Minggu, 29 April 2012

Karena Kau hidup

Segumpal rasa menari binal dalam dadaku
Karena itu aku masih di sini
Dan waktu tertawa keras
Ia merasa selalu menang
Dan sebagian orang percaya itu
Tanyalah padanya, ia tahu segalanya
Dan kau pun menunggu
Sebagai harga yang kaubayar
Wahai Fortuna, ku bukan anak kecil lagi!

Aku dan semua ambisi
Hanyut dalam berjuta emosi
Wah, kini aku merasa manusiawi
Udara dan cahaya tetap berbagi
Itulah nafas abadi
Hanya untuk mereka yang bukan mati
Waktu dan nadiku saling mengisi
Walau kutahu di kemudian hari
Umurku berakhir dalam kekekalannya
Apa yang membuat ia tertawa lebih keras lagi?


Pena


Kuletakkan pena di antara jariku
Kubiarkan ia membawaku
Ke mana pun ia mau
Kuperhatikan ia bercerita
Sepanjang kisah yang ia tahu
Dari keenam indra yang ia miliki
Tak ada yang cacat
Ia pun bicara
Dalam bahasa yang sangat kukenal
Dan kami tak butuh suara
Hanya tinta
Kukagumi ia menari
Tarian yang mengalkisahkan hati
Betapa tak akan ada yang bisa
Menarikannya selain penaku

Nanti

Nanti bisa setelah ini
Nanti bisa kapan-kapan lagi
Nanti bisa tahun, nanti bisa hari
Nanti memang tak pasti
Seperti yang hidup berakhir mati
Nanti tak akan lari
Nanti pasti terjadi
Nanti bikin hati-hati
Nanti bikin lupa diri
Nanti bikin tak sabar hati
Walau menanti, bukan berarti berhenti
Karena nanti punya sejuta arti
Nanti bisa mungkin, Nanti bisa yakin
Padahal nanti tanpa garansi
Yang pasti nanti bukan saat ini

Si Cantik dalam Keterasingan


Ia berusaha menghiasi rumah itu
Apa daya, ia hanya tumbuhan liar
Tempatnya di luar pagar
Bersama kelompoknya yang terbuang
Dan ia terlalu kecil, pula terasing
Untuk dunia yang terlalu besar, pula ramai
Betapa cantiknya ia, pikirnya
Lalu datanglah ia
Dicengkeramnya kelopak-kelopaknya
Instingnya berkata, di dasar sanalah
Sumber keindahan, asal kepuasan
Diteguknya sari bunga liar
Warna-warni nektar
Dan harumnya yang tajam
Hanya penyamaran
Kini Ia benar-benar mabuk kepayang
Mungkin besok ia mati
Tapi cintanya abadi

Selasa, 24 April 2012

Sang Pemimpi

Part I

Pagi di mana aku terbangun pada tanggal 17 Maret 2012, aku dalam keadaan linglung dan belum menyadari sepenuhnya bahwa aku genap berusia 21 tahun hari ini. Semalam aku jatuh tertidur sebelum jam 12, sama sekali tak ada keinginan untuk melewati detik-detik pergantian umur seperti yang akan dilakukan oleh semua orang lainnya. Meskipun tidak begitu berniat, tapi aku tetap harus mengecek hape. Beberapa sms sudah masuk dari jam 12 malam tadi. Tugas berikutnya adalah membalas sms mereka, mengucapkan terima kasih.

Menjelang siang, seorang sahabat SMA menelponku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Kami sempat ngobrol selama satu jam. Namun aku tak berkonsentrasi dengan apa yang kami obrolkan karena entah ke mana perginya pikiranku. Hari ini rasanya begitu biasa, sampai aku merasa tak punya alasan untuk bersemangat. Seolah tak ada yang kunantikan....

Hari ini rasanya tak berbeda dari hari-hari kemarin. Aku maklum, mungkin karena aku sudah beranjak tua, the fire was gone. Masih kuingat, hari-hari menjelang usiaku yang ke 17, aku bertanya-tanya dalam hati “Hei, Mona, usiamu sebentar lagi 17. Sudah siapkah dengan angka itu?” Sweetseventeen, julukan yang klasik. Dan ketika aku hampir menyentuh angka 18, aku benar-benar gelisah bahwa aku sudah hampir menanggalkan mahkota kesombongan masa remajaku. Tapi bedanya, saat itu ada sahabat-sahabatku di asrama yang memberiku surprise yang menakjubkan sehingga rasa takutku sirna sudah. Malam saat aku berusia 19, aku mendapat dukungan yang sama dan betapa bergejolaknya aku dengan angka 19 itu. Rasanya ingin kembali ke tahun-tahun sebelumnya sekaligus penasaran dengan apa yang akan kuhadapi di usia itu. Sedangkan malam menuju usiaku yang ke 20, aku tak bisa tidur, aku ingin sekali difoto banyak-banyak sebelum melepas angka 19 karena aku tidak rela melepas kata “belas” itu dari ejaan usiaku. Aku takut aku tak bisa ketawa ngakak lagi seperti Mona yang khas, aku takut aku tak bisa pelesir semauku lagi seperti Mona yang selalu penuh energi, aku bahkan takut kehilangan selera humor! Kini aku kepala dua!!! Tak bisa kupercaya itu! Paginya aku langsung menyerbu cermin besar di kamarku dan meneliti senti demi senti wajahku, adakah keriput menggerogotinya.

