Jumat, 24 Mei 2013
Kamis, 23 Mei 2013
DIKATAIN "PELACUR" ITU BELUM SEBERAPA, 'MASIH LUMRAH KOK...'
Malam
sekitar jam tujuh, seorang gadis—sebut saja Sani— sedang janjian dengan
temannya—sebut saja Maria. Sani datang bersama pacarnya, mereka menunggu di
depan gerbang kos Maria yang langsung bersampingan dengan sebuah lorong
remang-remang menuju perkampungan. Lorong itu tak begitu ramai kendaraan bila
hari sudah gelap. Sani menunggu di atas motornya sedangkan pacarnya berdiri agak
jauh dari situ. Tiba-tiba seorang bapak dengan genitnya menggoda Sani (mungkin
karena tak melihat keberadaan pacarnya yang berdiri terpisah agak jauh darinya).
Bapak itu menyiulinya dan memanggil-manggil dengan cara yang tak sopan dan
menggelikan. Awalnya Sani diam saja, namun karena berkali-kali tetap dicuekkin,
bapak itu geram dan serta merta mengatainya perek (pelacur). Si bapak mendekati
Sani dan mengatai-ngatainya seolah Sani sedang mangkal karena duduk-duduk
sendiri tak jelas di jalanan temaram yang lumayan sepi itu.sani dan pacarnya
yang langsung mendekat elas tak terima dikatai dan diperlakukan begitu. Singkat
cerita, mereka pun berdebat mulut. Maria dan seorang temannya akhirnya keluar
dari dalam kos dan mencoba melerai, namun si bapak dengan pongahnya tak mau
mengalah. Malahan ia mengancam bahwa ia orang asli perkampungan situ, sekaligus
juga kenal dengan banyak preman jadi harus hati-hati kalau berurusan dengannya.
Sani yang merasa dilecehkan dan diancam melapor ke polisi, menuntut perbaikan
nama baik, si bapak menghilang. Sesampai di kantor polisi, Sani menjelaskan
detail jalan cerita.namun di ujung kalimatnya, Pak Polisi malah hanya bertanya,
“Trus masalahnya apa?” Pak Polisi lalu menganjurkan penyelesaian secara
kekeluargaan.
Cerita
di atas adalah kejadian nyata dari teman saya. Yang saya prihatinkan dari kisah
ini adalah ketidakpekaan kita sebagai manusia terhadap hak-hak asasi kita
sendiri. Tadi-tadinya waktu mendengar cerita ini dari Maria, saya amat marah
dengan si Bapak Tidak Bermoral yang menggoda, memaki, dan mengancam Sani tanpa
sebab, namun setelahnya kemarahan saya berpindah pada aparat penegak hukum yang
responnya menyepelekan.
Dalam
budaya maskulin kita, ada banyak kasus seperti ini. Seorang wanita diperkosa,
lalu komentar dari masyarakat :
“Pasti wanita itu berpakaian dan
berdandan berlebihan (menor), makanya tidak heran kalau dia mendapat sial
seperti itu.”
BAYANGKAN
!!!!!!
Parahnya
lagi, tidak jarang komentar sedemikian itu dilontarkan oleh kaum perempuan
sendiri. Betapa butanya kita. Apakah berpakaian dan berdandan bukanlah hak
asasi setiap orang? Dan apakah tidak ada yang menyadari bahwa kontrol seks
laki-laki bersama moralnya yang sakit lah yang mendorong id-nya untuk
memperkosa? Lalu kenapa kesalahan justru dilimpahkan pada si korban? Betul-betul
dunia yang sudah terbalik! Pada kasus Sani tadi, menurut cerita Maria, pada
waktu itu Sani hanya mengenakan sandal jepit, celana selutut, dan jaket
longgar. Kalau begini kan bisa diambil kesimpulan, bukan penampilan seorang
perempuanlah yang menjadi faktor pelecehan seksual (atau pemerkosaan) terjadi,
namun tentu faktor moral, kesehatan psikologis, pendidikan, dan sejenisnyalah
yang jadi penyebab utamanya bukan?
Kembali
pada yang terjadi di kantor polisi tadi.
Seolah si Pak Polisi tersebut tidak paham duduk perkaranya. Ataukah, pertanyaan
saya sebagai awam-hukum : belum adakah definisi pasti tentang pelecehan
seksual? Belum ada undang-undangnyakah? Apakah suatu tindakan baru akan
dinobatkan sebagai pelecehan seksual kalau sudah adanya pemerkosaan? Jadi kesimpulannya,
kalau baru digodain dan dikatain pelacur
sih, belumseberapa, nggak usah marah, jangan kayak orang susah deh….
Langganan:
Postingan (Atom)