Malam ini Bapa saya
menelepon. Suaranya terdengar lelah dan tua, mengingatkan saya waktu
cepat sekali berlalu. Saya turut merasa tua jadinya Beda dari
biasanya, tak ada humor dalam suaranya. Datar. Saya punya
kekhawatiran yang bakal diamini oleh waktu yang mana hanya berlaku
maju. Hati saya mati-matian merengek tidak, tapi begitulah nyatanya.
Bapa saya bertambah tua. Saya tambah dewasa, harusnya. Belasan tahun
yang lalu tidak terpikirkan oleh saya bahwa akan datang hari-hari
semacam ini.
Tinggal terpisah
enam tahun lebih dari Beliau membuat saya hanya bisa mengenalinya
dari suaranya (Terima kasih buat siapa saja yang telah menciptakan
handphone).
Dan suaranya malam ini membuat saya menjatuhkan air mata. Tidak, dia
tidak sedang sakit. Dia hanya lelah. Suaranya berat, seolah sedang
menarik ribuan mil jalan yang telah dia lewati puluhan tahun yang
lalu untuk mendekat. Dan dia telah melewatkan perjalanan selama enam
tahun belakangan ini tanpa saya. Secara fisik terpisah jarak yang
bisa diukur oleh satuan kilometer, jumlahnya ribuan. Padahal saya
punya impian untuk pergi jauh. Dari sini ke sana, jauh, ke
tempat-tempat di mana mimpi saya berada. Maka akan ada lebih banyak
waktu lagi ke depan yang saya habiskan tanpa Bapa saya. Begitulah
cita-cita, letaknya tak pernah hanya di samping rumah, atau satu blok
dari kompleks rumah Anda.
Dia tidak tahu
caranya mengeluh. Tapi dari suara inilah saya tahu. Air mata saya
menetes tanpa suara apalagi sesengguk. Mengalir tulus, sunyi. Tidak
juga saya usap, mengering sendiri tanpa saya sadari. Bapa, saya punya
kekhawatiran ini, karena siapa yang dapat melawan waktu? Tidak juga
air mata ini.
‘Pulang’ adalah
kosakata yang menyakitkan saya malam ini.