Selasa, 27 September 2016

following, liking, adding, subscribing, stalking


 Sadar tidak sadar, internet telah meningkatkan angka penderita HIV/AIDS di dunia. Konon maraknya jumlah website/aplikasi smartphone untuk online dating adalah sebabnya.

Sadar tidak sadar, hidup kita diambil alih oleh internet. Mulai dari arus informasi, tekanan industri, bahkan sampai jumlah penduduk. Bagaimana tidak? Tetangga saya mau tahu saya sedang ngapain saja, bukannya mengirim saya sms/pesan online menanyakan kabar, malah men-stalking di Facebook. Ibu-ibu rumah tangga bukannya buka lapak di pasar, bakul lapaknya dijejer di internet. Jika industri naik, angka kelahiran menurun. Itu hukum alam jaman sekarang, teman.

Internet menyita banyak waktu manusia. Manusia sendiri merasa waktunya disita internet? Kelihatannya tidak. Mereka dengan suka rela membuka akun di sana-sini, bahkan rela membayar untuk akses-akses tertentu.

Saya suka miris jika sedang di kereta atau di taman, melihat sepasang kekasih duduk bersebelahan tapi tertunduk menatap layar di ganggaman tangannya masing-masing. Tiada kata. Tanpa percakapan. Kontak mata? Jika si kekasih bilang, “Eh sayang, lihat deh ini postingannya lucu banget kan?” Pacarnya menoleh, tapi yang dilihat toh si layar smartphone juga…

Rasa-rasanya manusia seperti ini adalah makhluk setengah-setengah: setengah hidup di dunia nyata, setengahnya maya. Jadi kayak pintu Doraemon begitu: masuk dimensi lain, keluar lagi, masuk lagi…

Banyak memang manfaat internet. Contohnya saya bisa tinggal dan mengenyam pendidikan di Jerman berkat kekreatifan saya menggunakan internet. Saya tidak bilang berkat internet loh… Toh banyak orang menggunakan internet dengan jumlah giga bite yang bombastis tapi di mana mereka sekarang?

Di rumah, di atas kasur, men-stalking instagram Kendal Jenner.

***
Bicara tentang stalking, bicara tentang media sosial. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, dkk. Aturan main di sana memang: tunjuk pamerreaksi publikrepeat. Teman Facebook saya makan es cendol saja difoto dan diupload di Facebook, dapat like dari pemirsa. Besoknya dia foto lagi menu makan serba murah dari KFC— yang dia beli dari uang jajan terakhirnya (barangkali). Siklus ini (tunjuk pamerreaksi publikrepeat), herannya, tidak membuat mereka jengah. Boro-boro sadar kalau mereka sedang pasif!

Kata kolega saya, “Orang-orang begitu memang tidak punya hobi.”

Saya akhirnya jadi membenarkan hipotesis dia. Jika “semua” bisa diakses dari smartphone mungil, siapa lagi yang mau repot-repot memiliki hobi. Siapa yang hari gini masih melukis atau menggambar dengan mengandalkan imajinasi dan keaslian karyanya? Ngapain mikirin inspirasi dari dunia nyata, jika bisa saya tiru dari gambar-gambar di Google?

Hidup di jaman following, liking, adding, subscribing, stalking, lama-kelamaan saya merasakan kekeringan jiwa orang-orang di seputaran bumi ini beredar. Internet memang gratis, tapi justru kegratisan ini seperti membeliputus jiwa-jiwa manusia.

Blackberry messenger adalah sebuah media sosial di mana usernya hampir selalu aktual meng-update status. Senang, update status, patah hati, update status, jadian, update status, putus, update status, sedih, update status, lapar update status, tukang sate lewat pun dia update! … don’t these people have any other thing to do?
“Mereka nggak punya hobi, Mona,” suara kolega saya berdengung lagi.

