Rabu, 04 Januari 2012

TARIAN CACI


Caci adalah suatu tarian tradisional dalam suku Manggarai, Flores, NTT. Tarian ini tidak diperuntukkan bagi para wanita, apalagi anak kecil karena sangat melibatkan fisik, ketangkasan, dan kejantanan. Selain itu, medan dan kondisinya yang sangat “laki-laki”. Misalnya medannya yang harus di tempat terbuka dengan bertelanjang dada, saling mencambuk dan tangkas menangkis.



 
Sejarah
Secara etimologi, caci berasal dari kata ca yang berarti satu dan ci yang berarti memaksa. Secara harafiah, caci dapat diartikan pertandingan satu lawan satu, memukul dan menangkis secara berbalasan. Menurut cerita para orang tua, caci berawal dari perang tanding antarsuku yang sering dilakukan oleh nenek moyang zaman dulu. Itulah sebabnya gerakan-gerakan dalam tarian caci hampir sama dengan gerakan-gerakan dalam perang tanding tersebut. Namun ada pula sejarah yang mengatakan bahwa tarian caci berasal dari musyawarah para leluhur antarsuku untuk melaksanakan upacara lingko atau lodok (pembagian tanah baru untuk dijadikan kebun). Proses pembagian ini harus diiringi tari-tarian, musik gong dan gendang. Karena itu, jika ada penarfi caci yang terluka dan berdarah dalam pertandingan, maka darah itu dianggap sebagai lambang kesuburan.



Pelaksanaan
Tarian ini biasanya dilaksanakan pada upacara-upacara adat tertentu, namun bisa juga untuk sekedar menyambut pejabat atau hiburan turis belaka. Caci tidak pernah dilaksanakan pada malam hari.
Tarian caci dibuka dengan tarian danding yang ditarikan baik oleh perempuan maupun laki-laki, yang berfungsi untuk meramaikan pertarungan nanti. Biasanya yang menarikannya melantunkan lirik yang memompa semangat para pemain caci dalam pertandingan. Musik yang mengiringinya berupa gendang dan gong dengan irama ndundundake.
Untuk tarian caci yang asli (sebagai ritual adat), terdapat ritual khusus yang perlu diikuti sebelum bertarung, yaitu tudak (doa) di depan compang (semacam mesbah sebagai tempat untuk menyimpan sesajian. Letaknya di depan rumah adat) dengan maksud untuk menghormati arwah nenek moyang masyarakat setempat.
Sebelum beradu dalam tarian, setiap pemain caci akan melakukan gerakan  pemanasan otot dengan tarian. Sambil menari, pemain caci menyanyikan lagu daerah untuk menantang lawannya. Serangan bisa dimulai sebagai pemukul (orang ini disebut paki), dan di kesempatan berikutnya ia menjadi ta’ang (yang menangkis). Seorang paki menyerang menggunakan pecut (kayu panjang melengkung yang di ujungnya terdapat cambuk terbuat dari kulit kerbau) di tangannya. Ia melakukan kuda-kudanya untuk melihat di mana dan kapan kemungkinan ia mengayunkan cambuknya ke arah seorang ta’ang. Ta’ang harus lihai menangkis dengan menggunakan nggiling (tameng yang terbuat dari kulit kerbau) di tangan kirinya dan tereng (kayu sebagai alat penangkis) di tangan kanan. Semua ini dilakukan dalam tarian : kepala, tangan, dan kaki harus bergoyang seirama dengan gendang dan gong yang sedang dimainkan. Itulah sebabnya, paki dan ta’ang bisa disebut penari, bisa disebut petarung.
Bagian badan yang boleh dipukuli meliputi bagian pusar ke atas hingga wajah. Jika pukulan larik mengenai bagian wajah hingga luka atau berdarah, maka yang bersangkutan harus diberhentikan. Dalam caci, ini disebut beke (aib) yang biasanya membawa malu bagi kelompok dari mana pemain atau penari caci itu berasal. Itulah sebabnya seorang penari caci harus serba tangkas dan hati-hati.
Setelah seorang pemain caci berhasil menangkis cambukan dari lawannya, ia akan membawakan dere nenggo (sebuah lagu tunggal). Suaranya itu harus baik (tidak sumbang) dan syair yang dibawakannya tidak boleh menyinggung perasaan orang lain, tetapi membuat penonton kagum atau simpati. Isi lagu juga harus sesuai dengan topik saat itu.



Unik
Tarian ini mengkolaborasikan antara seni tari, musik, seni bersyair, dan seni bela diri. Karena juga termasuk bela diri, maka tarian caci dapat disebut juga sebagai olah raga tradisional suku Manggarai.
Keunikan lain tarian ini adalah bahwa seorang penari caci harus pandai bertatakrama dengan syair-syair yang menghibur penonton. Biasanya ia menggunakan kata-kata yang mengandung kiasan dan puitis, dan tidak menyinggung perasaan sehingga mengundang sorak-sorai penonton. Raut muka yang ramah pada saat dan sesudah tarian berlangsung juga merupakan bagian penting dari keramahtamahan ini yang disebut lomes.
Meskipun nampaknya penari caci berkelahi hebat, saling cambuk, namun tarian ini adalah sebuah momen budaya yang dimainkan dengan penuh suka cita. Dalam menampilkan kehebatan cambuk-tangkis, tidak mengutamakan kalah atau menang, tetapi lebih mementingkan semangat kekeluargaan dan sportivitas karena buktinya dari dulu sampai sekarang tidak ada permusushan antarsuku dalam masyarakat manggarai karena caci.