Selasa, 21 Januari 2020

Tetangga Saya di Jerman

Tulisan ini ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Saya sebelumnya terkait minimalisme dan konsumerisme.

Berangkat dari pengalaman pribadi Saya yang sangat bertentangan dengan pola hidup minimalis, batin saya terbawa dalam perenungan-perenungan yang berangkat dari realitas masa kini dan perbandingannya dengan masa lalu. Masa lalu Saya. Saya jelas-jelas bukan penggemar "Dulu lebih bagus dari sekarang", ya: Saya suka belajar dari masa lalu.
Sekalipun masa lalu Saya mengambil setting di sebuah desa di lubuk NTT dan Saya sekarang tinggal di Hamburg (penduduk: 1,5 juta jiwa), tetap saja ada relevansi yang bisa kita jadikan alat untuk survive

Kiriman dari Amazon
Jadi begini, karena Saya ini manusia vintage yang membaca buku, bukannya e-book, Saya butuh lampu baca (lampu LED portabel yang dijepitkan pada tepi buku). Sering di bis atau di pesawat Saya kewalahan cari cahaya. Maka itu Saya memutuskan untuk membeli lampu baca. Seminggu kemudian, seperti yang dijanjikan Amazon, Saya membuka kotak surat dengan hati penuh harap. Bukannya lampu baca terselubung amplop yang Saya temui di ruang redup mini itu, melainkan sehelai nota yang bertuliskan, "Kami tidak berhasil menemui Anda, Paket Amazon Anda telah kami titipkan ke tetangga Anda. Terimakasih telah berbelanja di Amazon." Di bawah tulisan itu ada sebuah kotak kecil yang ditulistangan: Herr Gaum. Bahu Saya merosot. Herr Gaum ini tetangga Saya (Saya juga baru tahu ini dari si nota tadi), tetapi Saya tidak tahu dia tinggal di lantai berapa! 
Tercatat sejak 4 bulan yang lalu Saya tinggal di sini, tepatnya di lantai 3, lantai teratas. Tapi semenjak kepindahan saya, Saya belum (baca: tidak akan pernah) berkenalan dengan satu pun tetangga Saya (yang mana-sayangnya- adalah normal di Jerman). Ada 5 flat lainnya di bagian tengah gedung ini yang berbagi satu pintu masuk utama dengan Saya. Total kami ada 6 flat. Tetapi di tetangga sebelah kiri dan kanan kami masing-masing terdiri dari 6 unit apartemen juga, sehingga total 18 unit flat. Saya tidak yakin mereka semua saling kenal..

Who is The Jenny from The Block?
Kehidupan di kota memang serba anonim. Jangankan pernah lihat batang hidung si Herr Gaum, Saya bahkan tidak tahu unit flat dia yang mana! Tidak satu pun pintu-pintu yang tampaknya selalu tertutup itu memajang nama mereka di samping tombol bel. Ini berbeda dari yang Saya kenal di gedung-gedung apartemen lainnya. Terus terang, ini agak mengerikan bagi Saya, membayangkan bahwa Saya harus menderingkan bel dari satu pintu ke pintu lainnya sambil tersenyum grogi dan bertanya, "Apakah Herr Gaum tinggal di sini?" Tidak lucu. Dan lagi creepy!
Bukan hanya di luar negeri, di Indonesia pun anonimitas semakin terasa sebagai hukum demografi. Makin padat penduduknya, makin cepat mobilitasnya, makin sempit ruang kenalnya. Ini sudah jadi konsekuensi logis dari mobilitas penduduk yang laju: People come, people go. Flat nomor X tidak akan selamaya ditempati Herr Y, bisa jadi besok Herr Z, dst… Perubahan terus bergerak, Nothing sleeps nowadays. Beda dengan 20 tahun yang lalu di desa: tetangga Saya Ibu As telah tinggal bersebelahan rumah dengan kami bahkan sebelum Saya lahir, sampai hari ini pun beliau masih tinggal di rumah yang sama.
Semakin modern suatu kelompok masyarakat, semakin individualis. Konon kata ahli sosiologi. Jumlah manusia yang semakin banyak membuat sistem kendali sosial jadi membludak dan identitas seseorang tidak lebih dari sekedar nomor. Ya, angka. Siapa, apa dan datang dari mana, apalagi bagaimana kisah hidupnya tidak masuk daftar pertanyaan lagi. Semata-mata nomor. Bagi beberapa pihak, perusahaan dan birokrasi saya juga tidak lebih dari seseorang yang tinggal di jalan XX nomor 19d, yang nomor paspornya sekian, nomor visanya sekian, nomor pajaknya sekian, nomor asuransinya sekian, dan nomor rekening banknya sekian. Siapa Saya, apa pekerjaan Saya, apa hobi Saya? peduli amat! Who the hell cares about the Jenny from the block?
Sementara itu mesin waktu diputar mundur….

