Kamis, 20 Juni 2019

Big Magic: Elizabeth Gilbert

People already have a strange trust in their devils.“ Ini adalah kutipan favorit saya dari buku Big Magic karya penulis best seller,  Elizabeth Gilbert. Siapa ingin tahu trik-trik untuk menjadi kreativ, jangan baca buku ini setengah hati, karena menurut Gilbert tidak ada mantra-mantra untuk menjadi kreativ, menjadi kreator. 
Buku terbitan 2015 ini bukanlah sebuah novel atau roman, tetapi juga bukan sebuah buku ilmiah. Jangan heran kalau Gilbert banyak bercerita anekdot pribadi maupun anekdot orang lain, mulai dari yang tokoh kuncara sampai yang hanya dikenal oleh Gilbert pribadi. Gaya penceritaannya pun jadi bertele-tele dan repetitif. Namun saya pribadi tidak terganggu oleh itu, karena setiap kali dia mengulang topik yang sama dengan gaya bahasa dan becerita yang berbeda, saya merasa dipinjamkan lensa baru. Saya akhirnya melihat sebuah bidang yang sama dengan sudut teropong yang berbeda-beda dan ini memperkaya dimensi berpikir saya  dan intensitas saya memandang sesuatu. 
Big Magic diimplisitkan dalam beberapa keping puzzle: Keberanian; Pesona;  Ijin;  Ketekunan; Kepercayaan; dan Transedensi. (Saya sengaja sebut keping puzzle karena tanpa salah satu keping, Big Magic belum memiliki konstruksi yang utuh.) 
Gilbert percaya bahwa jagad raya sudah mengatur sebuah permainan dengan setiap insan di bumi. Nama permainan itu adalah: Temukan Batu Permata Dalam Dirimu! 

„Jauh di dalam diri kita semua, sang Jagad Raya menyembunyikan batu-batu permata yang masih belum diketahui lantas dia berjalan mundur selangkah untuk melihat apakah kita dapat menemukan permata-permata itu.“ tulis Gilbert.  Perburuan untuk mencari perhiasan itu – itulah yang disebut kehidupan kreatif. Keberanian  untuk pergi berburu permata itu saja sudah membedakan kehidupan yang biasa dari kehidupan yang lebih ajaib. Hasil yang sering mengejutkan dari perburuan ini adalah apa yang saya sebut sebagai Big Magic.“


Buku ini bukanlah jalan pintas untuk menjadi sekreatif Leonardo DaVinci atau se-magic J.K. Rowling.  Kebanyakan isi buku ini adalah rampungan kreatif Gilbert sendiri, sangat autentis dan memang konsep penuturannya tidak mau sama dengan desertasi doktorat. Sekalipun begitu banyak kata-katanya yang klik dengan pengamatan dan pengalaman pribadi saya.   Dalam kapitel Keberanian misalnya, Gilbert ingin berbagi tentang bagaimana rasa takut telah menyihir jiwa kreatifnya menjadi tidak berdaya seperti berudu yang tidak bisa berpikir; tidak bisa menyanyi; tidak bisa menulis cerita; apalagi melukis, tetapi ada satu yang dia paling bisa: berenang terbirit-birit karena ketakutaan begitu ada  bayangan melintas di atas air. Gilbert tahu persis, keberanian adalah inang bagi rasa penasaran. Dan ketakutan adalah eutanasia untuk kreatifitas. Zona nyaman adalah a big no go untuk  kehidupan yang kreatif.
Bagian favorit saya dalam klimaks kapitel ini adalah ketika Gilbert memberi saran untuk memberi rasa takut kita sebuah ruang untuk bernapas.  Jadi membunuh rasa takut juga sebenarnya bukan solusi yang sehat. Karena rasa takut muncul sebagai mekanisme untuk bertahan hidup.
Kapitel Ketekunan meminjamkan pengalaman pribadi Gilbert dalam karier menulisnya. Dia bercerita tentang bagaimana berhadapan dengan masalah finansial dan penerbit. Pemikiran cemerlang Gilbert di mata saya adalah ketika dia menegaskan: kehidupan kreatifmu tidak bertanggung jawab untuk memberi makan perutmu. Kamulah yang justru bertanggung jawab untuk mengongkos kreatifitasmu. Cerita ini terinspirasi dari pengamatan Gilbert terhadap banyak seniman yang depresi dan jadi gelandangan karena tulisan/lukisan/lagu mereka tidak cukup laku untuk membayar uang kos dan warteg. Gilbert mengaku (sama seperti J.K. Rowling yang menulis Harry Potter di saat istirahat kerjanya) masih memiliki pekerjaan tetap saat sudah jadi penulis karena dia tidak ingin membebani hobi menulisnya dengan  rekening-rekeningnya. 
Sekali lagi saya tegaskan, buku ini bukanlah Handbook, melainkan lebih ke arah self-help. Membaca buku ini jangan berharap akan menemukan instruksi bagaimana menjadi penulis yang sukses, melainkan bagaimana kamu memandang kreativitas dalam skala yang holistik. Menyeluruh. Jika kita mau menelaah maksud implisit sang penulis, kita justru akan dibuat terpesona oleh inspirasinya. Jangan baca buku ini kalau punya mental harap gampang: Gilbert tidak memberi kita ikan karena kita lapar, melainkan memberi pancing dan mata kail.

Selamat membaca.


Kamis, 13 Juni 2019

Bulu Perut Cuek Ajah

Jangan-Jangan Punya Penis?

