Senin, 22 Juli 2019

Mbak Viva Nomor 5 dan Selera Mas Bule


Hamburg, Maret 2019. Saya dan teman saya, Melanie, merayakan ulang tahun bersama. Pesta lokal itu dihadiri tamu internasional, di basement sebuah asrama mahasiswa dengan fitur bar dan sistem audio. Sementara para tamu: sibuk serius dengan stick Kicker merawat martabat gawang, yang lain fokus berusaha melempar ping pong ke dalam gelas berisi bir, sisanya: menikmati Golden Caiprinha racikan Melanie di pojok-pojok redup yang digelantungi balon warna-warni. Menurut daftar absensi di kepala saya, semua tamu saya sudah hadir, sudah saya sapa, saya suguhi, saya temani cukup lama untuk boleh menyingkir lagi. Ke dapur, tempat dari mana saya berasal sebagai tuan rumah.
Rekha, adalah seorang insinyur asal India. Pintu dapur yang lumayan sempit menjebak kami dalam percakapan yang hangat. Dietrich, teman saya nimbrung. Lalu, Martin, lalu Phillip. Percakapan jadi panas. Rekha dan saya saling sependapat tentang cara pandang orang Asia terhadap kulit „gelap“ mereka. Dan kami setuju bahwa itu adalah penyangkalan martabat asasi yang keliru. Teman-teman Jerman kami yang sudah baca/dengar sejarah dunia, menyalahkan jaman imperialis yang ditandai dengan penjajahan bangsa Eropa  ke benua-benua lainnya. Kisah-kisah terkenal yang kalian dengar: bangsa Aborigin dan Indian termarginalkan oleh hadirnya bangsa Eropa (baca: kulit putih). Rekha setuju, namun saya ragu. Artikel ini masih belum sanggup jelaskan hipotesis mana yang benar.
Jakarta, dalam sebuah mobil, 2014. Seseorang yang saya baru jabat tangan beberapa menit yang lalu bilang seolah terkagum ke teman saya yang duduk di sebelah saya, „Dia orang NTT tapi kulitnya bersih ya!“ Si „Dia“ dalam kalimat di atas dimaksudkan saya. Saya tercengang. Saya perpleks. Saya tidak mau lagi balas kalimat mbak itu, saya merasa dihina secara suku bangsa.
Legian, 2013. „Emang selera bule!“ Kata seseorang kepada seseorang di samping saya tentang saya. Tiga menit sebelumnya percakapan diawali dengan topik kebangsaan: warna kulit. (saya hampir menguap)
Purworejo, 2012. Teman KKN saya bertanya kepada saya apakah sewaktu kecil saya berkeinginan untuk berkulit putih. Siapa yang tidak? Dia mengaku, turut terlibat dalam mimpi yang janggal itu, bahkan sampai hari ini dia masih merasa terlalu coklat. Saya ingin mengingatkan dia betapa indahnya kulit dia, tapi usaha saya sia-sia.
Jogjakarta, 2010. Saya tidak mengerti kenapa teman-teman kampus saya membahas warna kulit tanpa bosan-bosannya. Kena pancaran sinar matahari sedikit sudah dicap belang. Tidak disayang hanya karena „belang“, oh, Kulit yang malang. Satu hal yang saya tidak bisa lupa adalah gema kata ireng di telinga saya. Terdengar politically incorrect, but who cares!
Ende, 2008. Saya tinggal di sebuah asrama putri selama masa SMA saya. Apakah kalian punya bayangan bagaimana rasanya hidup dengan 120-an makhluk puber seumuran dan sejenis kelamin di bawah satu atap sementara kalian datang dari pulau dan desa yang berbeda-beda? Kalau saya bilang menyenangkan, kebenarannya belum terbongkar 100%! Intinya kami saling bertukar ajar, berbagi tak-tik dan trik yang kami butuhkan untuk bertahan hidup. Bertahan hidup ala remaja: trik menghilangkan jerawat, trik melengkungkan poni padahal rambut sangat keriting, trik mengurangi minyak di wajah, trik memungkinkan segala sesuatu yang tidak mungkin seperti meluruskan rambut dan memutihkan kulit melalui bantuan bubuk wajah.
Oesao, Kupang, 1997. Lemari pakaian di kamar tidur orang tua saya berwarna biru pastel. Sisa bukti trend warna 70-an/80-an. Laci teratas lemari ini tak berpintu, di sanalah letak riasan mama saya. Ada bubuk wajah, warna-warni wajah, dan segala macam yang menarik penasaran anak gadis 6 tahun. Saya suka mengunjungi laci ini, laci kecantikan, kalau mama saya masih mengajar di sekolah dan saya sudah di rumah. Beberapa tahun kemudian saya sudah tahu membedakan kulit saya cocok dengan Viva nomor 5 atau nomor 4. Nomor 5 ini lebih gelap dari nomor 4. Tapi karena mbak Viva bukan produksi orang Timur, jadi jatuhnya inbetween. Coba kalau ada Viva nomor 4,5!!!

