Sabtu, 23 Mei 2020

Betis Kekar Saya: Body Positivity

Jogjakarta. Beberapa tahun yang lalu.

Hampir setiap bulan saya mendatangi sebuah klinik kecantikan yang bertempat di mal Galeria. Banyak teman-teman kuliah saya yang menjadi pelanggan setia di sana. Katanya bagus untuk orang yang berjerawat seperti saya. "Obat" jerawat itu sudah bau, mahal lagi! Well, beauty is pain, they say, so... Oh, bukan obat jerawat saja yang ibu-ibu klinik itu sarankan saya pakai, melainkan juga pembersih, penyegar, sabun wajah, krim wajah siang dan malam....yang konon, tidak hanya menghilangkan jerawat namun juga membuat kulit makin cerah. Semua produk itu hampir sama mahalnya dengan ongkos uang makan saya sebulan! "Cantik itu mahal!" kata teman saya dengan penuh keyakinan.
Tidak berapa lama ada sebuah klinik kecantikan baru dibuka di dekat kos saya. Yang ini lebih murah, lebih ramah mahasiswa. Dan memang kalau kita ke sana isinya mahasiswa semua. Tempat parkir klinik itu selalu dipenuhi sepeda motor. Ruang tunggunya besar, dan selalu penuh! Saya selalu rutin ke sana setiap bulan, bukan karena saya banyak uang, tetapi karena saya sangat takut jerawat saya menjelma menjadi monster dan tidak bisa dijinakkan lagi untuk selama-lamanya. Saya tidak pernah check-up medis atau dental, tetapi check-up estetik jalan lancar. Sekali saja saya alpa, saya akan terserang sejenis panik yang membuat saya paranoia. Saya akan diserang kecemasan bahwa kondisi kulit saya akan mengalami kemunduran dan progres yang sudah saya bayar mahal-mahal selama ini sia-sia karena sekalinya berhenti berarti mulai lagi dari nol! Kenalkah kalian jenis panik yang macam begitu? Ambil contoh kalian sudah diet berbulan-bulan, lalu ada sehari di mana kalian menghadiri pesta ulang tahun dan menyantap makanan secara lahap. Keesokan paginya, ada sejenis serangan moral dari dalam batin, seolah kita telah melanggar norma-norma ketat (diet kita). Rasa cemas saya itu berangkat dari rutinitas yang menjelma candu: Cosmetic/Skin Care addiction. Dan dia tidak berhenti di situ! Di saat yang bersamaan saya mengalami rasa takut: Bagaimana kalau saya sudah lulus dari kuliah dan harus meninggalkan Jogja? Siapa yang cukup ramah dan mau repot-repot mendistribusikan pesanan bulanan saya ke NTT? Pikiran-pikiran macam ini, serius, pernah menghantui saya bertahun-tahun saat di Jogja. Lantas setelah lulus saya benar-benar keluar dari Jogja, tapi "untungnya" ke Jakarta. Masih terikat candu skin-care, saya cari klinik kecantikan serupa dan segera menjadi member. Saat karir saya di Jakarta kehilangan harapan, saya takut lagi: "Waduh, siapa yang akan mengirimkan produk-produk ini ke Jerman?" pikir saya. Circulus Vitiosus! Paranoia estetik yang ternyata adalah bagian dari kecemasan eksistensial perempuan di muka bumi... they are so bothering! Saya sadar, sudah dari dulu,  tidak sehat untuk memiliki kekhawatiran konyol macam itu. Tapi saya masih belum sadar, dari mana asal datangnya kekhawatiran itu. Sampai saya berdomisili di Jerman. 

So, mari kita kembali ke tahun 2019.
Melanie dan saya melakukan liburan bersama di Bukarest, Romania. Ini pertama kali saya harus tidur sekamar dengan Melanie. Saat saya melihat isi etui kosmetiknya yang hanya terdiri dari sebotol kecil cairan (yang saya duga sebagai sabun merangkap sampo di masa-masa backpack) dan odol, saya bertanya, "Ist das alles was du brauchst?" "Ja," sahutnya dengan ringan. Tunggu dulu, whattth? Saya menghabiskan waktu berjam-jam di ruang tunggu klinik kecantikan itu dulu, menunggu giliran saya, membeli sebotol ini dan sebotol itu; saya menghabiskan terlalu banyak waktu keliling drogerie di Indonesia dan di Jerman, mencari krim untuk kulit berminyak; dan terlalu banyak waktu terbuang-buang setiap bulan karena saya harus menjemput produk rutin saya dari apotik: Avene (sebuah produk Prancis yang adanya hanya di Apotik). Dan bukan hanya waktu yang saya sia-siakan... uang juga, energi juga. Benarkah cantik itu harus mahal? Atau kita hanyalah terperangkap tak berdaya dalam jebakan iklan-iklan yang manipulatif? Iklan (TV) yang membuat kita meragukan keagungan ciptaan Tuhan lewat genetik orang tua kita? Iklan yang menyuntik akal sehat kita perlahan-lahan dengan kalimat-kalimat seperti  "Ingin cantik seperti Korea?"  atau "Kulit putih merona..." which is bullshit. Karena sebagai orang Nusantara, kita dikaruniai kulit sawo matang yang cantik. Dan kulit jenis ini tidak mungkin bisa merona di bawah kondisi temperatur dan iklim Indonesia yang tropis dengan curah matahari yang kaya. Yang ada pipi kita bukan merona, melainkan mencoklat, karena kadar melaninnya meningkat dalam paparan sinar ultravoilet.

Saya akhirnya sadar, saya sudah terlalu jauh dikibuli oleh media. Oleh image yang mereka bangun perlahan-lahan di kepala kita sebagai idealisme definisi kecantikan. Kenapa saya bilang image itu mereka bangun perlahan-lahan? Media selalu membuat kita merasa bahwa kita ini tidak cukup. Tidak cukup tinggi, tidak cukup langsing, tidak cukup cantik, tidak cukup mulus, tidak cukup berkulit lembut, tidak cukup putih, tidak cukup lurus rambutnya, dst... Kenapa kita tiba-tiba merasa diri tidak cukup kalau kita nonton iklan/televisi/baca majalah lifestyle? Coba kalian tebak kenapa!
Jawabannya adalah karena di televisi &co selalu ditampilkan sosok yang serba sempurna. Dipilih dari etnis yang dianggap "teladan"/"panutan", diseleksi dari konstruksi fisik yang disembah sebagai ideal. Mereka bahkan memiliki konselor diet pribadi, fitness trainer pribadi. Tentu saja mereka akan terlihat berbeda dengan kita, manusia dari kelas ekonomi menengah--ke bawah! Berdamailah dengan kenyataan bahwa kamera bukanlah full-time job kita, jadi sebenranya itu normal-normal saja untuk memiliki satu jerawat di dagu dan satu di dahi! Dan itu juga sah-sah saja untuk memiliki lemak di perut! Tidak perlu malu kalau rambut kamu tidak selurus siapa pun itu dari iklan Pantene atau whatever... Dan itu saya, sebagai wanita muda belia beberapa tahun yang lalu, tidak paham. Saya ingin terlihat seperti.... setidaknya tidak seperti saya sendiri. #bodynegativity. Ini satu lagi, krisis yang media timbulkan dalam diri kita: krisis eksistensi, obsesi terhadap appearance, kurangnya rasa penerimaan diri. Kalau kita tidak bisa terima diri sendiri, kita tidak bisa menghargai diri sendiri, kalau kita tidak bisa menghargai, bagaimana bisa mensyukuri? Kalau tidak mensyukuri, bagaimana kita bisa mencintai? Kalau kita sendiri tidak mencintai diri kita, bagaimana kita bisa memberi cinta kepada orang lain? Bagaimana kita bisa memberikan sesuatu yang tidak kita punyai?

Saya berasal dari keluarga di mana semua rambut kami ikal dan tebal. Yang mana dulu tidak saya sadari sebagai sebuah berkat. Sepupu saya memiliki rambut yang luar biasa panjang dan indah, yang mengingatkan saya pada seorang figur Disney, Vaiana, dari Film "Moana". Entah seberapa banyak kali kami mengingatkan dia betapa cantiknya dia dan rambutnya, dia tidak mau percaya. Saya tidak menaruh kesalahan pada sepupu saya ini, karena dia mengingatkan saya pada masa remaja saya sendiri. Saya generasi Britney Spears, Mandy Moore, Kate Moss, Ken dan Barbie.... coba sebutkan siapa di antara mereka yang mewakili rambut ikal!
Saya masih ingat dulu, betis saya adalah bagian tubuh yang saya paling "sesali". Dengan kata lain, saya bermimpi seandainya mereka ramping dan panjang, dan lebih bagus lagi kalau tidak berbulu seperti ayam pedaging siap diopor....Setelah saya banyak refleksi diri tentang tema bodyshaming, self-acceptance dan self-love, saya menyesali kekeliruan itu. Justru atas kekekaran betis saya, saya sanggup berjalan tanpa lelah, saya bekerja 40 jam/minggu di Praxis, 20 jam/minggu di restoran Asia, dalam berdiri! Menjadi asisten dokter gigi, seperti saya, pekerjaan saya 90% dilakukan dalam berdiri, sama seperti di restoran (parttime job saya saat itu). Berkat kekekaran betis saya, saya bisa keliling negara-negara, jalan kaki naik turun bukit dan melihat keindahan pemandangan. Tanpa betis-betis perkasa saya, saya tidak akan mengalami pengalaman-pengalaman itu. Karya Tuhan itu agung dan sempurna adanya, kenapa harus dikoreksi? Dengan skalpel surgery dan sebagainya?
Jerawat, kulit coklat dan rambut ikalku adalah sempurna. Biarkan saja "jenis" saya ini tidak ada representasinya dalam media di negeriku, justru itu bagus, karena saya bukan follower, saya trendsetter.






