Minggu, 27 Januari 2019

Indonesia: Bhinneka itu fakta, Tunggal Ika itu fiktif

„Sabang sampai Merauke“, bukan  „Jawa Barat sampai Jawa Timur“
Indonesia itu paket jumbo lengkap! Terdiri dari 18.000 pulau, kita memiliki ribuan dan ratusan ras, suku, etnik, bahasa daerah dan dialek yang berbeda-beda. Kenapa paket lengkap? Mulai dari hidung mancung-besar, mancung-ramping sampai pesek-besar, pesek-ramping ada, rambut lurus sampai keriting ada, rahang besar sampai sempit ada, bibir tipis sampai bibir tebal ada, sawo matang sampai setengah matang ada, putih pucat sampai putih langsat ada. Atau kuning langsat. Kulit gelap sampai gelap kopi ada banget.
Kita memang berbeda-beda. Tetapi satu???
Tapi kalian pasti tahu kualitas-kualitas fisik macam apa yang media televisi kita dambakan. Benar, selalu yang itu-itu saja. Saya tidak lihat satu pun pemain FTV yang berasal dari Papua dengan kualitas fisik khas Papua. Kalau pun ada dia akan memainkan peran pelawak yang konyol dan ada di layar kaca hanya untuk jadi bahan tertawaan. Sayang sekali. Padahal Indonesia itu negara kesatuan, tapi kita membiarkan saja televisi kita mengajarkan masyarakat nusantara tentang nilai-nilai yang salah, secara langsung dan tidak langsung—Nilai-nilai yang justru memecah-belahkan kita. Tapi pertanyaan saya: Emang benar kita ini merupakan negara kesatuan? Atau itu idealisme utopis belaka? Karena yang saya amati dalam prakteknya justru berat sebelah!  Berat ke mana? Ke barat lah! Mau ke mana lagi?
Beberapa waktu lalu seorang artis menghina etnik Papua sementara dia sendiri sedang tampil di televisi mengenakan kostum etnis Papua. Ini penyangkalan NKRI atau sekedar kurangnya moral? Saya senang bahwa dia akhirnya mendapat reaksi tegas dari warga Papua yang membuat si artis yang malang minta maaf. Semoga dia sadari apa arti kata martabat, karena yang dia hina itu Papua, setara dengan menghina keseluruhan bangsa Papua. Wow, cukup berani si gadis kecil. Saya senang melihat kasus itu diceploskan oleh mulut seorang artis yang mana kehidupannya selalu jadi sorot kamera, sehingga seluruh Indonesia akhirnya belajar nilai moral lewat layar kaca: etnis lain juga punya martabat, jangan asal ceplos!
Seperti berita yang dimuat oleh BBC Indonesia tentang etnis tertentu yang tidak mendapat kesempatan ngekos di Yogakarta hanya karena mereka berasal dari daerah X, Y, Z.  Menurut kabar angin karena warga lokal menciptakan stereotip tertentu tentang daerah tersebut.  Kalau memang mereka tidak menyukai etnis atau daerah tertentu, apakah mereka memiliki alasan? Kalau memang ada masalah, kenapa tidak diungkapkan? Sampai kapan segala sesuatu harus dikubur? Menunggu busuk? Bukankah kita memiliki UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Enis? Tapi kalau memang warga Yogyakarta merasa benar, ya monggo, aspirasinya. Supaya ke dua belah pihak puas. Itu kan inti dari demokrasi! Yang ada mereka malah mingkem! Kapan datang inisiatif dari politikus? Apakah mereka sebenarnya baca berita? Kok diam saja?
Apa-apa Tabu
Saya melihat sebuah kecenderungan ketika saya mulai angkat bicara tentang tema diskriminasi, orang-orang pada bungkam. Diam. Bertingkah seolah tidak pernah tahu. Tidak pernah dengar, bahkan seolah tidak pernah alami. Biasa, cari aman… Ah, itu mitos! Kata mereka. Saya bisa tilik ini dari perspktif budaya kita: kita masyarakat yang suka menabukan banyak hal. Tabu. Tabu adalah hobi kita. Tabu adalah selimut hangat kita yang melindungi kita dari rasa takut di saat hujan deras, kilat menyambar, guntur bergemuruh. Ya! Masyarakat kita suka dengan kata tabu. Apa-apa tabu. Dikit-dikit tabu. Tabu itu seperti selimut tebal yang memisahkan mereka dari dunia luar, dari dunia fakta dan realita. Supaya mereka tidak usah repot-repot lagi berpikir, supaya otak mereka beristirahat saja yang nyenyak di bawah selimut hangat dan tebal. Dengan kata tabu tiba-tiba apa pun bisa dijelaskan. Tinggal bilang saja, „Eh itu tabu loh!“ Perkara pun dengan demikian selesai, orang tidak tanya lagi, pembicaraan ditutup, diskusi bubar! Kalian mengerti maksud saya? Lama-lama rasanya seperti kata anu. Apa pun itu bisa kamu sebut pakai anu. Anu bisa menggantikan banyak nama, banyak istilah, banyak kata kalau kamu tidak tahu istilah sesuatu atau sedang tidak ingat apa namanya atau misalnya kamu ingin meng-crypto-kan sesuatu, tinggal bilang saja… anu! Kelar! Contoh : „Jangan lupa beli bawang, kecap, merica, sama anu ya!“ Semenjak kamu mengenal kata anu, kamu tidak perlu lagi memiliki ingatan, pengetahuan dan daya pikir yang bagus, karena segala sesuatu bisa kamu jelaskan secara praktis dengan sebuah anu. Sama kayak tabu! 
Anak: „Mama, kenapa seorang ibu bisa hamil?“
Ibu: „Karena sang ayah dan sang ibu melakukan persetubuhan.“
Anak: „Apa itu persetubuhan?“
Ibu: „Jangan tanya itu, itu tabu!“
Anak: ….