Bokor dan Baskom dan Loyang
Dua puluh tahun yang lalu. Desa Saya.
Natal sebentar lagi tiba. Ibu-ibu jadi super sibuk. Bapak-bapak entah ke mana. Kehidupan tiba-tiba berpusat di dapur, yah mau di mana lagi! Sementara kompor dipanaskan, telur sudah digopok, adonan sudah disiapkan, mentega Margarin sudah dilumurkan ke sekujur loyang, kami hanya menunggu sampai Ibu As selesai memanggang kuenya (di Kupang, kami sebut Kue Keik, baca: Cake) supaya kami bisa meminjam ovennya. Loyang kami pinjam dari Mama Kai, tetangga di belakang rumah, karena kami sendiri tidak punya. Tidak berapa lama Ibu As datang membopong sang oven, pesta memanggang boleh dimulai. Kami anak-anak bersuka ria. Saya tidak akan lupa aroma baking soda dan fanili dan tepung… Aroma natal yang khas bagi Saya.
Tiga rumah bertetanggan ini saling meminjam dan berbagi. Kami tidak perlu beli loyang, pikir orang tua Saya, Mama Kai sudah punya. Kami tidak perlu beli oven, ibu As sudah punya. Demikianlah kehidupan mutualis itu berjalan selama puluhan tahun dalam lingkungan tempat Saya berasal. Sampai giliran kami, mereka akan meminjam sesuatu yang mereka belum punya atau kebetulan jumlahnya kurang karena mereka sedang kedatangan tamu dalam jumlah besar misalnya. Maka bokor dan baskom kami boleh berpindah tangan untuk sementara.
Saya bercermin dari masa lalu dan itu melempar Saya kembali ke masa sekarang….

