tidak egois apalagi narsis; berkeinginan keras nmun di saat yang bersamaan berhati peka dan lembut, mengejar mimpinya hingga terwujud, memiliki watak pejuang yang tangguh dan pantang mundur, yang menepati kata-katanya (sepersepuluh harta karunnya ia bagikan kepada si perempuan Gipsi dan ia juga kembali kepada Fatima untuk dinikahi) dan yang mempertanggungjawabkan cintanya!


Gaya bercerita:
Secara fisik: pilihan kata dan dialog dari awal sampai akhir buku ini rasanya seperti sudah dikalkulasikan secara matang: semua perumpamaan/dialog/anekdot sebenarnya hanyalah repetisi dari sebuah inti yang sama, sehingga saling relevan dan konsisten. Ciri fisik lainnya adalah kalimat-kalimat dalam novel ini pendek-pendek dan gampang dipahami, yang juga mengakibatkan terlalu sedikit penjelasan tentang emosi atau perasaan para karakter. 
Sebenarnya butuh daya imajinasi dan kedalaman berpikir untuk memahami buku ini lebih jelas karena banyak pesan-pesan moralnya dijabarkan dalam anekdot-anekdot dan perumpamaan-perumpamaan yang di dalamnya ada segudang kebijaksanaan yang teranggapremehkan dan akhirnya dilupakan. Contohnya ketika Santiago berdialog dengan Padang Pasir, Angin dan Matahari, Saya menafsirkan itu sebagai salah satu "gramatik" Bahasa Dunia yang terus-terusan disebut oleh Coelho dalam buku itu. Artinya kita, manusia, bukanlah ciptaan tunggal dan teristimewa, yang letaknya ada di puncak piramida hierarki alam semesta: kita masih butuh elemen-elemen lain. Kebenarannya adalah kita membutuhkan restu alam semesta dalam usaha perwujudan mimpi itu. Agak aneh memang untuk memahami Scene ini secara harafiah. Meskipun pertemuan Santiago dengan Raja Melkisedek dari Salem sudah lumayan tidak rasional untuk akal sehat kita di tahun 2019 ini.
Buku ini menceritakan kehidupan melalui perspektif eksistensialis. Artinya kita digugah terus-menerus oleh sang pengarang untuk memahami bahwa setiap manusia terlahir karena sebuah tujuan yang asal-muasalnya dari alam semesta--dari mana kita semua berasal. Kita diajak bertanya pada diri sendiri: apa takdirku? Apakah aku sudah berjuang untuk mengejar takdirku? Meski terdengar berat, sebenarnya sama sekali tidak. Karena Coelho tidak bergaya menggurui di sini, melainkan menggunakan anekdot-anekdot untuk menyampaikan hikmah-hikmah itu. Pembaca merasa seperti didongengi. Saya pribadi malah setengah merasa seperti sedang membaca kitab Perjanjian Lama (The Old Testament). Namun namanya juga karya sastra, gaya ceritanya mengalir, sampai-sampai kita bisa lupa bahwa ada berabad-abad terbentang di antara kalender aktual kita dan latar waktu terjadinya kisah ini.
Di beberapa celah yang lumayan jarang muncul terjadi pertukaran sudut pandang sehingga pembaca bisa meng-zoom in- zoom out secara objektif apa yang sedang terjadi dalam cerita. Selain membantu mengatasi monotonitas, pembaca juga jadi tahu apa pendapat tokoh-tokoh sampingan tentang si tokoh protagonis. Pertukaran perspektif ini tidak ada spasi panjangnya seperti yang orang biasa kenal dari buku-buku lain, namun Coelho menata karyanya serapih mungkin sehingga pembaca tidak iritasi: "He? Ini kalimat dipikirkan oleh?" (Kenalkah kalian momen di saat kalian diradang kecerobohan penulis?)

Pesan Moral:
Ada begitu banyak pesan moral dalam kisah buku ini, supaya tidak bertele-tele, Saya ceritakan Favorit Saya, dan supaya teratur, Saya nomorkan saja.

1. Ikuti suara hati! Bermimpilah dan wujudkanlah! 
Si anak keluar dai seminari untuk menjadi penggembala padahal itu sama sekali bukan hal yang membanggakan, tidak bagi dirinya sendiri maupun keluarganya; karena seseorang akan bisa lebih dihargai di masyarakat ketika berdiri di mimbar dan memimpin ibadah daripada melanglang buana dari satu padang rumput ke padang lainnya bersama domba-domba. Dalam roman ini sang pengarang sangat menitikberatkan pesan moral pada hasrat hati dalam mewujudkan panggilan hidup, terlepas dari status sosial dalam masyarakat nanti terlihat seperti apa.
Seperti yang dikutip di halaman 32 "...sebab ada satu kebenaran maha besar di planet ini: siapa pun dirimu, apa pun yang kaulakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah misimu di dunia ini."
Berikut kutipan percakapan Santiago dengan Sang Raja Melkisedek (hal.28):
"...dan pada akhirnya dikatakan bahwa setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia."
"Apa gerangan dusta terbesar itu?" tanya si anak lelaki, dia benar-benar terkejut.
"Beginilah dusta terbesar itu: bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi kepada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib. Demikianlah dusta terbesar itu."
"Itu tidak pernah terjadi padaku," kata si anak lelaki. "Orangtuaku ingin aku menjadi Pastor, tapi aku memutuskan untuk menjadi gembala."
"Begitu jauh lebih baik," kata si orang tua. "Sebab kau memang suka berkelaan."

2. Perubahan akan selalu datang
Hal. 39: ...Dan aku ada di sini, di Antara domba-domba dan harta karun itu, pikir si anak lelaki. Dia harus memilih antara cara hidup yang telah begitu dikenalnya dan sesuatu yang ingin dimilikinya.
Memang kebanyakan orang tidak suka menjerumuskan dirinya ke dalam hal baru, hal asing yang tidak dikenalnya. Santiago juga tadinya tidak! Dia sudah terlalu terbiasa dengan kehidupannya sebagai gembala sehingga muncul keraguan di benaknya apakah takdirnya itu masih layak diperjuangkan kalau sekarang saja dia sudah nyaman dengan 60 ekor dombanya… Perubahan terjadi supaya kita berkembang menjadi semakin matang secara mental, dan siapa bertahan samai garis finis mendapat upahnya. Santiago bukan saja dimedalikan harta karun pada akhirnya, melainkan juga dibekali sejuta pengalaman berharga yang menjadikannya sang Alkemis! 

Hal. 40:
Tak ada yang menahannya, kecuali dirinya sendiri. domba-dombanya, putri sang saudagar, dan padang-padang Andalusia hanyalah bagian dari rute yang ditempuhnya dalam perjalanannya mencapai takdirnya.
Terkadang kita harus meninggalkan rumah dan bahkan keluarga untuk mengejar takdir atau mimpi.  Pilihan yang sangat susah, namun suara dalam akal sehat kita mengatakan bahhwa ada harga yang perlu dibayar untuk itu. Yaitu membiarkan perubahan membuat kita tercungkil keluar dari zona nyaman kita dan mulai bergerak maju, menghasilkan karya dan bermanfaat bagi sesama.

3. Bahasa Dunia; Jiwa Dunia; Bahasa Universal; Bahasa Pertanda:
Inilah topik yang sangat relevan dengan 
"Tuhanlah yang menentukan jodoh orang: Kalau memang jodoh tidak akan ke mana!" itu peribahasa orang kita. Jodoh di sini bukan dalam pengertian kekasih atau suami-istri semata, melainkan makna yang lebih luas. Salah satu contoh adalah adegan di mana karavan yang ditumpangi Santiago menyeberangi Gurun Sahara dan para pemimpin karavan memperhatikan pertanda-pertanda yang disampaikan alam kepada mereka melalui "Bahasa Dunia": mereka menaati arah bintang sebagai penunjuk jalan, mereka mematikan lampu sebagai tanda waspada kalau-kalau pasukan-pasukan perang suku menghadang mereka sebelum karavan mereka tiba di Oasis, mereka menaati tradisi-tradisi gurun, dst… alam dan makhluk hidup sudah memiliki harmoninya sendiri, hewan-hewan tidak pernah kesulian memahami ini, tetapi manusia selalu mengabaikannya. Sebenarnya kita hanya perlu menjadi peka. Karavan itu harus membaca tanda bahwa padang pasir merestui kedatangannya, untuk menghindari kemungkinan bahaya.
Hal. 104
"Karavan dan padang pasir ini berbicara bahasa yang sama."

Di jaman yang modern ini, menurut hemat saya, mesin dan manusia terlalu banyak ikut campur dalam mempercepat dan mempermudah segala sesuatu hingga kita lupa menjadi dengar-dengaran terhadap suara-suara alam. Salah satu tema yang relevan adalah pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia yang tidak mengacuhkan bahasa-bahasa tanda yang alam coba komunikasikan ke kita. Padahal alam sudah mencoba mewanti-wanti kita sejak puluhan tahun lalu.
Hal. 104:
...segala sesuatu di muka bumi ini memiliki jiwa, entah itu mineral, sayuran, atau binatang--atau bahkan sekadar buah pikiran.
Kita membutuhkan restu alam semesta untuk membantu mewujudkan mimpi/takdir kita.