Sayang sekali, anak yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar di-hush pakai sebuah kata tabu. Selamat tinggal ilmu pengetahuan! Si ibu lebih suka ada dalam zona selimutnya yang nyaman, cari aman.
Kenapa sih, tabu? Bukankah semakin sesuatu ditabukan, semakin manusia itu kehilangan rasio? Kehilangan minat terhadap rasio, terhadap berpikir. Manusia jadi suka ambil jalan pintas: Ngapain repot-repot mikir apa itu, kan itu tabu! Begitu juga dengan diskriminasi media, sampai kapan kita diam saja dan menolak berpikir kritis? Sampai kapan kita membiarkan televisi membuat kita merasa asing di negeri sendiri? Sampai seluruh warga NTT mem-bonding rambut mereka di salon karena mereka tidak puas diri dan ingin terlihat seperti artis FTV? Karena teleivisi mengajarkan mereka tentang nilai kecantikan yang salah: bahwa rambut lurus adalah kecantikan mutlak sehingga orang-orang berambut keriting merasa low self-esteem lantas menyangkali kenaturalan mereka.
Kearifan lokal tidak berarti membatasi integrasi.
Malah sebaliknya! Justru membuka batas-batas geografi dan etnis supaya kita makin inisiatif menabrakkan diri dengan berbagai budaya agar kita semakin kenal siapa kita. Ada cerita lucu, waktu saya masih di Indonesia teman-teman saya bahkan mantan pacar saya yang berkebangsaan luar negeri bilang bahwa saya sangat tidak indo. Mereka melihat pola pikir saya yang kritis dan keberanian saya bicara sehingga mereka bilang begitu, sampai saya pun akhirnya percaya. Lantas 4 tahun yang lalu saya merantau ke Jerman dan bertubruk-tabrak budaya dengan warga dunia, membuat saya melihat betapa Indonesianya saya! Dari situ saya mulai melihat dan menimang, pengamatan saya bertahun-tahun di bidang budaya akhirnya terjawab. Saya akhirnya tahu kenapa orang Asia atau Indonesia menyandang gelar tertentu oleh orang barat. 
Itu tadi, kearifan lokal tidak berarti kita lantas hanya mau menerima yang sedaerah atau serupa dan sewarna saja, melainkan proses penimbahan pengetahuan lewat cross-culture supaya kita melihat budaya secara objektif. Supaya kita tidak pikir budaya kitalah atau etnis kitalah atau warna kulit kitalah yang piling benar, baik, atau bagus.  
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Ketika kuliah di Yogyakarta saya dan teman-teman NTT saya sering ditertawai karena logat dan dialek kami. Mana lagi kami tidak bisa melafalkan bunyi e, karena kami hanya bisa é ala NTT. Ketika kami bicara dengan orang Jawa, kami tidak menertawai logat mereka karena kami sudah sering dengar dari TV. Logat itu sudah tidak asing lagi bagi kami sehingga kami bahkan merasa akrab dan justru aneh untuk menertawai dialek daerah mereka. Saya memetik sebuah pola di sini: tak kenal maka tak sayang. Teman-teman Jawa kami ini belum pernah nonton orang NTT berbicara di TV, sehingga sekalinya kami buka mulut mereka merasa aneh. Kalau pun di TV ada orang Indonesia Timur tampil, dia selalu kebagian peran pelawak, seolah media mau bilang, itu sudah lumrah untuk menertawakan logat kami.  
Sesuatu yang kita tidak kenal namanya asing. Asing sering kita rasakan sebagai janggal. Kejanggalan kadang menggelitik kita untuk menertawakan atau mengejek bahkan merendahkan. Saya tidak heran, Indonesia itu terdiri dari sekian banyak pulau jadi orang-orang cenderung hanya bergaul dengan manusia sejenisnya saja yang sesama pulau atau sesama daerah. Pertukaran budaya itu belum masuk negara kita, sodara-sodara. Kita ini hitungannya masih ndeso, kita tidak masuk hitungan warga dunia, melainkan warga pulau. Karena yang kita kenal itu-itu saja.
Si artis tadi yang saya ceritakan di atas, terdengar seperti tidak punya teman atau kenalan orang Papua, sehingga gampang saja dia ceploskan itu. Tanpa beban. 
Saya memiliki teman dari berbagai pulau, berbagai wana kulit dan agama, yang saya kenal baik secara pribadi. Tidak pantas rasanya saya mengejek seseorang yang berlogat batak (ambil contoh), karena saya benar-benar punya teman orang batak dan logat dia sudah akrab di telinga saya. Jadi mau asing apanya lagi? Mau lucu apa lagi? Mau hina apanya lagi? Dia teman saya, saya kenal dia beserta kebatakannya itu. Dan saya rasa itu cool untuk stay cool: saya bicara logat NTT, dia jawab pakai logat Batak.  Itulah inti NKRI! Bhinneka tunggal ika! Kalau ada yang menertawakan dan mengejek logat dan dialek daerah seseorang hanya karena itu terdengar asing di telinganya, kalian tahu  dia itu apa: ndeso. Pengejekan itu bahkan penyangkalan akan arti Indonesia Raya: Bagi dia Indnesia itu bukan Sabang sampai Merauke, melainkan rumah saya, rumah nenek saya, rumah tetanga saya. Titik. 

Sampai kapan kita mau cuci tangan? 
Saya anak perantau dari Pulau Timor, selama 13 tahun terakhir ini saya hidup dalam „pengasingan“. Saya melewati 9 tahun sekolah-kuliah-kerja-hidup di beberapa pulau, beberapa propinsi di Indonesia dan bersimpang siur dengan banyak  warga lokal dan perantau dari berbagai pelosok Tanah Air.  Saya melihat, mendengar, merasakan dan mengalami diskriminasi hampir setiap hari dalam 9 tahun itu. Entah itu karena jeis kelamin saya, daerah asal saya, etnik saya, rupa dan tinggi tubuh-wajah saya, agama saya, bahasa daerah dan dialek saya, sampai ke adat budaya saya! 
Sampai kapan kita mau cuci tangan? Sampai kapan kita balik punggung? Keluarlah dari selimut tabu dan bicarakan hal-hal yang sudah layak dikeluarkan dari koper berdebu dan dibilas pakai ilmu pengetahuan lewat diskusi terbuka. Dan itulah alasan saya menulis artikel ini. Saya bisa rasakan itu: orang-orang diam saja dengan tema ini, memangnya kalian nyaman berendam dalam kubangan diskriminasi? Jaman sudah  berganti dan jikalau kita mau keluar dari selimut tabu kita itu tadi, sebenarnya ada banyak literatur tentang ilmu pengetahuan yang bisa kita baca. Tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan kecuali eksistensi supra: Tuhan. Sayang kalau kita membungkus ilmu pengetahuan pakai karung tabu lalu dikubur supaya orang tidak tahu. Kasihan! Kapan generasi kita maju kalau kita hanya mingkem-mingkem manis di balik lipstik?
Peran Guru
Di sekolah-sekolah di Indonesia diajarkan PPKN, tetapi melulu yang muncul di soal ulangan: 
Kalau kalian melihat seorang nenek tua ingin menyeberangi jalanan, apa yang kalian lakukan sebagai anak yang berbudi pekerti?
a.      Membiarkan saja si nenek menyeberang sendiri
b.      Menawarkan bantuan kepada si nenek untuk dituntun ke seberang jalan
c.       A dan C salah.

ALAMAK! Pengetahuan tinggallah jadi sejarah jika ia kehilangan aktualitasnya! Seharusnya soal PPKN berbunyi begini,
Di kelas Ani ada siswa baru dari NTT. Dia berbicara dengan dialek daerahnya yang sangat khas. Ketika dia memperkenalkan diri di kelas siswa-siswa menertawakan. Yang harus Ani lakukan sebagai anak yang berbudi pekerti adalah?
            a.      Membiarkan saja teman-temannya menertawakan.
b.      Ikut tertawa.
c.     Menegur teman-temannya karena itu salah. Kita harus belajar saling menghargai. 

