Minggu, 03 Februari 2013

Don't Wake Me Up


Malam ini Bapa saya menelepon. Suaranya terdengar lelah dan tua, mengingatkan saya waktu cepat sekali berlalu. Saya turut merasa tua jadinya Beda dari biasanya, tak ada humor dalam suaranya. Datar. Saya punya kekhawatiran yang bakal diamini oleh waktu yang mana hanya berlaku maju. Hati saya mati-matian merengek tidak, tapi begitulah nyatanya. Bapa saya bertambah tua. Saya tambah dewasa, harusnya. Belasan tahun yang lalu tidak terpikirkan oleh saya bahwa akan datang hari-hari semacam ini.
Tinggal terpisah enam tahun lebih dari Beliau membuat saya hanya bisa mengenalinya dari suaranya (Terima kasih buat siapa saja yang telah menciptakan handphone). Dan suaranya malam ini membuat saya menjatuhkan air mata. Tidak, dia tidak sedang sakit. Dia hanya lelah. Suaranya berat, seolah sedang menarik ribuan mil jalan yang telah dia lewati puluhan tahun yang lalu untuk mendekat. Dan dia telah melewatkan perjalanan selama enam tahun belakangan ini tanpa saya. Secara fisik terpisah jarak yang bisa diukur oleh satuan kilometer, jumlahnya ribuan. Padahal saya punya impian untuk pergi jauh. Dari sini ke sana, jauh, ke tempat-tempat di mana mimpi saya berada. Maka akan ada lebih banyak waktu lagi ke depan yang saya habiskan tanpa Bapa saya. Begitulah cita-cita, letaknya tak pernah hanya di samping rumah, atau satu blok dari kompleks rumah Anda.
Dia tidak tahu caranya mengeluh. Tapi dari suara inilah saya tahu. Air mata saya menetes tanpa suara apalagi sesengguk. Mengalir tulus, sunyi. Tidak juga saya usap, mengering sendiri tanpa saya sadari. Bapa, saya punya kekhawatiran ini, karena siapa yang dapat melawan waktu? Tidak juga air mata ini.

Pulang’ adalah kosakata yang menyakitkan saya malam ini.