***
Saya ingin sedikit berkisah tentang alpanya hobi.

Pernah ketika kuliah, teman saya mengeluh tentang hubungan cintanya yang kandas. Dia sangat sedih dan sampai berkeinginan bunuh diri. Saya tentu saja membelalak. Dia jauh-jauh datang ke Jawa hanya untuk patah hati dan bunuh diri? You gotta be kidding me. Saat itu dia meminta saran saya, bagaimana caranya mengalihkan pikirannya, supaya rasa sakit hati itu berkurang. Saya, yang saat itu sangat niat membantu, mengopikan film-film seru dari laptop saya ke laptop dia. Selain itu saya pinjamkan novel-novel seru (yah, menurut saya, seru) saya untuk dia dibaca. Lantas dia datang lagi ke saya. Novel di tangan. Mata putus asa. Dia tidak bisa pakai “terapi” saya. Saya tidak hilang akal. Saya ajak jalan-jalan. Dia menikmati ketika kami di jalan, tapi ketika pulang, dia kembali membiru. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Lalu saya menyerah. Masuk semester 5 dia dropped out dan menikah (dengan pria lain, tentu saja). Sangat disayangkan. Dan terlebih lagi, saya benar-benar menyayangi dia sebagai sahabat.

Saat berada di dunia kerja, seorang teman seperjuangan saya mengeluh hal yang sama: putus cinta,  putus asa. Teman saya ini unik: cerdas dan cantik. Di mata saya dia bisa jadi inspirasi untuk kerja keras dan perjuangannya meraih gelar master hingga mendapat beasiswa ke luar negeri. Tapi dia sendiri tersesat di sebuah arena tanpa petunjuk: what to do now???. Status dia di Facebook isinya jelas-jelas broken hearted. Penyesalan, cinta, ambisi, harga diri, kekecewaan, harapan, jengkel, putus asa, mau move on tapi malah jalan di tempat…ah, campur aduk. Dia beberapa kali minta saran ke saya: what should I do now.

Saya bukannya dokter cinta. Saya hanya teman biasa yang dimintai saran. Beberapa hari setelah dia putus cinta, ternyata saya pun mengalaminya. Lebih jelasnya, hubungan asmara saya berakhir dengan seorang pria Jerman. Saya menangis. Saya kan sudah bilang, saya bukan dokter cinta.

Hari ke dua. Masih di setiap pukulan jarum detik, saya memikirkan si yang baru saja jadi mantan—kecuali jika sibuk di tempat kerja atau tidur. Pagi-pagi mendayung sepeda di tengah dinginnya udara Jerman, saya pikirin dia. Sambil mengiris sayur di dapur mungil saya, muncul lagi ulah dia yang bikin geram. Sambil sedot debu kamar, teringat betapa lembutnya hati mantan yang kadang  malah saya tanggap angin lalu. Beberapa detik kemudian, saya mandi. Di tengah guyuran air hangat di atas bahu (saya seharusnya menikmati momen ini, tapi tidak. Kepala saya berasap) muncul penyesalan: kenapa saya begitu bodoh? Eh, besoknya ketika di dalam bis menuju sekolah, saya berhasil mengumpulkan 50 kesalahan si mantan terhadap saya. My mind was just like a roller coaster!
Dua hari kemudian, saya mencapai klimaks. Saya tidak akan keluar dari lubang jika saya tidak tegakkan lutut dan bangun, pikir saya. Selama dua hari ini saya hanya seperti bola yang ditendang sana sini oleh pikiran saya sendiri. Sempat gol? Ya, habis gol dioper-oper lagi ke depan, ke belakang, kanan kiri.

Layaknya manusia dan perasaan: mereka memang saling tergantung. Bahkan at some point kamu malah terbiasa dengan itu, dan justru menikmati keterpurukkan tersebut. Ujung-ujungnya kamu mendapati diri kamu berjalan di tempat. (Boro-boro move on) And I don’t want it!