Mau Ke Mana Dengan Segenap Kepemilikan ini?
Hari ini Saya tidak perlu pinjam apa-apa lagi dari tetangga karena Saya sudah memiliki semuanya.  Tetapi dengan demikian, apakah berarti saya sudah tidak butuh mengenali tetangga Saya lagi? Bagaimana dengan Herr Gaum yang menyimpan lampu baca Saya?! Apakah masih benar untuk menjaga jarak dari tetangga demi privasi? Tapi sayang juga jika Saya hanya mau mengenali Herr Gaum hanya karena paket kiriman dari Amazon...
Saya tidak bilang, adalah salah untuk memiliki, tetapi memiliki yang bagaimana? Sirkulasi perlengkapan dapur ala keluarga Saya dan para tetangga kami dulu telah membawa kami ke dalam kontak sosial yang lebih dekat dalam pengertian yang positif. Kami memiliki sejenis relasi kebergantungan yang tidak saja mutualis, tetapi juga harmonis, sekalipun itu tidak semata-mata tentang perlengkapan dapur! Namun seperti yang dijelaskan oleh Ruth Rohr-Zänker, seorang profesor ahli pertetanggaan Jerman dari Universitas Oldenburg, tumbuhlah sejenis rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok yang saling berbagi rasa empati. Dan ini sekali lagi disetujui oleh Regina Tödter, yang bukunya Saya baca dalam Bahasa Jerman (belum ada terjemahan Bahasa Indonesianya). Tödter sendiri hidup secara minimalis dan menekankan empati sebagai salah satu asas penting untuk menjadikan pola hidup minimalis nyata, tidak semata mimpi belaka.
Ada satu hal minus tentang kepemilikan yang kotraproduktif yaitu kita menampung banyak barang yang mana belum tentu selalu kita gunakan setiap saat. Sering Saya amati: banyak benda dalam rumah yang hanya Saya jamah setahun sekali. Lantas selama 12 bulan dalam setahun itu barang-barang itu tadi nganggur begitu saja? Ya, nganggur begitu saja. Dan selama masa nganggur mereka, mereka telah menempati laci-laci lemari, rak-rak dan ruang penyimpanan yang tentunya harus dibersihkan juga agar tidak terselubung debu. Oh, alangkah merepotkan! Itu dia! Lalu kenapa Saya tidak pakai gaya sirkulasi ala orang tua Saya, Mama Kai dan Ibu As saja? Yang hanya meminjam jika perlu supaya ruang gerak di dalam rumah menjadi semakin lapang. Tidak perlu beli buku, ke perpustakaan saja; tidak perlu naik mobil, naik subway saja; tidak perlu beli baju baru, ditukarkan saja lewat acara Clothing Swap; tidak perlu memiliki segalanya, pinjam dari tetangga saja.
Sialnya orang kita masih menganut kredo yang salah kaprah: punya banyak berarti kaya. Ah, sudah ngabis-ngabisin duit, menuh-menuhin tempat, menyita waktu dan merepotkan pula!! Mana ada kaya? 

Kebersamaan dalam Empati: Kaitannya Dengan Minimalisme Apa?
Menurut Regina Tödter, empati berarti memiliki kepedulian terhadap sesama manusia; tidak perlu ikut merasakan, tetapi cukup dengan apresiasi atas kesadaran bahwa orang lain mengalami sesuatu. Memang agak susah untuk dipahami, jadi Saya jelaskan saja dalam contoh. Perusahaan-perusahaan garmen raksasa seperti H&M menjual konveksi-konveksi super murah yang menjanjikan trend terbaru dan kelas sosial tertentu jika kita mengenakannya. Tetapi perlu disadari, di balik tas kulit tiruan itu ada seorang manusia di belahan bumi lainnya yang menjahit demi upah sangat kecil. Turut peduli dan berempati berarti kita tidak perlu selalu mengejar trend dan membeli pakaian yang baru demi mengikuti trend. Yang secukupnya saja, dan ingat, kalau bosan clothing swap! Jangan menggantungkan rasa percaya diri kita ke iklan-iklan yang ditawarkan media: pakailah celana jins ini dan kamu akan terlihat seperti Gigi Hadid!

Kebersamaan Yang Fungsional
Salah satu contoh konkret adalah menumpang kendaraan umum daripada membeli mobil. Selain mengurangi kemacetan, mengempiskan ongkos bulanan, Saya juga tidak perlu repot-repot cari tempat parkir. Bicara tentang mengendarai mobil ada kaitannya dengan kata kunci minimalisme tadi: empati. Dengan menyadari bahwa alam semesta adalah milik bersama, kita tidak bisa seenaknya menambahkan emisi CO2 ke lapisan ozon yang makin menipis, karena kita memiliki kesadaran: masih ada orang lain di planet ini yang berbagi udara dengan Saya dan membutuhkan udara bersih.
Tapi tunggu dulu, kebersamaan? Masih kah itu enforceable hari ini? Menurut Rohr-Zänker, kebersamaan ala tetangga di kota-kota besar tidak lagi merujuk pada keseragaman dan identifikasi, melainkan bersifat fungsional. Ya itu tadi, Saya akan mengenal Herr Gaum semata-mata karena paket Amazon. Apakah kisah persahabatan-sementara-karena-paket-Amazon kami akan berlanjut ke minum-minum teh sore di balkon Herr Gaum dan kami akan saling bertukar filosofi hidup, lihat saja nanti...