Selasa, 21 Januari 2020

Tetangga Saya di Jerman

Tulisan ini ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Saya sebelumnya terkait minimalisme dan konsumerisme.

Berangkat dari pengalaman pribadi Saya yang sangat bertentangan dengan pola hidup minimalis, batin saya terbawa dalam perenungan-perenungan yang berangkat dari realitas masa kini dan perbandingannya dengan masa lalu. Masa lalu Saya. Saya jelas-jelas bukan penggemar "Dulu lebih bagus dari sekarang", ya: Saya suka belajar dari masa lalu.
Sekalipun masa lalu Saya mengambil setting di sebuah desa di lubuk NTT dan Saya sekarang tinggal di Hamburg (penduduk: 1,5 juta jiwa), tetap saja ada relevansi yang bisa kita jadikan alat untuk survive

Kiriman dari Amazon
Jadi begini, karena Saya ini manusia vintage yang membaca buku, bukannya e-book, Saya butuh lampu baca (lampu LED portabel yang dijepitkan pada tepi buku). Sering di bis atau di pesawat Saya kewalahan cari cahaya. Maka itu Saya memutuskan untuk membeli lampu baca. Seminggu kemudian, seperti yang dijanjikan Amazon, Saya membuka kotak surat dengan hati penuh harap. Bukannya lampu baca terselubung amplop yang Saya temui di ruang redup mini itu, melainkan sehelai nota yang bertuliskan, "Kami tidak berhasil menemui Anda, Paket Amazon Anda telah kami titipkan ke tetangga Anda. Terimakasih telah berbelanja di Amazon." Di bawah tulisan itu ada sebuah kotak kecil yang ditulistangan: Herr Gaum. Bahu Saya merosot. Herr Gaum ini tetangga Saya (Saya juga baru tahu ini dari si nota tadi), tetapi Saya tidak tahu dia tinggal di lantai berapa! 
Tercatat sejak 4 bulan yang lalu Saya tinggal di sini, tepatnya di lantai 3, lantai teratas. Tapi semenjak kepindahan saya, Saya belum (baca: tidak akan pernah) berkenalan dengan satu pun tetangga Saya (yang mana-sayangnya- adalah normal di Jerman). Ada 5 flat lainnya di bagian tengah gedung ini yang berbagi satu pintu masuk utama dengan Saya. Total kami ada 6 flat. Tetapi di tetangga sebelah kiri dan kanan kami masing-masing terdiri dari 6 unit apartemen juga, sehingga total 18 unit flat. Saya tidak yakin mereka semua saling kenal..

Who is The Jenny from The Block?
Kehidupan di kota memang serba anonim. Jangankan pernah lihat batang hidung si Herr Gaum, Saya bahkan tidak tahu unit flat dia yang mana! Tidak satu pun pintu-pintu yang tampaknya selalu tertutup itu memajang nama mereka di samping tombol bel. Ini berbeda dari yang Saya kenal di gedung-gedung apartemen lainnya. Terus terang, ini agak mengerikan bagi Saya, membayangkan bahwa Saya harus menderingkan bel dari satu pintu ke pintu lainnya sambil tersenyum grogi dan bertanya, "Apakah Herr Gaum tinggal di sini?" Tidak lucu. Dan lagi creepy!
Bukan hanya di luar negeri, di Indonesia pun anonimitas semakin terasa sebagai hukum demografi. Makin padat penduduknya, makin cepat mobilitasnya, makin sempit ruang kenalnya. Ini sudah jadi konsekuensi logis dari mobilitas penduduk yang laju: People come, people go. Flat nomor X tidak akan selamaya ditempati Herr Y, bisa jadi besok Herr Z, dst… Perubahan terus bergerak, Nothing sleeps nowadays. Beda dengan 20 tahun yang lalu di desa: tetangga Saya Ibu As telah tinggal bersebelahan rumah dengan kami bahkan sebelum Saya lahir, sampai hari ini pun beliau masih tinggal di rumah yang sama.
Semakin modern suatu kelompok masyarakat, semakin individualis. Konon kata ahli sosiologi. Jumlah manusia yang semakin banyak membuat sistem kendali sosial jadi membludak dan identitas seseorang tidak lebih dari sekedar nomor. Ya, angka. Siapa, apa dan datang dari mana, apalagi bagaimana kisah hidupnya tidak masuk daftar pertanyaan lagi. Semata-mata nomor. Bagi beberapa pihak, perusahaan dan birokrasi saya juga tidak lebih dari seseorang yang tinggal di jalan XX nomor 19d, yang nomor paspornya sekian, nomor visanya sekian, nomor pajaknya sekian, nomor asuransinya sekian, dan nomor rekening banknya sekian. Siapa Saya, apa pekerjaan Saya, apa hobi Saya? peduli amat! Who the hell cares about the Jenny from the block?
Sementara itu mesin waktu diputar mundur….

Bokor dan Baskom dan Loyang
Dua puluh tahun yang lalu. Desa Saya.
Natal sebentar lagi tiba. Ibu-ibu jadi super sibuk. Bapak-bapak entah ke mana. Kehidupan tiba-tiba berpusat di dapur, yah mau di mana lagi! Sementara kompor dipanaskan, telur sudah digopok, adonan sudah disiapkan, mentega Margarin sudah dilumurkan ke sekujur loyang, kami hanya menunggu sampai Ibu As selesai memanggang kuenya (di Kupang, kami sebut Kue Keik, baca: Cake) supaya kami bisa meminjam ovennya. Loyang kami pinjam dari Mama Kai, tetangga di belakang rumah, karena kami sendiri tidak punya. Tidak berapa lama Ibu As datang membopong sang oven, pesta memanggang boleh dimulai. Kami anak-anak bersuka ria. Saya tidak akan lupa aroma baking soda dan fanili dan tepung… Aroma natal yang khas bagi Saya.
Tiga rumah bertetanggan ini saling meminjam dan berbagi. Kami tidak perlu beli loyang, pikir orang tua Saya, Mama Kai sudah punya. Kami tidak perlu beli oven, ibu As sudah punya. Demikianlah kehidupan mutualis itu berjalan selama puluhan tahun dalam lingkungan tempat Saya berasal. Sampai giliran kami, mereka akan meminjam sesuatu yang mereka belum punya atau kebetulan jumlahnya kurang karena mereka sedang kedatangan tamu dalam jumlah besar misalnya. Maka bokor dan baskom kami boleh berpindah tangan untuk sementara.
Saya bercermin dari masa lalu dan itu melempar Saya kembali ke masa sekarang….

Mau Ke Mana Dengan Segenap Kepemilikan ini?
Hari ini Saya tidak perlu pinjam apa-apa lagi dari tetangga karena Saya sudah memiliki semuanya.  Tetapi dengan demikian, apakah berarti saya sudah tidak butuh mengenali tetangga Saya lagi? Bagaimana dengan Herr Gaum yang menyimpan lampu baca Saya?! Apakah masih benar untuk menjaga jarak dari tetangga demi privasi? Tapi sayang juga jika Saya hanya mau mengenali Herr Gaum hanya karena paket kiriman dari Amazon...
Saya tidak bilang, adalah salah untuk memiliki, tetapi memiliki yang bagaimana? Sirkulasi perlengkapan dapur ala keluarga Saya dan para tetangga kami dulu telah membawa kami ke dalam kontak sosial yang lebih dekat dalam pengertian yang positif. Kami memiliki sejenis relasi kebergantungan yang tidak saja mutualis, tetapi juga harmonis, sekalipun itu tidak semata-mata tentang perlengkapan dapur! Namun seperti yang dijelaskan oleh Ruth Rohr-Zänker, seorang profesor ahli pertetanggaan Jerman dari Universitas Oldenburg, tumbuhlah sejenis rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok yang saling berbagi rasa empati. Dan ini sekali lagi disetujui oleh Regina Tödter, yang bukunya Saya baca dalam Bahasa Jerman (belum ada terjemahan Bahasa Indonesianya). Tödter sendiri hidup secara minimalis dan menekankan empati sebagai salah satu asas penting untuk menjadikan pola hidup minimalis nyata, tidak semata mimpi belaka.
Ada satu hal minus tentang kepemilikan yang kotraproduktif yaitu kita menampung banyak barang yang mana belum tentu selalu kita gunakan setiap saat. Sering Saya amati: banyak benda dalam rumah yang hanya Saya jamah setahun sekali. Lantas selama 12 bulan dalam setahun itu barang-barang itu tadi nganggur begitu saja? Ya, nganggur begitu saja. Dan selama masa nganggur mereka, mereka telah menempati laci-laci lemari, rak-rak dan ruang penyimpanan yang tentunya harus dibersihkan juga agar tidak terselubung debu. Oh, alangkah merepotkan! Itu dia! Lalu kenapa Saya tidak pakai gaya sirkulasi ala orang tua Saya, Mama Kai dan Ibu As saja? Yang hanya meminjam jika perlu supaya ruang gerak di dalam rumah menjadi semakin lapang. Tidak perlu beli buku, ke perpustakaan saja; tidak perlu naik mobil, naik subway saja; tidak perlu beli baju baru, ditukarkan saja lewat acara Clothing Swap; tidak perlu memiliki segalanya, pinjam dari tetangga saja.
Sialnya orang kita masih menganut kredo yang salah kaprah: punya banyak berarti kaya. Ah, sudah ngabis-ngabisin duit, menuh-menuhin tempat, menyita waktu dan merepotkan pula!! Mana ada kaya? 

