Sadar tidak
sadar, internet telah meningkatkan angka penderita HIV/AIDS di dunia. Konon
maraknya jumlah website/aplikasi smartphone untuk online dating adalah
sebabnya.
Sadar tidak
sadar, hidup kita diambil alih oleh internet. Mulai dari arus informasi, tekanan
industri, bahkan sampai jumlah penduduk. Bagaimana tidak? Tetangga saya mau
tahu saya sedang ngapain saja, bukannya mengirim saya sms/pesan online
menanyakan kabar, malah men-stalking di Facebook. Ibu-ibu rumah tangga bukannya
buka lapak di pasar, bakul lapaknya dijejer di internet. Jika industri naik,
angka kelahiran menurun. Itu hukum alam jaman sekarang, teman.
Internet menyita
banyak waktu manusia. Manusia sendiri merasa waktunya disita internet?
Kelihatannya tidak. Mereka dengan suka rela membuka akun di sana-sini, bahkan
rela membayar untuk akses-akses tertentu.
Saya suka
miris jika sedang di kereta atau di taman, melihat sepasang kekasih duduk
bersebelahan tapi tertunduk menatap layar di ganggaman tangannya masing-masing.
Tiada kata. Tanpa percakapan. Kontak mata? Jika si kekasih bilang, “Eh sayang, lihat deh ini postingannya lucu
banget kan?” Pacarnya menoleh, tapi yang dilihat toh si layar smartphone
juga…
Rasa-rasanya
manusia seperti ini adalah makhluk setengah-setengah: setengah hidup di dunia
nyata, setengahnya maya. Jadi kayak pintu Doraemon begitu: masuk dimensi
lain, keluar lagi, masuk lagi…
Banyak memang
manfaat internet. Contohnya saya bisa tinggal dan mengenyam pendidikan di Jerman
berkat kekreatifan saya menggunakan
internet. Saya tidak bilang berkat
internet loh… Toh banyak orang menggunakan internet dengan jumlah giga bite
yang bombastis tapi di mana mereka sekarang?
Di rumah, di atas kasur, men-stalking instagram Kendal Jenner.
***
Bicara
tentang stalking, bicara tentang
media sosial. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, dkk. Aturan main di sana
memang: tunjuk pamer→reaksi publik→repeat. Teman Facebook saya makan es cendol
saja difoto dan diupload di Facebook, dapat like
dari pemirsa. Besoknya dia foto lagi menu makan serba murah dari KFC— yang dia beli
dari uang jajan terakhirnya (barangkali). Siklus ini (tunjuk pamer→reaksi publik→repeat),
herannya, tidak membuat mereka jengah. Boro-boro sadar kalau mereka sedang
pasif!
Kata kolega
saya, “Orang-orang begitu memang tidak punya hobi.”
Saya
akhirnya jadi membenarkan hipotesis dia. Jika “semua” bisa diakses dari smartphone mungil, siapa lagi yang mau
repot-repot memiliki hobi. Siapa yang hari gini masih melukis atau menggambar
dengan mengandalkan imajinasi dan keaslian karyanya? Ngapain mikirin inspirasi dari dunia nyata, jika bisa saya tiru dari
gambar-gambar di Google?
Hidup di
jaman following, liking, adding, subscribing, stalking, lama-kelamaan
saya merasakan kekeringan jiwa orang-orang di seputaran bumi ini beredar. Internet
memang gratis, tapi justru kegratisan ini seperti membeliputus jiwa-jiwa manusia.
Blackberry messenger adalah sebuah media sosial di mana
usernya hampir selalu aktual meng-update
status. Senang, update status, patah hati, update status, jadian, update
status, putus, update status, sedih, update status, lapar update status, tukang
sate lewat pun dia update! … don’t these
people have any other thing to do?
“Mereka nggak punya hobi, Mona,”
suara kolega saya berdengung lagi.
***
Saya ingin
sedikit berkisah tentang alpanya hobi.
Pernah ketika
kuliah, teman saya mengeluh tentang hubungan cintanya yang kandas. Dia sangat
sedih dan sampai berkeinginan bunuh diri. Saya tentu saja membelalak. Dia
jauh-jauh datang ke Jawa hanya untuk patah hati dan bunuh diri? You gotta be kidding me. Saat itu dia
meminta saran saya, bagaimana caranya mengalihkan pikirannya, supaya rasa sakit
hati itu berkurang. Saya, yang saat itu sangat niat membantu, mengopikan film-film
seru dari laptop saya ke laptop dia. Selain itu saya pinjamkan novel-novel seru
(yah, menurut saya, seru) saya untuk dia dibaca. Lantas dia datang lagi ke
saya. Novel di tangan. Mata putus asa. Dia tidak bisa pakai “terapi” saya. Saya
tidak hilang akal. Saya ajak jalan-jalan. Dia menikmati ketika kami di jalan,
tapi ketika pulang, dia kembali membiru. Berhari-hari, berminggu-minggu,
berbulan-bulan. Lalu saya menyerah. Masuk semester 5 dia dropped out dan menikah (dengan pria lain, tentu saja). Sangat
disayangkan. Dan terlebih lagi, saya benar-benar menyayangi dia sebagai
sahabat.