Dari Real Ke Virtual
Di Jerman sudah dimulai gerakan pinjam-meminjam atau pertukaran barang lewat portal-portal online. Jadi bukan tidak mungkin memiliki hubungan fungsional ala Mama Kai, Ibu As dan ortu Saya di Jerman sini. Kali depan Saya mau coba, ah!

Minggu, 12 Januari 2020

Fashion Bisa Jadi Jebakan: Ngawul Yuk!

Tulisan ini mengandung tema sustainability dan minimalisme.

Saya memang sangat mencintai fashion. Saya tergila-gila dengan pernak-pernik dan adalah kolektor anting-anting. Sering sambil membereskan, mensortir dan merapikan pernak-pernik, Saya menemukan banyak di antaranya yang Saya jarang pakai atau bahkan belum pernah sama sekali. Jadi gaunnya punya, sepatunya punya, tasnya ada, perhiasannya lengkap, Saya hanya butuh event untuk mengenakannya. Dan itu yang Saya tidak punya. Mana lagi lingkaran persahabatan Saya adalah para penggila Backpacker yang senantiasa hidup minimalis, mereka mana mungkin mengajak Saya ke pesta bergaya chi chi di mana mutiara bergelinding dan emas berkilau-kilau di lantai dansa. Aih, lebay.

Fashion is About an Outfit: Dari atas sampai Bawah Harus Senada.
Ya, jika tidak, percuma saja punya tas Gucci mahal kalau bawahnya pakai sendal jepit.
Contoh saja, Saya pernah membeli sebuah dress cantik tetapi cita rasa Saya bilang, dress itu baru maksimal kecantikannya kalau dia dilingkari ikat pinggang. Saya menengok ke dalam lemari, sudah ada 5 ikat pinggang nganggur di sana, tetapi mereka bukanlah pasangan serasi untuk dress Saya yang tanpa motif dan berwarna orens kecoklatan itu. Akhirnya daripada memubazirkan kehadiran sang dress, Saya pun harus membeli khusus ikat pinggang yang pas. Hal yang sama terjadi pada sepatu, ternyata sekian banyak sepatu di rak bukanlah pasangan ideal untuk si dress baru ini. Maka makin bengkaklah ongkos dan makin sempitlah ruang dalam rak dan lemari. Inilah salah satu perihal tentang fashion yang Saya sebut sebagai jebakan.

Kenapa Saya Bilang Fashion Bisa Jadi Sebuah Jebakan? 
Menurut pengamatan saya, karena fashion berkaitan erat dengan asesoris dan make-up. Punya baju mahal dan bermerek saja tidak cukup, tasnya harus Gucci juga, warna lipstiknya harus serasi juga. Sepatunya? Lalu tatanan rambunya? Tidak heran jika seseorang yang memiliki 12 jenis warna dress harus memiliki setidaknya 12 warna sepatu dan tas juga, selanjutnya 12 warna lipstik yang sepadan. Bukan saja koleksi  tata rias wajah dan rambut yang harus diperlengkap, tetapi produk-produk perawatannya jangan ketinggalan! Nanti kalau mukanya berjerawat bagaimana? (Siapa suruh kulitnya  ditempel-tempeli bedak?! Jadi orang kok suka merepotkan diri sendiri. Kata siapa kita lebih cantik saat berbedak?)

