Jumat, 28 Oktober 2016

Apakah saya seorang Scanner atau Diver (Part II-End)

Scanners love to read and write, to fix and invent things, to design projects and businesses, to cook and sing, and to create the perfect dinner party. Mereka memiliki aneka ragam interest dan hobi yang warna-warni. Mereka selalu ada dalam pergerakan: sebelum sesuatu mereka tuntaskan, tampaknya Scanners sudah mendarat ke hal berikutnya yang menarik perhatiannya. Menjadi Expert bukanlah tujuannya sejak awal. Dia justru berpikir: Menjadi ahli berarti membosankan, sama saja dengan mengikuti satu hal yang sama seumur hidup dan menyangkali 999 hal menyenangkan lainnya.

Tipe Scanners yang jarang dijumpai dalam masyarakat membuat ia sering dianggap remeh bahkan tidak ditoleransi, terutama oleh pemberi kerja. Bagaimana tidak? Curriculum vitae seorang Scanner terlihat begitu tidak fokusnya sehingga si calon bos berpikir ia tidak akan setia bekerja di perusahaan tersebut. Seperti yang kita semua tahu, semua pemberi kerja berharap merekrut karyawan setia yang setidaknya bisa bekerja sampai 30 tahun… Scanners? Dengan resume yang “zig zag” tampak seperti seorang drifter (tersesat ke sana kemari)? Setahun jadi tenaga marketing, kemudian jadi guru, lantas tiga tahun kerja sebagai pemandu wisata, eh, sekarang melamar sebagai tim kreatif pada sebuah perusahaan organiser. Kebanyakan mereka ditolak: dituduh sebagai karyawan yang kurang loyal, bukan tenaga yang expert di bidangnya, tidak komitmen terhadap tugas, dsb, dsb… Sementara itu, menurut Sher, Scanners bukanlah Drifters, mereka justru Adventurers. Scanners menyukai petualangan, mereka menyukai hal baru dan menyingkap tabir misteri (While scanners explore the world broadly, divers explore in depth.) Mereka memiliki rasa penasaran yang naif terhadap segala sesuatu yang menarik perhatian mereka.

Membaca artikel ini saya merasakan epifani: ternyata there’s nothing wrong with me. People Like me do exist. It is totally normal being me as a scanner. Jika membandingkan dengan teori ini, saya adalah seorang Scanner. Saya lulusan pendidikan (pedagogik), pernah mengecap beberapa pekerjaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan latar belakang pendidikan saya, pernah bekerja sebagai  guru bahasa Inggris dan Jerman, lalu asisten dokter gigi, di saat yang bersamaan blogger dan pelukis. Dan sejak lima tahun terakhir I started taking pictures, karena fotografi adalah bidang yang sangat menarik saya. Bukan hanya di dunia pendidikan dan pekerjaan ciri Scanners dalam diri saya bisa terlihat, di bidang lain pun bisa dengan jelas. Contohnya di usia 17 saya benar-benar ingin belajar main gitar, saking saya menyukai Avril Lavigne (dan belum lagi kecintaan saya terhadap gitaris Andra Dewa 19, Izzi Stradlin dan Zynyzter Gates). Setelah susah payah mengumpulkan uang, saya akhirnya membeli sebuah gitar akustik. Sampai hari ini saya tetap saja tidak tahu cara memetik gitar. Seiring waktu, hal yang sama terjadi pada selera musik saya. Saya menyukai rock, blues, lalu merambat  ke jazz, mendarat di reggae, ska, yang pasti soul, RnB, hip hop, latin, pop, dan ujung-ujungnya dangdut. Teman, sahabat, kenalan saya terdiri dari berbagai jenis golongan yang mana kalau saya pikir-pikir, kadang sampai harus kagum, kok kita bisa nyambung. Bahkan domisili saya pun menunjukkan kalau saya seorang scanners. Saya pernah berdomisili di beberapa pulau yang berbeda yang membuat saya bisa paham/berbicara beberapa bahasa/dialek lokal. Sebagai seorang yang menyukai bahasa, saya berbicara fasih dalam tiga bahasa nasional, dan sedang belajar Bahasa Spanyol. Dulu saya pernah dicap seorang kolega sebagai si tukang Escape, sedangkan baru-baru ini seorang teman pernah melabeli saya YOLO (You Only Live Once)-Type. Dia mengamati saya yang sering merasa dunia ini terlalu besar dan berwarna, tapi saya hanya hidup sekali, usia saya tidak akan lebih dari kurun seratus tahun, I need to grab more and fast before it is too late, cause I’m dying to experience them all!
Pure as a melody, pure as I wanna be…
All I wanna be, oh
All I wanna be is everything
everything at once…