Kamis, 10 Januari 2019

Apa Kabar Praha: Anekdot Solo Trip

Seperti yang sudah saya sebutkan pada bagian pertama tentang Solo Trip ini, saya anti wisata pernah. Saya lebih suka berada dalam „Sekarang dan Di sini“, jadi saya tidak kejar tayang. Saya tidak ngebut harus ke sini atau ke situ pada hari Satu, hari dua dan hari tiga. Definisi trip saya hampir mirip dengan ziarah. Jadi, bukan tentang mencentang berapa gedung yang sudah saya potret, dan berapa yang belum, tetapi apa yang saya lihat, apa yang saya alami dan ke mana memori saya memanggil ketika saya melihat sesuatu, mengamati sesuatu. It is all about me! Bagaimana suatu Scene melepaskan reaksi psikologis dalam saya dan bermain-main dengan indra dan rasa saya. Bagaimana itu menginspirasi dan menggugah saya, bagimana itu membuat saya bertanya dan jawabannya adalah pertanyaan juga. Itu yang saya cari.
Saya membiarkan diri saya terbawa arus. Dalam kesadaran dan kendali, karena saya inginkan arah, ke mana itu, saya belum tahu, lha makanya saya jalan-jalan sendiri untuk bertemu pintu-pintu yang baru. Maaf ya, mbak-mbak dan mas-mas, kalau saya terdengar rada spiritual. Aliran saya memang demikian, easy life is boring.
Saya tidak terbangun suatu pagi dan memutuskan untuk menggeledah isi dunia di luar sana. Saya memutuskan secara sadar, dan saya sudah tunggu seabad lamanya sampai mimpi itu matang untuk dipetik. Sehingga saya tidak ingin mendoktrin siapa pun yang membaca halaman ini, tidak pula menyalahkan mereka yang lebih suka travelling dengan teman atau pacar atau hewan…
Saya melihat dinding-dinding yang tidak kasat mata di sekeliling saya, seolah-olah gerak-gerik kita sudah terdefinisi, tapi intuisi saya selalu tahu, ada batas-batas yang memang bisa ditembus…Tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis. Tidak hanya melintasi batas wilayah, tetapi juga menjejaki batas-batas dalam perspektif, dalam sudut pandang, dalam horison, cakrawala berpikir kita, dan terutama, bagaimana cara kita mamandang ke dalam diri…
Praha
Awal Summer 2018. Itu pertama kalinya saya meninggalkan sarang saya untuk keluar negeri. Dengan excited saya membooking dua hostel yang berbeda karena alasan budget dan ketersediaan waktu. Tadinya saya pikir itu ide bagus.
Satu malam sebelum check out hostel yang pertama saya iseng mencari alamat hostel berikutnya, ternyata letaknya hanya beberapa blok dari tempat saya menginap. Google Map menavigasikan saya ke sebuah hotel berbintang 3 (garuk kepala bingung: yang saya booking itu hostel) setiap kali saya mengklik peta dalam profil hostel yang ingin saya tuju itu. Sedikit tidak percaya: masakan mungkin dengan 14 Euro saya bisa dapat sesuatu di sana, mentok-mentok sebuah bantal di atas lantai, di koridor menuju dapur, itu pun kalau boleh!
Sedangkan dengan 17 Euro saja saya hanya bisa mendarat di sebuah hostel dan harus berbagi kamar dengan 15 orang asing lainnya, dalam tempat tidur tingkat, semuanya terhuni, kamar mandi cuma satu! Bahkan dulu di asrama Katolik Syuradikara, kami hanya ber enam sekamar! Hostel kedua saya ini menjanjikan kamar dan tempat tidur untuk sendiri! Harganya hanya 14 Euro pula! Saya hampir ngiler dibuatnya.
Topografi Praha sedikit bergelombang, saya yang berasal dari Kupang, Ende, Jogja dan Hamburg, tidak mengenal ini. Saya tidak terbiasa menaiki dan menuruni jejalanan. Saya harus mendaki untuk tiba di hotel berbintang tiga itu. Layaknya gedung-gedung di kota-kota di Eropa, hotel itu tidak berdiri seorang diri, melainkan saling menempel berjejeran dengan gedung-gedung lain, yang saya bisa lihat hanyalah fasadnya. Sebuah umbul-umbul hampir sama tingginya berkibar memisahkan batas dindingnya dengan dinding tetangga, tercetak nama hotel tersebut, tebal. Saya melangkah melewati lobi menuju konter, bertanya apakah ini alamat mereka, sambil menunjukkan alamat yang saya screenshot dari profil si hostel di Airbnb. „Tidak, alamat yang Anda cari letaknya di suatu tempat di belakang hotel ini, jalannya menurun. Hati-hati“ Kenyataannya jalan itu memang terlalu curam untuk… sepatu berhak saya dan kaum jompo dengan rollator. Setelah tersesat beberapa kali dan bertanya arah selusin kali, saya pun tiba di depan sesuatu yang tidak menyerupai hostel maupun hotel. Saya telpon si pemilik hostel, „Kenapa saya tidak melihat papan nama hostel Anda?“
„Tidak ada papan nama,“ sahut suara di seberang, seolah-olah itu normal: hostel tanpa papan nama.
„Mana pintumu? Saya ingin bicara dengan resepsionis!“ desak saya.
„Tidak ada resepsionis, saya sekeluarga juga tidak tinggal di sana“ jawabnya santai. Mulut saya menganga.
OK, saya kenal beberapa orang yang menyewakan apartemen mereka pada saat weekend, sementara mereka hengkang ke tempat pacar atau orang tua: „Sambil Rileks-Berendam-Minum Cappucino-Selfie, uang mengalir ke kantong kasir“, bunyi moto mereka. Tapi saya keliru total! Suara di hape saya menginstruksikan saya untuk melangkah beberapa meter ke samping, sampai saya menemukan sebuah pintu dicat kuning yang ada poster Kodaknya. Lewat kaca pintu itu saya berusaha mengintip, tapi susah karena gelap. Saya berani sumpah, apa pun yang ada di dalam sana, tidak bisa dibandingkan secuil pun dengan sebuah hostel.
 „Datang saja besok kalau mau check in, jam 9 kan? Nanti saya telpon tepat waktu. Tapi sekarang kamu sudah tahu di mana pintu masuknya! Bye!“ tutupnya meninggalkan alarm buruk di kepala saya! Kembali ke hostel dengan perasaan tidak aman malam itu.
Keesokannya petualangan Jumanji dimulai! Saya ditelpon tepat jam 9, saya barusan check out dan berpisah dengan 16 dipan tingkat.
„Bagaimana saya bisa masuk kalau tidak ada resepsionis dan kamu tidak tinggal di sini?“ saya hampir mengucapkan itu dalam teriakan.
Instruksi berikut yang saya dapat; saya hampir pikir saya tuli. „Pergi ke pintu sebelah (tetangga), di sampingnya ada beberapa kotak surat, cari yang namanya XXX (saya samarkan), coba buka pintunya, kalau susah ditinju saja. Kunci kamarmu ada di dalam sana.“ Mulut saya sekarang sudah kemasukan lalat!
Dia benar, saya harus tinju untuk membuka kotak surat rongsokan itu! Dengan kunci itu saya berhasil masuk ke sesuatu yang dijanjikan sebagai hostel. Saya melangkah di antara penasaran dan enggan, sesuatu dalam diri saya tahu, saya tidak akan suka dengan apa yang akan saya lihat. Kini alarm di kepala saya tidak lagi memukul seperti gong, melainkan membisu dan saya hampir menangis.
„Hallo?“ Ternyata kami masih terhubung. Saking shocknya saya tidak sadari hape saya masih menempel di telinga.
„Mana kamar saya?“ Tanya saya membeku di dalam sebuah studio foto, yang dia iklankan di Airbnb sebagai hostel.
„Itulah kamarmu.“ Nadanya seperti tanpa dosa. Sepertinya ini bukan kali pertama dia berbohong tentang akomodasi ini.
„Mana tempat tidurnya?“ Saya tentu bukan satu-satunya korban penipuan.
„Coba tengkok ke atas.“ Saya melakukan yang disuruh. Dan tempat tidur itu melayang di antara atap dan lantai, tepat di atas kepala saya.
„Bagaimana saya bisa sampai ke atas?“ Tanya saya pasrah.
„Di ruangan sebelah ada tangga portabel.“ Tutornya dengan nada yang sangat terlatih dan sangat biasa seolah-olah nasib saya saat ini sedang sangat luar biasa prima.
Singkat kata, apa pun yang saya singkap di sana hanyalah berita dan mimpi buruk. Itu ternyata adalah studio foto, tempat si pemilik „hostel“ bekerja. Sebuah mesin pencetak raksasa bernaung di sudut ruangan, di antara tumpukan kertas. Di dinding-dindingnya, baik di ruang depan maupun ruang belakang menuju toilet, terpampang foto-foto hitam putih dari awal tahun 1900 (wtf!), ada yang posenya malah close up sehingga saya merasa di mana pun saya berdiri, rasa-rasanya mereka sedang menatap saya. Sial!!! Saat saya mencari kamar mandi, saya malah hanya menemukan sebuah toilet dengan tisu yang sepertiganya sudah terpakai. Tidak ada air hangat di wastafel. Kasur yang saya tiduri tidak berselimut dan sepreinya tidak diganti. Welcome to…Prague! Saya tidak hanya tidak bisa mandi, saya juga akan tidak bisa tidur!!! Setelah seharian menikmati Praha dan lagi-lagi tersesat, malamnya saya kembali ke gubuk Kodak saya untuk ganti baju, selanjutnya saya akan menghadiri pertemuan para Couchsurfers di sebuah taman di tepi bukit. Dengan begitu, hari saya akan menjadi lebih sedikit menyedihkan. Dari taman itu tadi orang bisa melihat seluruh kota Praha dan pemandangannya luar biasa indah. Sesampai saya di sana, ternyata saya bukan saja menjadi sedikit rileks, melainkan mendapatkan malam yang luar biasa menyenangkan dan mengumpulkan kontak, dengan beberapa di antaranya masih saling bertukar kabar sampai hari ini.
Airbnb Vs Couchsurfing
Itu terjadi pada hari kedua, pada hari yang pertama saya dikonfrontasikan dengan ngoroknya sang tetangga dipan dan toilet yang rusak; dan hari ke tiga, sekaligus hari terakhir saya hengkang dari gubuk kodak, dihadapkan dengan bateri hape yang mati dan dengan last-minute-request, saya kabur ke rumah Pavel, Host dari Couchsurfing yang baik hati dan membagikan saya sepenggal fase hidupnya yang sangat inspiratif.
Offline is Luxus?
Saya baru tahu kalau saya tidak tahu cara bergaul baik dengan dunia digital maupun analog.
Peta darurat di tangan saya yang saya cabut dari konter hostel saya, pasti sudah menertawakan saya sejak tadi kalau dia bisa bersuara. Saya tersesat bertubi-tubi. Ternyata saya manusia yang tidak hanya vintage dan konvensional, tetapi juga gaptek. Menyedihkan. Saya pikir saya harus menjalani hubungan yang serius dengan teknologi!! 
Kesepian=terapi
Bohong kalau saya bilang kamu tidak akan kesepian, terutama jika solo trip mu lebih dari 4 hari. Memang akan ada momen di mana kesepian muncul, tetapi justru ini bagus; kamu dikonfrontasikan dengan hal-hal tak terduga, dalam kasus ini kesepian. Menengok ke belakang, dalam keseharianmu di kos/flat, kesepian kau tepis dengan cara kabur ke/bersama teman untuk nogkrong misalnya.  (Yang saya baca nih: kita memang seringya mencari kebahagiaan dalam diri orang lain; itu tidak bagus: sampai kapan ketergantungan ini?). Lantas kenapa manusia takut dengan kesepian? Atau selalu menghindarinya? Gampang, karena ia melepas pelatuk ketidakpastian dan keraguan dalam diri kita. Nah, Solo Trip mengajarkan kita bagaimana cara bergaul dengannya.
Mau terlihat menarik di Instagram?
Orang solo travelling itu kalau bukan foto sebuah objek tanpa dirinya, ya foto di depan apa pun yang bisa memantulkan bayangannya sendiri. Terjemahannya, saya tidak perlu membuat teman seperjalanan saya menderita hanya karena saya ingin terlihat menarik di Instagram. Boro-boro saya memanfaatkan kehadiran teman, yang ada saya malah sangat berterima kasih atas kehadiran orang-orang asing yang menunjukkan saya arah dan jalan saat saya desorientasi. Saat itulah saya benar-benar sadar betapa beruntungnya saya, dan bahwa kebaikan manusia tidak otomatis harganya. Tidak lagi anggap enteng bantuan orang! 
Perempuan, sendiri, asing.
Ketika saya cerita ke kolega-kolega di tempat kerja; hendak travel ke Praha solo, saya dapat pelototan. Tanpa membiarkan spekulasi menghantui pikiran, dengarkan suara hati. Intuisi. Jika kamu mendengar alarm berbunyi di suatu tempat dalam hatimu, pasang telinga baik-baik. Manusia dikaruniai firasat. Gunakan dengan bijaksana. Apa pun yang kamu lakukan, lakukanlah dengan kesadaran dan tanggung jawab; merujuk ke tiga kata yang saya cetak tebal di atas. Kalau memang perlu, tunjukkan batasmu. Universum ini kurang lebih adalah cerminnya kita, tapi yang namanya sial tidak ada hubungannya dengan apakah seseorang baik atau tidak ya. Emang kalian pernah lihat orang baik hidupnya melulu tanpa apes? Apes itu seperti KFC, ada di mana-mana! Mengantisipasi ini, kita hanya bisa jeli melihat dan perhatian, awas lalai. Live for the moment, tanpa perlu Paranoia.
Yang ingin saya katakan adalah, sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya ingin bercerita tentang anekdot dari masa kecil saya di kampuang kito nun jauh di mato…Ada tips di balik itu. Kalau ada orang asing di hostel atau stasiun kereta atau di tikungan jalan yang baru kamu temui dan baru bicara dua menit, bertanya, „Baru pertama kali di sini?“
Apa jawabanmu?!