Dua Belas Warna Lipstik Yang Berbeda
Saya bicara begini karena Saya sudah melewatinya. Saya memiliki puluhan warna lipstik, bertumpuk-tumpuk bahan make-up dan puluhan Dress dan beberapa tas tangan beserta tetek-bengek perihal penampilan. Yang mana hampir tidak pernah saya pakai.
Sering Saya menatap semua itu dan mencoba mengingat-ingat berapa juta rupiah yang saya keluarkan untuk semuanya itu. Semakin hari saya semakin mempertanyakan keberadaan mereka: kenapa saya saat itu merasa harus memiliki mereka.
Pada suatu hari Saya menyadari: kenapa Saya membeli barang-barang yang asasinya tidak Saya butuhkan? Pertanyaan ini sudah saya coba jawab, dalam perenungan-perenungan di dalam kereta, bus, di atas sofa, di meja kerja, ketika jalan kaki, dan akhirnya Saya menyimpulkan beberapa jawaban pribadi. Saya mendapati bahwa pertanyaan ini mengantar saya menuju perenungan eksistensialis. Sepertinya saya ingin memvalidasi status sosial saya lewat penampilan, saya ingin melihat diri saya mampu dan layak untuk terlihat, dan juga sebagai bukti independensi saya. Tapi terkadang juga saya membeli sesuatu karena ada kekosongan di dalam hati. Terkadang saya membeli karena saya mau membeli, dan sanggup membeli. Bukan karena butuh.
Seperti yang John Strelecky tulis dalam novelnya, Return To The Why Cafe: saya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang media janjikan. Saya ingin pengakuan bahwa saya adalah bagian dari sesuatu yang membuat saya merasa diri sesuatu. Sesuatu itu sayangnya semu. Ini adalah motivasi utama dari banyak di antara kita dalam hal penampilan. Baik kita sadari atau tidak.

Tukar Pakaian Sebagai Wujud Nyata Sustainable Fashion
Jadi begini, Saya tidak bilang orang tidak boleh bergaya dan menjadi fashionable, namun fashion telah menjadi salah satu pintu masuk menuju budaya konsumerisme yang tidak sehat jika kita tidak cermat dan kritis. Kita bisa tetap menjadi fashionable dengan konsep sustainable fashion. Ada beberapa cara untuk bisa hidup minimalis, ramah ekologi tapi juga sekaligus fashionable. Patokannya satu: membenahi pola konsum. Daripada menghabiskan uang dengan cara selalu membeli barang baru, kita bisa ngawul alias membeli barang bekas, pergi ke pasar loak atau jelajah lapak berlabel vintage di media online. Berikutnya adalah mengadakan atau mengikuti gerakan clothing swap atau aksi tukar baju. Dengan demikian kita memberi kesempatan pada pakaian-pakaian tak terpakai di sudut lemari kita (daripada menumpuk tak berguna) untuk mendapat kehidupan baru, dihidupi, dikenakan, dimanfaatkan. Oleh orang yang membutuhkan.
Kebanyakan kita membeli pakaian  baru atas alasan bosan dengan yang lama, atau "Yang model itu Saya belum punya!" sehingga Clothing Swap adalah jawaban yang ideal untuk kebutuhan kita itu. 
Di Hamburg, tempat Saya tinggal, masyarakatnya sudah sangat sadar lingkungan, mereka secara pro aktif membentuk organisasi-organisasi peduli lingkungan. Di bidang pakan mereka mengadakan acara tukar baju. Madani banget lah! Keren abis, Saya hanya bisa bermimpi di Tanah Air juga bisa ada kesadaran lingkungan yang sangat positif semacam ini. Berikut adalah kisah Saya mengawali dunia eko-fashion di tahun 2018.