Kebersamaan dalam Empati: Kaitannya Dengan Minimalisme Apa?
Menurut Regina Tödter, empati berarti memiliki kepedulian terhadap sesama manusia; tidak perlu ikut merasakan, tetapi cukup dengan apresiasi atas kesadaran bahwa orang lain mengalami sesuatu. Memang agak susah untuk dipahami, jadi Saya jelaskan saja dalam contoh. Perusahaan-perusahaan garmen raksasa seperti H&M menjual konveksi-konveksi super murah yang menjanjikan trend terbaru dan kelas sosial tertentu jika kita mengenakannya. Tetapi perlu disadari, di balik tas kulit tiruan itu ada seorang manusia di belahan bumi lainnya yang menjahit demi upah sangat kecil. Turut peduli dan berempati berarti kita tidak perlu selalu mengejar trend dan membeli pakaian yang baru demi mengikuti trend. Yang secukupnya saja, dan ingat, kalau bosan clothing swap! Jangan menggantungkan rasa percaya diri kita ke iklan-iklan yang ditawarkan media: pakailah celana jins ini dan kamu akan terlihat seperti Gigi Hadid!

Kebersamaan Yang Fungsional
Salah satu contoh konkret adalah menumpang kendaraan umum daripada membeli mobil. Selain mengurangi kemacetan, mengempiskan ongkos bulanan, Saya juga tidak perlu repot-repot cari tempat parkir. Bicara tentang mengendarai mobil ada kaitannya dengan kata kunci minimalisme tadi: empati. Dengan menyadari bahwa alam semesta adalah milik bersama, kita tidak bisa seenaknya menambahkan emisi CO2 ke lapisan ozon yang makin menipis, karena kita memiliki kesadaran: masih ada orang lain di planet ini yang berbagi udara dengan Saya dan membutuhkan udara bersih.
Tapi tunggu dulu, kebersamaan? Masih kah itu enforceable hari ini? Menurut Rohr-Zänker, kebersamaan ala tetangga di kota-kota besar tidak lagi merujuk pada keseragaman dan identifikasi, melainkan bersifat fungsional. Ya itu tadi, Saya akan mengenal Herr Gaum semata-mata karena paket Amazon. Apakah kisah persahabatan-sementara-karena-paket-Amazon kami akan berlanjut ke minum-minum teh sore di balkon Herr Gaum dan kami akan saling bertukar filosofi hidup, lihat saja nanti...

Dari Real Ke Virtual
Di Jerman sudah dimulai gerakan pinjam-meminjam atau pertukaran barang lewat portal-portal online. Jadi bukan tidak mungkin memiliki hubungan fungsional ala Mama Kai, Ibu As dan ortu Saya di Jerman sini. Kali depan Saya mau coba, ah!

Minggu, 12 Januari 2020

Fashion Bisa Jadi Jebakan: Ngawul Yuk!

Tulisan ini mengandung tema sustainability dan minimalisme.

Saya memang sangat mencintai fashion. Saya tergila-gila dengan pernak-pernik dan adalah kolektor anting-anting. Sering sambil membereskan, mensortir dan merapikan pernak-pernik, Saya menemukan banyak di antaranya yang Saya jarang pakai atau bahkan belum pernah sama sekali. Jadi gaunnya punya, sepatunya punya, tasnya ada, perhiasannya lengkap, Saya hanya butuh event untuk mengenakannya. Dan itu yang Saya tidak punya. Mana lagi lingkaran persahabatan Saya adalah para penggila Backpacker yang senantiasa hidup minimalis, mereka mana mungkin mengajak Saya ke pesta bergaya chi chi di mana mutiara bergelinding dan emas berkilau-kilau di lantai dansa. Aih, lebay.

Fashion is About an Outfit: Dari atas sampai Bawah Harus Senada.
Ya, jika tidak, percuma saja punya tas Gucci mahal kalau bawahnya pakai sendal jepit.
Contoh saja, Saya pernah membeli sebuah dress cantik tetapi cita rasa Saya bilang, dress itu baru maksimal kecantikannya kalau dia dilingkari ikat pinggang. Saya menengok ke dalam lemari, sudah ada 5 ikat pinggang nganggur di sana, tetapi mereka bukanlah pasangan serasi untuk dress Saya yang tanpa motif dan berwarna orens kecoklatan itu. Akhirnya daripada memubazirkan kehadiran sang dress, Saya pun harus membeli khusus ikat pinggang yang pas. Hal yang sama terjadi pada sepatu, ternyata sekian banyak sepatu di rak bukanlah pasangan ideal untuk si dress baru ini. Maka makin bengkaklah ongkos dan makin sempitlah ruang dalam rak dan lemari. Inilah salah satu perihal tentang fashion yang Saya sebut sebagai jebakan.

Kenapa Saya Bilang Fashion Bisa Jadi Sebuah Jebakan? 
Menurut pengamatan saya, karena fashion berkaitan erat dengan asesoris dan make-up. Punya baju mahal dan bermerek saja tidak cukup, tasnya harus Gucci juga, warna lipstiknya harus serasi juga. Sepatunya? Lalu tatanan rambunya? Tidak heran jika seseorang yang memiliki 12 jenis warna dress harus memiliki setidaknya 12 warna sepatu dan tas juga, selanjutnya 12 warna lipstik yang sepadan. Bukan saja koleksi  tata rias wajah dan rambut yang harus diperlengkap, tetapi produk-produk perawatannya jangan ketinggalan! Nanti kalau mukanya berjerawat bagaimana? (Siapa suruh kulitnya  ditempel-tempeli bedak?! Jadi orang kok suka merepotkan diri sendiri. Kata siapa kita lebih cantik saat berbedak?)

Dua Belas Warna Lipstik Yang Berbeda
Saya bicara begini karena Saya sudah melewatinya. Saya memiliki puluhan warna lipstik, bertumpuk-tumpuk bahan make-up dan puluhan Dress dan beberapa tas tangan beserta tetek-bengek perihal penampilan. Yang mana hampir tidak pernah saya pakai.
Sering Saya menatap semua itu dan mencoba mengingat-ingat berapa juta rupiah yang saya keluarkan untuk semuanya itu. Semakin hari saya semakin mempertanyakan keberadaan mereka: kenapa saya saat itu merasa harus memiliki mereka.
Pada suatu hari Saya menyadari: kenapa Saya membeli barang-barang yang asasinya tidak Saya butuhkan? Pertanyaan ini sudah saya coba jawab, dalam perenungan-perenungan di dalam kereta, bus, di atas sofa, di meja kerja, ketika jalan kaki, dan akhirnya Saya menyimpulkan beberapa jawaban pribadi. Saya mendapati bahwa pertanyaan ini mengantar saya menuju perenungan eksistensialis. Sepertinya saya ingin memvalidasi status sosial saya lewat penampilan, saya ingin melihat diri saya mampu dan layak untuk terlihat, dan juga sebagai bukti independensi saya. Tapi terkadang juga saya membeli sesuatu karena ada kekosongan di dalam hati. Terkadang saya membeli karena saya mau membeli, dan sanggup membeli. Bukan karena butuh.
Seperti yang John Strelecky tulis dalam novelnya, Return To The Why Cafe: saya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang media janjikan. Saya ingin pengakuan bahwa saya adalah bagian dari sesuatu yang membuat saya merasa diri sesuatu. Sesuatu itu sayangnya semu. Ini adalah motivasi utama dari banyak di antara kita dalam hal penampilan. Baik kita sadari atau tidak.

Tukar Pakaian Sebagai Wujud Nyata Sustainable Fashion
Jadi begini, Saya tidak bilang orang tidak boleh bergaya dan menjadi fashionable, namun fashion telah menjadi salah satu pintu masuk menuju budaya konsumerisme yang tidak sehat jika kita tidak cermat dan kritis. Kita bisa tetap menjadi fashionable dengan konsep sustainable fashion. Ada beberapa cara untuk bisa hidup minimalis, ramah ekologi tapi juga sekaligus fashionable. Patokannya satu: membenahi pola konsum. Daripada menghabiskan uang dengan cara selalu membeli barang baru, kita bisa ngawul alias membeli barang bekas, pergi ke pasar loak atau jelajah lapak berlabel vintage di media online. Berikutnya adalah mengadakan atau mengikuti gerakan clothing swap atau aksi tukar baju. Dengan demikian kita memberi kesempatan pada pakaian-pakaian tak terpakai di sudut lemari kita (daripada menumpuk tak berguna) untuk mendapat kehidupan baru, dihidupi, dikenakan, dimanfaatkan. Oleh orang yang membutuhkan.
Kebanyakan kita membeli pakaian  baru atas alasan bosan dengan yang lama, atau "Yang model itu Saya belum punya!" sehingga Clothing Swap adalah jawaban yang ideal untuk kebutuhan kita itu. 
Di Hamburg, tempat Saya tinggal, masyarakatnya sudah sangat sadar lingkungan, mereka secara pro aktif membentuk organisasi-organisasi peduli lingkungan. Di bidang pakan mereka mengadakan acara tukar baju. Madani banget lah! Keren abis, Saya hanya bisa bermimpi di Tanah Air juga bisa ada kesadaran lingkungan yang sangat positif semacam ini. Berikut adalah kisah Saya mengawali dunia eko-fashion di tahun 2018.