4. Kita semua satu adanya
Pesan damai ini sangat Saya sukai dari cerita ini. Santiago, yang dilahirkan dan dibesarkan secara Katolik, bahkan pernah membangku di seminari telah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Fatimah, wanita gurun yang beragama Muslim dan berpegang teguh pada tradisi gurunnya. Mereka tidak lagi membutuhkan kata-kata sebuah bahasa manusia untuk menjelaskannya, mereka hanya perlu saling menatap dan merasakan. Inilah bahasa universal itu, bahasa tanpa gramatik yang mampu menjelaskan perasaan-perasaan yang tak teruraikan dengan kata-kata. Kekuatan bahasa ini menembus sampai ke hati dan membebaskan batas-batas geografi; tembok-tembok suku bangsa dan identitas, bahkan agama menghilang… apalagi sekadar warna kulit: semuanya menjadi satu dan sama.  

Kesan Pribadi Saya:
Eksistesialis. Seperti yang selalu ditekankan John Strelecky, motivator ternama: orang seharusnya bertanya pada diri mereka sendiri: kenapa Saya ada di dunia ini, kenapa saya dilahirkan. Paulo Coelho mencoba meracik pelajaran-pelajaran hidup secara holistis lewat kisah hidup sederhana seorang gembala, yang merasakan panggilan takdirnya dan lantas memutuskan untuk mengikutinya. Sekalipun hidupnya sederhana, pembaca dibuat cukup penasaran oleh pengarang sebab lika-liku perjuangannya menuju harta karun itu berbukit terjal dan berbatu kerikil. Ia harus menyaksikan dan turut ambil bagian dalam begitu banyak hal-hal aneh, asing, mustahil, menyeramkan, menegangkan, menakutkan, sampai yang supranatural.

Novel ini khas Coelho yang spiritual dan dari buku-bukunya bisa disimpulkan dia tahu-menahu tentang alkimia, alam supanatural, takhayul, dunia sihir, jin, hipnotis, dunia mimpi, perjalanan kembali ke masa lalu, reinkarnasi, seni meramal, dst… Bagi saya ini sangat menarik: sisi "gelap" dunia yang termarginalkan itu akhirnya diekspos dan dalam kisah-kisah yang bikin penasaran. Karena jaman kita ini, sihir mentok-mentok mengingatkan kita pada Harry Potter dan Hogwarts. Dunia spiritual, kurcaci, tuyul, tabib, dukun, shaman, kepala suku terhitung terlalu primitif untuk disajikan ke mata pembaca.

Orang-orang yang bisa mendengar, memahami dan berbicara Bahasa Dunia adalah orang-orang yang memiliki sensibilitas. Kepekaan hati ini membuat seseorang bisa memahami dunia sekitarnya dengan lebih baik dan memudahkannya meraih cita-citanya. 
Buku ini memiliki daya jebak spiritual yang bisa membuat kita terperangkap, sekali baca tak bisa lepas lagi. Ia adalah salah satu buku yang tidak bisa Saya biarkan tergeletak berlama-lama karena seolah jiwa Saya ingin segera meneguk pesan-pesan baru di lembar-lembar berikutnya. Hampir di setiap halamannya mengandung sesuatu yang bisa dipetik. Saya tidak heran jika buku ini telah diterjemahkan dalam 81 bahasa.

Jumat, 29 November 2019

Sendiri di Luar Negeri: Kok Betah?

Hampir lima tahun Saya tinggal di negeri dongeng, negerinya Grimm Bersaudara. Banyak yang bertanya, apakah Saya akan pulang ke Tanah Air, ada pula yang bertanya apakah Saya akan menetap di sini. Dua pertanyaaan yang berbeda ini selalu Saya jawab berbeda pula dari waktu ke waktu. Kadang Saya bilang A, besok Saya bilang B. Lusa lain lagi. Ini membuktikan bahwa Saya sendiri masih dalam pencarian dan Saya tidak berniat untuk mengikrarkan apa-apa. Bukan berarti Saya sendiri tidak memikirkan hal itu, justru karena Saya terlalu banyak menimbang. Menanyakan pendapat teman-temann terdekat, mereka lebih berat ke arah, "Sudah, di sana aja, Mon, kan udah enak!" Mereka memang benar, Saya mendapat banyak privileg di sini, yang Saya tidak dapatkan di tempat lain. 

Kemewahan Yang Semu
Jarak yang terpisah laut dan benua membuat kita hanya melihat "perkembangan" sesama teman lewat unduhan mereka di media online. Terlihat Foto wisuda master lah, video pesta pernikahan lah, liburan ke pulau-pulau terpencil lah…. Tentu saja momen-momen bahagia itu ingin orang rekam dan bagi dengan sesama, lewat bantuan media online tadi. But that´s not all their life is about.          
Pengalaman saya adalah ketika Saya posting foto-foto liburan di luar negeri dan teman-teman Saya turut bahagia dengan kebahagiaan Saya, yang mana sangat Saya apresiasi, banyak mulai membangun opini "Enak ya!"  Saya mau jawab, kalau boleh, "Iya, enak pas liburnya saja…. Yang hanya dijatah 20 hari kerja dalam kurun setahun." Artinya 337 hari sisanya adalah rodi. 

Harus Ada Yang Dikorbankan
Kalau saya menghitung hal-hal yang tidak ada di sini, tapi ada di Tanah Air, nanti Saya dituduh tidak tahu bersyukur. Tapi supaya teman-teman yang belum pernah berdomisili di luar negeri dapat sedikit gambaran, Saya boleh lah cerita sedikit. 
Saya tidak seberuntung orang lain yang sering berkesempatan menghadiri setiap acara keluarga. Ada berapa banyak kelahiran bayi, sambut baru, pernikahan, wisuda, kematian, makan malam keluarga, natal bersama keluarga, nongkrong dengan teman, reuni sekolah yang Saya lewatkan? Puluhan! Sebagai gantinya Saya ada di benua lain, bekerja dan bekerja sampai tiba masa emas 20 hari itu… untuk dilewatkan supaya bekerja lagi hingga 337 hari tadi lunas.

Sendiri Di Luar Negeri
Saya masih ingat decak kagum beberapa warga Jerman saat mendengar cerita eksistensi Saya di sini. Karena mereka sendiri tidak bisa membayangkan tinggal dan bekerja di negeri lain, dengan budaya dan  iklim beda drastis dari yang mereka sudah selalu kenal seumur hidup. Sudah begitu, bicara bahasa lokal lagi. Ini selalu Saya simpan di ingatan sebagai motivasi untuk menghargai hasil perjuangan diri sendiri yang mana sering kita lupa sebagai manusia.
Sebenarnya hidup tanpa keluarga di luar negeri itu seni sekali, Saya jadi belajar tentang banyak hal.  Sebagai contoh, kalau kita hidup di tempat asal kita, kita tidak perlu repot-repot cari teman dan menjalin hubungan yang konstruktif. Teman itu ada saja dengan sendirinya, Hashtag primordialisme. Contohnya tetangga, teman sekolah, teman kampus, kolega kerja, teman segereja, dst. Sebagai bandingan, di Jerman, hanya karena kita duduk berdampingan di sebuah meja di sekolah bukan berarti kita berkenalan apalagi berteman. Karena kedua kepala ini belum tentu mengenal dan mempercayai hal-hal yang sama atau nilai-nilai yang serupa, apalagi memiliki opini dan pandangan yang relevan terhadap tema-tema tertentu.  Inilah yang membuat Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk mempelajari bab yang ini lewat keterasingan Saya di negeri Antah Barantah ini. 

Cari yang Sesama
Awal tahun 80-an kedua orang tua Saya memantapkan fondasi keluarga mereka di Pulau Timor. Keduanya berasal dari Pulau Flores, sebuah pulau dengan populasi umat katolik terbanyak. "Terdampar" di Timor di mana hanya ada satu gereja Katolik kecil di setiap radius… idk. Intinya sangat sangat minor. Saya masih ingat, hanya ada 3 murid katolik dalam sebuah kelas berisi 36 siswa. Bisakah kalian bayangkan pas pelajaran agama hanya  ada empat kepala dalam ruangan? Kelas-kelas di sekolah dasar belum pernah seintim itu. Rasanya cukup asing bagi anak usia SD jaman 90an masa itu. Tahun 2001, saat kecamuk politik di Timor Leste, kami kedatangan satu "teman" baru dari TimTim yang orang tuanya pro NKRI. Terimakasih Habibie, kami pun akhirnya berempat! 
Yang ingin Saya ceritakan adalah bahwa kelompok minoritas tadi yang mayoritasnya berasal dari Manggarai (Flores) ini mulai membentuk sebuah kelompok arisan. Asal sama, Bahasa sama, agama sama, bentuk fisik sama (you know, we are made in Manggarai kalau kamu melihat betis-betis besar kami yang sangat beda jauh dari betis tipis ala orang Timor). Singkat cerita, sebagai anak kecil Saya merasa menjalani dua dunia yang berbeda. Di satu sisi Saya orang Timor, tali pusar saya dikuburkan di Tanah Timor, tetapi Saya dididik dan dibesarkan dengan cara Manggarai. Dua dunia yang cukup berbeda untuk skala lokal kita. Bagi seorang anak kecil itu cukup membingungkan.
Belajar dari pengalaman itu, Saya selalu mengijinkan diri untuk bergaul akrab dan bertata krama dengan warga lokal. Di mana pun Saya berada. Bahkan ketika Saya libur ke luar negeri, Saya selalu belajar bahasa standar lokal, untuk kontak yang lebih dekat dengan warga setempat, dan juga sebagai apresiasi budaya lokal. Karena Saya tidak ingin menjalani dunia A dan B bersamaan. Di mana kaki berpijak, di sana langit dijunjung. Saya tidak bisa mengharapkan orang Jerman selalu tersenyum ramah ala orang Timur, atau ketawa lepas ala orang NTT. Saya harus mengembik kalau masuk kandang kambing, meringkik di kandang kuda dst.

