Sabtu, 26 Januari 2013

Tetangga Sebelah Meninggal, Musik Dimatikan



Kos saya terdiri dari empat lantai. Lantai pertama tempat parkir, lantai kedua sampai ke empat itu kamar-kamar kos. Saya di lantai teratas, berpikir atas berkat rahmat ketinggian, saya bisa ber-DJ ria setiap hari tanpa mengganggu wilayah kekuasaan Pak RT terhormat. Saya DJ nya, dan saya pula yang menikmati lantai dansa…ahahhaha… Dramatis? Tidak juga, ini sejenis apresiasi dalam menghargai setiap hari di bumi ini dengan melodi supaya hidup layaknya ivory dan ebony dalam indahnya harmoni…kwkwkwk. (sebenarnya musik bagi saya adalah terapi menghapus lelah dari hari yang terpanggang matahari dan terendam keringat!)


Sebenarnya segala sesuatu di dunia ini menciptakan musik (coba nonton August Rush !) : kicau burung, dedaunan yang ditiup angin, suara kendaraan, pintu rongsok yang berderek setiap kali dibuka atau ditutup, bunyi klik di mouse PC Anda, sampai omelan mama Anda pun sebenarnya kalau diracik….bisa jadi musik (just kidding). Baru jadi musik jika kita memperhatikan dengan seksama, maksudnya.





Dua hari yang lalu Mas Lili, penjaga kos saya yang baik hati, menegur saya waktu saya memutar musik keras-keras (kuping saya agak alergi magnet yang ada dalam headset), sebelumnya tidak pernah—mereka selalu membiarkan saya sakaw bersama dentuman-dentuman dan teriakan-teriakan stereo (lebay!). Katanya ada tetangga samping kos kami meninggal. Aduh, kasian.
Selama dua hari saya puasa musik karena jenazah masih belum dimakamkan. Sepulang kerja, butuh hiburan setidaknya musik slow, tapi saya menahan diri. Lagian kuping saya juga butuh istirahat. Dalam istirahat saya berpikir, lama-lama musik sudah bukan lagi kebutuhan seni, melainkan meningkat menjadi ekstasi atau obat bius atau alkohol : kita mengonsumsinya sebagai pelampiasan atau pelarian dari masalah. Setelah tak ada musik lagi, kita ketagihan. Seakan bukan hanya jiwa kita lagi saja yang membutuhkannya, tetapi daging pun iya. Seakan daging dan darah saya ikut berteriak : “Woooiii, musik, musik, musik!!!!”
Musik sudah bukan kebutuhan rohani lagi, tapi juga jasmani dan benar saja kalimat ini: yang namanya jasmani, ia tak pernah puas.