Clothing Swap in Hamburg, Germany

Adalah sebuah Winter di tahun 2018.
Dengan bermodalkan Google Map Saya mencari gedung itu, melewati belukar di belakang Sternschanze dalam rimba kegelapan dan akhirnya... Papan nama yang tertempel di dinding depannya membenarkan pertanyaan di benak Saya. Ini tempatnya. Dari luar terlihat seolah di dalamnya tidak sedang terjadi apa-apa. Pintu besi yang berat itu Saya buka dan mendapati puluhan anak muda dengan pundi-pundi bawaan mereka berbaris rapih di setiap anak tangga menuju lantai 3! Kami menunggu 30 menit sampai tiba giliran kami. Bir di bagi-bagikan supaya kami tidak kebosanan lalu pulang.
Para partisipan dibelah ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan urutan berdiri di anak tangga tadi. Dalam hati kecil Saya berharap semoga ada pakaian yang berukuran XS karena pengalaman Saya selalu buruk jika berbelanja pakaian. Secara orang Jerman memiliki standar tubuh S dan M, hampir tidak ada pakaian XS, kalau pun ada pasti langsung sold out
Pemuda-pemudi aktivis lingkungan itu dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Di sebelah kanan pintu adalah sebuah meja besar tempat meletakkan bawaan pundi-pundi kami. Masing-masing membawa lima potong pakaian bersih yang masih layak pakai untuk ditukarkan dengan 5 potong "baru" bawaan partisipan lainnya. Pakaian pun dikumpulkan, disortir berdasarkan jenis dan ukuran. Ada yang digantung, ada yang dilipat untuk disirkulasikan kembali kepada para partsipan.
Pakaian-pakaian yang dipertukarkan di sana masih sangat layak pakai, pemiliknya pasti sudah merasa bosan mengenakannya. Oke, bosan mungkin bukan kata yang cocok, lebih tepatnya pakaian itu telah kehilangan sinar gemilangnaya di mata sang pemilik, sama seperti banyak pakaian bagus di lemari saya. Kejenuhan itu terkadang datang satu tahun setelah pembelian baju tersebut, tetapi bisa juga satu minggu setelah. Pola konsum manusia telah menjadi sangat instan dan gesit dan ini sadar tidak sadar sangat mengancam ekosistem.
Ruangan hangat itu dipenuhi sekitar 30 pengunjung secara bersamaan, dan di tangga masih berbaris pengunjung-pengunjung berikutnya yang juga sama pedulinya terhadap lingkungan, atau sekedar bosan dengan isi lemarinya. Saya pulang dengan membawa 2 jaket musim semi/gugur berukuran XS (yang begini jarang sekali saya dapatkan) yang sudah selalu saya cari-cari tetapi selalu salah ukuran, rok dan baju kaos yang masih suka saya pakai sampai hari ini.

Semenjak hari hari itu saya selalu mendatangi acara tukar baju. Dengan demikian isi lemari saya tidak saya tumpuk, tetapi saya sirkulasi: ada yang keluar dan ada yang masuk. Acara tukar baju di Hamburg pun semakin bertumbuh dan berkembang, bahkan ada yang rutin diadakan setap bulan dan kita diperbolehkan membawa pulang pakaian lebih dari jumlah yang kita bawa, saking banyaknya pakaian-pakaian bekas nganggur tanpa peminat: daripada jadi sampah, mendingan diadopsi.


Tulisan terkait berikutnya menyusul.

Maksimalisme yang Tidak Maksimal

Satu jam lagi Saya harus berangkat naik kereta ke Altona, ke tempat kerja Saya di restoran asia. Tapi sebelum meninggalkan rumah Saya harus cuci piring, sedot debu, menjemur pakaian dan menyiram tanaman. Lagi-lagi Saya harus menjalankan jurus angin: bekerja secepat kilat karena tekanan waktu.
Satu jam berlalu, sudah saatnya berangkat, tetapi kamar tamu belum selesai juga Saya bereskan: ada terlalu banyak benda berhamburan di sana, bahkan beberapa hiasan rambut Saya, buku-buku, majalah, lilin, gelas-gelas, syal, beberapa potong pakaian, sisir, jarum dan benang yang tadi malam Saya pakai merombak BH melorot pun masih ada di sana, bantal tidur di atas sofa, dan surat-surat yang belum Saya buka. Surat-surat itu tentu saja setelah dibuka harus dibaca, dibalas (bila perlu) lalu disortir ke dalam map surat-surat yang tebalnya sudah bukan main (tentu saja proses panjang ini Saya undur-undur karena tidak ada waktu).
Saya sudah hafal jalan cerita hari ini. Karena hari ini akan berahir dengan lelah yang sia-sia dan Saya bahkan akan tidak bisa menjawab jika ada yang bertanya, "Hari ini tadi sudah ngapain saja?"
Kenalkah kalian dengan kesibukan sia-sia macam begini? Ya, Saya sebut sia-sia karena siapa suruh punya banyak pakaian? Siapa suruh punya banyak tanaman? Siapa suruh punya banyak perlengkapan dapur dan perabotan? Ujung-ujungnya Benda-Benda itu hanya merepotkan pemiliknya sendiri. Menghisap habis waktu dan tenaga yang Saya punya. Yang mana barangkali bisa Saya lakukan untuk berolahraga, meditasi, membaca buku, atau sekedar jalan-jalan sore. Apa? Jalan-jalan sore? Sejak kapan saya punya waktu untuk menghibur jiwa seperti itu? Huh!
Oh, Tuhan Saya merasa diteror oleh harta benda milik Saya sendiri. Saya tidak lagi merasa Saya yang memiliki mereka, tetapi merekalah yang memiliki Saya: mereka membuat hidup Saya hanya berputar-putar seputar bersih-bersih dan rapih-rapih. Yang mana jika dilaksanakan bisa makan waktu 4-5 jam-- yang mana tidak Saya punyai! Hari-hari Saya serasa semakin pendek karena selalu ada adegan rapih-rapih dan bersih-bersihnya. Saya sudah sering kepikiran untuk menyumbangkan sejumlah kepemilikan Saya, tetapi sayang. Sial, kenapa Saya menyayangi benda? Bukankah benda-benda tidak aka mengisi kekosongan di hati? Ya, tapi Saya tidak bisa buang begitu saja baju kaos pemberian adik sepupu Saya, atau kado perpisahan lucu dari Melanie, atau buku-buku penting yang memberi saya pelajaran-pelajaran berharga, apalagi yang sudah saya tandai dengan warna-warni dan ada catatan pinggir Saya, atau kartu-kartu ucapan selamat dari kolega dan teman-teman, apalagi kartu-kartu pos dari seluruh penjuru Dunia! Mereka berarti untuk Saya! Mereka mengingatkan Saya akan memori di balik itu yang mana mungkin suatu waktu nanti di saat renggang Saya akan bernostalgia dan bahagia akan segala hal keren yang pernah Saya lakukan. SAAT RENGGANG? Jika begini modelnya, konsep hidup saya, gaya konsum saya, saya tidak  yakin suatu hari nanti akan punya yang namanya Saat renggang!
Saya kangen momen-momen liburan: Saya hanya perlu memikul sebuah ransel berisi 9 kilogram dan saya bisa hidup dengan sempurna dari 9 kilogram isi itu. Saya tidak perlu menyiram tanaman, tidak perlu cuci piring yang rasanya tidak habis-habis kalau dicuci, Saya tidak perlu bongkar-bangkir lemari dan bingung mau pakai apa, karena dalam satu rogohan tangan ke dalam ransel saja sudah berarti sebuah jawaban pasti: Saya pakai ini hari ini. Saya tidak perlu bingung pakai sepatu apa, hanya ada sepasang sepatu. Betapa indahnya hidup dalam "Di sini dan Sekarang". Dan betapa indahnya hidup berkecukupan.

Tulisan ini adalah dialog hati dan kepala saya tentang tema materialisme, konsumerisme dan minimalisme. Tulisan terkait berikutnya menyusul. Terimakasih.



Sabtu, 14 Desember 2019

Resensi Buku "Sang Alkemis" karya Paulo Coelho

Dengarkan kata hatimu dan ikuti takdirmu!