Berbohong !!!!!
                                                                    ∞ ∞
Pada suatu sore yang teduh yang sering dipakai untuk tidur siang di desa saya—awal tahun 1990— kakak saya Erik beranjak menuju pintu, mengikuti sebuah suara mengetuk. Kakak-kakak saya (termasuk saya di kemudian hari, yang saat itu masih bayi) adalah pemberontak anti tidur siang.
Erik tidak membuka pintu, tapi malah mengintip lewat jendela kaca nako yang letaknya tepat di samping pintu. Seorang pria dewasa tak dikenal berdiri di depannya, berbatasan kaca dan tembok, sepertinya suara ketukan tadi berasal darinya.
"Selamat sore adek, Bapa ada?“ suara itu ramah.
„Ada tidur,“ sahut kakak saya datar. (=sedang tidur)
„Mama?“ Tidak menyerah orang itu.
„Mama juga ada tidur.“ 
„Bisa bangunkan ko, adek?“ Orang itu musti rentenir atau sales, yang tidak kami harapkan!Niat!
Tentu saja kakak saya berbohong. Siapa sangka dia dapat ide itu?! Rumah kami saat itu kosong, dia seorang diri di sana. Dia masih anak SD saat itu, tapi dia tahu cara main. Saya takjub dan bangga pada kakak saya ketika kami sudah cukup besar untuk diceritakan tentang kejadian sore itu oleh orang tua kami. Mereka merasakan hal yang sama, karena mereka tidak pernah mengajarkan kami untuk mengatakan yang lain selain fakta dan kenyataan. Tetapi kakak saya nampaknya tipe yang lebih praktis. Kami tidak tahu orang macam apa itu, apa inginnya, dari mana asalnya, apakah dia orang baik, atau orang jahat… 
Desa kami terpencil dan orang-orangnya naif, mereka saling kenal satu sama lain, dan selalu beranggapan positif terhadap orang asing, tidak seperti di negara maju seperti Jerman; sejak kecil seorang anak diajarkan untuk tidak bicara dengan orang asing, dan bahkan diajarkan bahwa orang asing bisa ingin melakukan kejahatan kepada mereka. Tapi ajaran itu tidak sepenuhnya salah! Berhati-hati, kata kuncinya. 
Orang tua saya yang baik hati dan jujur tidak pernah terpikir akan ada orang berkeinginan jahat di desa asri kami di awal tahun 1990!!!  Well, who knows! Tapi kakak saya pandai! Bisa jadi orang asing tadi penculik anak, perampok rumah, atau apapun hal keji yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia polos era itu!
Orang asing tadi akhirnya pergi karena Erik menolak membukakan pintu dan menolak membangunkan orang tua saya demi menemui dia. Erik memang berbohong, tetapi untuk melindungi kami, dan paling utama dirinya sendiri.