Kacang Lupa Kulit?
Ini tema yang belakangan ini suka Saya perdalam dengan beberapa teman. Komunikasi jadi jarang. Itu salah satu harga yang tertera di rekening rantauan Saya ini yang Saya harus bayar. Selain harga bahwa saya tidak bisa menikmati sinar matahari sepanjang tahun, tidak bisa makan Nasi Padang, tidak menghadiri acara keluarga, dst…. 
Setiap hari Saya bangun jam 6 dan mulai kerja jam 8 pagi sampai 19.00. Keluarga dan sahabat-kerabat Saya terletak di zona +7 jam, artinya mereka sudah tidur ketika Saya puang kerja. Secara saya bekerja dari Senin sampai Minggu, balik ke Senin lagi, kami putus komunikasi.
Beberapa teman mencoba merawat the good old times kami lewat berkomentar di Instagram Saya, yang saya balas berhari-hari kemudian. Pesan-pesan menumpuk di WhatsApp, Saya balas seada waktunya saja, dan karena pesan itu tiba di jam-jam saat mereka di zona seberang masih tidur, tentu saja mereka tidak langsung membalasnya. Tersendat-sendat gitu komunikasinya. Dan ini pun salah satu konsekuensi dari tinggal di luar negeri. Dan kalau kelian tertarik tanya, rasanya tidak enak. Saya lebih fokus ke efektivitas dan efisensi. Artinya Saya tidak suka Chat ala:
"Hai, Mon..." Begitu saja. Tidak ada lanjutannya.
Atau, "Hallo kaka Mona, apa kabar…?" Titik.
Karena saya akan jawab besoknya.
Baru lusa datang pesan berikutnya,
"Saya juga baik-baik saja."
Pada hari ke tiga ke dua belah pihak sama-sama menyerah dan vonisnya: Mona kacang yang lupa kulitnya.
Seorang sahabat Saya orang Indonesia yang sedang sekolah di Munich punya trik: teman-teman yang dia jarang temui dalam kehidupan sehari-hari dia per-pos-kann saja. Artinya dia tidak buang waktu untuk Chat ala remaja lagi, melainkan dia mulai bertukar surat. Dengan demikian dia bisa becerita panjang dan dalam kali lebar.
Mengatasi pembuangan waktu untuk chatting berjam-jam, teman kerja Saya, Sonita, punya tips yang sangat bagus: dia mengdeinstalasi WhatsApp dari Smartphone nya. "Saya tinggal telpon kalau Saya mau ngobrol."
Sonita memang benar, banyak orang kehilangan berjam-jam waktu mereka dalam sehari hanya dengan mengotak-atik WhatsApp, padahal obrolannya sebatas di permukaan saja, "Apa kabar?" Yang mana pastinya dijawab, "Baik, kau?"Sama seperti di kolom komentar di Instagram, kita tidak bisa memulai BigTalk di sana. Sebatas fasad, sebatas permukaan, sebatas basa-basi… Domisili Saya yang sangat terasing tidak mengijinkan Saya untuk terlalu lama berbasa-basi. Jika kangen, Saya tulis kartu pos, atau telpon atau Video call, itu lebih silahturahmi daripada harus me-like setiap postingan teman-teman saya.
"Sejak saya menghapus Facebook dan Instagram Saya, Saya jadi tahu siapa di antara teman-teman saya yang benar-benar peduli terhadap Saya. Saya tahu, mereka hafal hari ulang tahun Saya, karena tidak ada media online mengingatkan mereka tentang itu. Dan Saya sangat apresiasi itu," tambah Sonita lagi. Dan lagi-lagi dia benar.


Oke deh teman-teman, cukup senam jari hari ini. See you, love you :)

Senin, 22 Juli 2019

Mbak Viva Nomor 5 dan Selera Mas Bule


Hamburg, Maret 2019. Saya dan teman saya, Melanie, merayakan ulang tahun bersama. Pesta lokal itu dihadiri tamu internasional, di basement sebuah asrama mahasiswa dengan fitur bar dan sistem audio. Sementara para tamu: sibuk serius dengan stick Kicker merawat martabat gawang, yang lain fokus berusaha melempar ping pong ke dalam gelas berisi bir, sisanya: menikmati Golden Caiprinha racikan Melanie di pojok-pojok redup yang digelantungi balon warna-warni. Menurut daftar absensi di kepala saya, semua tamu saya sudah hadir, sudah saya sapa, saya suguhi, saya temani cukup lama untuk boleh menyingkir lagi. Ke dapur, tempat dari mana saya berasal sebagai tuan rumah.
Rekha, adalah seorang insinyur asal India. Pintu dapur yang lumayan sempit menjebak kami dalam percakapan yang hangat. Dietrich, teman saya nimbrung. Lalu, Martin, lalu Phillip. Percakapan jadi panas. Rekha dan saya saling sependapat tentang cara pandang orang Asia terhadap kulit „gelap“ mereka. Dan kami setuju bahwa itu adalah penyangkalan martabat asasi yang keliru. Teman-teman Jerman kami yang sudah baca/dengar sejarah dunia, menyalahkan jaman imperialis yang ditandai dengan penjajahan bangsa Eropa  ke benua-benua lainnya. Kisah-kisah terkenal yang kalian dengar: bangsa Aborigin dan Indian termarginalkan oleh hadirnya bangsa Eropa (baca: kulit putih). Rekha setuju, namun saya ragu. Artikel ini masih belum sanggup jelaskan hipotesis mana yang benar.
Jakarta, dalam sebuah mobil, 2014. Seseorang yang saya baru jabat tangan beberapa menit yang lalu bilang seolah terkagum ke teman saya yang duduk di sebelah saya, „Dia orang NTT tapi kulitnya bersih ya!“ Si „Dia“ dalam kalimat di atas dimaksudkan saya. Saya tercengang. Saya perpleks. Saya tidak mau lagi balas kalimat mbak itu, saya merasa dihina secara suku bangsa.
Legian, 2013. „Emang selera bule!“ Kata seseorang kepada seseorang di samping saya tentang saya. Tiga menit sebelumnya percakapan diawali dengan topik kebangsaan: warna kulit. (saya hampir menguap)
Purworejo, 2012. Teman KKN saya bertanya kepada saya apakah sewaktu kecil saya berkeinginan untuk berkulit putih. Siapa yang tidak? Dia mengaku, turut terlibat dalam mimpi yang janggal itu, bahkan sampai hari ini dia masih merasa terlalu coklat. Saya ingin mengingatkan dia betapa indahnya kulit dia, tapi usaha saya sia-sia.
Jogjakarta, 2010. Saya tidak mengerti kenapa teman-teman kampus saya membahas warna kulit tanpa bosan-bosannya. Kena pancaran sinar matahari sedikit sudah dicap belang. Tidak disayang hanya karena „belang“, oh, Kulit yang malang. Satu hal yang saya tidak bisa lupa adalah gema kata ireng di telinga saya. Terdengar politically incorrect, but who cares!
Ende, 2008. Saya tinggal di sebuah asrama putri selama masa SMA saya. Apakah kalian punya bayangan bagaimana rasanya hidup dengan 120-an makhluk puber seumuran dan sejenis kelamin di bawah satu atap sementara kalian datang dari pulau dan desa yang berbeda-beda? Kalau saya bilang menyenangkan, kebenarannya belum terbongkar 100%! Intinya kami saling bertukar ajar, berbagi tak-tik dan trik yang kami butuhkan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup ala remaja: trik menghilangkan jerawat, trik melengkungkan poni padahal rambut sangat keriting, trik mengurangi minyak di wajah, trik memungkinkan segala sesuatu yang tidak mungkin seperti meluruskan rambut dan memutihkan kulit melalui bantuan bubuk wajah.
Oesao, Kupang, 1997. Lemari pakaian di kamar tidur orang tua saya berwarna biru pastel. Sisa bukti trend warna 70-an/80-an. Laci teratas lemari ini tak berpintu, di sanalah letak riasan mama saya. Ada bubuk wajah, warna-warni wajah, dan segala macam yang menarik penasaran anak gadis 6 tahun. Saya suka mengunjungi laci ini, laci kecantikan, kalau mama saya masih mengajar di sekolah dan saya sudah di rumah. Beberapa tahun kemudian saya sudah tahu membedakan kulit saya cocok dengan Viva nomor 5 atau nomor 4. Nomor 5 ini lebih gelap dari nomor 4. Tapi karena mbak Viva bukan produksi orang Timur, jadi jatuhnya inbetween. Coba kalau ada Viva nomor 4,5!!!

Kronologi 1997-2019 menunjukkan, putih gelapnya kulit masalah banget dalam budaya tanah air (Rekha yang dari India bisa konfirmasi kebenaran stereotip ini di tanah air dia yang juga mayoritas kulit berwarna!). Dan ini tertanam secara sengaja atau tidak sengaja dalam diri seorang anak yang mana di usia dewasanya akan dia reproduksi.
Hampir dalam setiap produk kecantikan dan perawatan tubuh di Asia mengandung whitening. Dan tidak jarang ditemukan kandungan mercury (air raksa) di dalamnya. But who cares! Yang penting putih ma men! Melanie kelabakan saat liburan di Indonesia, dia mau membeli sunscreen tapi tidak ada yang tanpa pemutih! Dia mengaku mengalami shock budaya saat itu.