Judul Buku: Sang Alkemis
Pengarang: Paulo Coelho
Genre: novel, fiksi petualangan
Tebal: 215 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 2005
Tempat terbit: Jakarta

Cerita dalam buku ini mengambil latar tempat di Andalusia, Spanyol dan latar waktu sangat jauh ke belakang, pembaca hampir tidak mengenali tepatnya kapan jika itu bisa dituliskan dalam angka. Jaman di mana menggembala domba masih salah satu jejak karir...

Catatan pribadi Saya (pembaca boleh loncati saja paragraf ini): Buku ini pertama kali diterbitkan di Brasil, asal sang pengarang, pada tahun 1988. Saya baru membacanya tahun 2018 pertama kali dan kesan Saya saat itu: buku ini bagus tapi Saya tidak merasa diajak berdiskusi olehnya.
Sekarang tahun 2019: Secara random Saya mulai baca kembali buku ini beberapa hari lalu, entah kenapa. Satu hal membuat Saya terperanjat: selama membaca, malam-malam Saya menjadi lebih menegangkan dalam pengertian positif. Saya jadi lebih banyak berdialog dan bermonolog dalam hati. Horison Saya seperti diperlebar dalam tingkat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Saya bahkan sampai merasa Paulo Coelho menuliskan ini semata-mata untuk seorang Mona baca! Berhubung beberapa hari sebelum baca buku ini Saya sudah baca buku-buku John Strelecky, maka di kepala Saya langsung muncul bunyi klik ketika Saya baca "Sang Alkemis" untuk yang ke dua kalinya, karena ke dua buku ini menyampaikan pesan moral yang sama persis namun dengan gaya dan latar penceritaan yang beda jauh.
Benar kata Guru Bahasa Indonesia Saya dulu di SMA dan dosen sastra Saya di kampus, pemahaman sastra seseorang berubah dari waktu ke waktu. Artinya, bisa jadi kalau Saya baca buku ini untuk ke tiga kalinya beberapa tahun lagi: Saya akan memahaminya dengan lebih baik atau bahkan mendapat pemahaman yang komplet berbeda dari yang sekarang Saya tulis.

Inti cerita:
Adalah seorang anak muda, Santiago, yang keluar dari seminari (sekolah pastor, sejenis pesantren) karena hatinya tergerak untuk mengembara. Berasal dari keluarga miskin, satu-satunya cara yang tersisa untuk bisa melancong ke seluruh penjuru negeri adalah dengan menggembalakan domba-domba. Santiago dengan keyakinan penuh terjun ke dunia penggembalaan pada usianya yang masih sangat belia, mengantarkan 60 domba-dombanya mencari rumput dan air; tidur di alam terbuka; bernegosiasi dengan para pedagang kain yang membeli bulu domba; terancam dirampok dan dibunuh; semua itu baginya bukan lagi risiko, melainkan bagian dari hidupnya: dia sudah terlanjur mendengarkan kata hatinya untuk bisa berkelana ke tempat-tempat baru karena jiwanya ingin sebebas angin.
Pada suatu waktu ia didatangi mimpi yang berulang, yang mengatakan bahwa ia harus ke Mesir untuk menemukan harta karunnya yang dikubur di piramida-piramida itu. Petualangan pun dimulai. Santiago yang pergi sebagai anak muda berambisi tidak pernah pulang sebagai orang yang sama lagi.

Toko-tokoh dan karakter:
Karakter yang mendominasi dalam cerita ini adalah protagonisnya, Santiago sendiri.
Petualangannya dari padang rumput di Spanyol sampai ke gurun Sahara dan Giza, di mana primaida-piramida bertengger, telah membuatnya bertemu dengan begitu banyak tokoh-tokoh yang mengesankan. Mereka semua memiliki kisah dan jalan hidup masing-masing yang sangat menarik untuk dicermati. Selama membaca buku ini Saya bahkan bisa merelasikan beberapa dari tokoh ini dengan orang-orang yang Saya kenal secara pribadi: ini menggambarkan betapa relevannya buku ini dengan kehidupan modern kita saat ini. 
Bagi Saya, Santiago adalah anak muda dengan karakter yang sangat kentara: intelegensinya menjadi senjata yang tak terkalahkan di padang gurun karena ia memiliki kepekaan terhadap naluri manusia dan suara-suara tak terdengar yang disampaikan alam sekitarnya. Biarpun terdengar cakap, Santiago tetap saja anak muda, darah muda, umuran jagung: sirat pola pikirnya yang naif, kadang "ceplas-ceplos", pernah teledor (membiarkan keseluruhan uangnya dipegang oleh tukang tipu di Tangier) dan nekat kadang bisa dirasakan dalam beberapa dialog dan/atau monolognya. Ini membuktikan bahwa Coelho tetap konsekuen dengan konstruksi karakter yang dia tampilkan dalam sosok seorang Satiago. Kalau seandainya dia terlalu serius dan bijaksana, bisa-bisa kesannya ketuaan.
Seperti yang kalian pembaca bisa rasa, Saya sangat mengagumi Santiago, dan terlebih lagi Paulo Coelho dalam keterampilannya menciptakan sosok anak muda ideal seperti Santiago: datang dari keluarga miskin, namun berjiwa besar; bermimpi tinggi, namun tidak egois apalagi narsis; berkeinginan keras nmun di saat yang bersamaan berhati peka dan lembut, mengejar mimpinya hingga terwujud, memiliki watak pejuang yang tangguh dan pantang mundur, yang menepati kata-katanya (sepersepuluh harta karunnya ia bagikan kepada si perempuan Gipsi dan ia juga kembali kepada Fatima untuk dinikahi) dan yang mempertanggungjawabkan cintanya!


Gaya bercerita:
Secara fisik: pilihan kata dan dialog dari awal sampai akhir buku ini rasanya seperti sudah dikalkulasikan secara matang: semua perumpamaan/dialog/anekdot sebenarnya hanyalah repetisi dari sebuah inti yang sama, sehingga saling relevan dan konsisten. Ciri fisik lainnya adalah kalimat-kalimat dalam novel ini pendek-pendek dan gampang dipahami, yang juga mengakibatkan terlalu sedikit penjelasan tentang emosi atau perasaan para karakter. 
Sebenarnya butuh daya imajinasi dan kedalaman berpikir untuk memahami buku ini lebih jelas karena banyak pesan-pesan moralnya dijabarkan dalam anekdot-anekdot dan perumpamaan-perumpamaan yang di dalamnya ada segudang kebijaksanaan yang teranggapremehkan dan akhirnya dilupakan. Contohnya ketika Santiago berdialog dengan Padang Pasir, Angin dan Matahari, Saya menafsirkan itu sebagai salah satu "gramatik" Bahasa Dunia yang terus-terusan disebut oleh Coelho dalam buku itu. Artinya kita, manusia, bukanlah ciptaan tunggal dan teristimewa, yang letaknya ada di puncak piramida hierarki alam semesta: kita masih butuh elemen-elemen lain. Kebenarannya adalah kita membutuhkan restu alam semesta dalam usaha perwujudan mimpi itu. Agak aneh memang untuk memahami Scene ini secara harafiah. Meskipun pertemuan Santiago dengan Raja Melkisedek dari Salem sudah lumayan tidak rasional untuk akal sehat kita di tahun 2019 ini.
Buku ini menceritakan kehidupan melalui perspektif eksistensialis. Artinya kita digugah terus-menerus oleh sang pengarang untuk memahami bahwa setiap manusia terlahir karena sebuah tujuan yang asal-muasalnya dari alam semesta--dari mana kita semua berasal. Kita diajak bertanya pada diri sendiri: apa takdirku? Apakah aku sudah berjuang untuk mengejar takdirku? Meski terdengar berat, sebenarnya sama sekali tidak. Karena Coelho tidak bergaya menggurui di sini, melainkan menggunakan anekdot-anekdot untuk menyampaikan hikmah-hikmah itu. Pembaca merasa seperti didongengi. Saya pribadi malah setengah merasa seperti sedang membaca kitab Perjanjian Lama (The Old Testament). Namun namanya juga karya sastra, gaya ceritanya mengalir, sampai-sampai kita bisa lupa bahwa ada berabad-abad terbentang di antara kalender aktual kita dan latar waktu terjadinya kisah ini.
Di beberapa celah yang lumayan jarang muncul terjadi pertukaran sudut pandang sehingga pembaca bisa meng-zoom in- zoom out secara objektif apa yang sedang terjadi dalam cerita. Selain membantu mengatasi monotonitas, pembaca juga jadi tahu apa pendapat tokoh-tokoh sampingan tentang si tokoh protagonis. Pertukaran perspektif ini tidak ada spasi panjangnya seperti yang orang biasa kenal dari buku-buku lain, namun Coelho menata karyanya serapih mungkin sehingga pembaca tidak iritasi: "He? Ini kalimat dipikirkan oleh?" (Kenalkah kalian momen di saat kalian diradang kecerobohan penulis?)

Pesan Moral:
Ada begitu banyak pesan moral dalam kisah buku ini, supaya tidak bertele-tele, Saya ceritakan Favorit Saya, dan supaya teratur, Saya nomorkan saja.