Singkatnya, sebelum genap hari ke tiga, saya sudah semangat lagi dan berpikir positif. Hubungan cinta yang sempat berlangsung lebih dari setahun sekarang bukan lagi monster di kepala saya.
Pelajaran saya selama ini simpel saja: kenali apa yang kamu mau dan terlebih lagi apa yang kamu butuh. Prinsip ini yang mengantarkan saya ke sebuah movement. Adalah hobi dan interes. Saya menyukai fotografi, jalan-jalan, dan menulis. Dan ketika putus cinta, saya akhirnya menemukan lapangan luas di mana saya bisa mengekspresikan hobi dan interes. Now I have mooooreee quality time for most all of them J Janji-janji weekend saya dipenuhi nama-nama dari ujung-ujung bumi, sebut saja Armenia, Madagaskar, Meksiko, Equador, Iran, Afghanistan, China, dan Indonesia (can be more). Dan kami melakukan banyak aktivitas yang mungkin: memasak menu tradisional, jalan-jalan ke kota tua, shopping, sekedar piknik di danau, saling mendandani, belajar salsa dan bachatta, makan-makan di restoran (kalo ini sangat jarang J) Caffee and Cake, atau party dan bir… You decide. Smartphone? Silahkan tinggal di tas.




Jumat, 23 September 2016

Bawang Merah Bawang Putih: cantik, lamban, dependen dan bimbang?



Peran Sinetron

Ketika hampir beranjak remaja, saya punya sebuah sinetron favorit: Bawang Merah Bawang Putih. Jujur saja, saya sering menyukai peran antagonis (“si jahat”, bahasa emak-emaknya). Mereka biasanya diperankan lincah, gesit, banyak ide, agresif, berani katakan “iya” dan “tidak”, blak-blakan tentang pendapat, optimis (yang mana sering digambarkan ekstrim oleh sutradara: ambisius). Dalam sinetron ini, siapa lagi kalau bukan si Bawang Merah. Dari namanya saja, “Merah”, asosiasi di kepala kita pasti langsung menuju ke bara api atau bahkan lidah api yang tajam nan runcing pula menjilat-jilat ke awang-awang. Pokoknya warna merah tidak pernah menyimbolkan yang lemah gemulai lah… seperti stereotip para protagonis (“pemeran utama” alias “si baik”, menurut bahasa emak-emak keranjingan sinteron).

Tokoh protagonis di sinetron-sinetron Indonesia dari waktu ke waktu sama saja.
stereotipnya:

-        cantik (supaya enak dilihat dan penonton segera memberi simpati/perhatian lebih kepadanya)

-        lemah gemulai (karena wanita diidentikan dengan bunga, secara sosial tidak  “diijinkan” untuk aktif dan sportif)

-        rada lamban (karena agresivitas diidentikan dengan sesuatu yang negatif)

-        bimbang (apa-apa harus tanya teman; tidak bisa ambil keputusan sendiri)

-        rada bodoh (berpikir kritis adalah pantangan bagi tokoh ini. Coba lihat Putri Salju yang dengan cerobohnya memakan apel dari orang asing)

-        sangat tergantung (entah terhadap nasib atau “sang pangeran”)

-        menunggu diselamatkan (oleh ibu peri atau “sang pangeran”)

-        serba takut: takut berbuat/berucap/bertutur salah, takut berdosa, takut berubah, dsb    

-        cenderung mengasihani diri sendiri (clueless … tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu sampai pangeran impian datang dengan kuda putihnya)

-        gampang meneteskan air mata (dilambangkan melankoli kesucian jiwa yang murni. Padahal saya lihatnya sebagai sebuah ketidakmatangan mental! Ketegaran hati hampir-hampir diartikan sebagai jahat)


source : http://www.mesra.net/forum/lofiversion/index.php/t54938-250.html

Saya selalu melihat fenomena ini sebagai pembodohan kaum perempuan (dan masyarakat pada umumnya!). Akhirnya kita sebagai perempuan selalu ingin mengidentikkan diri dengan si pemeran utama agar disukai oleh orang lain. Dan bagi lawan jenis, atau masyarakat pada umumnya, mereka juga mengharapkan supaya si perempuan berciri demikian! Ya seperti si pemeran protagonis tadi.  Akhirnya keorisinilan kita terpaksa harus kita lupakan. Contohnya, kita sebenarnya bisa mengangkat kardus-kardus kita sendiri ketika pindahan, namun karena terdoktrin idealismeseorang tuan potrin yang kita tonton di televisi, akhirnya kita harus meminta bantuan pacar untuk melaksanakannya. Padahal kita sebenarnya bisa. Siapa sih, yang kulitnya serta merta jadi keriput hanya karena angkat-angkat kardus? Atau yang harga dirinya langsung ambruk?! Takut amat