Yang Rekha dkk simpulkan: ini ulah koloni (Eropa) sehingga rakyat mendewa-dewakan putihnya kulit namun legenda rakyat ini ditentang oleh mbak Luh Ayu Saraswati. Ibu dosen cantik di Universitas Hawaii ini membukukan risetnya tentang tema yang sama dan men-discover bahwa pemujaan terhadap putihnya kulit hanya diperkuat oleh koloni, tapi tidak berasal dari koloni! Karena jauh sebelum tanah air dijajah kita sudah sangat mendewakannya. Bukti: dalam epos Ramayana dan Mahabarata wayang-wayangnya dipoles putih sebagai simbol positiv. Sebaliknya, untuk menggambarkan kejahatan atau kenegativan, Rahwana atau Prabu Dasamuka berkulit gelap (atau merah).
Kalimat-kalimat atau kejadian-kejadian serupa di atas pernah siapa pun alami atau dengar, terutama jika yang bersangkutan berkulit sawo matang. Saking seringnya muncul dalam keseharian, banyak yang mengabaikan bahkan melumrahkan. Namun efeknya tidak disadari kita juga yang tanggung beban: kurangnya penghargaan atas fisik alami kita adalah salah satu contohnya. 
Dalam tulisan saya kali lalu tentang Indonesia Bhineka „Tunggal Ika“ saya mencoba untuk mencapai sebuah pemahaman bahwa kita memang sangat beragam, mulai dari rambut sampai mata kaki. Perasaan kurang putih hanya terjadi ketika seseorang mulai membandingkan dirinya dengan yang lebih putih. Beberapa tahun yang lalu ada sebuah iklan TV yang sangat rasis: „Cantik kayak Korea!“ seru seseorang dalam iklan itu. Lagi-lagi putihnya kulit disembah membabi buta. Tidakkah kalian muak? 
Ya, saya mengkritik media televisi karena dengan iklan Biore dan Ponds-nya, menjanjikan pipi merah merona. Apanya yang merona kalau kita berkulit sawo matang? Ini bukan saja janji yang tidak real melainkan juga provokasi, penipuan dan pembodohan masyarakat. Masyarakat yang naif percaya dan beli saja, dengan harapan status sosial mereka naik seturut „terpenuhnya“ standar estetika yang berlaku mutlak (putih itu cantik). Dengan kata lain: iklan ini menyangkali eksistensi NKRI yang sejati.
Sebagai anak perantau, kalian pasti kenal kalimat-kalimat ini: „Ihh, tambah putih aja!“ „Tambah langsing aja!“ „Makin gemuk ya, sekarang?“ „Kok kurusan sih?“ dan sebagainya. Kita bisa mengerti maksud perkataan mereka karena mereka masih menyimpan sosok kita di ingatan versi saat terakhir kali mereka lihat. Namun yang saya lihat, jika ini dilumrahkan, maka yang berucap suka keceplosan bahkan tidak respek dengan perasaan yang punya badan. Topik tentang penampilan, berat badan dan warna kulit suka dibesar-besarkan sampai topik terpenting termarginalkan: Apa kabarmu? Bagaimana pekerjaan? Lancar? Kau sehat-sehatkah? Kau bahagia kah di sana? Semua ini tersampingkan karena, „Hey, tambah putih ya! Pakai apa? Harga berapa? Beli di mana?“
Kenapa harus merasa asing dengan kulit sendiri? Coklat? Coba tengok KTP, barangkali Anda orang Indonesia, sudah lupa?


Kamis, 20 Juni 2019

Big Magic: Elizabeth Gilbert

People already have a strange trust in their devils.“ Ini adalah kutipan favorit saya dari buku Big Magic karya penulis best seller,  Elizabeth Gilbert. Siapa ingin tahu trik-trik untuk menjadi kreativ, jangan baca buku ini setengah hati, karena menurut Gilbert tidak ada mantra-mantra untuk menjadi kreativ, menjadi kreator. 
Buku terbitan 2015 ini bukanlah sebuah novel atau roman, tetapi juga bukan sebuah buku ilmiah. Jangan heran kalau Gilbert banyak bercerita anekdot pribadi maupun anekdot orang lain, mulai dari yang tokoh kuncara sampai yang hanya dikenal oleh Gilbert pribadi. Gaya penceritaannya pun jadi bertele-tele dan repetitif. Namun saya pribadi tidak terganggu oleh itu, karena setiap kali dia mengulang topik yang sama dengan gaya bahasa dan becerita yang berbeda, saya merasa dipinjamkan lensa baru. Saya akhirnya melihat sebuah bidang yang sama dengan sudut teropong yang berbeda-beda dan ini memperkaya dimensi berpikir saya  dan intensitas saya memandang sesuatu. 
Big Magic diimplisitkan dalam beberapa keping puzzle: Keberanian; Pesona;  Ijin;  Ketekunan; Kepercayaan; dan Transedensi. (Saya sengaja sebut keping puzzle karena tanpa salah satu keping, Big Magic belum memiliki konstruksi yang utuh.) 
Gilbert percaya bahwa jagad raya sudah mengatur sebuah permainan dengan setiap insan di bumi. Nama permainan itu adalah: Temukan Batu Permata Dalam Dirimu! 

„Jauh di dalam diri kita semua, sang Jagad Raya menyembunyikan batu-batu permata yang masih belum diketahui lantas dia berjalan mundur selangkah untuk melihat apakah kita dapat menemukan permata-permata itu.“ tulis Gilbert.  Perburuan untuk mencari perhiasan itu – itulah yang disebut kehidupan kreatif. Keberanian  untuk pergi berburu permata itu saja sudah membedakan kehidupan yang biasa dari kehidupan yang lebih ajaib. Hasil yang sering mengejutkan dari perburuan ini adalah apa yang saya sebut sebagai Big Magic.“


Buku ini bukanlah jalan pintas untuk menjadi sekreatif Leonardo DaVinci atau se-magic J.K. Rowling.  Kebanyakan isi buku ini adalah rampungan kreatif Gilbert sendiri, sangat autentis dan memang konsep penuturannya tidak mau sama dengan desertasi doktorat. Sekalipun begitu banyak kata-katanya yang klik dengan pengamatan dan pengalaman pribadi saya.   Dalam kapitel Keberanian misalnya, Gilbert ingin berbagi tentang bagaimana rasa takut telah menyihir jiwa kreatifnya menjadi tidak berdaya seperti berudu yang tidak bisa berpikir; tidak bisa menyanyi; tidak bisa menulis cerita; apalagi melukis, tetapi ada satu yang dia paling bisa: berenang terbirit-birit karena ketakutaan begitu ada  bayangan melintas di atas air. Gilbert tahu persis, keberanian adalah inang bagi rasa penasaran. Dan ketakutan adalah eutanasia untuk kreatifitas. Zona nyaman adalah a big no go untuk  kehidupan yang kreatif.
Bagian favorit saya dalam klimaks kapitel ini adalah ketika Gilbert memberi saran untuk memberi rasa takut kita sebuah ruang untuk bernapas.  Jadi membunuh rasa takut juga sebenarnya bukan solusi yang sehat. Karena rasa takut muncul sebagai mekanisme untuk bertahan hidup.
Kapitel Ketekunan meminjamkan pengalaman pribadi Gilbert dalam karier menulisnya. Dia bercerita tentang bagaimana berhadapan dengan masalah finansial dan penerbit. Pemikiran cemerlang Gilbert di mata saya adalah ketika dia menegaskan: kehidupan kreatifmu tidak bertanggung jawab untuk memberi makan perutmu. Kamulah yang justru bertanggung jawab untuk mengongkos kreatifitasmu. Cerita ini terinspirasi dari pengamatan Gilbert terhadap banyak seniman yang depresi dan jadi gelandangan karena tulisan/lukisan/lagu mereka tidak cukup laku untuk membayar uang kos dan warteg. Gilbert mengaku (sama seperti J.K. Rowling yang menulis Harry Potter di saat istirahat kerjanya) masih memiliki pekerjaan tetap saat sudah jadi penulis karena dia tidak ingin membebani hobi menulisnya dengan  rekening-rekeningnya. 
Sekali lagi saya tegaskan, buku ini bukanlah Handbook, melainkan lebih ke arah self-help. Membaca buku ini jangan berharap akan menemukan instruksi bagaimana menjadi penulis yang sukses, melainkan bagaimana kamu memandang kreativitas dalam skala yang holistik. Menyeluruh. Jika kita mau menelaah maksud implisit sang penulis, kita justru akan dibuat terpesona oleh inspirasinya. Jangan baca buku ini kalau punya mental harap gampang: Gilbert tidak memberi kita ikan karena kita lapar, melainkan memberi pancing dan mata kail.

Selamat membaca.


Kamis, 13 Juni 2019

Bulu Perut Cuek Ajah

Jangan-Jangan Punya Penis?

Ingatkah kalian ketika kita dulu masih kecil, di mana yang kita tahu hanyalah bermain dan hidup dalam kenaivan ala anak-anak yang menyenangkan? Semua kita, asal-muasalnya, bahkan tidak tahu apa jenis kelamin kita hingga usia tertentu di mana orang-orang di sekeliling kita mulai mewanti-wanti, „Kamu itu anak perempuan, jangan begini, jangan begitu!“ Atau „Kamu itu laki-laki, harusnya begini dan begitu!“ Dari situlah si anak, secara sadar, belajar MENJADI perempuan atau MENJADI laki-laki. Hal yang sama terjadi dalam perkembangan si anak selanjutnya. Termasuk ini: kita jadi tahu dari sekitar kita bahwa yang boleh banyak bulu itu hanyalah laki-laki. Saya bahkan waktu kecil tidak tahu bahwa saya banyak bulu—lebih tepatnya saya tidak perhatikan dan tidak peduli. Saya JADI perhatikan dan peduli karena itu disebut-sebut terus oleh orang-orang sekitar saya. Seolah itu momok yang menarik perhatian mereka, yang tidak akan mereka biarkan lolos dari topik pembicaraan. Berapa lama kemudian saya rasa bulu-bulu saya telah berubah menjadi SATU-SATUnya yang menarik perhatian orang-orang itu dari penampilan fisik luar saya. Sementara saya tidak ingin diperhatikan hanya karena saya berbulu. Hey, saya tidak hanya terdiri dari bulu-bulu. Setiap kali saya diajak bicara tentang bulu-bulu badan saya tanpa dasar obrolan yang jelas, saya selalu membatin, sebegitu pentingnyakah bulu saya bagi Anda?