1. Ikuti suara hati! Bermimpilah dan wujudkanlah! 
Si anak keluar dai seminari untuk menjadi penggembala padahal itu sama sekali bukan hal yang membanggakan, tidak bagi dirinya sendiri maupun keluarganya; karena seseorang akan bisa lebih dihargai di masyarakat ketika berdiri di mimbar dan memimpin ibadah daripada melanglang buana dari satu padang rumput ke padang lainnya bersama domba-domba. Dalam roman ini sang pengarang sangat menitikberatkan pesan moral pada hasrat hati dalam mewujudkan panggilan hidup, terlepas dari status sosial dalam masyarakat nanti terlihat seperti apa.
Seperti yang dikutip di halaman 32 "...sebab ada satu kebenaran maha besar di planet ini: siapa pun dirimu, apa pun yang kaulakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah misimu di dunia ini."
Berikut kutipan percakapan Santiago dengan Sang Raja Melkisedek (hal.28):
"...dan pada akhirnya dikatakan bahwa setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia."
"Apa gerangan dusta terbesar itu?" tanya si anak lelaki, dia benar-benar terkejut.
"Beginilah dusta terbesar itu: bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi kepada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib. Demikianlah dusta terbesar itu."
"Itu tidak pernah terjadi padaku," kata si anak lelaki. "Orangtuaku ingin aku menjadi Pastor, tapi aku memutuskan untuk menjadi gembala."
"Begitu jauh lebih baik," kata si orang tua. "Sebab kau memang suka berkelaan."

2. Perubahan akan selalu datang
Hal. 39: ...Dan aku ada di sini, di Antara domba-domba dan harta karun itu, pikir si anak lelaki. Dia harus memilih antara cara hidup yang telah begitu dikenalnya dan sesuatu yang ingin dimilikinya.
Memang kebanyakan orang tidak suka menjerumuskan dirinya ke dalam hal baru, hal asing yang tidak dikenalnya. Santiago juga tadinya tidak! Dia sudah terlalu terbiasa dengan kehidupannya sebagai gembala sehingga muncul keraguan di benaknya apakah takdirnya itu masih layak diperjuangkan kalau sekarang saja dia sudah nyaman dengan 60 ekor dombanya… Perubahan terjadi supaya kita berkembang menjadi semakin matang secara mental, dan siapa bertahan samai garis finis mendapat upahnya. Santiago bukan saja dimedalikan harta karun pada akhirnya, melainkan juga dibekali sejuta pengalaman berharga yang menjadikannya sang Alkemis! 

Hal. 40:
Tak ada yang menahannya, kecuali dirinya sendiri. domba-dombanya, putri sang saudagar, dan padang-padang Andalusia hanyalah bagian dari rute yang ditempuhnya dalam perjalanannya mencapai takdirnya.
Terkadang kita harus meninggalkan rumah dan bahkan keluarga untuk mengejar takdir atau mimpi.  Pilihan yang sangat susah, namun suara dalam akal sehat kita mengatakan bahhwa ada harga yang perlu dibayar untuk itu. Yaitu membiarkan perubahan membuat kita tercungkil keluar dari zona nyaman kita dan mulai bergerak maju, menghasilkan karya dan bermanfaat bagi sesama.

3. Bahasa Dunia; Jiwa Dunia; Bahasa Universal; Bahasa Pertanda:
Inilah topik yang sangat relevan dengan 
"Tuhanlah yang menentukan jodoh orang: Kalau memang jodoh tidak akan ke mana!" itu peribahasa orang kita. Jodoh di sini bukan dalam pengertian kekasih atau suami-istri semata, melainkan makna yang lebih luas. Salah satu contoh adalah adegan di mana karavan yang ditumpangi Santiago menyeberangi Gurun Sahara dan para pemimpin karavan memperhatikan pertanda-pertanda yang disampaikan alam kepada mereka melalui "Bahasa Dunia": mereka menaati arah bintang sebagai penunjuk jalan, mereka mematikan lampu sebagai tanda waspada kalau-kalau pasukan-pasukan perang suku menghadang mereka sebelum karavan mereka tiba di Oasis, mereka menaati tradisi-tradisi gurun, dst… alam dan makhluk hidup sudah memiliki harmoninya sendiri, hewan-hewan tidak pernah kesulian memahami ini, tetapi manusia selalu mengabaikannya. Sebenarnya kita hanya perlu menjadi peka. Karavan itu harus membaca tanda bahwa padang pasir merestui kedatangannya, untuk menghindari kemungkinan bahaya.
Hal. 104
"Karavan dan padang pasir ini berbicara bahasa yang sama."

Di jaman yang modern ini, menurut hemat saya, mesin dan manusia terlalu banyak ikut campur dalam mempercepat dan mempermudah segala sesuatu hingga kita lupa menjadi dengar-dengaran terhadap suara-suara alam. Salah satu tema yang relevan adalah pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia yang tidak mengacuhkan bahasa-bahasa tanda yang alam coba komunikasikan ke kita. Padahal alam sudah mencoba mewanti-wanti kita sejak puluhan tahun lalu.
Hal. 104:
...segala sesuatu di muka bumi ini memiliki jiwa, entah itu mineral, sayuran, atau binatang--atau bahkan sekadar buah pikiran.
Kita membutuhkan restu alam semesta untuk membantu mewujudkan mimpi/takdir kita.

4. Kita semua satu adanya
Pesan damai ini sangat Saya sukai dari cerita ini. Santiago, yang dilahirkan dan dibesarkan secara Katolik, bahkan pernah membangku di seminari telah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Fatimah, wanita gurun yang beragama Muslim dan berpegang teguh pada tradisi gurunnya. Mereka tidak lagi membutuhkan kata-kata sebuah bahasa manusia untuk menjelaskannya, mereka hanya perlu saling menatap dan merasakan. Inilah bahasa universal itu, bahasa tanpa gramatik yang mampu menjelaskan perasaan-perasaan yang tak teruraikan dengan kata-kata. Kekuatan bahasa ini menembus sampai ke hati dan membebaskan batas-batas geografi; tembok-tembok suku bangsa dan identitas, bahkan agama menghilang… apalagi sekadar warna kulit: semuanya menjadi satu dan sama.  

Kesan Pribadi Saya:
Eksistesialis. Seperti yang selalu ditekankan John Strelecky, motivator ternama: orang seharusnya bertanya pada diri mereka sendiri: kenapa Saya ada di dunia ini, kenapa saya dilahirkan. Paulo Coelho mencoba meracik pelajaran-pelajaran hidup secara holistis lewat kisah hidup sederhana seorang gembala, yang merasakan panggilan takdirnya dan lantas memutuskan untuk mengikutinya. Sekalipun hidupnya sederhana, pembaca dibuat cukup penasaran oleh pengarang sebab lika-liku perjuangannya menuju harta karun itu berbukit terjal dan berbatu kerikil. Ia harus menyaksikan dan turut ambil bagian dalam begitu banyak hal-hal aneh, asing, mustahil, menyeramkan, menegangkan, menakutkan, sampai yang supranatural.

Novel ini khas Coelho yang spiritual dan dari buku-bukunya bisa disimpulkan dia tahu-menahu tentang alkimia, alam supanatural, takhayul, dunia sihir, jin, hipnotis, dunia mimpi, perjalanan kembali ke masa lalu, reinkarnasi, seni meramal, dst… Bagi saya ini sangat menarik: sisi "gelap" dunia yang termarginalkan itu akhirnya diekspos dan dalam kisah-kisah yang bikin penasaran. Karena jaman kita ini, sihir mentok-mentok mengingatkan kita pada Harry Potter dan Hogwarts. Dunia spiritual, kurcaci, tuyul, tabib, dukun, shaman, kepala suku terhitung terlalu primitif untuk disajikan ke mata pembaca.

Orang-orang yang bisa mendengar, memahami dan berbicara Bahasa Dunia adalah orang-orang yang memiliki sensibilitas. Kepekaan hati ini membuat seseorang bisa memahami dunia sekitarnya dengan lebih baik dan memudahkannya meraih cita-citanya. 
Buku ini memiliki daya jebak spiritual yang bisa membuat kita terperangkap, sekali baca tak bisa lepas lagi. Ia adalah salah satu buku yang tidak bisa Saya biarkan tergeletak berlama-lama karena seolah jiwa Saya ingin segera meneguk pesan-pesan baru di lembar-lembar berikutnya. Hampir di setiap halamannya mengandung sesuatu yang bisa dipetik. Saya tidak heran jika buku ini telah diterjemahkan dalam 81 bahasa.

Jumat, 29 November 2019

Sendiri di Luar Negeri: Kok Betah?

Hampir lima tahun Saya tinggal di negeri dongeng, negerinya Grimm Bersaudara. Banyak yang bertanya, apakah Saya akan pulang ke Tanah Air, ada pula yang bertanya apakah Saya akan menetap di sini. Dua pertanyaaan yang berbeda ini selalu Saya jawab berbeda pula dari waktu ke waktu. Kadang Saya bilang A, besok Saya bilang B. Lusa lain lagi. Ini membuktikan bahwa Saya sendiri masih dalam pencarian dan Saya tidak berniat untuk mengikrarkan apa-apa. Bukan berarti Saya sendiri tidak memikirkan hal itu, justru karena Saya terlalu banyak menimbang. Menanyakan pendapat teman-temann terdekat, mereka lebih berat ke arah, "Sudah, di sana aja, Mon, kan udah enak!" Mereka memang benar, Saya mendapat banyak privileg di sini, yang Saya tidak dapatkan di tempat lain. 