Berbahayanya, masyarakat kita banyak yang mengeyam “pendidikan” dari sinetron. (Coba saja bikin presensi seperti di kelas, mana ada hari yang bolong karena absensi di depan TV?!) Tidak heran jika bullying semakin mewabah di sekolah. Karena anak-anak yang menonton sinetron, mengerti secara harafiah saja. Mereka tahunya:

ü  gendut berarti jelek,

ü  berkulit hitam/berambut keriting berarti jadi bahan lelucuan,

ü  pria kemayu berarti banci, perlu di-bully

ü  cewek tomboy berarti disegani/di-bully juga

ü  adanya julukan anak rumahan/anak mami dsb (karena sebagai kaum adam harus berani, agresif, dst)



Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara: Ketidakadilan Gender


source http://www.clipartkid.com/step-sister-cliparts/

Ada masih banyak lagi contoh-contoh bully yang basisnya sinetronis banget di dunia nyata ini. Tren stereotip peran dalam sinetron ini memiliki sejarah peradabannya yang panjang. Mulai dari perbedaan jenis kelamin yang ujung-ujungnya melahirkan standar-standar tertentu, sampai dongeng Grimm Bersaudara yang sampai hari ini masyarakat kita baca secara membabi buta tanpa berpikir kritis. Ambil contoh Cinderella: lemah gemulai, boro-boro memperjuangkan nasib untuk keluar dari cengkraman si ibu tiri, dia malah menunggu diselamatkan oleh pangeran! Sebagai pelopor dongeng sedunia, Grimm Bersaudara telah menginvestasikan banyak stereotip gender dan tokoh protagonis dalam karya-karyanya. Sayangnya, populernya berabad-abad! Kembali ke sinteron Bawang Merah Bawang Putih. Mirip sekali kan dengan pola yang dipopulerkan Grimm Bersaudara: gadis lemah yang dijajah si ibu dan saudara tiri.

(Inilah salah satu alasan kenapa saya justru tidak tertarik dengan para lakon utama. Saya memiliki banyak ciri dari karakter yang dijubahkan ke si tokoh antagonis. Saya gesit, lincah, tahu apa yang saya mau dan butuh, mandiri, optimis, dst—dan saya tidak menemukan ada yang salah dengan hal ini (justru sebaliknya!)).

Selasa, 13 September 2016

Saya Memang Wanita Berotot (Part I)

  
Terlahir di sebuah desa kecil yang isinya orang-orang berambut lurus memang sebuah tantangan psikologis bagi saya bertahun-tahun yang lalu. Bukan hanya rambut saya yang beda tekstur, otot saya juga! Orang-orang sering mencela saya, di manapun saya berada. Termasuk di sekolah. Kalimat-kalimat itu hadir dalam rupa yang beda-beda: kadang cuma berupa seruan, kadang cuma berupa pertanyaan. Kalo lagi sial, ya berupa sindiran.

Saya berambut sangat ikal (atau sedikit ikal, atau terlalu amat ikal, terserah… bagi orang Jawa saya selalu dibilang keriting—bagi mereka ikal sedikit saja itu sudah masuk golongan keriting), berkulit sangat coklat (atau sedikit coklat…terserah), dan berotot besar.
Pada masa kecil saya sering terdengar kalimat-kalimat seperti:
“Mona rambutnya keriting.”
“Pantat Mona besar amat.”
“Kaki Mona besar-besar.”

Saya tidak tahu kalimat-kalimat ini, sebenarnya komentar, pertanyaan, pernyataan, igauan, atau gumaman…atau apa?
Terucap begitu saja. Tiba-tiba saja.
Kalau sering-sering diucapkan, tidak heran kalau saya akhirnya jadi terganggu.
Maka mulailah saya mengartikan itu sebagai sesuatu yang non-pujian. Sebab mereka yang berciri fisik yang berlawanan dari saya pasti dapatnya pujian. Setidaknya sejauh ingatan saya, mereka itu adalah yang berkulit putih atau terang, berambut lurus dan berbadan kurus (kurus dalam pengertian benar-benar tanpa otot).

