Selasa, 23 Oktober 2012

Dalam Gelap Ada Rahasia Kehidupan




Kubiarkan lampu pelitanya mati

Dingin akan membawanya mencari pelukanku

Dan kubisikan rahasia kehidupan

Bukan bahwa habis gelap terbitlah terang

Akan kubisikan bahwa dunia ini begitu kejam

Sampai ia takut membuka matanya

Sampai ia begitu waspada

Mencoba sangat peka terhadap suara jangkrik

Dan detak detik jarum yang lentik

Setiap detik yang menambah umurmu

Akan memberikan pelajaran bahwa melihat tak begitu penting

Dalam gelap, kau hanya bisa merasa

Meraba dengan sangat hati-hati, sangat peka terhadap yang kasar dan yang lembut

Dalam gelap kau hanya bisa mendengar

Menjadi sangat peka dan sabar

Sampai kau mendengar suara yang hanya bisa didengar oleh hati


Purworejo, 17 September 2012

Minggu, 21 Oktober 2012

THE BITCH IS A MOTHER NOW!


Semua nasihat teman-teman saya di kampus tidak ada yang memuaskan saya, lalu datanglah teman saya yang sedang hamil 8 bulan ini.
 
Akhirnya terjawab lengkap sudah kegundahan saya itu. Di artikel saya yang sebelumnya, saya pernah sebutkan bahwa saya tidak ingin memiliki anak. Saya sudah memikirkan itu sejak SMA dan saya baru berani mengatakan di depan umum ketika kuliah, semester 1. Saya butuh sesuatu untuk mengingatkan saya apa hakikat dari melahirkan anak bagi seorang perempuan. Segera teman-teman cewek menyerbu saya dengan berbagai nasihat. Tapi tak ada yang benar-benar menyentuh hati saya. Pendapat dan pendirian saya lebih kuat dari pendapat teman-teman saya. Dari semua nasihat itu ada yang paling membuat saya jengkel. Teman saya, X menasihati saya begini,

“Mona, kalau kau tidak mau punya anak, suamimu nanti akan meninggalkan kamu.”

Kenapa saya jengkel dengan kalimat di atas? Sebenarnya saya heran dan kasihan bahwa seorang perempuan yang  mengenyam pendidikan di bangku universitas masih punya pola pikir seperti ini. Jika saya jabarkan, pemikiran dia ini ke arah berikut ini:

→laki-laki menikahi perempuan hanya untuk memiliki anak.
→laki-laki memakai perempuan hanya untuk menjelmakan spermanya menjadi anak.
Ilustrasi : “Eh, Mona, sini kukawini biar spermaku berubah jadi anak!”
Kesimpulan : laki-laki memanfaatkan perempuan !

Yang mana tidak benar seperti itu. Tapi kalau memang laki-laki seperti itu, lebih baik saya menikahi sesama perempuan. Dia sebagai suami dan saya sebagai istri, dan kami berdua sama-sama mengikuti program bayi tabung. Lalu dia hamil, saya pun hamil. Dan saya akan memasukkan berita menghebohkan ini ke Kompas : Suami Istri Sama-Sama Hamil!
Waktu itu saya tidak akan marah dan dongkol seandainya si X memberi nasihat seperti ini :

“Mona, anak adalah dasar keharmonisan rumah tangga.”

Maka saya akan sangat menerima nasihatnya, bahkan tersentuh. Teman saya yang satunya lagi, Y, menasehati saya begini,

“Mona, suatu saat nanti jika kau bekerja, semua uangmu mau dikemanakan? Untuk siapa?”
(….kalau bukan untuk anak-anakmu.)