Kemewahan Yang Semu
Jarak yang terpisah laut dan benua membuat kita hanya melihat "perkembangan" sesama teman lewat unduhan mereka di media online. Terlihat Foto wisuda master lah, video pesta pernikahan lah, liburan ke pulau-pulau terpencil lah…. Tentu saja momen-momen bahagia itu ingin orang rekam dan bagi dengan sesama, lewat bantuan media online tadi. But that´s not all their life is about.          
Pengalaman saya adalah ketika Saya posting foto-foto liburan di luar negeri dan teman-teman Saya turut bahagia dengan kebahagiaan Saya, yang mana sangat Saya apresiasi, banyak mulai membangun opini "Enak ya!"  Saya mau jawab, kalau boleh, "Iya, enak pas liburnya saja…. Yang hanya dijatah 20 hari kerja dalam kurun setahun." Artinya 337 hari sisanya adalah rodi. 

Harus Ada Yang Dikorbankan
Kalau saya menghitung hal-hal yang tidak ada di sini, tapi ada di Tanah Air, nanti Saya dituduh tidak tahu bersyukur. Tapi supaya teman-teman yang belum pernah berdomisili di luar negeri dapat sedikit gambaran, Saya boleh lah cerita sedikit. 
Saya tidak seberuntung orang lain yang sering berkesempatan menghadiri setiap acara keluarga. Ada berapa banyak kelahiran bayi, sambut baru, pernikahan, wisuda, kematian, makan malam keluarga, natal bersama keluarga, nongkrong dengan teman, reuni sekolah yang Saya lewatkan? Puluhan! Sebagai gantinya Saya ada di benua lain, bekerja dan bekerja sampai tiba masa emas 20 hari itu… untuk dilewatkan supaya bekerja lagi hingga 337 hari tadi lunas.

Sendiri Di Luar Negeri
Saya masih ingat decak kagum beberapa warga Jerman saat mendengar cerita eksistensi Saya di sini. Karena mereka sendiri tidak bisa membayangkan tinggal dan bekerja di negeri lain, dengan budaya dan  iklim beda drastis dari yang mereka sudah selalu kenal seumur hidup. Sudah begitu, bicara bahasa lokal lagi. Ini selalu Saya simpan di ingatan sebagai motivasi untuk menghargai hasil perjuangan diri sendiri yang mana sering kita lupa sebagai manusia.
Sebenarnya hidup tanpa keluarga di luar negeri itu seni sekali, Saya jadi belajar tentang banyak hal.  Sebagai contoh, kalau kita hidup di tempat asal kita, kita tidak perlu repot-repot cari teman dan menjalin hubungan yang konstruktif. Teman itu ada saja dengan sendirinya, Hashtag primordialisme. Contohnya tetangga, teman sekolah, teman kampus, kolega kerja, teman segereja, dst. Sebagai bandingan, di Jerman, hanya karena kita duduk berdampingan di sebuah meja di sekolah bukan berarti kita berkenalan apalagi berteman. Karena kedua kepala ini belum tentu mengenal dan mempercayai hal-hal yang sama atau nilai-nilai yang serupa, apalagi memiliki opini dan pandangan yang relevan terhadap tema-tema tertentu.  Inilah yang membuat Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk mempelajari bab yang ini lewat keterasingan Saya di negeri Antah Barantah ini. 

Cari yang Sesama
Awal tahun 80-an kedua orang tua Saya memantapkan fondasi keluarga mereka di Pulau Timor. Keduanya berasal dari Pulau Flores, sebuah pulau dengan populasi umat katolik terbanyak. "Terdampar" di Timor di mana hanya ada satu gereja Katolik kecil di setiap radius… idk. Intinya sangat sangat minor. Saya masih ingat, hanya ada 3 murid katolik dalam sebuah kelas berisi 36 siswa. Bisakah kalian bayangkan pas pelajaran agama hanya  ada empat kepala dalam ruangan? Kelas-kelas di sekolah dasar belum pernah seintim itu. Rasanya cukup asing bagi anak usia SD jaman 90an masa itu. Tahun 2001, saat kecamuk politik di Timor Leste, kami kedatangan satu "teman" baru dari TimTim yang orang tuanya pro NKRI. Terimakasih Habibie, kami pun akhirnya berempat! 
Yang ingin Saya ceritakan adalah bahwa kelompok minoritas tadi yang mayoritasnya berasal dari Manggarai (Flores) ini mulai membentuk sebuah kelompok arisan. Asal sama, Bahasa sama, agama sama, bentuk fisik sama (you know, we are made in Manggarai kalau kamu melihat betis-betis besar kami yang sangat beda jauh dari betis tipis ala orang Timor). Singkat cerita, sebagai anak kecil Saya merasa menjalani dua dunia yang berbeda. Di satu sisi Saya orang Timor, tali pusar saya dikuburkan di Tanah Timor, tetapi Saya dididik dan dibesarkan dengan cara Manggarai. Dua dunia yang cukup berbeda untuk skala lokal kita. Bagi seorang anak kecil itu cukup membingungkan.
Belajar dari pengalaman itu, Saya selalu mengijinkan diri untuk bergaul akrab dan bertata krama dengan warga lokal. Di mana pun Saya berada. Bahkan ketika Saya libur ke luar negeri, Saya selalu belajar bahasa standar lokal, untuk kontak yang lebih dekat dengan warga setempat, dan juga sebagai apresiasi budaya lokal. Karena Saya tidak ingin menjalani dunia A dan B bersamaan. Di mana kaki berpijak, di sana langit dijunjung. Saya tidak bisa mengharapkan orang Jerman selalu tersenyum ramah ala orang Timur, atau ketawa lepas ala orang NTT. Saya harus mengembik kalau masuk kandang kambing, meringkik di kandang kuda dst.

Kacang Lupa Kulit?
Ini tema yang belakangan ini suka Saya perdalam dengan beberapa teman. Komunikasi jadi jarang. Itu salah satu harga yang tertera di rekening rantauan Saya ini yang Saya harus bayar. Selain harga bahwa saya tidak bisa menikmati sinar matahari sepanjang tahun, tidak bisa makan Nasi Padang, tidak menghadiri acara keluarga, dst…. 
Setiap hari Saya bangun jam 6 dan mulai kerja jam 8 pagi sampai 19.00. Keluarga dan sahabat-kerabat Saya terletak di zona +7 jam, artinya mereka sudah tidur ketika Saya puang kerja. Secara saya bekerja dari Senin sampai Minggu, balik ke Senin lagi, kami putus komunikasi.
Beberapa teman mencoba merawat the good old times kami lewat berkomentar di Instagram Saya, yang saya balas berhari-hari kemudian. Pesan-pesan menumpuk di WhatsApp, Saya balas seada waktunya saja, dan karena pesan itu tiba di jam-jam saat mereka di zona seberang masih tidur, tentu saja mereka tidak langsung membalasnya. Tersendat-sendat gitu komunikasinya. Dan ini pun salah satu konsekuensi dari tinggal di luar negeri. Dan kalau kelian tertarik tanya, rasanya tidak enak. Saya lebih fokus ke efektivitas dan efisensi. Artinya Saya tidak suka Chat ala:
"Hai, Mon..." Begitu saja. Tidak ada lanjutannya.
Atau, "Hallo kaka Mona, apa kabar…?" Titik.
Karena saya akan jawab besoknya.
Baru lusa datang pesan berikutnya,
"Saya juga baik-baik saja."
Pada hari ke tiga ke dua belah pihak sama-sama menyerah dan vonisnya: Mona kacang yang lupa kulitnya.
Seorang sahabat Saya orang Indonesia yang sedang sekolah di Munich punya trik: teman-teman yang dia jarang temui dalam kehidupan sehari-hari dia per-pos-kann saja. Artinya dia tidak buang waktu untuk Chat ala remaja lagi, melainkan dia mulai bertukar surat. Dengan demikian dia bisa becerita panjang dan dalam kali lebar.
Mengatasi pembuangan waktu untuk chatting berjam-jam, teman kerja Saya, Sonita, punya tips yang sangat bagus: dia mengdeinstalasi WhatsApp dari Smartphone nya. "Saya tinggal telpon kalau Saya mau ngobrol."
Sonita memang benar, banyak orang kehilangan berjam-jam waktu mereka dalam sehari hanya dengan mengotak-atik WhatsApp, padahal obrolannya sebatas di permukaan saja, "Apa kabar?" Yang mana pastinya dijawab, "Baik, kau?"Sama seperti di kolom komentar di Instagram, kita tidak bisa memulai BigTalk di sana. Sebatas fasad, sebatas permukaan, sebatas basa-basi… Domisili Saya yang sangat terasing tidak mengijinkan Saya untuk terlalu lama berbasa-basi. Jika kangen, Saya tulis kartu pos, atau telpon atau Video call, itu lebih silahturahmi daripada harus me-like setiap postingan teman-teman saya.
"Sejak saya menghapus Facebook dan Instagram Saya, Saya jadi tahu siapa di antara teman-teman saya yang benar-benar peduli terhadap Saya. Saya tahu, mereka hafal hari ulang tahun Saya, karena tidak ada media online mengingatkan mereka tentang itu. Dan Saya sangat apresiasi itu," tambah Sonita lagi. Dan lagi-lagi dia benar.