Rabu, 09 Januari 2019

Enam Menit Dalam Sehari: Bersyukur & Berterimakasih

Saya mau bercerita kali ini apa yang membuat saya sangat berterimakasih berada di sini dan menjadi saya. Ini bukan berarti karena saya adalah manusia yang terlahir menurut navigasi bintang timur, terlahir di tengah keluarga kaya dan bahagia, yang hidupnya hanya tinggal menjentik jari dan segala sesuatu dihantarkan begitu saja ke atas pangkuan saya. Sama sekali tidak, bahkan jauh lebih buruk dari yang orang bisa bayangkan. Ini juga bukan berarti hidup saya mulus-mulus saja! Banyak orang mengutuk tahun 2018. Bagaikan rollercoaster, itu juga yang saya rasakan. Setelah diguncang dan diuji kesabaran saya sepanjang tahun, mendekati tahun baru malah saya dapat puncaknya. Berikut anekdotnya.
Sementara saya sedang bekerja, Chefin saya memanggil saya ke ruang sosialisasi untuk „bicara“. Saya hampir membayangkan kalimat seperti, „Frau Ambon, kami puas dengan kerja Anda dan saya sudah menandatangani kontrak permanen untuk Anda.“ Saya ikut.
Sedikit penjelasan ya, saya ini sudah selesai Ausbildung dan saya bekerja di Praxis (Praxis= Praktek; sejenis klinik) ini sejak lima setengah bulan yang lalu. Aturan di Jerman, enam bulan itu masa Probation. Memasuki bulan keenam si calon karyawan tetap baru boleh tahu arah nasibnya berikutnya mau ke mana.
Di sana sudah duduk seorang dokter lainnya yang wajahnya sudah saya tebak, dalam hati saya, Well, I´m a strong woman!
Chefin saya mengutarakan sebaris alibi singkat yang intinya dalam waktu sangat dekat ini saya harus mencari Praxis lain. Sekuat apa pun seseorang, tetap saja saya manusia dengan perasaan dan emosi. Saya menangis. Terlebih karena saya sudah sangat bekerja keras sampai saya psikosomatis dan lebih sakit lagi karena saya tahu itu hanya alibi.
Saya berterimakasih kepada para dokter atas semua yang boleh saya dapatkan selama lima setengah bulan terakhir ini di sana. Lantas mereka berdua pergi dan datanglah rekan-rekan kerja saya, memeluk dan mengucapkan, „Es tut mir leid.“ Yang membuat saya semakin sadar betapa naasnya nasib saya saat itu karena mereka pun bilang bahwa mereka sama sekali tidak bisa mengerti kenapa saya diberhentikan. Mereka mengutarakan pengamatan pribadi mereka tentang saya dengan tulus bahkan mereka sendiri hampir menangis. Saya, tambah kencang. Meskipun baru lima setengah bulan bekerja, saya merasa sudah mengenal Praxis itu 3 tahun! Saya memang mengorbankan pikiran dan perasaan secara total di sana. Lokasi strategis, jam kerja yang per Shift, gaji yang bagus, kolega kerja yang super ramah plus anti hierarki ditambah suasana Praxis yang selalu damai dan tentram… Saya kehilangan semua itu! Kehilangan Sang Zona Nyaman. Baru juga beberapa bulan saya nikmati.
Pemberhentian saya itu hanya 2,5 minggu sebelum natal. Itu berarti bencana. Desember adalah bulan dengan jumlah tanggal merah terbanyak dan berturut-turut pula! Banyak Paxis yang mengambil libur panjang bahkan sebelum natal. Belum lagi, secara logika tidak pas dengan rekapitulasi pajak yang mana biasanya dilakukan pada akhir tahun. Dengan kata lain, tidak akan ada employer yang mau menerima seseorang baru bekerja pada bulan Desember. Artinya saya akan nganggur  sampai….. sampai saya tidak bisa tidur!
Di Jerman ini kamu boleh memiliki 5 anak di luar nikah, kawin cerai berkali-kali, keluarkan diri dari gereja, nikah hanya di kantor catatan sipil tanpa ritual pemberkatan sama sekali, menjadi lesbi atau gay, mengganti jenis kelamin dst… Tapi pengangguran itu tabu setabu-tabunya. Tidak hanya kamu akan dilirik sebelah mata oleh lingkungan sosial, kamu juga akan kehilangan banyak kesempatan. Pada kasus kronis, kamu malah kehilangan jati diri dan ambruk ke taraf Low Self-Esteem. Pasalnya hampir semua orang dewasa yang kamu kenal bekerja. Ditambah, pajak dan asuransi adalah „agama“ utama di sini. Jika seseorang tidak bekerja, dia akan mendapat subsidi dari pemerintah (Kedengarannya enak? Tidak!). Subsidi itu berisi 60 % total gaji brutto terakhir yang Anda dapatkan selama 12 bulan terahir ketika masih aktif bekerja. Nah, kenapa tadi saya bisik, Tidak enak! Karena dengan uang itu di sini kamu hanya bisa bertahan hidup, namun kamu tidak hidup. Kamu hanya bisa membayar kamar kos dan makan, sudah! Tidak ada lagi bioskop, nongkrong, ngafe dll… Itulah sebabnya orang-orang yang nganggur memiliki kontak sosial yang secara kontinuu mereduksi. Nah, kalau kelamaan nganggur di Jerman, kamu tidak bisa keep-up dengan progres pergaulan sosial, dan jika itu sudah menahun, kamu terancam mengalami kemunduran rasa percaya diri dan self-esteem yang bisa berakibat psikis. Yahh… kecuali kalo situ punya Sugar Daddy! Lain cerita.
Lalu apakah saya survive?
Berhari-hari setelah pemecatan itu saya tidak melakukan apa-apa. Hanya bernapas dan let go. Tapi move on belum sanggup. Saya tidak marah, saya tidak drop, hanya kekhawatiran yang menari-nari di permukaan alam bawah sadar. Saya tidak buta, saya tahu mereka ada di sana, menari!
Saya seorang diri di Jerman, saya tidak punya siapa-siapa untuk dijadikan sumber pinjaman dana kalau-kalau sesuatu yang mendadak menimpa saya. Saya harus membayar kamar, saya harus mengirimkan orang tua saya uang, saya harus membayar rekening telepon, potongan bank, dan saya harus makan man!  Perasaan takut itu berkecamuk dengan sakitnya hati menerima kenyataan bahwa saya tidak akan bekerja lagi di Praxis favorit saya. Sakit karena kerja keras saya tidak dihargai. Sakit karena saya kehilangan stabilitas itu. It only took one day to lose it all.
Rasa sakit itu ada, tapi tidak ada penderitaan. Karena saya menolak secara sadar untuk memainkan peran Sang Korban—saya hanya butuh waktu untuk menghirup  udara. Saya menerima kenyataan apa adanya, namun rasa kaget disepak itu pasti ada. Rasa kaget itu membuat saya „koma“ sebelas hari. Sebelas hari kemudian baru saya akhirnya menulis lamaran ke tempat baru. Saya tahu perubahan itu adalah hal paling nyata dan paling abadi yang pernah ada. Saya justru akan menderita jika saya paksakan realita terjadi menurut kehendak saya hanya karena saya sudah punya ekspektasi tentang bagaimana hidup saya harus terjadi. Tetapi itu tadi, bahwa saya bisa sampai ke titik pemahaman ini, bukanlah perjalanan yang singkat, sodara-sodara! Bahwa saya bisa menerima dengan ikhlas, saya berterimakasih atas limpahnya cobaan yang menimpa saya selama tahun 2018.
Hanya karena saya tinggal dan bekerja di Jerman, bukan berarti hidup saya menjadi lebih gampang daripada kalian di seberang sana, justru kebalikannnya. Di sini memang tersedia lebih banyak kesempatan tetapi justru itulah yang membuat tantangan hidup jadi lebih keras. Hanya karena kesempatan itu "tersedia" bukan berarti dia didapatkan dengan cuma-cuma ya. Contohnya hanya karena badanmu berada di Jerman bukan berarti kamu disambet Bahasa Jerman sampai lancar.
