Kos saya terdiri dari empat lantai.
Lantai pertama tempat parkir, lantai kedua sampai ke empat itu kamar-kamar kos.
Saya di lantai teratas, berpikir atas berkat rahmat ketinggian, saya bisa ber-DJ
ria setiap hari tanpa mengganggu wilayah kekuasaan Pak RT terhormat. Saya DJ
nya, dan saya pula yang menikmati lantai dansa…ahahhaha… Dramatis? Tidak juga,
ini sejenis apresiasi dalam menghargai setiap hari di bumi ini dengan melodi
supaya hidup layaknya ivory dan ebony dalam indahnya harmoni…kwkwkwk. (sebenarnya
musik bagi saya adalah terapi menghapus lelah dari hari yang terpanggang
matahari dan terendam keringat!)
Sebenarnya segala sesuatu di dunia
ini menciptakan musik (coba nonton August
Rush !) : kicau burung, dedaunan yang
ditiup angin, suara kendaraan, pintu rongsok yang berderek setiap kali dibuka
atau ditutup, bunyi klik di mouse PC
Anda, sampai omelan mama Anda pun sebenarnya kalau diracik….bisa jadi musik (just
kidding). Baru jadi musik jika kita memperhatikan dengan seksama, maksudnya.
Dua hari yang lalu Mas Lili,
penjaga kos saya yang baik hati, menegur saya waktu saya memutar musik
keras-keras (kuping saya agak alergi magnet yang ada dalam headset), sebelumnya
tidak pernah—mereka selalu membiarkan saya sakaw bersama dentuman-dentuman dan
teriakan-teriakan stereo (lebay!).
Katanya ada tetangga samping kos kami meninggal. Aduh, kasian.
Selama dua hari saya puasa musik
karena jenazah masih belum dimakamkan. Sepulang kerja, butuh hiburan setidaknya
musik slow, tapi saya menahan diri. Lagian kuping saya juga butuh istirahat.
Dalam istirahat saya berpikir, lama-lama musik sudah bukan lagi kebutuhan seni,
melainkan meningkat menjadi ekstasi atau obat bius atau alkohol : kita
mengonsumsinya sebagai pelampiasan atau pelarian dari masalah. Setelah tak ada musik
lagi, kita ketagihan. Seakan bukan hanya jiwa kita lagi saja yang
membutuhkannya, tetapi daging pun iya. Seakan daging dan darah saya ikut
berteriak : “Woooiii, musik, musik, musik!!!!”
Musik sudah bukan kebutuhan rohani
lagi, tapi juga jasmani dan benar saja kalimat ini: yang namanya jasmani, ia
tak pernah puas.