Kronologi 1997-2019 menunjukkan, putih gelapnya kulit masalah banget dalam budaya tanah air (Rekha yang dari India bisa konfirmasi kebenaran stereotip ini di tanah air dia yang juga mayoritas kulit berwarna!). Dan ini tertanam secara sengaja atau tidak sengaja dalam diri seorang anak yang mana di usia dewasanya akan dia reproduksi.
Hampir dalam setiap produk kecantikan dan perawatan tubuh di Asia mengandung whitening. Dan tidak jarang ditemukan kandungan mercury (air raksa) di dalamnya. But who cares! Yang penting putih ma men! Melanie kelabakan saat liburan di Indonesia, dia mau membeli sunscreen tapi tidak ada yang tanpa pemutih! Dia mengaku mengalami shock budaya saat itu.

Yang Rekha dkk simpulkan: ini ulah koloni (Eropa) sehingga rakyat mendewa-dewakan putihnya kulit namun legenda rakyat ini ditentang oleh mbak Luh Ayu Saraswati. Ibu dosen cantik di Universitas Hawaii ini membukukan risetnya tentang tema yang sama dan men-discover bahwa pemujaan terhadap putihnya kulit hanya diperkuat oleh koloni, tapi tidak berasal dari koloni! Karena jauh sebelum tanah air dijajah kita sudah sangat mendewakannya. Bukti: dalam epos Ramayana dan Mahabarata wayang-wayangnya dipoles putih sebagai simbol positiv. Sebaliknya, untuk menggambarkan kejahatan atau kenegativan, Rahwana atau Prabu Dasamuka berkulit gelap (atau merah).
Kalimat-kalimat atau kejadian-kejadian serupa di atas pernah siapa pun alami atau dengar, terutama jika yang bersangkutan berkulit sawo matang. Saking seringnya muncul dalam keseharian, banyak yang mengabaikan bahkan melumrahkan. Namun efeknya tidak disadari kita juga yang tanggung beban: kurangnya penghargaan atas fisik alami kita adalah salah satu contohnya. 
Dalam tulisan saya kali lalu tentang Indonesia Bhineka „Tunggal Ika“ saya mencoba untuk mencapai sebuah pemahaman bahwa kita memang sangat beragam, mulai dari rambut sampai mata kaki. Perasaan kurang putih hanya terjadi ketika seseorang mulai membandingkan dirinya dengan yang lebih putih. Beberapa tahun yang lalu ada sebuah iklan TV yang sangat rasis: „Cantik kayak Korea!“ seru seseorang dalam iklan itu. Lagi-lagi putihnya kulit disembah membabi buta. Tidakkah kalian muak? 
Ya, saya mengkritik media televisi karena dengan iklan Biore dan Ponds-nya, menjanjikan pipi merah merona. Apanya yang merona kalau kita berkulit sawo matang? Ini bukan saja janji yang tidak real melainkan juga provokasi, penipuan dan pembodohan masyarakat. Masyarakat yang naif percaya dan beli saja, dengan harapan status sosial mereka naik seturut „terpenuhnya“ standar estetika yang berlaku mutlak (putih itu cantik). Dengan kata lain: iklan ini menyangkali eksistensi NKRI yang sejati.
Sebagai anak perantau, kalian pasti kenal kalimat-kalimat ini: „Ihh, tambah putih aja!“ „Tambah langsing aja!“ „Makin gemuk ya, sekarang?“ „Kok kurusan sih?“ dan sebagainya. Kita bisa mengerti maksud perkataan mereka karena mereka masih menyimpan sosok kita di ingatan versi saat terakhir kali mereka lihat. Namun yang saya lihat, jika ini dilumrahkan, maka yang berucap suka keceplosan bahkan tidak respek dengan perasaan yang punya badan. Topik tentang penampilan, berat badan dan warna kulit suka dibesar-besarkan sampai topik terpenting termarginalkan: Apa kabarmu? Bagaimana pekerjaan? Lancar? Kau sehat-sehatkah? Kau bahagia kah di sana? Semua ini tersampingkan karena, „Hey, tambah putih ya! Pakai apa? Harga berapa? Beli di mana?“
Kenapa harus merasa asing dengan kulit sendiri? Coklat? Coba tengok KTP, barangkali Anda orang Indonesia, sudah lupa?