Saya pernah ada di suatu titik di mana saya sempat berpikir: Jangan-jangan saya nanti tidak bisa apa-apa dengan sangat baik dan mapan, karena keseringan ganti hobi dan interest. Saya sadar, saya berbeda. Bahwasanya orang-orang di sekitar saya cenderung homogen: kalau pengennya itu ya itu saja, ditekuni habis-habisan sampai lihai dan professional. Namun menurut buku Barbara Sher, jika dunia memahami dan menerima spesies Scanners ini sebagai eksis dan normal, justru mereka akan menjadi tenaga handal dalam dunia jaman sekarang yang penuh perubahan dan dinamis nan dramatis. Dengan kemampuan dan background mereka yang heterogen, seorang pemberi lapangan kerja bisa memanfaatkan ini ke kreativitas yang benar-benar positif dan inovatif.

Apakah saya seorang Scanner Atau Diver? (Part I)

Ketika kecil saya suka melukis. Karena melihat bakat menggambar saya, ibu saya membelikan cat air dan perlengkapannya. Saya bahkan sempat memenangkan lomba melukis tingkat kabupaten. Tidak lama kemudian saya jatuh cinta dengan menjahit. Lagi-lagi terinspirasi dari ibu saya yang dulu sempat menekuni bidang garmen. Saya sempat menjahit pakaian Barbie, membuat sebuah boneka dan menempel nama saya di bantal kepala. Di saat yang bersamaan saya suka menggunting-gunting kertas, melipat, membuat hiasan, tempat pensil atau apa pun itu. Singkatnya basteln (bahasa Jerman untuk aktivitas menggunting-melipat-menempel). Kalau Anda punya anak putri seperti ini bayangkan seperti apa rumahnya? Berantakan. Jelas.

Ibu saya sering marah-marah karena sebelum menyelesaikan satu “proyek”, saya sudah membanjiri diri saya dengan “proyek” lainnya. Belum selesai melukis, saya masuk kamar dan gunting majalah sana-sini.  Belum kelar rajutan saya, saya sudah minta bantuan ibu saya untuk mengajarkan saya nyanyi. Oh ya, by the way ibu saya pintar nyanyi. Sebenarnya sih dia bisa banyak hal—dengan sangat professional malah— dan “sayangnya” saya mewarisi itu. Tapi ibu saya tidak memahami kenapa saya suka tidak tuntas mengerjakan sesuatu. Dia selalu bilang, “Mona, kamu itu tidak telaten.” Dan karena alasan ini, beliau pernah bilang, “Kalau saya ajarkan kau nyanyi, nanti baru sampai nada mi kau sudah bosan. Kalau mau belajar sama mama harus tuntas, tidak main bosan-bosanan!”  Mama saya bukannya sedang jahat, dia hanya sedang bingung saja—layaknya orang tua “normal”—barangkali pikirnya “Ini anak kalau tipenya begini, jangan-jangan sekolah pun tidak akan tuntas.” Itulah sebagian gambaran masa kecil saya. Saya punya beraneka ragam hobi. Mulai dari indoor (basteln) sampai outdoor: memanjat pohon, menangkap kupu-kupu, jalan-jalan ke hutan, memancing… Saya sampai tidak bisa bilang, saya suka mana lebih daripada yang mana.