Kembali ke inti pertanyaan di atas tentang survival. Saya pernah dengar bahwa menuliskan hal-hal positif bisa membantu kita merasa bersyukur dan bersukacita. Secara tidak sengaja bulan November lalu saya terantuk oleh sebuah buku diary tebal yang designnya seperti jurnal. Nama buku itu Diary 6 Menit. Karena 3 menit diisi pagi, 3 menit malam. Satu hari satu halaman. Setiap pagi kamu harus tulis tiga hal yang membuat kamu bersyukur; dan seperti apakah kamu melihat dirimu, terutama di masa depan nanti. Kamu tidak usah tunggu dapat hadiah dari seseorang untuk bisa bersyukur, mulai saja dari hal sepele, „Saya bersyukur hari ini cuaca tidak begitu berangin.“ Atau, „Saya bersyukur bahwa saya tidak terlambat ke tempat kerja hari ini.“ Lantas tiga menit malamnya kamu diminta menulis hal baik apa yang telah kamu lakukan kepada orang lain pada hari itu dan 3 hal bagus yang kamu alami pada hari itu. Saya tanggapi diary itu secara serius dan sebulan kemudian saya rasakan efeknya. Ini bukan mi instan ya, saya cerna baik-baik apa yang saya tulis, dan saya dapati betapa beruntungnya saya jadi orang!!!
Saya terlahir dengan anggota tubuh yang lengkap, saya terlahir sehat dan cantik, saya memiliki rambut bergelombang yang hitam, tebal dan indah, saya diberkati talenta dan kemampuan berpikir yang baik, saya hampir tidak punya alergi (hanya terhadap  kacang tanah, itupun kadang), kulit saya memiliki resistensi yang luar biasa terhadap air, udara, cuaca, alergi, serangga (seumur hidup saya sudah digigit sekian banyak serangga dari desa saya sampai serangga Eropa, tapi kulit saya tahan banting), saya tidak membutuhkan behel, gigi saya terlahir rapi, putih dan bebas keropos, saya memiliki tulang yang luar biasa kuat, sepasang kaki yang perkasa, yang membawa saya ke tempat-tempat yang indah.
Kemanapun saya pergi, saya diperkenalkan dengan orang-orang yang baik hati, yang menawarkan kebaikan kepada saya, dan yang sudah menolong saya. Memang ada juga yang membodohi, membohongi, menghianati, mencaci, membenci, menjatuhkan saya, tapi here I am! What doesn´t kill you make you stronger. Saya mengunjungi sekolah terbaik dan berkenalan dengan orang-orang yang inspiratif, yang sampai hari ini menjaga kepercayaan saya. Itu semua gratis! Kalau sudah dikasi yang gratis-gratis lalu tidak tau bersyukur itu tidak tahu diri sekali!
Saya mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di Jerman, bekerja dan menghasilkan uang di sini. Saya bicara bahasa Jerman dan memiliki teman dari berbagai negara. Dan meskipun saya jatuh dan bangun berkali-kali dalam pengejaran mimpi ini, Hey, i´m living my dream! I couldn´t ask for more!
Mungkin membaca itu di atas kalian bisa iritasi dengan saya, atas alasan yang saya tidak bisa bulatkan ke kata-kata. Tapi bagi kalian yang mengerti arah pikir saya, selamat menuliskan diri kalian, tentang berkat dan rejeki yang kalian dapat cuma-cuma!!! Supaya kalian tahu betapa beruntungnya kalian! Di jalan hidup saya ada begitu banyak batu dan kerikil yang menghalang, saya harus jauh dan tersungkur berkali-kali untuk bisa ada di titik pemahaman ini. Sukses bukanlah kata favorit saya, saya lebih suka sebuah keadaan di mana saya sadari apa yang saya punya: sekecil apa pun itu. Pernah dengar kalimat, „Jangan buang mutiara ke mulut babi!“? Orang yang tidak tahu bersyukur itu, sekalipun dikasi sebongkah berlian ke tangannya, dia tidak akan menyadari bahwa itu berharga. Bahwa itu berlian.
Terapi berterima kasih dan merasa syukur yang saya jalani lewat buku diary enam menit tadi membawa dampak yang luar biasa. Saya lebih relax menanggapi masalah atau menanggapi seorang teman yang mentalnya susah diajak kerja sama, saya lebih lihai bergaul dengan/dalam stress dan tekanan, saya lebih bisa bahagia dan puas dalam berbagai hal, saya lebih berorientasi kepada orang dengan siapa saya bicara. Ini semua lebih daripada hadiah bagi saya!
Menurut pengalaman saya, bersyukur dan berterimakasih membantu kita dalam mengatasi rasa takut akan perubahan. Ini saya bicara atas nama sendiri. Karena rasa syukur, saya tidak lagi merengek tentang masalah sepele, atau sekalipun masalahnya besar, saya tidak bereaksi ekstrim. Hanya karena saya harus pindah rumah atau tempat kerja, saya tidak perlu bad mood sampai semua orang ikutan bad mood. Selain itu sejauh pengamatan saya, kita jadi nyeni dalam menjalani Live for the Moment. Contohnya jika kamu berada dalam sebuah acara kumpul-kumpul, kamu tidak perlu menularkan bad mood kamu hanya karena kamu sebal dengan sesuatu. Hey, leave it! Or just leave the crowd. Everybody is having fun and you are not, live for the moment, girl! Sayang kalau momen bahagia orang lain harus kamu rusakkan hanya karena saat ini hati dan kepalamu sedang berendam dalam masalahmu.
Beberapa hari menjelang natal saya mendapat wawancara di Praxis yang baru, jaraknya hanya 25 menit bis-kereta dari pintu rumah saya. Tempatnya sangat bersih, higienis, modern dan memiliki perlengkapan medis yang masih sangat baru. Dokternya hanya satu, ini berarti lebih sedikit stress dibandingkan tempat kerja saya yang lama (3 dokter). Ibu yang baik itu bersedia mempekerjakan saya dengan gaji yang lebih tinggi dari yang pernah saya dapatkan! Dan ini bukan satu-satunya Praxis yang bersedia menandatangani kontrak dengan saya! Yang bikin Jackpot adalah kami kerja tanpa istirahat dari jam 12.00-20.00 atau 8.00-16.00. Artinya saya masih punya waktu untuk hal lain selain gawe. Terimakasih semesta, betapa beruntungnya saya.
Pemecatan itu memang naas, sedih, pahit, sial, sakit, tapi saya menolak memainkan peran korban dalam hidup ini. Tapi cobalah pikir ke arah terbalik, kalau dia tidak memberhentikan saya, mana bisa saya naik tangga, mana bisa saya dapat kenaikan gaji, mana bisa saya hanya butuh 25 menit ke kerja? Karena ke Praxis yang lama saya butuh 40 menit! Tepat sekali, terkadang kita harus melepaskan beberapa hal akrab dalam diri kita yang sebenarnya proses pertumbuhan mental kita sudah tidak butuh itu lagi—dan memang rasanya ogah banget ya—untuk bisa menyambut hal baru. Sifat alamiah manusia adalah berpegang teguh atas sesuatu yang bagi dia sudah akrab, tetapi justru itulah yang membuat seorang manusia menderita. Karena penderitaan berasal dari ketidakterimaanmu atas sebuah perubahan, di mana kamu berusaha mengendalikan perubahan seturut kehendakmu. Padahal satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah perubahan. Perubahan adalah inti peradaban. Inti dari eksistensinya waktu. Inti dari evolusi dan revolusi. Menurut Darwin, Bapak Evolusi, orang yang paling bisa bertahan bukanlah mereka yang paling kuat, melainkan mereka yang paling bisa mneyesuaikan diri. Kamu tidak bisa menentukan arah angin, juga tidak bisa mengendalikan ke mana lajunya. Kamu hanya bisa menyesuaikan layarmu.
Tanpa perubahan kita tidak bertumbuh dan berkembang. Saya berterimakasih dan bersyukur untuk itu.
Menerima, jangan menolak. Bersyukur, jangan mengeluh. Amati, jangan judge. Let go and move on!
Selamat berterimakasih dan beryukur.