Clothing Swap in Hamburg, Germany

Adalah sebuah Winter di tahun 2018.
Dengan bermodalkan Google Map Saya mencari gedung itu, melewati belukar di belakang Sternschanze dalam rimba kegelapan dan akhirnya... Papan nama yang tertempel di dinding depannya membenarkan pertanyaan di benak Saya. Ini tempatnya. Dari luar terlihat seolah di dalamnya tidak sedang terjadi apa-apa. Pintu besi yang berat itu Saya buka dan mendapati puluhan anak muda dengan pundi-pundi bawaan mereka berbaris rapih di setiap anak tangga menuju lantai 3! Kami menunggu 30 menit sampai tiba giliran kami. Bir di bagi-bagikan supaya kami tidak kebosanan lalu pulang.
Para partisipan dibelah ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan urutan berdiri di anak tangga tadi. Dalam hati kecil Saya berharap semoga ada pakaian yang berukuran XS karena pengalaman Saya selalu buruk jika berbelanja pakaian. Secara orang Jerman memiliki standar tubuh S dan M, hampir tidak ada pakaian XS, kalau pun ada pasti langsung sold out
Pemuda-pemudi aktivis lingkungan itu dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Di sebelah kanan pintu adalah sebuah meja besar tempat meletakkan bawaan pundi-pundi kami. Masing-masing membawa lima potong pakaian bersih yang masih layak pakai untuk ditukarkan dengan 5 potong "baru" bawaan partisipan lainnya. Pakaian pun dikumpulkan, disortir berdasarkan jenis dan ukuran. Ada yang digantung, ada yang dilipat untuk disirkulasikan kembali kepada para partsipan.
Pakaian-pakaian yang dipertukarkan di sana masih sangat layak pakai, pemiliknya pasti sudah merasa bosan mengenakannya. Oke, bosan mungkin bukan kata yang cocok, lebih tepatnya pakaian itu telah kehilangan sinar gemilangnaya di mata sang pemilik, sama seperti banyak pakaian bagus di lemari saya. Kejenuhan itu terkadang datang satu tahun setelah pembelian baju tersebut, tetapi bisa juga satu minggu setelah. Pola konsum manusia telah menjadi sangat instan dan gesit dan ini sadar tidak sadar sangat mengancam ekosistem.
Ruangan hangat itu dipenuhi sekitar 30 pengunjung secara bersamaan, dan di tangga masih berbaris pengunjung-pengunjung berikutnya yang juga sama pedulinya terhadap lingkungan, atau sekedar bosan dengan isi lemarinya. Saya pulang dengan membawa 2 jaket musim semi/gugur berukuran XS (yang begini jarang sekali saya dapatkan) yang sudah selalu saya cari-cari tetapi selalu salah ukuran, rok dan baju kaos yang masih suka saya pakai sampai hari ini.

Semenjak hari hari itu saya selalu mendatangi acara tukar baju. Dengan demikian isi lemari saya tidak saya tumpuk, tetapi saya sirkulasi: ada yang keluar dan ada yang masuk. Acara tukar baju di Hamburg pun semakin bertumbuh dan berkembang, bahkan ada yang rutin diadakan setap bulan dan kita diperbolehkan membawa pulang pakaian lebih dari jumlah yang kita bawa, saking banyaknya pakaian-pakaian bekas nganggur tanpa peminat: daripada jadi sampah, mendingan diadopsi.


Tulisan terkait berikutnya menyusul.