Bulu badan adalah tema yang lumayan esensial di antara kaum hawa. Saya sendiri adalah orang paling berbulu dengan jumlah yang cukup menarik perhatian. Bulu-bulu badan saya tersebar secara merata dan berdomisili di setiap sentimeter kulit saya. Saya „sempat“ kewalahan dibuatnya. „Sempat“ yang saya maksudkan dalam kasus ini tidak terjadi suatu hari dan berakhir pada hari berikutnya, namun terjadi dalam rentang waktu hampir dua puluh tahun.

Tumbuhnya Subur Tanpa Pupuk
Saya cukur, tumbuhnya kasar. Saya cabut, tumbuhnya bengkok. Mau waxing, sayang duit. Kalau saya biarkan saja, nanti bulu-bulu saya sedot unnecessary public attention lagi. Pakai baju yang buka perut tidak bisa, yang buka bahu tidak bisa, lengan pendek tidak bisa, habisnya di mana-mana berbulu sih. Aaargh, saya lumayan dibuat repot memikirkan itu. Pasalnya kalau ingin total bebas bulu dan kinclong ala cacing tanah, saya harus banting sekarung duit.

Beberapa waktu lalu saya akhirnya mengutarakan keisengan saya yang banal ke teman-teman kerja saya:  saya ingin memiliki piercing di pusat. Ya, di perut. Mereka lantas ingin lihat perut saya (mereka cukup normal?), saya angkat kaos polo kerja saya, „Kau mungkin seharusnya waxing bulu-bulu itu. Musim panas begini keren kalau pakai Crop Top dan tindik di pusat.“ Kalimat pertama mereka. Saya tidak kaget!!!

Ide piercing ini sudah datang beberapa bulan yang lalu dan saya anggap enteng karena saya pikir itu ide banal yang saking banalnya akan sirna kapan-kapan; saya akan melupakannya dan menganggapnya tidak pernah singgah di kepala. Setengah tahun kemudian saya masih menginginkan piercing itu di pusar saya, hingga saya menyerah, berpikir: Oke Ide, mungkin kita berjodoh. Dan saya berjanji, seperti yang sudah saya lakukan beberapa tahun belakangan ini, tidak akan mencukur hanya untuk menyenangkan mata orang lain, karena jujur saja saya nyaman berada dan bertumbuh dalam tubuh berbulu ini. Kami adalah satu paket lengkap yang bahagia.

Malu vs. Keep Rockin
Berbulu diidentikan dengan kejantanan. Terlalu jantan untuk seorang perempuan bisa bersinonim tidak cantik. Sebanyak kaum adam membahas mesin dan sepak bola, sesering itu juga kaum hawa membahas metode „memperempuankan“ badan berbulu. Mulai dari krim yang menjanjikan tumpas sampai tuntas, cukur, cabut pakai benang, waxing pakai gula sampai laser yang mahal namun menjanjikan keabadian. Tapi saya lelah. Asli. Saya lelah merasa asing dalam tubuh sendiri, saya lelah memandang perempuan lain sebagai impian sementara diri sendiri sebagai kenyataan yang gagal. Saya lelah  „menghukum“ diri sendiri dengan rasa kurang indah, kurang cantik, kurang ideal, kurang mancung, kurang putih, kurang ABCD…. Kalau kita terlahir kurang satu tangan, atau satu ginjal, atau satu lubang hidung, itu bisa jadi kendala. Tapi saya, puji Tuhan, terlahir lengkap. Apa salah tubuh ini? Tanpa tubuh ini saya hanyalah jiwa yang melayang-layang tanpa merasakan kehidupan. Sudah dikasi gratis tidak tahu bersyukur. Come on, rock them hair, boo!

Rabu, 06 Maret 2019

Kejar Daku Kau Kutangkap: Out of The Victim Role!


Si Pasif yang Suka Memainkan Peran Korban

Saya sering dengar orang mengomentari, „Kasian ya, dia cuma dimainin saja!“ Ketika sebuah hubungan cinta di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan berakhir. Dan dia di sini selalu dialamatkan kepada pihak perempuan. Bahkan komentar macam begini bukan saja datang dari pihak ketiga (baca= komentator alias biang gosip) melainkan juga dari diri sang perempuan sendiri.

„Cuma dimainin“ adalah ungkapan yang naas sekali, terdengar seolah dia tertimpa tragedi dan dialah korbannya. Padahal percintaan adalah sebuah proses memberi dan menerima, di mana keberlangsungannya terjadi karena ada yang menginginkan dan ada yang menyetujui. Atau kedua belah pihak sama-sama meenginginkan dan sama-sama pula menyetujui. Lantas kenapa setelah putus si wanita mengklaim diri sebagai korbannya? Mari kita recheck!

Di dalam budaya patriarki para pemilik phallus dianggap memiliki hak istimewa untuk menentukkan keinginan dan keputusannya. Sebaliknya kaum hawa diidealkan menjadi subordinat, submasiv. Keinginan untuk setara tanpa perbedaan jenis kelamin itu tentu saja ada di lubuk hati setiap wanita. Namun dalam usaha merealisasikannya mereka dihalang oleh ikatan-ikatan sosial dan politik. Kehendak akan penyetaraan mereka ini menerima penolakkan di berbagai konteks dan kesempatan sampai akhirnya mereka lantas sadar, terbuka matanya bahwa mereka memang „hanyalah perempuan“. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak penolakkan yang mereka terima, semakin banyak pengalaman „trauma-trauma“ yang mereka kumpulkan hingga mereka kapok juga dan menyerah. Pada akhirnya mereka menerima status subordinat itu dan mengamini kesubmasivan mereka. Mereka pun ikut main dalam arena sosial, pakai aturan patriarkal: Jadilah pasif, wahai kau perempuan! 
www.thinkstockphotos.de/royalty-free/david-pictures
Saya tau, kata-kata saya di atas itu keras sekali bagi beberapa orang yang membaca. Namun begitulah kenyataannya. Kenyataan memang pahit, makanya banyak orang lebih suka bersembunyi di balik ketidaktahuan atau kefiksian atau sekalian saja mitos dan dongeng.

Kepasifan perempuan dalam budaya patriarki itu pada umumnya dilakukan secara tidak sadar oleh sang perempuan sendiri. Saya ulangi, mereka tidak sadar bahwa mereka memainkan peran pasif dalam berbagai hal. Pertanyaannya: memangnya salah kalau mereka tidak sadar? Dalam banyak hal iya. Kehilangan kesempatan adalah salah satu kerugiannya. Contoh, saya hampir belum pernah mendengar seorang perempuan menembak seorang laki-laki, atau melamar untuk bertunangan. „Will you marry me?“ selalu ditunggu untuk keluar dari mulut laki-laki. Perempuannya lagi apa? Dia ke mana saja? Dia sedang menunggu. Dia sedang menunggu untuk dikatain seperti itu oleh seorang laki-laki. Saya yakin ada perempuan pemberani di luar sana yang percaya diri dengan kekuatannya sebagai perempuan dan berinisiatif untuk maju duluan sebelum si laki-laki buka mulut, namun kebanyakan lebih suka bersembunyi dan berharap. Kalau harapannya ini yang lama-lama menjelma jadi ekspektasi tidak terpenuhi, dia kecewa. Sebenarnya solusinya gampang saja, kenapa tidak ambil alih kendali? Kenapa harus menunggu si pria yang buka mulut? Kenapa tidak mau pro aktif? Supaya kalau besok-besok kalian pacaran kamu bisa dengan bangga bilang ke semua orang, „Dulu dia yang kejar-kejar saya, sayanya sih santai-santai saja.“? Oh, wanita, sadarlah!

Satu bulan yang lalu saya men-download App Tinder, sebuah aplikasi bursa percintaan (online dating) karena saya merasa siap berkenalan dengan orang baru. Seorang teman cewek saya bertanya apakah saya yang memulai duluan perbincangan via chatting atau si laki-laki. Saya jawab dengan percaya diri, „Saya yang mulai.“ Lalu teman saya mulai membandingkan dengan pengalaman pribadi dia saat masih aktif di dunia kencan virtual, katanya, „Kalau saya dulu sih saya nggak pernah mulai, selalu cowoknya yang mulai. Kalau dia nggak chat, saya nggak akan duluan.“
https://mubi.com/de/films/kejarlah-daku-kau-kutangkap
Kejar Daku Kau Kutangkap
Di sini saya melihat pola wanita patriarki yang tunggu disenggol dulu baru bereaksi. Tunggu aksi supaya puya kesempatan untuk bereaksi. Tunggu orang lain buka mulut dulu baru kita menyahut karena kita mau cari aman. Tunggu ada yang mulai, supaya kita punya seseorang yang bisa disalahkan kalau-kalau nanti sesuatu yang tidak diinginkan terjadi (contohnya putus cinta yang saya sebutkan di atas tadi). Pasif, bukannya aktif. Jangan salah mengerti ya, teman-teman. Bersabar itu hal lain lagi, pasif dan sabar jangan dikait-kaitkan satu sama lain ya. Dari artinya saja sudah beda sekali.