Image cantik ala Indonesia adalah ayu, lembut, kemayu. Itu sama sekali bukan saya. Saya terlahir beda. Sejak kecil saya suka memanjat pohon, meskipun tidak tahu cara turunnya. Saya suka ketinggian. Dan kecepatan.
 Di masa remaja saya suka tertawa keras dan terpingkal-pingkal, tapi sering dilarang atas nama “kamu itu perempuan, jaga sikap!”. Saya saat itu tidak bisa menerima dilarang dengan pasal tersebut. Janggal saja: banyak larangan yang harus saya hafal. Hanya karena saya perempuan. Supaya dipuji, disukai dan  dibilang anak manis dan sopan: taat, ikut, patuh, manut, mengangguk, pasrah. Jika saya melanggar, hukumannya bisa berat sekali. Hukuman sosial. Rupanya bisa dari gossip sampai fitnah. Bangun-bangun kau sudah tanpa teman: sendirian di dunia. Parah lagi, tanpa jodoh (meskipun nomor terakhir ini paling tidak menarik perhatian saya)


Jari jempol saya tidak diciptakan untuk Smartphone

Di film-film Jane Austen, ada adegan pria bangsawan dalam setelan lengkap yang mencerminkan kasta, mencium tangan mulus nan lembut si wanita yang ingin ia rebut hatinya. Setiap kali menonton adegan seperti itu, saya tiba-tiba jadi merasa bodoh. Saya merasa intelegensi saya terhina. Tayangan romantisme di kepala saya adalah: piknik di atas rumput, bercerita, saling mendengarkan, bertukar interest, tentang segala sesuatu, tentang apa pun, berjam-jam tanpa sentuhan.

source: http://janeaustenfilmclub.blogspot.de/2012/11/pride-and-prejudice-1940.html

Iri? Sama sekali tidak. Saya tidak menyesal terlahir begini. Saya justru merasa unik dan berharga.
Jika melihat adegan elus-elusan tangan dan mencium punggung tangan yang dilakukan oleh seorang pria, saya takutnya si perempuan jadi “terbina”  untuk berpikir, “Saya harus rawat habis-habisan kelembutan tangan saya, ini aset: tanpa kemulusan tangan saya, saya kehilangan rasa percaya diri jika disentuh lagi.”

Logis kan? Tentu saja si perempuan akan berpikir demikian. Saya tidak mau dong, adegan panjat pohon saya batal hanya karena saya harus polesi tangan saya berjam-jam sambil menanti disentuh lagi. Haduh, jadwal panjat pohon bisa terbengkelai!

Di masa kuliah saya, tenar-tenarnya smartphone beredar. Semua teman-teman saya beralih dari blackberry ke benda ini. Saya? Sampai lulus pun belum beli-beli. Selain kemahalan, saya tidak paham letak pentingnya memiliki smartphone! Lebih tepatnya, saya tidak mau paham. Apalagi melihat image smartphone yang dipresentasikan orang-orang sekitar: saya jadi makin skeptis adanya!
Suatu ketika saya diperbolehkan otak-atik ketik sms di layar smartphone teman saya yang lebarnya sedaun kelor. Perasaan, jempol saya saya letakkan di atas huruf d, yang muncul malah huruf f! Terjadi lagi dan lagi. Saya jengkel. Mau tulis satu kalimat saja hapus edit berkali-kali. Ini kan tidak perlu terjadi kalau saya pake hape senter (istilah untuk hape jadul yang ada senter manualnya) Teman saya tertawa. Menertawakan gaptek saya sambil berkata, “Makanya jempol tu jangan terlalu besar!” Dia benar sih…jari jempol saya memang besar. Saya tertawa juga, tapi balas sindir dong…heheh

Bukan hanya jari tangan, jari kaki saya pun semuanya seperti anak catur. Kakak saya suka meniru lelucon di tv untuk membuat saya jengkel: “Jari kaki kau semua jempol ya.”

Bukan hanya jari-jemari saya, kaki saya pun besar-besar. Lahir besar di tahun 90-an dengan image kuat Jeniffer Aniston, Christina Aguilera, Heidi Klum, dkk… saya melewati depan cermin dengan perasaan takut mengintip, takut lihat pantulan sendiri. Karena setiap kali melihat cermin, saya teringat komentar-komentar “mistis” dari orang-orang di sekitar saya yang tadi sudah saya sebutkan paling atas.