Maksimalisme yang Tidak Maksimal

Satu jam lagi Saya harus berangkat naik kereta ke Altona, ke tempat kerja Saya di restoran asia. Tapi sebelum meninggalkan rumah Saya harus cuci piring, sedot debu, menjemur pakaian dan menyiram tanaman. Lagi-lagi Saya harus menjalankan jurus angin: bekerja secepat kilat karena tekanan waktu.
Satu jam berlalu, sudah saatnya berangkat, tetapi kamar tamu belum selesai juga Saya bereskan: ada terlalu banyak benda berhamburan di sana, bahkan beberapa hiasan rambut Saya, buku-buku, majalah, lilin, gelas-gelas, syal, beberapa potong pakaian, sisir, jarum dan benang yang tadi malam Saya pakai merombak BH melorot pun masih ada di sana, bantal tidur di atas sofa, dan surat-surat yang belum Saya buka. Surat-surat itu tentu saja setelah dibuka harus dibaca, dibalas (bila perlu) lalu disortir ke dalam map surat-surat yang tebalnya sudah bukan main (tentu saja proses panjang ini Saya undur-undur karena tidak ada waktu).
Saya sudah hafal jalan cerita hari ini. Karena hari ini akan berahir dengan lelah yang sia-sia dan Saya bahkan akan tidak bisa menjawab jika ada yang bertanya, "Hari ini tadi sudah ngapain saja?"
Kenalkah kalian dengan kesibukan sia-sia macam begini? Ya, Saya sebut sia-sia karena siapa suruh punya banyak pakaian? Siapa suruh punya banyak tanaman? Siapa suruh punya banyak perlengkapan dapur dan perabotan? Ujung-ujungnya Benda-Benda itu hanya merepotkan pemiliknya sendiri. Menghisap habis waktu dan tenaga yang Saya punya. Yang mana barangkali bisa Saya lakukan untuk berolahraga, meditasi, membaca buku, atau sekedar jalan-jalan sore. Apa? Jalan-jalan sore? Sejak kapan saya punya waktu untuk menghibur jiwa seperti itu? Huh!
Oh, Tuhan Saya merasa diteror oleh harta benda milik Saya sendiri. Saya tidak lagi merasa Saya yang memiliki mereka, tetapi merekalah yang memiliki Saya: mereka membuat hidup Saya hanya berputar-putar seputar bersih-bersih dan rapih-rapih. Yang mana jika dilaksanakan bisa makan waktu 4-5 jam-- yang mana tidak Saya punyai! Hari-hari Saya serasa semakin pendek karena selalu ada adegan rapih-rapih dan bersih-bersihnya. Saya sudah sering kepikiran untuk menyumbangkan sejumlah kepemilikan Saya, tetapi sayang. Sial, kenapa Saya menyayangi benda? Bukankah benda-benda tidak aka mengisi kekosongan di hati? Ya, tapi Saya tidak bisa buang begitu saja baju kaos pemberian adik sepupu Saya, atau kado perpisahan lucu dari Melanie, atau buku-buku penting yang memberi saya pelajaran-pelajaran berharga, apalagi yang sudah saya tandai dengan warna-warni dan ada catatan pinggir Saya, atau kartu-kartu ucapan selamat dari kolega dan teman-teman, apalagi kartu-kartu pos dari seluruh penjuru Dunia! Mereka berarti untuk Saya! Mereka mengingatkan Saya akan memori di balik itu yang mana mungkin suatu waktu nanti di saat renggang Saya akan bernostalgia dan bahagia akan segala hal keren yang pernah Saya lakukan. SAAT RENGGANG? Jika begini modelnya, konsep hidup saya, gaya konsum saya, saya tidak  yakin suatu hari nanti akan punya yang namanya Saat renggang!
Saya kangen momen-momen liburan: Saya hanya perlu memikul sebuah ransel berisi 9 kilogram dan saya bisa hidup dengan sempurna dari 9 kilogram isi itu. Saya tidak perlu menyiram tanaman, tidak perlu cuci piring yang rasanya tidak habis-habis kalau dicuci, Saya tidak perlu bongkar-bangkir lemari dan bingung mau pakai apa, karena dalam satu rogohan tangan ke dalam ransel saja sudah berarti sebuah jawaban pasti: Saya pakai ini hari ini. Saya tidak perlu bingung pakai sepatu apa, hanya ada sepasang sepatu. Betapa indahnya hidup dalam "Di sini dan Sekarang". Dan betapa indahnya hidup berkecukupan.

Tulisan ini adalah dialog hati dan kepala saya tentang tema materialisme, konsumerisme dan minimalisme. Tulisan terkait berikutnya menyusul. Terimakasih.