Senin, 07 Januari 2019

You are Not What You Think: Mindfulness



Belakangan ini tema Mindfulness sangat kerap dibahas di media. Janjinya banyak. Orang bisa menjadi bahagia dan stabil secara emosional, bebas cemas, damai batin dan pikir, dsb. Sama seperti yoga dan meditasi, semua orang tiba-tiba bisa yoga untuk bisa diposting di feed dan story Instagram mereka. Sama halnya dengan Mindfulness: Itu hanya trend! Ciprat mereka. Banyak orang menanggapi ini dengan skepsis: Masakan hanya dengan menjadi sadar saya bisa mendapatkan kualitas-kualitas rohani itu.
https://es.dreamstime.com/stock-de-ilustración-el-optimismo-del-mindfulness-relaja-harmony-concept-image78549000
Jangan kabur dulu, kamu tidak perlu harus jadi biksu atau guru atau memiliki level spiritual yang tinggi untuk bisa mempraktekkan Mindfulness. Kita pakai Bahasa Indonesia saja ya, KESADARAN, supaya tidak terasa ideologi ini barat. Sama sekali tidak, kenyataannya adalah manusia asal manapun telah mempraktekkan satu dua butir dari konsep kesadaran berpikir ini tanpa mereka sadari suatu hari nanti akan dikaji sebuah bidang psikologi bernama kesadaran. Saya juga menulis ini karena saya mau berbagi pengalaman dan bahwa betapa esensialnya kesadaran itu dalam kehidupan kita sehari-hari!

Ini memang tema yang besar sementara saya hanya ingin menulis sebanyak sebuah mangkok. Dan saya tidak tahu bagaimana memadatkan air sesamudera ke dalam sebuah mangkok. Intinya, konsep Kesadaran itu memiliki cakupan yang luas. Di sini saya hanya ingin membahas satu topik kecil rantingnya: kamu bukanlah apa yang kamu pikirkan. Kenapa saya terdampar ke tema ini? Saya sering memikirkan sesuatu yang berefek membuat saya gelisah dan tidak bahagia. Bukan itu saja, saya jadi sedih dan berujung menarik diri karena pengkritik internal saya memvonis hal-hal yang padahal bukan fakta dijadikan fakta. Lantas dua tahun yang lalu saya berkenalan dengan konsep ini dan sejak saat itu saya merasa sangat sangat terbantu. Jadi ini memang bukan trend ya, kalo kata itu sempat terhinggap di benak kalian.

