Selasa, 10 Mei 2011

ORANG INDONESIA RAMAH? KATA SIAPA?

Salah satu kebanggaan orang Indonesia adalah budaya keramahtamahannya. Mereka mengklaim bahwa orang Barat atau negara-negara maju di luar negeri sana orang-orangnya individualistis, sampai-sampai dengan tetangganya sendiri – baik yang tinggal di perumahan maupun di apartemen – saling tidak mengenal.
Slogan keramahtamahan ini sudah ada sejak zaman lama di Indonesia , sampai-sampai di setiap memperkenalkan budaya Indonesia, orang Indonesia akan mengatakan, “ Orangnya ramah-ramah dan murah senyum.” Di zaman yang makin maju dan perkembangan teknologi yang makin pesat ini, apakah slogan basi itu masih bernyawa? Apakah benar orang-orang Indonesia masih murah senyum seperti yang dikatakan itu? Ataukah itu sekarang hanya sebuah idealisme belaka – “ Keramahtamahan? Itu duluuu……” Apalagi zaman sekarang, manusia hampir-hampir lebih tertarik dengan benda mati seperti komputer dari pada sesama manusianya sendiri. Juga lebih senang jalan-jalan dan bahkan mencari jodoh di dunia maya daripada di dunia nyatanya. Bandingkan waktu bersosialisasi sehari-hari dengan waktu berhadapan dengan computer dari suat individu! Ini secara pasti merujuk ke individualisme.
Mungkin, mungkiiiiin, keramahtamahan itu masih ada sisa-sisanya di kampung-kampung atau tempat-tempat yang belum terjamah modernisasi. Tetapi di kota-kota dan daerah suburban, ternyata tidak lagi berlaku.
Pernah dalam suatu wawancara dengan turis asing dari Eropa, saya menanyakan (kata “menanyakan” kurang tepat karena sebenarnya secara tidak langsung saya hanya minta dia mengatakan “iya”).
Saya              : “Bagaimana pendapat Anda tentang Indonesia?”
Turis asing   : “Indonesia itu indah dengan cuaca dan jatuhnya hujan yang dramatis.”
Saya              : “Bagaimana dengan penduduknya? Mereka ramah-ramah, bukan?”
Turis asing   : (berpikir beberapa saat sambil mengerutkan keningnya) “Tidak juga!”
Saya              : (toeeeengggg!!!!)

Bagaimana ini? Kita mengklaim diri ramah, tetapi tamu malah tidak merasa bahwa kita ramah…
Ya, ramah bukan berarti melempar senyum ke siapa pun yang kita temui di jalan. Kalau begitu, bisa-bisa kita disangka “agak miring”. Tetapi keramahan bisa kita tunjukkan dari hal-hal kecil, misalnya dalam pelayanan dalam suatu bidang jasa, saat berhadapan dengan klien kita, dengan orang yang tergabung dalam satu atap atau naungan, sampai orang yang membutuhkan bantuan kita – meskipun itu hanya sekedar menanyakan arah jalan.
Terkadang keramahtamahan itu disalahartikan oleh kebanyakan orang Indonesia. Misalnya dalam budaya basa-basi (sepertinya ini satu-satunya budaya Indonesia yang tidak pernah pudar di kalangan mana pun). Pertanyaan seperti “Mau pergi ke mana?” – “Berapa usia Anda?” – “Sudah menikah atau belum?” – “Sudah memiliki berapa anak?”, dsb sering dilontarkan kepada orang lain yang baru dikenal, termasuk para turis asing. Pertanyaan ini mungkin dianggap biasa oleh orang-orang Indonesia, tetapi bagi orang luar negeri, ini justru namanya tidak sopan. Jadinya bukan ramah tamah lagi, malah penasaran dengan hak privasi orang lain.



