Semua nasihat teman-teman saya di kampus
tidak ada yang memuaskan saya, lalu datanglah teman saya yang sedang hamil 8
bulan ini.
Akhirnya terjawab lengkap sudah kegundahan saya itu. Di artikel saya
yang sebelumnya, saya pernah sebutkan bahwa saya tidak ingin memiliki anak. Saya
sudah memikirkan itu sejak SMA dan saya baru berani mengatakan di depan umum
ketika kuliah, semester 1. Saya butuh sesuatu untuk mengingatkan saya apa
hakikat dari melahirkan anak bagi seorang perempuan. Segera teman-teman cewek
menyerbu saya dengan berbagai nasihat. Tapi tak ada yang benar-benar menyentuh
hati saya. Pendapat dan pendirian saya lebih kuat dari pendapat teman-teman
saya. Dari semua nasihat itu ada yang paling membuat saya jengkel. Teman saya,
X menasihati saya begini,
“Mona, kalau kau tidak mau punya anak, suamimu nanti akan meninggalkan
kamu.”
Kenapa saya jengkel dengan kalimat di atas? Sebenarnya saya heran dan
kasihan bahwa seorang perempuan yang
mengenyam pendidikan di bangku universitas masih punya pola pikir
seperti ini. Jika saya jabarkan, pemikiran dia ini ke arah berikut ini:
→laki-laki
menikahi perempuan hanya untuk memiliki anak.
→laki-laki
memakai perempuan hanya untuk menjelmakan spermanya menjadi anak.
Ilustrasi : “Eh, Mona, sini kukawini biar spermaku
berubah jadi anak!”
Kesimpulan :
laki-laki memanfaatkan perempuan !
Yang mana tidak benar seperti itu. Tapi kalau memang laki-laki seperti
itu, lebih baik saya menikahi sesama
perempuan. Dia sebagai suami dan saya sebagai istri, dan kami berdua sama-sama
mengikuti program bayi tabung. Lalu dia hamil, saya pun hamil. Dan saya akan
memasukkan berita menghebohkan ini ke Kompas : Suami Istri Sama-Sama Hamil!
Waktu itu saya tidak akan marah dan dongkol seandainya si X memberi nasihat seperti ini :
“Mona, anak adalah dasar keharmonisan rumah tangga.”
Maka saya akan sangat menerima nasihatnya, bahkan tersentuh. Teman saya yang satunya lagi, Y, menasehati saya
begini,
“Mona, suatu saat nanti jika kau bekerja, semua uangmu mau dikemanakan?
Untuk siapa?”
(….kalau bukan
untuk anak-anakmu.)
Saya mulai berpikir bahwa ada benarnya juga. Dan kalau otak saya tambahkan,
katanya, “Kalau kau mati, siapa yang kubur?” tapi jawaban ini masih kurang
memuaskan saya. Saya butuh lebih.
Saya sadar, saya sangat menyukai anak kecil. Saya terpesona oleh
kepolosan mereka. Saya suka melihat mereka apa adanya, tanpa maskara, tanpa
pensil alis, tanpa lotion jerawat, tanpa masker dua kali seminggu seperti
halnya saya. Saya benar-benar menyukai mereka. Mereka bukan sekedar boneka
hidup. Mereka boneka hidup yang berotak dan berhati. Saya harus benar-benar
mampu mendidik hati dan mengajari otak mereka. Nah, bagaimana kalau tidak bisa?
Bagaimana kalau bukan hanya saya yang tidak bisa, tapi saya dan si suami-masa-depan (entah siapa, only God
knows) tidak bisa??? Ini titipan
Tuhan! Bukan mainan! Itulah sepenggal alasan yang membuat saya takut untuk
memiliki anak. Lebih detail tentang finansial dan alasan biologis yang
remeh-remeh ada di artikel saya yang sebelumnya. Bukannya tidak tahu resikonya.
Saya sudah memikirkan semuanya bahkan sampai ke alasan tetek bengek, yaitu
suatu hari nanti kalau ke arisan, semua ibu-ibu sibuk membangga-banggakan
anaknya, yang satu bilang kalau anaknya rangking satu umum, yang satu bilang
anaknya menang lomba nyanyi, yang satu bilang anaknya sudah bisa berjalan, satu
lagi katanya anaknya sudah masuk UGM tanpa tes atau apalah itu, sedangkan saya
hanya duduk terdiam di pojok karena saya tidak miliki apa yang mereka miliki.
Tapi.
Orang Indonesia sering melakukan sesuatu tanpa terlebih dahulu bertanya
‘MENGAPA?’ orang Indonesia sangat hobi menikah dan beranak tapi mereka tak
pernah terpikirkan benar-benar apa alasan untuk menikah dan alasan memiliki
anak. Yang mereka jawab adalah kalau bukan ‘cinta’, ‘sudah semestinya seperti
itu’. Nah, inilah salah satu hal yang menjelaskan betapa konsumtifnya orang
Indonesia. Mereka konsumtif terhadap menikah dan memiliki anak. Tidak heran
jumlah penduduknya mencapai 200 JUTA JIWA.