Hobi adalah benih dari cita-cita. Karena sejak kecil gemar membaca buku, saya sangat ingin menjadi penulis buku. Tapi cita-cita pertama saya justru menjadi pembaca berita. Masih ingat Desi Anwar? Ya, yang itu, acara berita Nuansa Pagi! Siapa yang tidak ingat kharismanya saat membaca berita. Saya dan sang ayah yang tidak pernah alpa setiap pagi menonton acara di RCTI itu, sangat memuja pesona smart ala Desi Anwar, sampai-sampai sang ayah sempat sangat berharap saya menjadi seperti sang bintang jurnalistik idola. Di masa sekolah dasar saya tiba-tiba ingin menjadi polwan, lalu pernah ingin jadi dokter… bahkan astronot, yang mana sempat menjadi karya lukis saya. Hhh, saya sendiri kadang pusing jadi pribadi yang banyak maunya.

Sampai di sini kalian akan mulai mengambil satu kesimpulan sederhana: saya orang yang tidak fokus terhadap satu hal, saya tidak konsisten, tidak komitmen, saya suka mengganti-ganti. Tapi saya mendefinisikan diri saya dalam kosakata yang nadanya positif: saya hetero, saya adalah garis zig zag, saya dinamis, saya tidak statis, saya eksploratif, saya adaptif, saya fleksibel terhadap perubahan, saya kreatif, variatif, saya lebih dari 50 gradasi abu-abu—bukan berarti saya tidak pegang prinsip. Prinsip saya itu tadi: mobilitas. Tapi jujur saja, saya terang-terangan akan menjauhi rutinitas, menghindari monotonitas dengan alasan itu penjara, perangkap atau takdir.

Secara kebetulan saya membaca di internet sebuah referensi buku psikologi yang ditulis oleh Barbara Sher, “Refuse To Choose” (2006). Buku ini memperkuat keyakinan saya bahwa saya bukannya “tidak normal”, saya hanyalah spesies yang belum dideteksi oleh dunia. Jadi, dalam buku ini, Sher membagi jenis manusia ke dalam jenis The Divers dan The Scanners. Penjelasannya seperti di bawah ini.

The Divers
The Divers adalah tipe yang perfeksionis. Ciri mereka bisa dijumpai pada para musisi, ilmuwan, atlet, penari, programmer. Seperti arti namanya, Penyelam, mereka akan menyelam sampai ke dasar, hingga menemukan keutuhan dari bidang yang mereka tekuni. Mereka ulet, setia, tekun di suatu bidang yang sama, hingga kemampuan mereka di bidang itu tajam terasah. Mereka adalah expert di bidang tertentu dan tidak akan puas jika hanya disuguhkan “permukaan” saja. Mereka terkadang juga hanya memiliki satu atau dua long-life hobi yang mana mereka jalankan dengan telaten. Menurut Sher, mayoritas populasi di dunia adalah tipe Divers.

The Scanners
“To scanners, the world is like a big candy store full of fascinating opportunities, and all they want is to reach out and stuff their pockets. It sounds wonderful, doesn’t it? The problem is, Scanners are starving in the candy store.” tulis Barbara dalam situs http://www.getmotivation.com/articlelib/articles/barbara_sher_scanner.html Terkait dengan tema ini, sebuah situs pernah memaparkan, Scanners tidak takut gagal, Scanners hanya takut bosan. Mereka mencoba ini itu, layaknya si tukang cemil: banyak makan tapi tidak akan merasa kenyang yang sesungguhnya.

Profesi The scanners biasanya pustakawan, filmmakers, guru, manajer, dsj. Jika kita bandingkan terhadap Divers, Scanners cenderung menyentuh sesuatu di permukaan saja. Mereka menyukai banyak hal, bahkan dalam waktu yang bersamaan. Mereka tidak pernah takut mencoba, justru mereka takut untuk tidak mencoba hal baru. Kenapa? Mereka takut missing all that fun!