Pernahkah kamu melempar pertanyaan secara sadar ke pikiranmu seolah-olah dalam dirimu dihuni oleh dua orang yang berbeda? Pernahkah kamu mengamati pikiranmu sepeti mengamati lalu lintas di jalan: ada mobil si pejabat melaju ke selatan, ada Kawasaki yang ugal-ugalan, angkot ngebut ke utara, ada truk yang sopirnya ngantuk, ada macet di lampu merah, klakson di sana-sini, dan kamu berdiri di atas awan sambil mengamati setiap detail. Dan hanya mengamati. Bayangkan keadaan tadi adalah analogi situasi di pikiranmu. Dan kamu hanya mengamati. Rasanya aneh bukan? Tentu saja, karena kita tidak terbiasa mengamati pikiran kita. Kita cenderung mengalir bersama apa yang sedang kita pikirkan. Kita cenderung meluncur, menanjak, menurun dan menikung seirama dengan alirannya, sehingga kita kerap menyangka kita dan pikiran kita adalah satu. Adalah identik. Lama-kelamaan kamu berpikir pikiranmu mendefinisikan siapa kamu. Padahal tidak. Kenyataannya, you are not what you think. Secara kita manusia memiliki kemampun berpikir, tentu kita telah dan selalu memikirkan banyak hal yang baik maupun yang buruk, tetapi hal-hal ini tadi tidak membatasi siapa kita. Kenapa begitu? Karena yang selama ini kita kira siapa kita ternyata hanyalah sebatas sugesti tentang „siapa kita“. Siapa yang mensugesti? Otak kita. Pikiran kita. Jika sugesti itu bagus, tilik dan ambil, masalahnya tidak jarang sugesti itu justru jelek. Saya bicara dari pengalaman sendiri. Bahkan orang baik pun bisa memikirkan hal-hal yang tidak baik. Setuju? Saya rasa saya bukan satu-satunya di dunia ini. Saya memiliki rasa takut, cemas yang berlebihan, cemburu, iri, merasa tidak layak mendapatkan sesuatu, merasa tidak dicintai, merasa diri tidak cukup dan tidak diperhatikan oleh orang terdekat. Suatu ketika saya baca sebuah artikel yang menyarankan saya, „Bayangkan pikiranmu adalah lawan bicara internalmu, perhatikan apa yang sedang dia pikirkan dan tanyalah dia seperti seorang lawan bicara. Tanya, apa yang sedang dia pikirkan sekarang, meskipun kamu sudah tahu dia sedang pikir apa. Lantas tanya kenapa dia memikirkan itu. Tapi jangan terjerat dengan argumennya, tarik diri dan bersikap netral. Perlakukan pikiranmu seperti sesosok orang, arahkan itu ke dalam dialog.“ Ini memang terdengar gampang, tapi tricky! Mencoba itu bagi saya awalnya sangat sangat susah untuk menarik diri dari pikiran saya. Saya terus-menerus mengidentikkan diri dengan pikiran saya. Pikiran saya seperti sebuah lubang hitam, menyedot menuju ketidakterbatasan! Saya hampir selalu ditarik dan dibuat percaya dengan hipotesis-hipotesisnya.
Contoh dialog kami yang gagal:
Pikiran saya: „Bos kamu tidak menyukai kamu“                                                                   Saya: „Ok, kenapa?“
Pikiran saya: „Dia tidak balas menyapa kamu kemarin pagi, padahal kamu sudah sangat ramah.“
Saya: „Ya, benar, tapi mungkin dia kurang tidur.“
Pikiran saya: „Tapi minggu lalu juga begitu.“
Saya: „Mungkin dia kurang sex.“
Pikiran saya: „Tapi uang natal kamu juga tidak dia bayar.“                                        Saya: „Iya, padahal si Andrea yang suka alpa saja dikasih.“

Gagal total. Ujung-ujungnya saya sepakat dengan apa yang tadi pikiran saya pikirkan. Oh, iya yah, berarti dia tidak suka saya…

Menurut artikel yang saya baca itu, sekalipun si bos ini menunjukkan ciri-ciri seolah-olah tidak menyukai saya, saya tidak boleh menganggap itu sebagai fakta. Karena saya hanya menduga, mengira, merasa, menganalisis, menghipotesis dan itu semua masih jauh dari FAKTA. Kecuali si bos ini buka mulut dan bilang, „Saya tidak suka Anda, Fr. Ambon.“ Milikilah kemampuan untuk membedakan fakta dari pendapat.

Hal yang sama saya coba untuk implementasikan jika pikiran saya sedang memikirkan apakah pacar saya benar-benar mencintai saya. Nah, secara di dalam otak, lokasi di mana pikiran beroperasi, terdapat juga gudang memori, pikiran saya suka iseng mencari di antara tumpukkan yang berserakkan itu apakah ada keping-keping puzzel yang bisa dia jadikan barang bukti. Dari dialog di atas, bisa kita lihat keping-keping puzzel yang dia berhasil kumpulkan (dan dia selalu nemu!) adalah: „Tapi minggu lalu juga begitu.“ Dan „Tapi uang natal kamu juga tidak dia bayar.“ Zak! Puzzel terlengkapi dan kita pun percaya dengan apa yang tadinya sebenarnya hanya praduga, sekarang jadi fakta. Fakta pribadi.

Besok-besok kalau pikiranmu memikirkan sesuatu yang seperti itu tadi di atas, jawab saja, „Oh, begitu yah? Aha?“.

Ini bukan berarti mulai sekarang apa yang kamu pikirkan itu hanyalah sugesti dan tidak nyata dan tidak boleh dipercayai ya, tetapi agar kamu lebih saksama dan hati-hati dalam bergaul dengan pikiranmu. Kuncinya letakkan jarak di antara dirimu dan pikiranmu, jadikan pikiranmu sebuah bidang amatan, dan tempatkan dirimu sebagai pengamat. Ya benar, tarik diri secara sadar! Amati saja, cukup, no judgement.

Tarik diri bukan dalam pengertian acuh dan mengabaikan! Makanya saya tambahkan „secara sadar“ di belakangnya. Bukan berarti mulai sekarang kamu tutup mata dan telinga dengan apa yang kamu lihat. Justru sebaliknya, semakin jeli melihat, selami secara sadar, dan secara sadar pula menarik diri dari penarikkan kesimpulan. Inilah inti dari Mindfulness. Suatu keadaan di mana kamu dengan segenap indramu melihat, mengamati, mendengar, merasakan, menghirup, meresapi segala yang aktual di sekitarmu tanpa berusaha menilai. No judgment. Hanya karena si bos tidak menyapa, bukan berarti dia menganggap anda tidak simpatis.