Kalau kita pasif kita kehilangan banyak kesempatan: ya, saya yang mulai duluan perbincangan di bursa single itu. Saya seleksi baik-baik para pria di sana melalui foto-foto di album mereka dan dari catatan profil mereka, sehingga saya bisa tahu seberapa persen ada kecocokan. Dan pria-pria yang saya sapa hampir semua membalas. Sampai saat ini saya masih menjalin kontak dengan beberapa dan kami mengalami perbincangan di dunia nyata yang sangat menyenangkan. Jadi saya tidak perlu repot-repot kecewa kalau mereka besok-besok tidak mau berpacaran dengan saya (saya hanya ingin mengenal orang dan cerita baru saja sih) karena saya pun turut ambil bagian dalam proses ini. Saya tidak menunggu. Saya tidak menanam saham harapan. Saya aktif menjalankan tujuan saya, yaitu saya ingin mendengar kisah-kisah baru dituturkan oleh wajah-wajah baru. Dan yang lebih penting lagi, saya tahu apa yang saya mau. Kalau kita tahu apa yang kita mau, ada kemungkinan besar kita mampu mengatakan TIDAK begitu seseorang menawarkan sesuatu yang kurang bonafit kepada kita. Sehingga kalau sang pria menawarkan sesuatu yang hati kita sebenarnya tidak suka dalam sebuah hubungan pria-wanita, kita bilang saja TIDAK. Karena itu tadi: kamu mengenali kemauanmu. Dan kebetulan kemauan si pria tidak sejalan dengan kemauanmu.  Kalau kita mengorbankan keinginan hati kita hanya karena percaya bahwa kesubordinatan kita tidak memiliki privilleg untuk menentukkan keinginan, maka tidak heran jika kita memadang diri kita sebagai korban pada saat kisah cinta kita berakhir.

Kesimpulan: kalau kamu juga merupakan pemain yang pro aktif dalam sebuah hubungan, kamu tidak akan berkomentar, „Aduh, kasian ya saya cuma dimainin!“

Rabu, 20 Februari 2019

Liszt to Cherry Beer: Another Solo Trip in Budapest

Chasing the melody.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu saya dibuat jatuh cinta oleh ring tone hape senter (baca: hape monokrom) saya. Judulnya Liszt, yang pada akhirnya saya tahu itu bukanlah nama lagu tersebut, melainkan nama sang komponis. Namanya juga ring tone, kontennya sangat terbatas, tidak ada satu menit, namun sepenggal dentangan melodi piano yang terentang dalam ruang 30 detik itu sudah sanggup menyulap perasaan saya. Merepetisi berhari-hari saya mendengarkan segmen itu dan saya ingat betul betapa nyaman dan damai hati saya setiap kali saya dengar (jaman itu internet apalagi Spotify belum diimpor ke desa). Ya, saya tidak hanya emosional dan musikalis tetapi juga melankolis. 
Adalah Franz Liszt, seorang virtuoso piano yang sangat terkenal, berkebangsaan Hungaria, yang dengan mantranya berjudul Liebestraum (Love dream) telah merebut hati saya. Seperti judul lagu yang melegenda ini, begitulah perasaan saya ketika berada di Budapest. Keindahannya yang charmant dan karismatis membuat orang merasa seolah-olah mundur ke satu dua abad sebelum sekarang. Mulai dari gedung Opera yang megah, Cita Della yang bertahta anggun sebagai balkonnya kota Budapest, sampai sungai Danube yang membelah Buda di bukit barat yang terjal dan Pest yang terhampar di dataran timur. Kedua kota itu akhirnya bersatu pada tahun 1873.
Eropa memang benua dengan catatan sejarah terbanyak, bergolak ke sana ke mari hingga tahta dan mahkota berpindah kuasa, hingga teritori-teritori berganti nama, hingga batas-batas geografi bergeser, hingga gedung-gedung kokoh, kolosal nian menawan dari Epoche ke Epoche berikutnya runtuh lalu dibangun kembali… Eropa punya banyak cerita when it comes to games of thrones.

Hanya tidur di pemakaman yang tidak bisa!
Teman saya, Desty, membookingkan pesawat untuk saya. Murah meriah, kalau tidak mana saya mau terbang (Rekor terlama saya berjalan darat tanpa singgah adalah 12 jam 45 menit! Saya masih hidup!!). Sayangnya harus lewat Berlin, sementara saya hidup 4 jam perjalanan mobil dari sana. Kamis, sepulang kerja jam 8 malam saya menumpang Car Sharing yang mempersatukan saya dengan seorang Polandia dalam sebuah gubuk beroda empat. Dia tidak berbicara bahasa-bahasa yang saya bicarakan dan itu bagus, sehingga tidak terasa aneh kalau-kalau keheningan tercipta di antara kami. Saya lelah sudah bekerja seharian, jika ada sesuatu yang saya butuhkan sekarang, itu adalah istirahat di dalam mobil—kalau saya sanggup jatuh tertidur, itu sudah anugerah banget! Pesawat saya terbang besok pagi jam 6! Saya tidak memiliki akomodasi sehingga saya harus tidur di sofa di bandara. Terkadang saya berfantasi tentang tempat-tempat potensial mana lagi yang bisa saya tiduri; taman nasional di Afrika di tengah-tengah suaka singa, di tepi rawa buaya? Maybe? Hanya di taman pemakaman ogah!
 Solo trip= Bebas kompromi, tanpa diskusi
Menjadi sesorang yang „datang dari dunia antah berantah“ itu menarik. Di mata mereka saya adalah orang asing: mereka tidak tahu siapa saya, saya datang dari mana, apa sejarah hidup saya, apa masa lalu saya, apa luka-luka saya, apa yang saya kerjakan, apa kebiasaan aneh saya, apa tujuan hidup saya, dst. Singkat kata masih perawan dari Judgement
Saat solo trip, cerita dibelokkan pada tikungan yang harus kamu lalui seorang diri!  Ironi pribadi saya telah berubah menjadi humor pribadi. Jadi begini, saya itu manusia yang ingin terdengar, tapi bicara lantang ogah. Saya ingin diajak bicara tapi membuka percakapan sungkan. Saya ingin memiliki banyak teman, tetapi saya menemukan kenyamanan di sudut ruangan, saat orang-orang asik ngobrol dan lupa memperhatikan. Saya ingin dihargai, tetapi saya lagi dan lagi menoleransi orang-orang yang paksa masuk ke teritori saya hanya untuk membongkar-bangkir batas kesabaran saya. Saya ingin konsekuen! Saya ingin menjadi determined, menjadi pemain, saya bosan menonton dari balik kaca jendela dan berkomentar. Saya ingin terjun! Meskipun ke air dingin.  Solo Trip memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang suka tantangan, karena mereka beranggapan zona nyaman hanya memberi cukup ruang bagi kreatifitas pake batas.

Private Party
Jadi pada malam itu, Tommy, mengajak saya ke sebuah pesta ulang tahun temannya. Saya senang akhirnya dipertemukan dengan warga lokal. Malam itu lumayan dingin, kami menelusuri jalan-jalan sempit dan gelap untuk „jatuh“ ke dalam lubang bawah tanah itu. Sebuah bar. Kami menuruni tangga dan hangatnya menyapa dalam wajah-wajah berseri yang segera Tommy peluk sambil menyerahkan kado ke dua perempuan kembar yang usianya tidak jauh beda dari kami. Bar unik itu ada di bawah tanah. Tekstur dindingnya yang tidak rata dan atapnya yang rendah, yang juga terbuat dari batu membuat saya merasa hangat-hangat nyaman. Kami dibawa masuk ke ruangan sebelah, ternyata bar itu memiliki bilik lain, yang komplet tertutup, kerapatannya hanya bisa dibuka oleh sebuah pintu. Pada daun pintu tergantung tulisan „Private Party“. Now the story begins… 
Sebelumnya saya sudah diwanti-wanti oleh Tommy bahwa Duo Birthdaygirls menyewa tempat di sebuah bar. Tapi saya pahamnya, mereka menyewa sebuah meja besar di sudut ruangan sebuah bar. Ternyata mereka menyewa seluruh bar! 
Di dalam bilik itu, yang tidak benar-benar bisa disebut bilik juga karena lumayan besar untuk berdansa dan lumayan panjang untuk menaruh DJ Set di sebuah kutub dan 2 meja Kicker di kutub lainnya. Dan di antaranya ada dua meja panjang. Dan yang lebih kerennya lagi, meja-meja kicker itu ditutupi selembar kaca selebar lapangan mainnya, sehingga kamu bisa menaruh bir di atasnya selagi asik menjaga pertahanan atau menjebol gawang lawan.
Ada sekitar 19 orang berkebangsaan Hungaria dan satu orang Indonesia di dalam sana, karena sang Duo Birthdaygirls membawa „gang“ mereka masing-masing. Musik membawa suasana yang sangat positif dan percakapan beralih dari meja panjang itu menuju meja kicker. Bir di tangan. Kami saling berkenalan di antara nada-nada pop nostalgia dari era 90an. Britney Spears sedang beradu dengan Polyphonie saat kami saling mempertemukan gelas-gelas bir di udara. Cherry Beer is a dancer!!  
Kembali ke meja panjang—setelah lelah menyerang dan menjaga gawang di meja Kicker—mempertemukan saya dengan seorang gadis berambut gelap tebal panjang ikal dan mempesona (terimakasih untuk darah Italianya) dalam perbincangan seputar duo tripnya di Jepang bersama Tommy. Bahasa Inggrisnya yang perfek tanpa dialek membuat saya terkagum-kagum dan terpingkal-pingkal karena dia mengeluhkan betapa tidak asiknya nge-trip sama Tommy dengan gaya ala manga namun dikemas dalam sinisme dan sarkasme yang sangat Amerika. Menurut dia Tommy itu harap gampang… saya melihat komen dia tentang Host Couchsurfing saya itu sebagai joke
Seperti yang sudah saya tulis di blog, awal musim panas itu saya sudah solo trip ke Praha— dan saya sangat tidak heran bagaimana saya jatuhnya candu bukan kapok. Saya candu akan mengembangkan batas-batas diri—batas-batas ilusional yang menjebak kita pakai kedok selimut zona nyaman. Solo trip membantu saya membuktikan saya bisa jadi siapa saja yang saya mau, kalau saya mau! 
Saat kue ulang tahun yang bermuatan seton gula sudah dibagi-bagikan, diteguk pakai bir yang ke sekian dan musik menjadi pening dengarnya, Kicker sudah dimainkan sampai receh terakhir dipertaruhkan, puntung rokok nyaris terakhir terhisap, semua ambruk ke kursi di meja panjang dengan wajah lelah. Sejauh ini hanya si gadis manga berambut ikal mempesona yang berbicara dengan saya dalam kalimat-kalimat panjang—saya hampir yakin dia satu-satunya yang berbicara Bahasa Inggris dengan mapan. Lalu seorang pria temannya Tommy menghampiri kursi kami. Tidak berapa lama kami terlibat pembicaraan asik, saya kembali bersemangat dan mencetuskan permainan klasik Truth or Dare. The story began for the second time! Meja kembali ramai, yang lain ikutan main. Dan saya tersenyum dalam hati karena berhasil membangkitkan yang hampir „mati“ dan ini sama sekali bukan diri saya yang biasanya saya kenal. Saya berhasil jadi saya yang saya mau. (Does the sentence make sense?)
At that game people said stuffs they would have regretted the next morning but no one cared because no one would remember anything tommorow— It was the funniest night of my 2018! Saya dedikasikan ucapan terimakasih saya yang tulus kepada kebaikan hati Tommy yang meng-host saya selama dua malam. He ist the best Host in Budapest yang mengajarkan saya trik membawa vodka ke dalam bar secara legal alias tanpa seorang pun tahu. The funniest and dearest man I have ever met 😊 I was lucky to get to know him.