Senin, 09 Mei 2011

Pulang Ko Kotong Bangun Sama-sama Kupang



Pernah baca novel “Lembata” karangan F. Rahardi? Novel itu bercerita tentang seorang romo (Romo Pedro) yang kembali untuk membangun daerahnya setelah studi S2 nya di Jakarta selesai. Ia merasa iba melihat kesengsaraan dan kemiskinan yang ada di daerah asalnya, NTT. Kebetulan ia diutus untuk menjadi pastor di Lembata, pulau kecil yang dikenal dengan ritual menangkap ikan pausnya dan tanah kelahiran Jenius Bahasa, Goris Keraf—namun masyarakat di sana hidup di bawah kemelaratan.
Meskipun ia akhirnya keluar dari imamatnya (menjadi orang biasa), namun semangat Romo Pedro untuk berkarya justru semakin membara. Dengan kecerdasan dan keluwesannya (bahkan ketampanannya yang luar biasa), ia tak pernah sedikit pun terpikir untuk tinggal dan mencari pekerjaan di Jakarta atau kota besar lainnya. Padahal orang setipe dia bukan levelnya tinggal di NTT, apalagi di Lembata. Sebenarnya dia bisa saja bekerja di mana saja, dengan ijazah S1 Teologi dan S2 Ekonominya, tetapi justru ia jadikan itu sebagai talenta untuk membangun tanah kelahirannya. Yang ia lakukan adalah membudidayakan tanaman anggur dan gandum di Lembata. Alhasil, pendapatan daerah tersebut meningkat karena hasil komersialnya. Penduduk pun jadi lebih terbantu dengan didirikannya koperasi setempat.
Di atas tadi hanya sebuah ilustrasi dari sebuah novel fiktif, namun hikmahnya bisa kita ambil dan terapkan di dunia   nyata. Sebagai mahasiswa, hendaknya mulai dari sekarang kita sadar karena kitalah yang akan menjadi masa depan bangsa ini, khususnya daerah kita berasal (masih ingat aturan otonomi daerah kan?). “ Siapa Anda dan dari mana Anda berasal” hampir selalu memnentukan status Anda untuk mendapatkan tempat dalam suatu “ruangan” atau situasi tertentu. Dalam suatu perkenalan, ketika menyebutkan asal, pernahkah Anda merasa bangga saat menyebutkannya? Ataukah Anda canggung sendiri karena sadar betul bahwa daerah Anda berasal terkenal dengan kekurangan air, busung lapar, korupsi yang subur, rendahnya SDM , dsb? Kita tidak mau kan, hal ini berlanjut sampai 10 tahun mendatang? Kalian juga mau kan, di setiap menyebutkan asal, Anda tersungging senyum bangga bahwa Anda berasal dari NTT. Karena itu, mulailah dari sekarang untuk menumbuhkan kesadaran membangun daerah. Do something! Minimal belajar yang rajin agar universitas Anda tidak merasa sembelit dengan keberadaan Anda. Ukirlah prestasi di bidang tertentu, agar bisa ada sesuatu yang bernilai positif yang bisa dibanggakan.
Bagi teman-teman yang menempuh pendidikan di luar NTT, saran saya, selesai wisuda kembalilah ke kampung halaman kita. Bangun dan baharuilah mereka. Dengan  hal-hal positif yang inovatif yang sudah dipelajari dari tanah rantauan. Tentu kita akan menuai buah yang manis demi masa depan anak cucu kita nanti.

Kamis, 05 Mei 2011

Maniak Cabai Rawit ala Orang Kupang

       Kebiasaan orang Kupang yang satu ini memang jangan diragukan lagi. Sebagai salah satu hasil pertanian utama di pulau Timor, cabai rawit (dalam bahasa Kupang : Kurus) memegang peranan penting. Pada saat musim kemarau tiba, banyak petani yang menanamnya di lahan tanam mereka. Selain nilai jualnya yang tinggi, tetapi orang Kupang sendiri memang begitu gemarnya dengan buah yang satu ini. 
      Begitu banyak jenis makanan khas Kupang yang bisa diramu dengan "si kecil" ini, misalnya lawar, Jagung Bose, singkong rebus (ubi), RW -- bukan RW yang Rukun Warga itu, tetapi RW yang daging anjing itu (di Kupang, RW identik dengan daging anjing, sedangkan di daerah lainnya di NTT, RW bisa juga daging babi).  Bahkan RW itu yang menentukan enak-tidaknya adalah cara si "koki" meracik kadar pedasnya cabai rawitnya. 
      Banyak orang Kupang tergila-gila dengan cabai rawit, sampai-sampai ada semboyan, "lebih baik makan nasi tanpa sayur daripada makan nasi tanpa kurus (cabai rawit)". Soal rasa, jangan ditanya lagi. Semakin pedas, orang Kupang akan semakin suka. Kalau di Jawa, orang membuat sambal dengan menambahkan gula agar rasanya gurih dan tak terlalu menyengat lidah, akan tetapi di Kupang justru sebaliknya-- acara goyang lidah merupakan ritual menarik saat menyantap makanan. Jadi, biasanya remaja Kupang yang berkuliah di luar NTT akan mengeluh soal sambal yang rasanya kok malah manis.
      Hmmm.... apakah karena itu, makanya banyak yang bilang rata-rata wanita Kupang cerewet-cerewet seperti orang kepedasan makan sambal...