Di usia 15 saya meninggalkan pulau saya, demi sekolah dan kuliah. Akhirnya terlepas dari bully yang pragmatis? Tidak juga. Saya masih dihantui aturan estetika ini. Bayangkan, begitu kuatnya peranan media cetak dan elektronik. Pesan yang mereka sampaikan ke kepala seorang manusia bisa menyisakan jejak yang luar biasa dalam nan lebar: butuh keberanian dan kecerdasan untuk memandang itu sebagai sebuah ketidakadilan. Yang namanya ketidakadilan, jangan sekali-kali berlutut di depannya!!

Singkat cerita, di tempat-tempat baru yang saya kunjungi (yang mana saya habiskan 10 tahun terakhir ini di sana), saya belajar banyak tentang stereotip, perspektif manusia, opini, argument, ketidakadilan gender, logika, kesadaran, percaya diri, feminisme self-esteem/mencintai diri sendiri, mengahargai karunia, merayakan hidup dan kesehatan…

Saya akhirnya belajar memaknai kaki saya yang besar: they are so strong. Kami bersama telah melewati banyak jalan dan lika-liku, petualangan dengan tikung tanjaknya yang ekstrem. (Saya memang Dora: saya hampir tahu lebih banyak daripada google map :P) That’s why I find them—my legs—beautiful.

Baru-baru ini saya terperanjat dengan sebuah video motivasi tentang mencintai diri yang sangat positif dari seorang YouTuber. ( https://www.youtube.com/watch?v=Dzx7HDJ6jJw ) Terlahir di dekade yang sama, dia bercerita tentang bagaimana dia melewati masa kecil sampai remaja dengan tuntutan estetika: berkaki belalang, langsing nan panjang, kurus berambut lurus, dst… Kedengarannya sepele. Bagi beberapa di antara kalian mungkin terlalu memble, tapi bagi mereka yang mengalami dan menjalani tanpa klu, itu tidak semudah cerita di majalah remaja!

Ada yang putus asa dan tersesat ke diet yang doktrinnya: muntahkan kembali makanannya! Ada banyak yang mengalami trauma rasa percaya diri dan mulai memandang dirinya sebagai minus. Sayangnya, hanya karena berat badan, pipi tembem, tubuh berotot, rambut keriting, atau berkulit gelap. Semua kualitas intelegensi seseorang serta merta dilupakan hanya karena dia berambut ikal? Luar biasa menyesatkan aturan estetika ini.

SMA saya terdapat di Pulau Flores; sebuah pulau dengan populasi yang 90% nya berambut ikal sampai keriting. Ini berbanding terbalik dengan pulau sebelumnya yang saya tinggali 15 tahun lamanya.

Selama tiga tahun saya tinggal di asrama putri milik sekolah. Hampir semua teman-teman sekolah dan seasrama berambut demikian khas. Banyak yang mencatoknya (ioning) supaya kelihatan lurus. Saya juga pernah dicatok/mencatok tentu saja… tapi tidak ingin saya permanenkan, karena saya sebenarnya punya aturan estetika buat diri saya sendiri. Saya suka rambut hitam panjang dan ikal: that’s what I wanted! Sayang: tapi kenapa masyarakat dan segenap standar kecantikannya “tidak mengijinkan” saya berpenampilan begitu?

Tulisan ini berlanjut ke Part II J




Senin, 05 September 2016

Kalau bisa hari ini, kenapa mesti besok: disiplin waktu dan tamparannya (Part I)

