Senin, 25 Juni 2012

Galau


Jogja, 00.29, 17 juni 2012


Kepalaku mengapung-ngapung ke titik terbodoh sampai aku tak tahu lagi sedang apa aku di sini. Aku hampir tak bisa membedakan mana logika, mana perasaan sementara. Kuangkat telepon dan mendial kontaknya. Pada bunyi ke tiga ada yang mengangkatnya. Kumatikan tanpa menunggu suara halo dari sana. Musik masih meraung keras dari speakerku menemani hape yang terpelanting ke atas bantal. Rambutku terurai di balik cahaya 5 watt lampu kamarku. Sekepul asap sarat nikotin merasuki helai-helainya hingga harumnya sewangi tembakau kretek. Aku memang pemberontak, tapi yang berotak, aku mengingatkan diriku seperti itu berkali-kali agar aku tak keluar dari garis prinsip.


Aku yakin, sebentar lagi ibu kos akan datang menggedor-gedor pintu kamarku. Atau yang lebih ekstrim, ia mengajak serta pak RT. Kuharap ia mengerti arti kata GALAU.


Aku menggerakkan kursor, mencari lagu itu. Lagu yang bisa mengalahkan teriakan bertenaga nuklir di otak kiriku. Atau lagu yang bisa mengingatkan aku akan kenangan bersama orang itu yang sepenggal-sepenggal liriknya masih terekam di otak kananku.


Tapi di atas semua itu, yang paling ingin kucari saat ini adalah logikaku yang meleleh seiring waktu.


Garis yang dialiri darah itu memudar. Anehnya, lama-lama aku malah merasa sebagai yang bersalah. Ketika itulah aku menyadari perasaan ini hanya sementara. Perasaan yang hanya datang di tengah malam sepi dan sialan seperti ini. Besok pagi, aku yakin, hatiku yang angkuh dan tengkukku yang tegar akan berseru “Memangnya itu salahku?”


Jauh di suatu tempat dalam keyakinanku, aku masih percaya semua manusia akan diampuni pada hari pengampunan.