Tapi pagi ini?

Nothing.

Wow! Aku 21 tahun!!! Aku mencoba untuk berteriak begitu dalam hati tapi tak terasa apa-apa. Aku hanya akan membodohi diriku sendiri.

Tak ada keinginan sedikit pun untuk membuka Facebook. Tak ada rasa kepengen sekalipun untuk bertemu siapa-siapa ataupun dihubungi lewat hape. Aku hanya berkeliaran di kamar, mondar ke kanan, mandir ke kiri, lalu ketika capek, aku duduk dan mulai mengetik cerita di laptop. Aku tak punya mood untuk meniup lilin (tapi toh ujung-ujungnya kulakukan juga karena sahabatku ulang tahunnya juga berdekatan denganku jadi kami sepakat untuk merayakannya bersama-sama), aku tak kepingin memotong kue atau merasa siap untuk sebuah surprise konyol dari entah siapa salah satu temanku.

Aku sedang berada di kamarku, mengetik tulisan yang berjudul “Mata Kuliah DSV Tuh Sesuatu Banget Deh”. Di saat aku sedang asyik-asyiknya terbawa alur cerita, tiba-tiba ada sms masuk. Nomor baru. Ucapannya begini:

Bayi mungil yang berbulu mata lentik itu kini telah menjadi gadis remaja yang cakep dan cukup pandai. Dua puluh satu tahun lalu kelahirannya diberitahu lewat mimpi bahwa ia adalah bayi perempuan dan lahir pada hari minggu. Selamat ultah anakku, kudoakan perlindungan dan kesuksesanmu setiap waktu. Makasih, mama Oesao.

Aku mengerutkan kening saat membaca kalimat pertama. Siapa ini yang membawa-bawa nama bulu mataku? Dan ia tahu aku lahir diberitahukan lewat mim... Astaga!! Tak kusangka-sangka, ternyata itu Mama. Aku langsung menyadarinya sebelum sampai ke kalimat terakhir. Aku pun langsung berjatuhan air mata, berikut backsound huhuhuhuhu. (ini tangisan haru, bukan air mata cengeng) Biasanya aku tidak menangis dengan suara, tetapi kali ini aku sudah tak tahan lagi (dan ternyata seperti inilah suaraku kalau menangis : sangat jelek!). Tiga tahun sudah aku terpisah laut ribuan kilometer jauhnya dari keluarga. Aku sampai tak tahu harus berkata apa, hanya menangis dan melontarkan apa pun yang muncul di kepalaku (benar-benar tak adanya gejala kedewasaan). Lalu sahabatku yang ulang tahunnya akan dirayakan bersama-sama denganku itu datang dan menenangkan aku. Terima kasih, sahabat. Aku tak tahu bagaimana jadinya kalau aku seorang diri di sini.

 

 

 

 Part II

Aku bisa melihat kebaikan di depan sana, menantiku. Aku bisa merasakan cahaya berjalan bukan dalam kecepatan cahaya yang 300 ribu km per sekon itu, tapi ia berjalan perlahan, tahap demi tahap, hari demi hari, ketika matahai terbit dan terbenam. Aku bisa merasakan ia ingin menyentuhku, dan aku mendengarkan ia selalu memanggilku. Aku bahkan bisa mencium aromanya menari-nari di kejauhan.

Call me a dreamer.

Seorang pemimpi memejamkan mata dan membayangkan. Tetapi sang pemimpi sejati, dalam keadaan mata terbuka pun bisa melihat kejadian-kejadian terjadi di depan matanya padahal orang lain tak melihat apa-apa di sana. Baginya sejarah bukan hanya diukir dari masa lalu, tapi juga dari masa depan. Sang pemimpi melihat harapan, bukan kepasrahan. Ia tak ingin menjadi baik, tapi ia berusaha menjadi yang terbaik. Ia tak hanya hidup untuk hari ini. Ia meletakkan kepercayaannya pada hari esok.

Tak ada orang yang mengharapkan bermimpi yang buruk dalam hidupnya. Bukannya ia ingin mengesampingkan bagian hidup yang kelabu dan pahit. Sang Pemimpi tak hidup dalam hitam atau dalam putih. Ia menikmati tangisannya dan merayakan air matanya.