Waktu adalah tema basi, tapi bergaullah dengan waktu secara bijaksana, and you will see the real potential in you.
Setahun yang lalu saya dimarahi habis-habisan oleh bos saya karena keterlambatan saya yang “hanya” 30 menit. Kala itu saya baru 5 bulan tinggal di Jerman. Komentar saya dalam hati waktu itu, “Kan salah naik bus, masa tega comelin saya? Saya ini baru di Jerman, mana paham sistem bus di sini.” Alasan demi alasan…
Sebagai orang yang lahir besar di Indonesia, saya tahu betul how to play dengan keterlambatan. Saya tahu apa yang harus saya katakan, mimik wajah apa yang harus saya tampilkan dan bahkan jawaban yang akan keluar dari mulut bos saya (atau siapa pun itu, yang terpaksa harus menunggu kemunculan saya).
Keterlambatan di Indonesia adalah sejenis kelalaian yang meluncur begitu saja ke sumur toleransi. Dan sayangnya, toleransi berbanding lurus dengan pembolehan, permisif, keenakan, keterusan, keterbiasaan lantas jadi kebiasaan.
Waktu saya belajar makan roti dan merindukan nasi, proses itu tidak berjalan begitu lama dan tidak ada tabrak benturnya yang nyata. Saya makan nasi sebagai menu utama selama 24 tahun berturut-turut, dan beberapa bulan kemudian saya sudah terbiasa makan roti (dan merindukan nasi). Tidak semua kisah mengganti kebiasaan bertransformasi secepat itu. Kisah saya mengganti kebiasaan telat ala Indonesia saya dengan kebiasaan tepat waktu ternyata mengalami tabrak tubruk jatuh bangun jungkir balik sana-sini. Tidak segampang menggeser sepiring nasi dengan sekeranjang roti.

Tepat waktu itu disiplin
Bulan-bulan awal saya di Jerman, saya terperangkap iklan di email saya yang berisi langganan majalah dwi-mingguan. Majalahnya tiba di kotak pos rumah saya selalu disertai dengan rekening berisi sejumlah uang yang harus saya transfer. Karena masalah teknis X dan Y yang mana sampai hari ini saya sendiri tidak ingat dengan jelas lagi apa, saya pun menunda pengiriman uang. Penundaan di Jerman ternyata dosa besar, sodara-sodara. Malangnya saya tidak tahu itu. Saya tidak tahu sebelumnya kalau di negara ini sebuah kurun waktu memiliki konsekuensi yang tidak ampun-ampun. Beberapa hari kemudian saya menerima sebuah surat dari tim marketing majalah tersebut: denda karena keterlambatan pembayaran. Di tengah-tengah masalah transfer ini, terjadilah sebuah ketimpangsiuran: saya kehilangan pekerjaan dan harus pindah rumah. Saya punya uang di tangan, tapi tidak dalam jumlah yang diminta pihak marketing majalah itu. Saya tunda lagi pembayarannya. Saat itu saya berada dalam situasi di mana saya tidak bisa pinjam ke siapa-siapa. Meminjam/meminjamkan uang di Jerman bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang Jerman. Boro-boro pinjam, teman/kenalan aja nggak punya!
Cukup lama kemudian, alaram kembali berbunyi. Sebuah surat terlayangkan ke alamat baru saya. Setelah saya buka, pengirimnya pihak marketing itu lagi. Saya lihat tanggalnya: surat ini sudah “basi”, karena si tukang pos tentu saja mengantarkannya ke alamat lama saya (mana saya tahu saat itu kalau di Jerman, setiap kali pindahan alamat harus infokan ke seluruh kerabat terkait, termasuk mengedit alamat di akun ebay!). Si penghuni rumah di alamat lama saya cukup baik hati melanjutkan surat tersebut ke alamat baru saya. Sayangnya karena alasan teknis ini dan itu, surat tersebut baru mendarat di tangan saya seminggu kemudian—yang artinya lewat jatuh tempo. Waduh. Saya buka amplopnya, tertera di pojok kanan atas tanggal pengiriman yang sudah basi sekali. Denda dilipatduakan lagi. Alhasil penulis membayar 80 Euro untuk majalah yang satu eksemplarnya hanya seharga 2 Euro.
Akhirnya saya kasi tanda cek di lessons of life saya: time is the real money!

