Rabu, 06 Maret 2019

Kejar Daku Kau Kutangkap: Out of The Victim Role!


Si Pasif yang Suka Memainkan Peran Korban

Saya sering dengar orang mengomentari, „Kasian ya, dia cuma dimainin saja!“ Ketika sebuah hubungan cinta di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan berakhir. Dan dia di sini selalu dialamatkan kepada pihak perempuan. Bahkan komentar macam begini bukan saja datang dari pihak ketiga (baca= komentator alias biang gosip) melainkan juga dari diri sang perempuan sendiri.

„Cuma dimainin“ adalah ungkapan yang naas sekali, terdengar seolah dia tertimpa tragedi dan dialah korbannya. Padahal percintaan adalah sebuah proses memberi dan menerima, di mana keberlangsungannya terjadi karena ada yang menginginkan dan ada yang menyetujui. Atau kedua belah pihak sama-sama meenginginkan dan sama-sama pula menyetujui. Lantas kenapa setelah putus si wanita mengklaim diri sebagai korbannya? Mari kita recheck!

Di dalam budaya patriarki para pemilik phallus dianggap memiliki hak istimewa untuk menentukkan keinginan dan keputusannya. Sebaliknya kaum hawa diidealkan menjadi subordinat, submasiv. Keinginan untuk setara tanpa perbedaan jenis kelamin itu tentu saja ada di lubuk hati setiap wanita. Namun dalam usaha merealisasikannya mereka dihalang oleh ikatan-ikatan sosial dan politik. Kehendak akan penyetaraan mereka ini menerima penolakkan di berbagai konteks dan kesempatan sampai akhirnya mereka lantas sadar, terbuka matanya bahwa mereka memang „hanyalah perempuan“. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak penolakkan yang mereka terima, semakin banyak pengalaman „trauma-trauma“ yang mereka kumpulkan hingga mereka kapok juga dan menyerah. Pada akhirnya mereka menerima status subordinat itu dan mengamini kesubmasivan mereka. Mereka pun ikut main dalam arena sosial, pakai aturan patriarkal: Jadilah pasif, wahai kau perempuan! 
www.thinkstockphotos.de/royalty-free/david-pictures
Saya tau, kata-kata saya di atas itu keras sekali bagi beberapa orang yang membaca. Namun begitulah kenyataannya. Kenyataan memang pahit, makanya banyak orang lebih suka bersembunyi di balik ketidaktahuan atau kefiksian atau sekalian saja mitos dan dongeng.

Kepasifan perempuan dalam budaya patriarki itu pada umumnya dilakukan secara tidak sadar oleh sang perempuan sendiri. Saya ulangi, mereka tidak sadar bahwa mereka memainkan peran pasif dalam berbagai hal. Pertanyaannya: memangnya salah kalau mereka tidak sadar? Dalam banyak hal iya. Kehilangan kesempatan adalah salah satu kerugiannya. Contoh, saya hampir belum pernah mendengar seorang perempuan menembak seorang laki-laki, atau melamar untuk bertunangan. „Will you marry me?“ selalu ditunggu untuk keluar dari mulut laki-laki. Perempuannya lagi apa? Dia ke mana saja? Dia sedang menunggu. Dia sedang menunggu untuk dikatain seperti itu oleh seorang laki-laki. Saya yakin ada perempuan pemberani di luar sana yang percaya diri dengan kekuatannya sebagai perempuan dan berinisiatif untuk maju duluan sebelum si laki-laki buka mulut, namun kebanyakan lebih suka bersembunyi dan berharap. Kalau harapannya ini yang lama-lama menjelma jadi ekspektasi tidak terpenuhi, dia kecewa. Sebenarnya solusinya gampang saja, kenapa tidak ambil alih kendali? Kenapa harus menunggu si pria yang buka mulut? Kenapa tidak mau pro aktif? Supaya kalau besok-besok kalian pacaran kamu bisa dengan bangga bilang ke semua orang, „Dulu dia yang kejar-kejar saya, sayanya sih santai-santai saja.“? Oh, wanita, sadarlah!

Satu bulan yang lalu saya men-download App Tinder, sebuah aplikasi bursa percintaan (online dating) karena saya merasa siap berkenalan dengan orang baru. Seorang teman cewek saya bertanya apakah saya yang memulai duluan perbincangan via chatting atau si laki-laki. Saya jawab dengan percaya diri, „Saya yang mulai.“ Lalu teman saya mulai membandingkan dengan pengalaman pribadi dia saat masih aktif di dunia kencan virtual, katanya, „Kalau saya dulu sih saya nggak pernah mulai, selalu cowoknya yang mulai. Kalau dia nggak chat, saya nggak akan duluan.“
https://mubi.com/de/films/kejarlah-daku-kau-kutangkap
Kejar Daku Kau Kutangkap
Di sini saya melihat pola wanita patriarki yang tunggu disenggol dulu baru bereaksi. Tunggu aksi supaya puya kesempatan untuk bereaksi. Tunggu orang lain buka mulut dulu baru kita menyahut karena kita mau cari aman. Tunggu ada yang mulai, supaya kita punya seseorang yang bisa disalahkan kalau-kalau nanti sesuatu yang tidak diinginkan terjadi (contohnya putus cinta yang saya sebutkan di atas tadi). Pasif, bukannya aktif. Jangan salah mengerti ya, teman-teman. Bersabar itu hal lain lagi, pasif dan sabar jangan dikait-kaitkan satu sama lain ya. Dari artinya saja sudah beda sekali.

Kalau kita pasif kita kehilangan banyak kesempatan: ya, saya yang mulai duluan perbincangan di bursa single itu. Saya seleksi baik-baik para pria di sana melalui foto-foto di album mereka dan dari catatan profil mereka, sehingga saya bisa tahu seberapa persen ada kecocokan. Dan pria-pria yang saya sapa hampir semua membalas. Sampai saat ini saya masih menjalin kontak dengan beberapa dan kami mengalami perbincangan di dunia nyata yang sangat menyenangkan. Jadi saya tidak perlu repot-repot kecewa kalau mereka besok-besok tidak mau berpacaran dengan saya (saya hanya ingin mengenal orang dan cerita baru saja sih) karena saya pun turut ambil bagian dalam proses ini. Saya tidak menunggu. Saya tidak menanam saham harapan. Saya aktif menjalankan tujuan saya, yaitu saya ingin mendengar kisah-kisah baru dituturkan oleh wajah-wajah baru. Dan yang lebih penting lagi, saya tahu apa yang saya mau. Kalau kita tahu apa yang kita mau, ada kemungkinan besar kita mampu mengatakan TIDAK begitu seseorang menawarkan sesuatu yang kurang bonafit kepada kita. Sehingga kalau sang pria menawarkan sesuatu yang hati kita sebenarnya tidak suka dalam sebuah hubungan pria-wanita, kita bilang saja TIDAK. Karena itu tadi: kamu mengenali kemauanmu. Dan kebetulan kemauan si pria tidak sejalan dengan kemauanmu.  Kalau kita mengorbankan keinginan hati kita hanya karena percaya bahwa kesubordinatan kita tidak memiliki privilleg untuk menentukkan keinginan, maka tidak heran jika kita memadang diri kita sebagai korban pada saat kisah cinta kita berakhir.

Kesimpulan: kalau kamu juga merupakan pemain yang pro aktif dalam sebuah hubungan, kamu tidak akan berkomentar, „Aduh, kasian ya saya cuma dimainin!“