Selasa, 22 Januari 2013

MUSIM HUJAN KE 21 DALAM HIDUP SAYA



Entah kenapa hati  ini tak ingin ditinggalkan mata. Ia tak mau terpejam. Mungkin di dalam sana terlalu banyak ketakutan dan kekhawatiran. Sehingga sejak tadi malam samapai saat ini, 5.42, saya belum juga tidur. Yang saya lakukan adalah menonton ulang film Eat Pray and Love. Setelah selama ini menonton film ini beberapa kali baru saya pahami artinya baik-baik sekarang, setidaknya menurut saya begitu. Banyak hal yang ia ajarkan, tidak hanya sekedar memiliki 49 cap di paspor anda untuk meneguk hidup, namun : berani keluar dari segala sesuatu yang tadinya selalu akrab seperti rumah dan mencari kebenaran dengan melalui sebuah jalan di mana setiap hal atau orang yang kita temui dapat kita anggap sebagai guru; maka kebenaran tidak akan menjauh dari kita. Itu kata-kata yang diucapkan Julia Roberts.  
Tepat seperti yang saya rasakan. Saya sedang bergerak keluar dari zona aman. Hanya saja kata saya bukan ‘kebenaran’, entah apa. Menjadi seseorang yang benar tak pernah jadi impian saya. Saya hanya ingin menjadi orang yang ‘hidup’ dalam kehidupan. Tapi sekarang saya merasa mati dalam kehidupan.
It’s Your Love menjadi soundtrack saya pagi ini. Saya sedang menatap jendela kamar saya yang kian melapuk oleh hujan. Tirai setengah terbuka. Pagi ini hujan memeluk Jogja. Tidak keras, tapi juga bukan gerimis: tipe hujan favorit saya.
Dari atas tempat tidur saya, memangku laptop dan mencium aroma hujan mengitari cahaya khas pagi di bulan Januari yang mana tak akan pernah saya lupakan walau 40 tahun berikut ini saya habiskan di Skandinavia. Sambil berpikir di mana lagi di belahan bumi ini bisa saya temukan hujan sehangat dan secinta ini. Entahlah, kata cinta mungkin aneh. Namun setiap kali hujan turun, ia menyembuhkan saya. Semua rasa sakit dan lelah ia ganti dengan cinta. Karena itu saya ingin memori saya memotret keadaan dan situasi pagi ini. Bahkan mungkin ini adalah permohonan terakhir saya di bumi. Mengingat semua memori awal dalam kehidupan saya mulai menghilang satu-satu, saya hanya ingin meneguk setiap embun baru setiap pagi.
Wow, lucu. Tadinya banyak yang ingin saya katakan tentang keluhan dan kesedihan saya, namun ternyata yang diketik oleh jemari saya hanyalah hujan. Hujan… mantra yang membekukan lukaku dan mencairkan cintaku. Hujan… tinggalkan basah di hatiku, bukan di mataku. Hujan…memainkan gentar di hatiku menjadi getaran gairah.
Dan ini hujan ke 21 selama saya hidup. Dua puluh satu saat-saat paling diingat dan terekam dalam memori antara saya dan ayah saya; antara saya dan kakak saya; dan antara saya dan diri sendiri. Saya sangat terlibat sepenuhnya saat musim hujan tiba: merayakannya dengan tanam-tanaman di sawah, dengan memancing bersama ayah saya dan kakak-kakak saya, bermain payung, berenang di sungai, kejar-kejaran di dalam hujan, memijak lumpur, sampai hanya terjebak di balik jendela dan mencoba menulis ejaan M-O-N-A di jendela rumah saya yang berembun bersama kakak saya, juga ditemani seekor lalat yang kebetulan terperangkap di sana kebingungan mencari jalan keluar.
Tapi itu 15 tahun yang lalu. Dan saya tetap saja tidak bisa menjawab pertanyaan : kenapa semua memori yang masih terekam dalam ingatan saya biasanya hanya yang ada latar hujannya?
Siang nanti kaki dan kepala ini akan membawa saya ke tempat-tempat yang tidak dikehendaki oleh keempat indra saya. Semuanya hanya ingin menempel di selimut ini, mendengarkan hujan, mencium aromanya, sambil melihat keluar jendela, dalam diam.
Hanya hujan yang bisa menyembuhkanku.

Minggu, 13 Januari 2013

Aku sangat mencintaimu, Cinta.


Cinta, semoga kau membaca.
Puisi ini tidak seberapa, kalau memang pantas disebut serupa.
Tepatnya ini hanya kata-kata, kalau memang masih tersisa.

Aku bertanya kau ini siapa.
Siapa yang kau lihat dalam dirimu ketika kau bersamaku?
Edward Cullen? Harry Potter?
Semua yang terkait dengan magic terkait dengan matamu saat menatapku.

Atau kau ini Enrique Iglesias?
Kenapa kau buat gadis polos ini berubah liar?
Kau membuatku manja seperti kucing dan setia seperti anjing.
…dan nekat seperti macan

Kau memainkanku seperti Boomerang.
Sejauh apa pun kau melemparku, akan kembali padamu.
Semua air mata yang jatuh, tak berarti apa-apa.
Mencintaimu membuat tangis pun terasa manis.

Cinta, kau bisa taklukan banteng, selamatkan kucing lemah ini.
Tahukah kau dia tersiksa?
Kau tahu, kuda yang lapar membalap dengan ganas.
Kalau kau tak suka kekerasan, bagaimana kalau hadiah?
Aku akan memberikanmu hadiah, kalau kau mau membebaskan aku selamanya dari botol ini.
Aku sangat mencintaimu, Cinta.