Oke deh teman-teman, cukup senam jari hari ini. See you, love you :)

Senin, 22 Juli 2019

Mbak Viva Nomor 5 dan Selera Mas Bule


Hamburg, Maret 2019. Saya dan teman saya, Melanie, merayakan ulang tahun bersama. Pesta lokal itu dihadiri tamu internasional, di basement sebuah asrama mahasiswa dengan fitur bar dan sistem audio. Sementara para tamu: sibuk serius dengan stick Kicker merawat martabat gawang, yang lain fokus berusaha melempar ping pong ke dalam gelas berisi bir, sisanya: menikmati Golden Caiprinha racikan Melanie di pojok-pojok redup yang digelantungi balon warna-warni. Menurut daftar absensi di kepala saya, semua tamu saya sudah hadir, sudah saya sapa, saya suguhi, saya temani cukup lama untuk boleh menyingkir lagi. Ke dapur, tempat dari mana saya berasal sebagai tuan rumah.
Rekha, adalah seorang insinyur asal India. Pintu dapur yang lumayan sempit menjebak kami dalam percakapan yang hangat. Dietrich, teman saya nimbrung. Lalu, Martin, lalu Phillip. Percakapan jadi panas. Rekha dan saya saling sependapat tentang cara pandang orang Asia terhadap kulit „gelap“ mereka. Dan kami setuju bahwa itu adalah penyangkalan martabat asasi yang keliru. Teman-teman Jerman kami yang sudah baca/dengar sejarah dunia, menyalahkan jaman imperialis yang ditandai dengan penjajahan bangsa Eropa  ke benua-benua lainnya. Kisah-kisah terkenal yang kalian dengar: bangsa Aborigin dan Indian termarginalkan oleh hadirnya bangsa Eropa (baca: kulit putih). Rekha setuju, namun saya ragu. Artikel ini masih belum sanggup jelaskan hipotesis mana yang benar.
Jakarta, dalam sebuah mobil, 2014. Seseorang yang saya baru jabat tangan beberapa menit yang lalu bilang seolah terkagum ke teman saya yang duduk di sebelah saya, „Dia orang NTT tapi kulitnya bersih ya!“ Si „Dia“ dalam kalimat di atas dimaksudkan saya. Saya tercengang. Saya perpleks. Saya tidak mau lagi balas kalimat mbak itu, saya merasa dihina secara suku bangsa.
Legian, 2013. „Emang selera bule!“ Kata seseorang kepada seseorang di samping saya tentang saya. Tiga menit sebelumnya percakapan diawali dengan topik kebangsaan: warna kulit. (saya hampir menguap)
Purworejo, 2012. Teman KKN saya bertanya kepada saya apakah sewaktu kecil saya berkeinginan untuk berkulit putih. Siapa yang tidak? Dia mengaku, turut terlibat dalam mimpi yang janggal itu, bahkan sampai hari ini dia masih merasa terlalu coklat. Saya ingin mengingatkan dia betapa indahnya kulit dia, tapi usaha saya sia-sia.
Jogjakarta, 2010. Saya tidak mengerti kenapa teman-teman kampus saya membahas warna kulit tanpa bosan-bosannya. Kena pancaran sinar matahari sedikit sudah dicap belang. Tidak disayang hanya karena „belang“, oh, Kulit yang malang. Satu hal yang saya tidak bisa lupa adalah gema kata ireng di telinga saya. Terdengar politically incorrect, but who cares!
Ende, 2008. Saya tinggal di sebuah asrama putri selama masa SMA saya. Apakah kalian punya bayangan bagaimana rasanya hidup dengan 120-an makhluk puber seumuran dan sejenis kelamin di bawah satu atap sementara kalian datang dari pulau dan desa yang berbeda-beda? Kalau saya bilang menyenangkan, kebenarannya belum terbongkar 100%! Intinya kami saling bertukar ajar, berbagi tak-tik dan trik yang kami butuhkan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup ala remaja: trik menghilangkan jerawat, trik melengkungkan poni padahal rambut sangat keriting, trik mengurangi minyak di wajah, trik memungkinkan segala sesuatu yang tidak mungkin seperti meluruskan rambut dan memutihkan kulit melalui bantuan bubuk wajah.
Oesao, Kupang, 1997. Lemari pakaian di kamar tidur orang tua saya berwarna biru pastel. Sisa bukti trend warna 70-an/80-an. Laci teratas lemari ini tak berpintu, di sanalah letak riasan mama saya. Ada bubuk wajah, warna-warni wajah, dan segala macam yang menarik penasaran anak gadis 6 tahun. Saya suka mengunjungi laci ini, laci kecantikan, kalau mama saya masih mengajar di sekolah dan saya sudah di rumah. Beberapa tahun kemudian saya sudah tahu membedakan kulit saya cocok dengan Viva nomor 5 atau nomor 4. Nomor 5 ini lebih gelap dari nomor 4. Tapi karena mbak Viva bukan produksi orang Timur, jadi jatuhnya inbetween. Coba kalau ada Viva nomor 4,5!!!

Kronologi 1997-2019 menunjukkan, putih gelapnya kulit masalah banget dalam budaya tanah air (Rekha yang dari India bisa konfirmasi kebenaran stereotip ini di tanah air dia yang juga mayoritas kulit berwarna!). Dan ini tertanam secara sengaja atau tidak sengaja dalam diri seorang anak yang mana di usia dewasanya akan dia reproduksi.
Hampir dalam setiap produk kecantikan dan perawatan tubuh di Asia mengandung whitening. Dan tidak jarang ditemukan kandungan mercury (air raksa) di dalamnya. But who cares! Yang penting putih ma men! Melanie kelabakan saat liburan di Indonesia, dia mau membeli sunscreen tapi tidak ada yang tanpa pemutih! Dia mengaku mengalami shock budaya saat itu.

Yang Rekha dkk simpulkan: ini ulah koloni (Eropa) sehingga rakyat mendewa-dewakan putihnya kulit namun legenda rakyat ini ditentang oleh mbak Luh Ayu Saraswati. Ibu dosen cantik di Universitas Hawaii ini membukukan risetnya tentang tema yang sama dan men-discover bahwa pemujaan terhadap putihnya kulit hanya diperkuat oleh koloni, tapi tidak berasal dari koloni! Karena jauh sebelum tanah air dijajah kita sudah sangat mendewakannya. Bukti: dalam epos Ramayana dan Mahabarata wayang-wayangnya dipoles putih sebagai simbol positiv. Sebaliknya, untuk menggambarkan kejahatan atau kenegativan, Rahwana atau Prabu Dasamuka berkulit gelap (atau merah).
Kalimat-kalimat atau kejadian-kejadian serupa di atas pernah siapa pun alami atau dengar, terutama jika yang bersangkutan berkulit sawo matang. Saking seringnya muncul dalam keseharian, banyak yang mengabaikan bahkan melumrahkan. Namun efeknya tidak disadari kita juga yang tanggung beban: kurangnya penghargaan atas fisik alami kita adalah salah satu contohnya. 
Dalam tulisan saya kali lalu tentang Indonesia Bhineka „Tunggal Ika“ saya mencoba untuk mencapai sebuah pemahaman bahwa kita memang sangat beragam, mulai dari rambut sampai mata kaki. Perasaan kurang putih hanya terjadi ketika seseorang mulai membandingkan dirinya dengan yang lebih putih. Beberapa tahun yang lalu ada sebuah iklan TV yang sangat rasis: „Cantik kayak Korea!“ seru seseorang dalam iklan itu. Lagi-lagi putihnya kulit disembah membabi buta. Tidakkah kalian muak? 
Ya, saya mengkritik media televisi karena dengan iklan Biore dan Ponds-nya, menjanjikan pipi merah merona. Apanya yang merona kalau kita berkulit sawo matang? Ini bukan saja janji yang tidak real melainkan juga provokasi, penipuan dan pembodohan masyarakat. Masyarakat yang naif percaya dan beli saja, dengan harapan status sosial mereka naik seturut „terpenuhnya“ standar estetika yang berlaku mutlak (putih itu cantik). Dengan kata lain: iklan ini menyangkali eksistensi NKRI yang sejati.
Sebagai anak perantau, kalian pasti kenal kalimat-kalimat ini: „Ihh, tambah putih aja!“ „Tambah langsing aja!“ „Makin gemuk ya, sekarang?“ „Kok kurusan sih?“ dan sebagainya. Kita bisa mengerti maksud perkataan mereka karena mereka masih menyimpan sosok kita di ingatan versi saat terakhir kali mereka lihat. Namun yang saya lihat, jika ini dilumrahkan, maka yang berucap suka keceplosan bahkan tidak respek dengan perasaan yang punya badan. Topik tentang penampilan, berat badan dan warna kulit suka dibesar-besarkan sampai topik terpenting termarginalkan: Apa kabarmu? Bagaimana pekerjaan? Lancar? Kau sehat-sehatkah? Kau bahagia kah di sana? Semua ini tersampingkan karena, „Hey, tambah putih ya! Pakai apa? Harga berapa? Beli di mana?“
Kenapa harus merasa asing dengan kulit sendiri? Coklat? Coba tengok KTP, barangkali Anda orang Indonesia, sudah lupa?