Jika kamu hampir selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan "Ya", kamu bisa masuk dalam golongan The Scanners.

Senin, 24 Oktober 2016

Mengdeinstalasi Facebook dari Gadget: Bukan salah kacang melupakan kulitnya

Sebagai seorang perantau, saya sering merasa kangen rumah dan orang-orang tersayang saya. Sejak usia 15 tahun saya meniggalkan rumah dan orang tua demi sekolah. Yang letaknya di pulau seberang. Selama tiga tahun di sekolah berasrama tersebut, saya jadi memiliki banyak teman dan sahabat baik. Setamat SMA, saya kembali mengembara. Ke pulau yang justru lebih jauh, Jawa. Saya memilih Jogjakarta, kota kecil yang indah dan nyaman untuk mahasiswa. Selama kuliah saya sempat mengecap lima dunia kerja yang berbeda—part-full time. Kenalan saya mulai dari kaum akademik sampai para pedagang di Malioboro yang bahkan berteman sangat baik dengan mereka, sampai hari ini. Lima tahun kemudian saya pindah ke Jakarta dan bekerja setahun di sana. Sebagai seorang tenaga pengajar, saya tidak hanya menjadi bagian dari staf, melainkan juga dari murid-murid. Kalau ingat mereka yang baik hati, manis dan lucu, jadi benar-benar kangen.

Domisili saya yang sekarang di Jerman membuat saya merasa terampas oleh jarak dan waktu. Kalau di sini jam 7 malam (saya hampir selalu tiba jam 7 di kos sepulang kerja), di Indonesia sudah jam 1 pagi. Itu baru yang di Jawa. Kalau orang tua dan keluarga besar saya di NTT, sejam lebih awal lagi, jam 2 dini hari: bagaimana saya bisa telpon?! Sementara pekerjaan yang sangat menyita waktu ini membelenggu komunikasi kami. Waktu yang tersisa untuk memble dan kangen-kangenan kampong halaman rasanya seperti remah-remah waktu. Kadang tidak masuk akal saja jika saya harus mengirim pesan satu per satu keluarga/teman secara regular, “Hai, apa kabar? Saya kangen.” Bayangkan, dari keluarga/teman yang tersebar di beberapa pulau/propinsi/kabupaten/kota seperti itu, mana kebagian waktunya. Sementara dilihat dari realita Life is now and here: saya juga butuh kale, nongkrong dengan manusia-manusia yang wujud dan suaranya bisa saya lihat/dengar langsung. Weekend kadang saya habiskan dengan teman-teman yang saya kenal di Jerman. Bisa macam-macam orangnya, mulai dari yang saya kenal di tempat kerja, sampai yang saya kenal di situs online. Kadang saya menemukan diri saya dalam keadaan sedih dan lelah. Hanya karena saya tidak sanggup menjaga silahturahmi dengan “kulit kacang saya”. My family and my friends mean the world to me!



Saya masih ingat ketika SMA, saya masih kirim-kiriman sms dan telponan dengan orang tua saya. Hal yang serupa ketika saya kuliah di Jogja. Sejak di Jakarta, komunikasi kami berubah: saya hanya cek-cek di Facebook lewat postingan mereka, untuk mencari tahu apa kabar mereka. Saya paham, mereka sendiri punya hidup. Artinya saya juga tidak berharap jika ada kabar baru, sayalah orang pertama yang mereka cari untuk dikabari. Contohnya ipar saya yang melahirkan anak, saya awalnya tahu dari Facebook dulu. Kemudian baru dia berkabar, “Mona, kau sudah punya ponaan baru sekarang.” Bagi saya, telat tidak apa, toleransi saja, toh saya juga mengembaranya pake tingkat benua!