Twenty one. Begitu kuucapkan, yang terpikirkan hanya satu. Freedom. Kurasa kata itu begitu menunjukkan sisi maskulinku dan dreamer adalah kembarannya yang berjenis kelamin feminin. Mungkin karena aku terlalu teringat filmnya Jim Sturgess tentang pengalaman besar yang ia alami saat memasuki usia 21. Entah apa yang akan kualami di usia ini. Aku khawatir 80% tanggung jawab dan 20% hiburan. Tapi ini aku. Dua puluh satu  tahun aku ditempa untuk ini. Dua puluh satu  tahun aku dididik untuk mandiri.

Someday. Adalah kata yang selalu dia ucapkan. Mimpi identik dengan percaya. Dan harapan. Ia percaya dan berharap suatu hari nanti semua mimpinya menjelma nyata....

Apa yang ia impikan? Kebebasan, kemenangan, kebahagiaan, ketenangan dalam setiap napas kehidupannya. Dia, Sang Pemimpi, di atas semua yang ia impikan itu, satu yang paling penting : kehidupan sebagai ruang terjadinya semua kebebasan dan kemenangan bahkan kekalahan, supaya ia bisa menikmati tangisannya dan merayakan air matanya.

Meskipun ia seorang pemimpi, lebih dari semua itu, ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.

 

 

 

Part III

Hari ini aku bangun sekitar jam delapanan. Bukannya mandi atau membenahi kamarku yang tersiram ke mana-mana, aku malah membuka laptop dan menyetel lagu John Lennon Dreamer. Beberapa hari terakhir ini hanya lagu ini yang kudengarkan. Hanya lagu ini yang tahu caranya membuatku merasa masih ingin mendengarkan musik, terlebih ketika John menyanyikan “You may say i’m a dreamer...”. Untuk saat ini aku tak ingin mendengarkan We Found Love atau The Worst Hangover Ever atau Sweet Child O’mine, bahkan Kiss Me-nya Avril Lavigne. Karena hanya kosakata dreamer yang menempel di kepalaku.

Berbeda ‘soundtrack’. Ketika aku memasuki usia 20, tahun lalu, yang kudengarkan hanya Michelle Branch, Goodbye to You. Bukan liriknya yang kuperhatikan, tetapi video klipnya yang mengesankan : si Michelle Branch mengemudi menyusuri jalanan yang diapit hutan, sendiri, dengan mobilnya dan ia tampak begitu menikmati pemandangan hijau itu dan cahaya matahari yang menerobosinya. Apa yang dilakukan Michelle dalam video klip itu sangat identik dengan diriku. Ke mana-mana ia membawa ikan dalam botol kecil (tahun 2010, saat Jogja hujan debu, aku menghindar ke Malang dan membawa serta Princess Lorette dalam botol Cointreau dalam perjalanan bis 10 jam). Ada juga adegan ia menjadikan cincin sebagai liontin kalungnya (aku sangat tertarik dan sempat menirunya, bahkan aku memakai kalung itu saat meniup lilin ke 21-ku malam ini). Juga ada adegan di mana temannya menuliskan kata dreamer ke jari telunjuk Michelle. Itu yang tak bisa kulupakan. (aku selalu melakukan hal yang sama di tanganku dengan tinta pulpen setiap kali dosen mengajar di depan kelas.)

Umur baru terjadi setahun sekali, tapi umur seorang manusia juga ada babaknya, seperti drama. Babak itu berganti dalam rentang beberapa tahun. Misalnya babak anak-anak, babak puber atau pra-remaja, babak remaja, pra-dewasa, dewasa, dst (Namun menurut Raditya Dika, ada terselip satu gejala babak di antara remaja dan Pra dewasa, yaitu alay.) Seperti itulah mungkin kalau dibandingkan denganku. Aku selalu punya soundtrack saat memasuki babak baru. Waktu hampir memasuki 18, yang kudengarkan hanya Britney Spears I’m Not A Girl Not Yet A Woman. Terlebih di saat Britney mengucapkan “I’m not a girl, don’t tell me what to believe. Not yet a woman: I’m just tryin’ to find the woman in me. All i need is time, a moment that is mine, while i’m in between.” Itu benar-benar mewakili diriku saat itu. Mendengarkan lagu itu tak terlepas dengan membayangkan vodeo klipnya. Berhubung lagunya itu adalah soundtrack film Crossroads, maka ada sisipan adegan di mana Britney dan kedua sahabatnya mengendarai mobil yang sama cepernya seperti mobil Michelle, menyusuri jalanan panjang. Hanya bedanya, mobil Britney tanpa top-roof dan bukan di hutan, melainkan di padang pasir. Aslinya video itu hanya berisi Britney di atas Grand Canyon yang membuatku waktu SMP selalu melarikan diri ke Gunung Golkar saat aku ingin sendiri.

Bagaimana pun juga adegan dalam video klip Britney dan Michelle menginspirasiku mengadakan perjalanan solo menyusuri jalan negara yang panjang, lebar, dan sepi dengan mobil ceper yang sama.

Hanya aku. Dan mungkin seekor ikan mungil.