Sudah Tanam Harus Panen, dong!
Solo Trip memang patut dicoba, setidaknya sekali seumur hidup—sejenis sebuah investasi mental. Berikut adalah pembelajaran yang sangat personalized yang saya dapatkan sejauh ini.
1.      Tiba-tiba harus jadi menejer dan sekretaris untuk diri sendiri. Semua tetek bengek logistk: saya yang bertanggung jawab atas tiketnya, bookingnya, keterlambatan ke halte bis, kalau saya melakukan kesalahan atau keteledoran, saya adalah satu-satunya untuk disalahkan. 
2.      Saya bisa menikmati seniman jalanan selama apa pun saya mau. 
3.      Saya belajar bahwa hal-hal indah di dunia ini tidak harus diperoleh melalui pertukaran uang.
4.       Belajar survive: tak-tik siap siaga berkonfrontasi dengan hal-hal spontan. Saya belajar memecahkan masalah seorang diri. Di tepi keberhasilanmu, ada rasa puas dan percaya diri yang  baru dan positif. Boro-boro kasihan diri sendiri, kamu layak dapat applaus!!
5.       Traveling dengan teman/partner, ada kecendrungan untuk malah bertahan dalam kubu itu. Justru karena kita sendiri, mempermudah kontak dengan manusia baru: saya belajar untuk membuka diri secara positif tapi tetap mempertahankan respek satu sama lain. Terlebih bagi yang suka ber-Couchsurfing ria, yang Host nya adalah lawan jenis, saya selalu jaga sikap sedemikian supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
6.       Kebebasan memutuskan hari ini ke mana, apa yang akan saya lakukan, telah membuat saya jadi lebih tahu dan yakin tentang apa dan bagaimana yang saya mau. Bukan itu saja: karena saya sendiri, saya jadi tidak peduli pada penampilan, karena saya tidak harus meng-adjust dengan si Princess atau Prince di sebelah. 
7.       Saya semakin yakin, dengan tema dan topik mana dalam percakapan yang saya suka, begitu juga dengan lawan bicara mana yang membuat waktu saya berkualitas. Saya semakin yakin bahwa saya tidak suka kalau waktu saya dibuat basi oleh percakapan small talk, kan kalau begitu saya tidak perlu keluar negeri!
8.       Ransel saya semakin ringan, dibandingkan dengan Solo Trip pertama! Saya belajar survive dengan hanya satu jaket, satu celana panjang jins, dan tiga biji baju.
9.      Kamu mempersepsi dunia dari sudut yang berbeda dan orisinil, jika kamu traveling seorang diri, karena kamu bisa fokus dan terlepas dari pendapat orang lain. 
10.   Saya belajar untuk menguasai rasa takut. Contohnya takut tersesat: saya siasati dengan bertanya sekeliling. Saya takut terhadap host saya yang laki-laki: saya ajak dia ngobrol untuk membuat dia sadar bahwa saya hanya ingin berteman. Sebenarnya rasa takut ada disebabkan karena kita kurang persiapan, kurang siasat dan kurang kreatif saja sih.

Selamat ber Solo Trip Ria 😊 I am wishing you much much good luck and sunshine 😊

Minggu, 27 Januari 2019

Indonesia: Bhinneka itu fakta, Tunggal Ika itu fiktif

„Sabang sampai Merauke“, bukan  „Jawa Barat sampai Jawa Timur“
Indonesia itu paket jumbo lengkap! Terdiri dari 18.000 pulau, kita memiliki ribuan dan ratusan ras, suku, etnik, bahasa daerah dan dialek yang berbeda-beda. Kenapa paket lengkap? Mulai dari hidung mancung-besar, mancung-ramping sampai pesek-besar, pesek-ramping ada, rambut lurus sampai keriting ada, rahang besar sampai sempit ada, bibir tipis sampai bibir tebal ada, sawo matang sampai setengah matang ada, putih pucat sampai putih langsat ada. Atau kuning langsat. Kulit gelap sampai gelap kopi ada banget.
Kita memang berbeda-beda. Tetapi satu???
Tapi kalian pasti tahu kualitas-kualitas fisik macam apa yang media televisi kita dambakan. Benar, selalu yang itu-itu saja. Saya tidak lihat satu pun pemain FTV yang berasal dari Papua dengan kualitas fisik khas Papua. Kalau pun ada dia akan memainkan peran pelawak yang konyol dan ada di layar kaca hanya untuk jadi bahan tertawaan. Sayang sekali. Padahal Indonesia itu negara kesatuan, tapi kita membiarkan saja televisi kita mengajarkan masyarakat nusantara tentang nilai-nilai yang salah, secara langsung dan tidak langsung—Nilai-nilai yang justru memecah-belahkan kita. Tapi pertanyaan saya: Emang benar kita ini merupakan negara kesatuan? Atau itu idealisme utopis belaka? Karena yang saya amati dalam prakteknya justru berat sebelah!  Berat ke mana? Ke barat lah! Mau ke mana lagi?
Beberapa waktu lalu seorang artis menghina etnik Papua sementara dia sendiri sedang tampil di televisi mengenakan kostum etnis Papua. Ini penyangkalan NKRI atau sekedar kurangnya moral? Saya senang bahwa dia akhirnya mendapat reaksi tegas dari warga Papua yang membuat si artis yang malang minta maaf. Semoga dia sadari apa arti kata martabat, karena yang dia hina itu Papua, setara dengan menghina keseluruhan bangsa Papua. Wow, cukup berani si gadis kecil. Saya senang melihat kasus itu diceploskan oleh mulut seorang artis yang mana kehidupannya selalu jadi sorot kamera, sehingga seluruh Indonesia akhirnya belajar nilai moral lewat layar kaca: etnis lain juga punya martabat, jangan asal ceplos!
Seperti berita yang dimuat oleh BBC Indonesia tentang etnis tertentu yang tidak mendapat kesempatan ngekos di Yogakarta hanya karena mereka berasal dari daerah X, Y, Z.  Menurut kabar angin karena warga lokal menciptakan stereotip tertentu tentang daerah tersebut.  Kalau memang mereka tidak menyukai etnis atau daerah tertentu, apakah mereka memiliki alasan? Kalau memang ada masalah, kenapa tidak diungkapkan? Sampai kapan segala sesuatu harus dikubur? Menunggu busuk? Bukankah kita memiliki UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Enis? Tapi kalau memang warga Yogyakarta merasa benar, ya monggo, aspirasinya. Supaya ke dua belah pihak puas. Itu kan inti dari demokrasi! Yang ada mereka malah mingkem! Kapan datang inisiatif dari politikus? Apakah mereka sebenarnya baca berita? Kok diam saja?
Apa-apa Tabu
Saya melihat sebuah kecenderungan ketika saya mulai angkat bicara tentang tema diskriminasi, orang-orang pada bungkam. Diam. Bertingkah seolah tidak pernah tahu. Tidak pernah dengar, bahkan seolah tidak pernah alami. Biasa, cari aman… Ah, itu mitos! Kata mereka. Saya bisa tilik ini dari perspktif budaya kita: kita masyarakat yang suka menabukan banyak hal. Tabu. Tabu adalah hobi kita. Tabu adalah selimut hangat kita yang melindungi kita dari rasa takut di saat hujan deras, kilat menyambar, guntur bergemuruh. Ya! Masyarakat kita suka dengan kata tabu. Apa-apa tabu. Dikit-dikit tabu. Tabu itu seperti selimut tebal yang memisahkan mereka dari dunia luar, dari dunia fakta dan realita. Supaya mereka tidak usah repot-repot lagi berpikir, supaya otak mereka beristirahat saja yang nyenyak di bawah selimut hangat dan tebal. Dengan kata tabu tiba-tiba apa pun bisa dijelaskan. Tinggal bilang saja, „Eh itu tabu loh!“ Perkara pun dengan demikian selesai, orang tidak tanya lagi, pembicaraan ditutup, diskusi bubar! Kalian mengerti maksud saya? Lama-lama rasanya seperti kata anu. Apa pun itu bisa kamu sebut pakai anu. Anu bisa menggantikan banyak nama, banyak istilah, banyak kata kalau kamu tidak tahu istilah sesuatu atau sedang tidak ingat apa namanya atau misalnya kamu ingin meng-crypto-kan sesuatu, tinggal bilang saja… anu! Kelar! Contoh : „Jangan lupa beli bawang, kecap, merica, sama anu ya!“ Semenjak kamu mengenal kata anu, kamu tidak perlu lagi memiliki ingatan, pengetahuan dan daya pikir yang bagus, karena segala sesuatu bisa kamu jelaskan secara praktis dengan sebuah anu. Sama kayak tabu! 
Anak: „Mama, kenapa seorang ibu bisa hamil?“
Ibu: „Karena sang ayah dan sang ibu melakukan persetubuhan.“
Anak: „Apa itu persetubuhan?“
Ibu: „Jangan tanya itu, itu tabu!“
Anak: ….

