Kamis, 15 Desember 2011

Bapa

          Ayahku sering kupanggil Bapa. Ia adalah sesosok ayah yang tampak biasa dari luar. Ia bukan tipe pria metropolitan atau metroseks seperti David Beckham atau siapa. Pakaian-pakaian untuk acara resminya biasanya Batik Solo. Satu-satunya dokumentasi yang menangkap basah Bapa memakai jas dan berdasi adalah foto-foto pernikahannya dengan Mama. Bapa benar-benar pribadi yang sederhana tapi hanya aku dan keluarga kecilku yang tahu betapa sebenarnya ia sangat luar biasa. 


Bapa lahir 58 tahun yang lalu, dari keluarga petani yang serba kekurangan. Akan tetapi justru dengan kekurangan itu Bapa belajar untuk menghargai dan juga sebagai motivasinya untuk tetap bertahan sampai menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Menurut Mama, Bapa bukan siswa yang cerdas, tetapi ia adalah yang paling tekun di antara teman-temannya. Dan aku sendiri bisa melihat itu.
Meskipun Bapa sangat menjengkelkan karena ia sering ngomel, tetapi ia bukan tipe yang PERNAH mengeluh. Ia sangat cerewet, terutama jika itu berbicara padaku.  Dan ia terus saja menasihatiku dengan nasihat-nasihatnya yang saaaaangat membosankan (jika dikumpulkan dalam bentuk tulisan, tebalnya kira-kira setara dengan Alkitab), tetapi akhirnya ketika aku berada jauh darinya, nasihat-nasihat itulah yang menjadi pedomanku.
Bapa tidak merokok, atau minum alkohol, atau bahkan kopi atau teh. Ia pecinta air putih sejati. Ia menyukai olahraga sehingga posturnya sangat atletis, tetapi ia juga sangat suka membaca — dua hal yang sulit dihubungkan dalam satu kepribadian. Selain fisik, secara rohani ia adalah orang yang sangat taat beragama. Seumur hidupku, aku belum pernah mendapati kebohongannya atau pun sekali melihat ia absen ke gereja, meskipun dalam keadaan sakit. Ia juga sangat tabah dalam menghadapi berbagai cobaan yang datang silih berganti dalam keluarga kami.
Semasa kanak-kanak, aku sering didongengi Bapa. Ia mendongengiku di mana saja, termasuk di atas motor atau di meja makan, supaya aku menyelesaikan makananku. Bapa adalah pendongeng terbaik sedunia. Ketika ada adegan nyanyi dalam sebuah bagian cerita, ia akan menyanyikannya, dan ketika harus menirukan suara para tokohnya, ia akan menirukannya lengkap dengan dua tangannya yang juga ikut mengilustrasikan. Ketika kecil, Bapa memanggilku dengan sebutan “Cahaya Biru”. Cahaya Biru adalah tokoh dalam salah satu dongeng kesukaanku. Ia adalah peri yang menyelamatkan sang putri yang dibuang ke dalam sumur gelap oleh seorang nenek sihir. Bapa juga adalah orang yang tetap menggendongku ketika aku sudah bisa berjalan sendiri, ketika aku sudah berseragam putih-abu, bahkan! Dan kalian tahu itu di mana? Di pelabuhan dan bandara. 


Bapa sangat ulet dalam setiap usahanya. Ia sangat suka bertani, bertani apa saja. Bahkan di usianya yang hampir kepala 6, ia masih sangat proaktif mengurusi sawah-sawah dan kebunnya. Dari sana Bapa mengajariku banyak hal yang tidak akan kuperoleh dari orang lain, yaitu kemandirian dan ketekunan. Karena Bapa adalah sosok yang enerjik yang tidak takut kalah dan pantang menyerah.
Sekalipun begitu, Bapa pernah menjadi orang pertama yang bersikeras melarangku kuliah di luar provinsi. Awalnya kukira karena ia menyayangi uangnya, tapi setelah aku terpisah ribuan kilometer darinya dan menyaksikan sendiri betapa ia sangat berkorban demi aku, akhirnya aku sadar bahwa ia lebih menyayangiku. Karena itulah ia tak ingin aku berada jauh darinya.  Bapa sangat suka membangga-banggakan aku, meskipun itu hal remeh sekalipun sehingga aku sadar, ia menaruh harapan yang begitu besar padaku. akhir kata bukan akhir cerita. Begitulah para orang tua tidak pernah sekali pun mengatakan, "Nak, kami sayang padamu." Tapi apa yang mereka lakukan selalu adalah pengorbanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku sangat bahagia karena ia telah memilih menjadi ayahku, dulu, kini, dan selamanya.