Tepat waktu itu komitmen
Skripsi jenjang sarjana saya memakan waktu berbulan-bulan, selama setahun. Padahal ketika itu saya punya kesempatan untuk menulisnya dalam kurun waktu yang lebih singkat. Bagi yang akrab dengan kisah skripsi pasti paham ini, kecuali bagi mereka yang benar-benar berkomitmen dengan waktu. Oke, cerita skripsi barangkali skalanya terlalu kampus banget: kecil dan klise. Mari kita lihat skala yang besar: dunia kerja. Tuntutannya lebih nyata karena kamu digaji dan memiliki posisi. Kehilangan gaji dan posisi? Siapa yang mau. Posisi-posisi penting dalam sebuah pekerjaan erat kaitannya dengan bagaimana seorang personil berkomitmen dengan waktu. Jika dari hal kecil saja tidak bisa bertanggung jawab, bagaimana bisa dipercayakan tanggung jawab yang lebih besar? Maka dari itu, bergaullah dengan waktu secara bijaksana, make it as your friend and all your plans will be under your control. Pandanglah waktu sebagai sesuatu yang serius, karena jika tidak agenda kita bisa dibuat pontang panting. Jangan biarkan kalimat “Nanti saya selesaikan besok saja, kan masih ada waktu.” menjadi akrab di kepala.

Tepat waktu tidak sama dengan buru-buru



Bus di Jerman hanya berhenti di halte-halte yang telah ditentukan. Di halte-halte tersebut telah tercantum jadwal-jadwal yang berisi nomor bis, rutenya, menit kedatangan/keberangkatannya, bahkan berapa menit yang dibutuhkan si bus untuk sampai ke halte berikutnya. Semuanya sudah jelas, tepat dan pasti. Beberapa bulan yang lalu penulis berjuang mengikuti aturan main “jam menit detik” yang serba dihitung ini. Di Jerman bus atau kereta tidak pernah terlambat semenit pun, jika tidak dikarenakan alasan serius. Bagaimana kalau kita yang terlambat? Silahkan saja tunggu bus berikutnya. Bagus kalau bus lewat tiap 15 atau 30 menit… kalau setiap sejam? Bagus kalau menunggu ketika musim panas…kalau musim salju?
Satu dua kali pernah lah penulis ketelatan, akhirnya harus mengayuh sepeda sampai ke tempat tujuan. Penulis bahkan pernah bersepeda 30 menit di tengah salju gara-gara ketinggalan bus.
Di kasus lain, gara-gara buru-buru penulis kelupaan karcis… balik lagi deh ke kos, padahal sudah di halte. Selalu saja ada yang lupa kalau kita buru-buru: dompet, ATM, payung, lip balm, botol air, dst.
Tepat waktu adalah disiplin. Jangan dikacaukan dengan buru-buru. Karena maknanya beda jauh. Buru-buru terjadi karena kurangnya persiapan sedangkan deadline di depan mata. Sedangkan disiplin waktu selalu diawali dengan persiapan sejak dini dan ketuntasan yang lunas. Buru-buru belum tentu tepat waktu. Sekalipun tepat waktu, segala sesuatu yang dikerjakan dengan buru-buru hasilnya kurang matang dan mentah sebelah.


Tulisan tentang waktu ini berlanjut ke Part II :)

Kamis, 01 September 2016

Coba-coba: Ide kreatif memajang anting-anting

 Suka mengenakan anting-anting?
Tapi saking kebanyakan, kalau disimpan berantakan?


 Menyimpan anting-anting itu abad kemarin. Hari ini kita memajangnya sebagai dekorasi plus plus.

Membeli gantungan seperti ini mahal, ciptakan saja punya sendiri.


Ide berikut ini orisinil hasil imajinasi penulis yang saat itu terpikat dengan sebuah papan iris roti yang seharga satu euro (harga termurah sebuah barang di Jerman haha). Saat berdiri di supermarket itu, sambil memandang si papan iris yang sedatar harganya, saya hanya bergumam, "this could be something." :D
Sepulang rumah, kos maksudnya, saya endapkan saja si papan di dalam laci perkakas, ide belum mantap di kepala. Barulah dua bulan kemudian... ting! Lampu ide menyala :D


Yang kamu butuhkan?


sang papan kayu yang kering malang butuh warna sebelum dijadikan pajangan. Warna-warna cat air adalah pilihan terbaik, cepat menyerap dan sesuai dengan bahan kayu sebagai "kanvas" nya.



Lukislah apa pun yang kamu mau di atas papan iris tadi. Pastikan itu mempercantik dan memperhidup penampilan kreasimu. Jangan pernah takut bermain warna. Colors are there to be played.





So simple, right?