Sewaktu kecil, saya membaca sebuah perdebatan antara seorang ibu rumah
tangga dan seorang pastor. Si ibu berpendapat bahwa dasar pernikahan adalah
seks. Si pastor, namanya juga pastor, berpendapat bahwa dasar sebuah pernikahan
adalah cinta ilahi, sejenis cinta yang bisa menyatukan dua insan, cinta yang
tak bisa diberikan oleh makhluk lain selain Tuhan sendiri, cinta yang tak bisa
diuraikan lagi.
Saya bingung, yang mana yang benar. Berhubung saya belum pernah
merasakan menjadi ibu rumah tangga, apalagi menjadi seorang pastor, maka saya
pun diamkan saja pertanyaan itu. Anehnya, pertanyaan itu terus membenam dalam
benak saya sampai saya besar. Lalu akhirnya saya pun menemukan jawabannya.
Keluarga itu kuncinya ada pada anak-anak. Dan entah si ibu dan si pastor itu
sadar atau tidak, yang bisa menghasilkan anak dalam suatu keluarga atau rumah
tangga adalah cinta + seks. Jadi sebenarnya jawaban ibu itu dulu setengah
benar. Begitu pula dengan jawaban si pastor. Dan jika jawaban mereka disatukan,
maka terjadilah kebenaran. Yang membuat otak saya terbuka dan menemukan jawaban
di atas adalah kejadian di bawah ini:
Ada teman saya, namanya Dolce. Dia adalah teman akrab saya sejak kelas
empat SD. Lama kami tak bertemu dalam enam
tahun terakhir ini. Terakhir ketemu, Juli 2009, saat itu dia menjenguk saya
yang terkapar lemah di rumah sakit. Juli 2012 kemarin, kami sms-an panjang. Dia
mengabari bahwa dia sudah hamil 8 bulan. Betapa kagetnya saya. Selama ini
komunikasi kami lancar, sering sms dan telpon tapi tak pernah ia jujur bahwa
dia sudah mengandung. Dengan hati-hati, saya bertanya, “Bagaimana perasaan
kamu?” karena saya tahu kehamilan itu pasti kecelakaan. Dia menjawab. “Saya
tidak sedih, saya tidak menyesal. Saya memang takut, tapi setelah tahu ada anak
di perut saya, saya senang. Intinya hati saya bahagia.” Membaca jawaban teman
saya ini, saya tertegun. Hati saya benar-benar total tersentuh. Teman saya ini
tipikal orang yang suka mengurusi penampilan luar, dandan, berat badan,
pakaian, pacaran, dsb. Tetapi hari ini, dia peduli dengan manusia lain dalam
perutnya. Wow, the bitch is a mother now!
Saya terdiam di antara terpesona dan tak percaya. Tiba-tiba, saya merasa bahwa
saya juga ingin mengalami perasaan yang sama suatu hari nanti. Perasaan bahagia
yang dia katakan itu.
Ibu dan ayah saya sudah mendidik saya dengan sangat baik. Tetapi, tetap
saja saya pun, sebagaimana manusia sebagai makhluk individu, punya karakter
saya sendiri. Saya sangat suka travelling dan saya sudah berencana, selesai
kuliah nanti, setiap tahunnya minimal saya memiliki satu Reiseziel. Ini yang bikin saya takut. Kalau punya
anak nanti, saya tidak akan jadi ibu full-time,
tapi ibu part-time! Karena saya
selalu on the way. Entahlah, naluri
kebebasan itu selalu ingin terlepas dari tekanannya jauh di dasar diri saya. Di sinilah muncul pertanyaan, kenapa
sih ibu-ibu atau bapak-bapak itu selalu berkorban mati-matian demi anak mereka.
Padahal mereka kan juga punya kepentingan masing-masing? Tukang becak langganan
saya di Pasar
Demangan memiliki tiga orang
anak yang sudah lulus S1. Salah satu dari mereka bahkan kuliah di UGM.
Pencarian utama dari si bapak adalah menarik becak! Coba bayangkan, dengan
semua uang yang dia hasilkan itu, tidakkah dia terpikirkan untuk membeli rumah
atau mobil saja? Tapi tidak. Dia memilih banting tulangnya itu untuk pendidikan
anaknya. Inilah saatnya saya memahami makna dari kata ‘darah daging’.
Saya masih terus bertanya, bisakah saya meninggalkan semua impian saya
demi anak saya? Mungkin itulah yang namanya naluri seorang ibu. Seperti kata
Dolce, ketika janin itu tinggal di perut kita, kita menjadi berbeda. Selama
sembilan bulan dalam satu badan, satu nyawa, pelan-pelan menumbuhkan naluri itu
dalam diri kita. Naluri yang hanya dimiliki oleh wanita yang pernah
mengeluarkan anak lewat rahimnya. Naluri yang bisa mengalahkan semua egoisme.
Naluri yang menaklukan dunia. Naluri ibu.