Pada fase ini jugalah saya yang gaptek mulai menggeser fungsi sms dengan Whatsapp. Tapi stalking di Facebook tetap saya jalankan, saya kangen! Serius, saya suka stalking bapa, kakak, sepupu, om/tante, teman masa kecil, sahabat kuliah, sahabat seperjuangan, kolega baik, konco-konco gila saya, abis itu saya like postingan mereka bertubi-tubi. Postingnya 2013, saya like di 2015. Kira-kira begitu. Ketahuan sekali ini orang kepo. But they just mean the world to me!!!

Suatu ketika, saya merasa kelabakan. Harus noleh kiri, kanan, tegak, depan, belakang, diam, nyahut… Saya bingung. Banyak yang ajak chat di Whatsapp, BlackberryMessenger, Line, Facebook dan Skype. Saya kasi respon “remah-remah”. Beberapa diamkan saja tapi beberapa took it too personal, dan itu membuat saya bingung. Saya berharap pihak seberang paham posisi saya, tapi barangkali dia sama lelahnya juga seperti saya. Saya bukannya tidak respek dengan yang namanya silahturahmi, tapi saya merasa kurang hidup. Waktu saya saya lempar ke belakang terus, kapan saya maju…. Rumusnya begini, kalau setiap kali ada waktu luang saya pakai untuk chat dengan keluarga/teman di Indonesia, kapan saya berkembang di Jerman? Saya selalu sempatkan diri untuk berkabar dan menyatakan how much I love my family/friends. Tapi kadang ada aja yang nuntut lebih… Maunya aku tongkrongi berjam-jam di skype atau Whatsapp. Kapan saya punya quality time dengan diri saya sendiri kalau begini?  Saya juga butuh malam-pengobat-lelah-sepulang-kerja: mandi air panas 20 menit, teh hangat, baca buku, dst tanpa dentang denting di handphone atau laptop. Yang kalau saya buka ternyata “hanya” pesan berulang dari orang yang sama.

Akhirnya solusi saya adalah menghapus semua media sosial tersebut (WA, FB, BBM, Line, Skype) dari handphone/laptop saya. Minggu pertama berlalu: saya merasa benar-benar nyaman. Tidak perlu lagi kebiasaan lama: sadar pagi-pagi langsung buka handphone dan cek pesan atau komen di Facebook. Tidak perlu lagi chat online di saat saya lagi hang out dengan beberapa teman di kafe. Tidak perlu lagi merasa wajib balas-balas pesan di media sosial capek-capek sepulang kerja. Daaaannn… tidak perlu lagi kesakitan mata karena terlampau lama menatap layar bercahaya. Lebih baik tertinggal daripada terkejar.

Minggu kedua saya mulai kangen. Saya tidak bisa obati kangen ini dengan meng-sms kaluarga/teman saya, mahal! Sempat terpikir instal ulang Whatsapp: ah kemudahan, nanti chat-chatan melulu! Akhirnya saya instal kembali Facebook di Smartphone saya. Saya jadi bisa berkiriman pesan, kepo orang-orang terdekat, dan sebaliknya mereka pun bisa kepoin saya kalau-kalau kangen.
Seminggu tanpa Facebook sangat menenangkan dan menyehatkan. Saya bisa tidur awal, bangun tanpa sengatan cahaya layar, dst.
Menurut BBC (http://www.bbc.co.uk/newsbeat/article/26780069/smartphone-overuse-may-damage-eyes-say-opticians), menatap layar smartphone dalan frekuensi yang intensif, menyebabkan gangguan tidur, mood yang tidak menentu, sakit kepala, jarak lihat yang semakin mendekat, dan macular degeneration.
Reinstalasi FB membuat saya pun jadi lebih bijaksana menggunakan media sosial ini: frekuensi cek update pun tidak dalam hitungan jam! Saya kadang bisa berhari-hari tidak cek Facebook: record yang dulu mana bisa saya pertahankan dalam waktu 5 menit!

Menjadi media social junkie bukanlah impian saya. Facebook adalah satu-satunya media sosial di smartphone saya saat ini. Barangkali teman-teman yang membaca tulisan bisa mengambil hikmah dan ini bisa jadi inspirasi buat kalian. Have a nice day J