Saya mulai berpikir bahwa ada benarnya juga. Dan kalau otak saya tambahkan, katanya, “Kalau kau mati, siapa yang kubur?” tapi jawaban ini masih kurang memuaskan saya. Saya butuh lebih.
Saya sadar, saya sangat menyukai anak kecil. Saya terpesona oleh kepolosan mereka. Saya suka melihat mereka apa adanya, tanpa maskara, tanpa pensil alis, tanpa lotion jerawat, tanpa masker dua kali seminggu seperti halnya saya. Saya benar-benar menyukai mereka. Mereka bukan sekedar boneka hidup. Mereka boneka hidup yang berotak dan berhati. Saya harus benar-benar mampu mendidik hati dan mengajari otak mereka. Nah, bagaimana kalau tidak bisa? Bagaimana kalau bukan hanya saya yang tidak bisa, tapi saya dan si suami-masa-depan (entah siapa, only God knows) tidak bisa??? Ini titipan Tuhan! Bukan mainan! Itulah sepenggal alasan yang membuat saya takut untuk memiliki anak. Lebih detail tentang finansial dan alasan biologis yang remeh-remeh ada di artikel saya yang sebelumnya. Bukannya tidak tahu resikonya. Saya sudah memikirkan semuanya bahkan sampai ke alasan tetek bengek, yaitu suatu hari nanti kalau ke arisan, semua ibu-ibu sibuk membangga-banggakan anaknya, yang satu bilang kalau anaknya rangking satu umum, yang satu bilang anaknya menang lomba nyanyi, yang satu bilang anaknya sudah bisa berjalan, satu lagi katanya anaknya sudah masuk UGM tanpa tes atau apalah itu, sedangkan saya hanya duduk terdiam di pojok karena saya tidak miliki apa yang mereka miliki.
Tapi.
Orang Indonesia sering melakukan sesuatu tanpa terlebih dahulu bertanya ‘MENGAPA?’ orang Indonesia sangat hobi menikah dan beranak tapi mereka tak pernah terpikirkan benar-benar apa alasan untuk menikah dan alasan memiliki anak. Yang mereka jawab adalah kalau bukan ‘cinta’, ‘sudah semestinya seperti itu’. Nah, inilah salah satu hal yang menjelaskan betapa konsumtifnya orang Indonesia. Mereka konsumtif terhadap menikah dan memiliki anak. Tidak heran jumlah penduduknya mencapai 200 JUTA JIWA.
Sewaktu kecil, saya membaca sebuah perdebatan antara seorang ibu rumah tangga dan seorang pastor. Si ibu berpendapat bahwa dasar pernikahan adalah seks. Si pastor, namanya juga pastor, berpendapat bahwa dasar sebuah pernikahan adalah cinta ilahi, sejenis cinta yang bisa menyatukan dua insan, cinta yang tak bisa diberikan oleh makhluk lain selain Tuhan sendiri, cinta yang tak bisa diuraikan lagi.
Saya bingung, yang mana yang benar. Berhubung saya belum pernah merasakan menjadi ibu rumah tangga, apalagi menjadi seorang pastor, maka saya pun diamkan saja pertanyaan itu. Anehnya, pertanyaan itu terus membenam dalam benak saya sampai saya besar. Lalu akhirnya saya pun menemukan jawabannya. Keluarga itu kuncinya ada pada anak-anak. Dan entah si ibu dan si pastor itu sadar atau tidak, yang bisa menghasilkan anak dalam suatu keluarga atau rumah tangga adalah cinta + seks. Jadi sebenarnya jawaban ibu itu dulu setengah benar. Begitu pula dengan jawaban si pastor. Dan jika jawaban mereka disatukan, maka terjadilah kebenaran. Yang membuat otak saya terbuka dan menemukan jawaban di atas adalah kejadian di bawah ini:
Ada teman saya, namanya Dolce. Dia adalah teman akrab saya sejak kelas empat SD. Lama kami tak bertemu dalam enam tahun terakhir ini. Terakhir ketemu, Juli 2009, saat itu dia menjenguk saya yang terkapar lemah di rumah sakit. Juli 2012 kemarin, kami sms-an panjang. Dia mengabari bahwa dia sudah hamil 8 bulan. Betapa kagetnya saya. Selama ini komunikasi kami lancar, sering sms dan telpon tapi tak pernah ia jujur bahwa dia sudah mengandung. Dengan hati-hati, saya bertanya, “Bagaimana perasaan kamu?” karena saya tahu kehamilan itu pasti kecelakaan. Dia menjawab. “Saya tidak sedih, saya tidak menyesal. Saya memang takut, tapi setelah tahu ada anak di perut saya, saya senang. Intinya hati saya bahagia.” Membaca jawaban teman saya ini, saya tertegun. Hati saya benar-benar total tersentuh. Teman saya ini tipikal orang yang suka mengurusi penampilan luar, dandan, berat badan, pakaian, pacaran, dsb. Tetapi hari ini, dia peduli dengan manusia lain dalam perutnya. Wow, the bitch is a mother now! Saya terdiam di antara terpesona dan tak percaya. Tiba-tiba, saya merasa bahwa saya juga ingin mengalami perasaan yang sama suatu hari nanti. Perasaan bahagia yang dia katakan itu.
Ibu dan ayah saya sudah mendidik saya dengan sangat baik. Tetapi, tetap saja saya pun, sebagaimana manusia sebagai makhluk individu, punya karakter saya sendiri. Saya sangat suka travelling dan saya sudah berencana, selesai kuliah nanti, setiap tahunnya minimal saya memiliki satu Reiseziel. Ini yang bikin saya takut. Kalau punya anak nanti, saya tidak akan jadi ibu full-time, tapi ibu part-time! Karena saya selalu on the way. Entahlah, naluri kebebasan itu selalu ingin terlepas dari tekanannya jauh di dasar diri saya. Di sinilah muncul pertanyaan, kenapa sih ibu-ibu atau bapak-bapak itu selalu berkorban mati-matian demi anak mereka. Padahal mereka kan juga punya kepentingan masing-masing? Tukang becak langganan saya di Pasar Demangan memiliki tiga orang anak yang sudah lulus S1. Salah satu dari mereka bahkan kuliah di UGM. Pencarian utama dari si bapak adalah menarik becak! Coba bayangkan, dengan semua uang yang dia hasilkan itu, tidakkah dia terpikirkan untuk membeli rumah atau mobil saja? Tapi tidak. Dia memilih banting tulangnya itu untuk pendidikan anaknya. Inilah saatnya saya memahami makna dari kata ‘darah daging’.
Saya masih terus bertanya, bisakah saya meninggalkan semua impian saya demi anak saya? Mungkin itulah yang namanya naluri seorang ibu. Seperti kata Dolce, ketika janin itu tinggal di perut kita, kita menjadi berbeda. Selama sembilan bulan dalam satu badan, satu nyawa, pelan-pelan menumbuhkan naluri itu dalam diri kita. Naluri yang hanya dimiliki oleh wanita yang pernah mengeluarkan anak lewat rahimnya. Naluri yang bisa mengalahkan semua egoisme. Naluri yang menaklukan dunia. Naluri ibu.