Ingatkah kalian ketika kita dulu masih kecil, di mana yang kita tahu hanyalah bermain dan hidup dalam kenaivan ala anak-anak yang menyenangkan? Semua kita, asal-muasalnya, bahkan tidak tahu apa jenis kelamin kita hingga usia tertentu di mana orang-orang di sekeliling kita mulai mewanti-wanti, „Kamu itu anak perempuan, jangan begini, jangan begitu!“ Atau „Kamu itu laki-laki, harusnya begini dan begitu!“ Dari situlah si anak, secara sadar, belajar MENJADI perempuan atau MENJADI laki-laki. Hal yang sama terjadi dalam perkembangan si anak selanjutnya. Termasuk ini: kita jadi tahu dari sekitar kita bahwa yang boleh banyak bulu itu hanyalah laki-laki. Saya bahkan waktu kecil tidak tahu bahwa saya banyak bulu—lebih tepatnya saya tidak perhatikan dan tidak peduli. Saya JADI perhatikan dan peduli karena itu disebut-sebut terus oleh orang-orang sekitar saya. Seolah itu momok yang menarik perhatian mereka, yang tidak akan mereka biarkan lolos dari topik pembicaraan. Berapa lama kemudian saya rasa bulu-bulu saya telah berubah menjadi SATU-SATUnya yang menarik perhatian orang-orang itu dari penampilan fisik luar saya. Sementara saya tidak ingin diperhatikan hanya karena saya berbulu. Hey, saya tidak hanya terdiri dari bulu-bulu. Setiap kali saya diajak bicara tentang bulu-bulu badan saya tanpa dasar obrolan yang jelas, saya selalu membatin, sebegitu pentingnyakah bulu saya bagi Anda?

Bulu badan adalah tema yang lumayan esensial di antara kaum hawa. Saya sendiri adalah orang paling berbulu dengan jumlah yang cukup menarik perhatian. Bulu-bulu badan saya tersebar secara merata dan berdomisili di setiap sentimeter kulit saya. Saya „sempat“ kewalahan dibuatnya. „Sempat“ yang saya maksudkan dalam kasus ini tidak terjadi suatu hari dan berakhir pada hari berikutnya, namun terjadi dalam rentang waktu hampir dua puluh tahun.

Tumbuhnya Subur Tanpa Pupuk
Saya cukur, tumbuhnya kasar. Saya cabut, tumbuhnya bengkok. Mau waxing, sayang duit. Kalau saya biarkan saja, nanti bulu-bulu saya sedot unnecessary public attention lagi. Pakai baju yang buka perut tidak bisa, yang buka bahu tidak bisa, lengan pendek tidak bisa, habisnya di mana-mana berbulu sih. Aaargh, saya lumayan dibuat repot memikirkan itu. Pasalnya kalau ingin total bebas bulu dan kinclong ala cacing tanah, saya harus banting sekarung duit.

Beberapa waktu lalu saya akhirnya mengutarakan keisengan saya yang banal ke teman-teman kerja saya:  saya ingin memiliki piercing di pusat. Ya, di perut. Mereka lantas ingin lihat perut saya (mereka cukup normal?), saya angkat kaos polo kerja saya, „Kau mungkin seharusnya waxing bulu-bulu itu. Musim panas begini keren kalau pakai Crop Top dan tindik di pusat.“ Kalimat pertama mereka. Saya tidak kaget!!!

Ide piercing ini sudah datang beberapa bulan yang lalu dan saya anggap enteng karena saya pikir itu ide banal yang saking banalnya akan sirna kapan-kapan; saya akan melupakannya dan menganggapnya tidak pernah singgah di kepala. Setengah tahun kemudian saya masih menginginkan piercing itu di pusar saya, hingga saya menyerah, berpikir: Oke Ide, mungkin kita berjodoh. Dan saya berjanji, seperti yang sudah saya lakukan beberapa tahun belakangan ini, tidak akan mencukur hanya untuk menyenangkan mata orang lain, karena jujur saja saya nyaman berada dan bertumbuh dalam tubuh berbulu ini. Kami adalah satu paket lengkap yang bahagia.

Malu vs. Keep Rockin
Berbulu diidentikan dengan kejantanan. Terlalu jantan untuk seorang perempuan bisa bersinonim tidak cantik. Sebanyak kaum adam membahas mesin dan sepak bola, sesering itu juga kaum hawa membahas metode „memperempuankan“ badan berbulu. Mulai dari krim yang menjanjikan tumpas sampai tuntas, cukur, cabut pakai benang, waxing pakai gula sampai laser yang mahal namun menjanjikan keabadian. Tapi saya lelah. Asli. Saya lelah merasa asing dalam tubuh sendiri, saya lelah memandang perempuan lain sebagai impian sementara diri sendiri sebagai kenyataan yang gagal. Saya lelah  „menghukum“ diri sendiri dengan rasa kurang indah, kurang cantik, kurang ideal, kurang mancung, kurang putih, kurang ABCD…. Kalau kita terlahir kurang satu tangan, atau satu ginjal, atau satu lubang hidung, itu bisa jadi kendala. Tapi saya, puji Tuhan, terlahir lengkap. Apa salah tubuh ini? Tanpa tubuh ini saya hanyalah jiwa yang melayang-layang tanpa merasakan kehidupan. Sudah dikasi gratis tidak tahu bersyukur. Come on, rock them hair, boo!