Sayang sekali, anak yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar di-hush pakai sebuah kata tabu. Selamat tinggal ilmu pengetahuan! Si ibu lebih suka ada dalam zona selimutnya yang nyaman, cari aman.
Kenapa sih, tabu? Bukankah semakin sesuatu ditabukan, semakin manusia itu kehilangan rasio? Kehilangan minat terhadap rasio, terhadap berpikir. Manusia jadi suka ambil jalan pintas: Ngapain repot-repot mikir apa itu, kan itu tabu! Begitu juga dengan diskriminasi media, sampai kapan kita diam saja dan menolak berpikir kritis? Sampai kapan kita membiarkan televisi membuat kita merasa asing di negeri sendiri? Sampai seluruh warga NTT mem-bonding rambut mereka di salon karena mereka tidak puas diri dan ingin terlihat seperti artis FTV? Karena teleivisi mengajarkan mereka tentang nilai kecantikan yang salah: bahwa rambut lurus adalah kecantikan mutlak sehingga orang-orang berambut keriting merasa low self-esteem lantas menyangkali kenaturalan mereka.
Kearifan lokal tidak berarti membatasi integrasi.
Malah sebaliknya! Justru membuka batas-batas geografi dan etnis supaya kita makin inisiatif menabrakkan diri dengan berbagai budaya agar kita semakin kenal siapa kita. Ada cerita lucu, waktu saya masih di Indonesia teman-teman saya bahkan mantan pacar saya yang berkebangsaan luar negeri bilang bahwa saya sangat tidak indo. Mereka melihat pola pikir saya yang kritis dan keberanian saya bicara sehingga mereka bilang begitu, sampai saya pun akhirnya percaya. Lantas 4 tahun yang lalu saya merantau ke Jerman dan bertubruk-tabrak budaya dengan warga dunia, membuat saya melihat betapa Indonesianya saya! Dari situ saya mulai melihat dan menimang, pengamatan saya bertahun-tahun di bidang budaya akhirnya terjawab. Saya akhirnya tahu kenapa orang Asia atau Indonesia menyandang gelar tertentu oleh orang barat. 
Itu tadi, kearifan lokal tidak berarti kita lantas hanya mau menerima yang sedaerah atau serupa dan sewarna saja, melainkan proses penimbahan pengetahuan lewat cross-culture supaya kita melihat budaya secara objektif. Supaya kita tidak pikir budaya kitalah atau etnis kitalah atau warna kulit kitalah yang piling benar, baik, atau bagus.  
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Ketika kuliah di Yogyakarta saya dan teman-teman NTT saya sering ditertawai karena logat dan dialek kami. Mana lagi kami tidak bisa melafalkan bunyi e, karena kami hanya bisa é ala NTT. Ketika kami bicara dengan orang Jawa, kami tidak menertawai logat mereka karena kami sudah sering dengar dari TV. Logat itu sudah tidak asing lagi bagi kami sehingga kami bahkan merasa akrab dan justru aneh untuk menertawai dialek daerah mereka. Saya memetik sebuah pola di sini: tak kenal maka tak sayang. Teman-teman Jawa kami ini belum pernah nonton orang NTT berbicara di TV, sehingga sekalinya kami buka mulut mereka merasa aneh. Kalau pun di TV ada orang Indonesia Timur tampil, dia selalu kebagian peran pelawak, seolah media mau bilang, itu sudah lumrah untuk menertawakan logat kami.  
Sesuatu yang kita tidak kenal namanya asing. Asing sering kita rasakan sebagai janggal. Kejanggalan kadang menggelitik kita untuk menertawakan atau mengejek bahkan merendahkan. Saya tidak heran, Indonesia itu terdiri dari sekian banyak pulau jadi orang-orang cenderung hanya bergaul dengan manusia sejenisnya saja yang sesama pulau atau sesama daerah. Pertukaran budaya itu belum masuk negara kita, sodara-sodara. Kita ini hitungannya masih ndeso, kita tidak masuk hitungan warga dunia, melainkan warga pulau. Karena yang kita kenal itu-itu saja.
Si artis tadi yang saya ceritakan di atas, terdengar seperti tidak punya teman atau kenalan orang Papua, sehingga gampang saja dia ceploskan itu. Tanpa beban. 
Saya memiliki teman dari berbagai pulau, berbagai wana kulit dan agama, yang saya kenal baik secara pribadi. Tidak pantas rasanya saya mengejek seseorang yang berlogat batak (ambil contoh), karena saya benar-benar punya teman orang batak dan logat dia sudah akrab di telinga saya. Jadi mau asing apanya lagi? Mau lucu apa lagi? Mau hina apanya lagi? Dia teman saya, saya kenal dia beserta kebatakannya itu. Dan saya rasa itu cool untuk stay cool: saya bicara logat NTT, dia jawab pakai logat Batak.  Itulah inti NKRI! Bhinneka tunggal ika! Kalau ada yang menertawakan dan mengejek logat dan dialek daerah seseorang hanya karena itu terdengar asing di telinganya, kalian tahu  dia itu apa: ndeso. Pengejekan itu bahkan penyangkalan akan arti Indonesia Raya: Bagi dia Indnesia itu bukan Sabang sampai Merauke, melainkan rumah saya, rumah nenek saya, rumah tetanga saya. Titik. 

Sampai kapan kita mau cuci tangan? 
Saya anak perantau dari Pulau Timor, selama 13 tahun terakhir ini saya hidup dalam „pengasingan“. Saya melewati 9 tahun sekolah-kuliah-kerja-hidup di beberapa pulau, beberapa propinsi di Indonesia dan bersimpang siur dengan banyak  warga lokal dan perantau dari berbagai pelosok Tanah Air.  Saya melihat, mendengar, merasakan dan mengalami diskriminasi hampir setiap hari dalam 9 tahun itu. Entah itu karena jeis kelamin saya, daerah asal saya, etnik saya, rupa dan tinggi tubuh-wajah saya, agama saya, bahasa daerah dan dialek saya, sampai ke adat budaya saya! 
Sampai kapan kita mau cuci tangan? Sampai kapan kita balik punggung? Keluarlah dari selimut tabu dan bicarakan hal-hal yang sudah layak dikeluarkan dari koper berdebu dan dibilas pakai ilmu pengetahuan lewat diskusi terbuka. Dan itulah alasan saya menulis artikel ini. Saya bisa rasakan itu: orang-orang diam saja dengan tema ini, memangnya kalian nyaman berendam dalam kubangan diskriminasi? Jaman sudah  berganti dan jikalau kita mau keluar dari selimut tabu kita itu tadi, sebenarnya ada banyak literatur tentang ilmu pengetahuan yang bisa kita baca. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan kecuali eksistensi supra: Tuhan. Sayang kalau kita membungkus ilmu pengetahuan pakai karung tabu lalu dikubur supaya orang tidak tahu. Kasihan! Kapan generasi kita maju kalau kita hanya mingkem-mingkem manis di balik lipstik?
Peran Guru
Di sekolah-sekolah di Indonesia diajarkan PPKN, tetapi melulu yang muncul di soal ulangan: 
Kalau kalian melihat seorang nenek tua ingin menyeberangi jalanan, apa yang kalian lakukan sebagai anak yang berbudi pekerti?
a.      Membiarkan saja si nenek menyeberang sendiri
b.      Menawarkan bantuan kepada si nenek untuk dituntun ke seberang jalan
c.       A dan C salah.

ALAMAK! Pengetahuan tinggallah jadi sejarah jika ia kehilangan aktualitasnya! Seharusnya soal PPKN berbunyi begini,
Di kelas Ani ada siswa baru dari NTT. Dia berbicara dengan dialek daerahnya yang sangat khas. Ketika dia memperkenalkan diri di kelas siswa-siswa menertawakan. Yang harus Ani lakukan sebagai anak yang berbudi pekerti adalah?
            a.      Membiarkan saja teman-temannya menertawakan.
b.      Ikut tertawa.
c.     Menegur teman-temannya karena itu salah. Kita harus belajar saling menghargai.