Saat berada
di dunia kerja, seorang teman seperjuangan saya mengeluh hal yang sama: putus
cinta, putus asa. Teman saya ini unik:
cerdas dan cantik. Di mata saya dia bisa jadi inspirasi untuk kerja keras dan
perjuangannya meraih gelar master hingga mendapat beasiswa ke luar negeri. Tapi
dia sendiri tersesat di sebuah arena tanpa petunjuk: what to do now???. Status dia di Facebook isinya jelas-jelas broken hearted. Penyesalan, cinta, ambisi,
harga diri, kekecewaan, harapan, jengkel, putus asa, mau move on tapi malah jalan di tempat…ah, campur aduk. Dia beberapa
kali minta saran ke saya: what should I
do now.
Saya
bukannya dokter cinta. Saya hanya teman biasa yang dimintai saran. Beberapa
hari setelah dia putus cinta, ternyata saya pun mengalaminya. Lebih jelasnya,
hubungan asmara saya berakhir dengan seorang pria Jerman. Saya menangis. Saya kan sudah bilang, saya bukan dokter
cinta.
Hari ke dua.
Masih di setiap pukulan jarum detik, saya memikirkan si yang baru saja jadi
mantan—kecuali jika sibuk di tempat kerja atau tidur. Pagi-pagi mendayung
sepeda di tengah dinginnya udara Jerman, saya pikirin dia. Sambil mengiris
sayur di dapur mungil saya, muncul lagi ulah dia yang bikin geram. Sambil sedot
debu kamar, teringat betapa lembutnya hati mantan yang kadang malah saya tanggap angin lalu. Beberapa detik
kemudian, saya mandi. Di tengah guyuran air hangat di atas bahu (saya
seharusnya menikmati momen ini, tapi tidak. Kepala saya berasap) muncul
penyesalan: kenapa saya begitu bodoh? Eh, besoknya ketika di dalam bis menuju
sekolah, saya berhasil mengumpulkan 50 kesalahan si mantan terhadap saya. My mind was just like a roller coaster!
Dua hari
kemudian, saya mencapai klimaks. Saya tidak akan keluar dari lubang jika saya
tidak tegakkan lutut dan bangun, pikir saya. Selama dua hari ini saya hanya
seperti bola yang ditendang sana sini oleh pikiran saya sendiri. Sempat gol? Ya,
habis gol dioper-oper lagi ke depan, ke belakang, kanan kiri.
Layaknya
manusia dan perasaan: mereka memang saling tergantung. Bahkan at some point kamu malah terbiasa dengan
itu, dan justru menikmati
keterpurukkan tersebut. Ujung-ujungnya kamu mendapati diri kamu berjalan di
tempat. (Boro-boro move on) And I
don’t want it!
Singkatnya,
sebelum genap hari ke tiga, saya sudah semangat lagi dan berpikir positif.
Hubungan cinta yang sempat berlangsung lebih dari setahun sekarang bukan lagi
monster di kepala saya.
Pelajaran
saya selama ini simpel saja: kenali apa yang kamu mau dan terlebih lagi apa
yang kamu butuh. Prinsip ini yang mengantarkan saya ke sebuah movement. Adalah hobi dan interes. Saya menyukai
fotografi, jalan-jalan, dan menulis. Dan ketika putus cinta, saya akhirnya
menemukan lapangan luas di mana saya bisa mengekspresikan hobi dan interes. Now I have mooooreee quality time for most
all of them J Janji-janji weekend
saya dipenuhi nama-nama dari ujung-ujung bumi, sebut saja Armenia, Madagaskar,
Meksiko, Equador, Iran, Afghanistan, China, dan Indonesia (can be more). Dan kami melakukan banyak aktivitas yang mungkin:
memasak menu tradisional, jalan-jalan ke kota tua, shopping, sekedar piknik di danau, saling mendandani, belajar salsa
dan bachatta, makan-makan di restoran (kalo ini sangat jarang J) Caffee
and Cake, atau party dan bir… You
decide. Smartphone? Silahkan
tinggal di tas.