Jumat, 29 Maret 2013

Mahasiswa NTT di Jogja Nyalakan 2000 Lilin



Tepat pukul 18.00 WIB, Rabu, 27 Maret 2013, semua warga Nusa Tenggara Timur yang saat ini menjalani masa studi di Yogyakarta berkumpul di titik nol kilometer, Tugu, dalam rangka memperingati empat warga NTT yang tewas ditembak beberapa waktu yang lalu. Sebagai tanda turut bekabung, mereka menyalakan lilin, yang disebut aksi 2000 lilin. Sekitar dua ratus mahasiswa berdiri mengelilingi garis luar tugu dan menyalakan lilin di atasnya. Aksi ini jelas saja menyebabkan kemacetan dan untuk menjaga keamanan dan keselamatan, polisi lalu lintas datang sehingga prosesi 2000 lilin tersebut bisa berjalan dengan lancar.











Orasi singkat, pengheningan cipta, dan doa yang berlangsung dilengkapi dengan nyanyi bersama lagu “Flobamora”, lagu tanah air NTT, dan lagu “Indonesia Raya”. Acara ditutup dengan peneriakan yel-yel dengan sangat bersemangat dari muda-mudi tersebut.

Selasa, 19 Maret 2013

MUSIM HIDUP



          Sejak kecil aku selalu akrab dengan alam. Dan betapa aku menyadari air adalah inti kehidupan yang menggantikan setiap dahaga menjadi telaga, melahirkan kesuburan, mengedarkan darah, dan membersihkan udara. Air bukan saja melengkapi atau menyempurnakan, namun melahirkan, menjadikan ada, dan menghidupkan.
         Aku selalu menanti musim berganti, berhibernasi saat kemarau menjatuhkan semua daun ke tanah yang terbagi-bagi ke dalam bongkahan besar dan kecil; sampai musim air tiba. Di mana semua tunas keluar dari persembunyiannya di balik tumpukan daun kering yang kian menyatu dengan tanah beserta lapukan mayat-mayat makhluk hidup. Di saat musim ini datang, aku menyaksikan siklus hidup yang menggembirakan. Ini adalah musim di mana kehidupan dirayakan. Musimnya regenerasi, reinkarnasi, tak ada yang mati, semuanya kembali ke bawah matahari.
         Setiap hari aku selalu dibawa ke tempat-tempat baru oleh pikiranku sendiri. Ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi sebelumnya, namun terasa tak asing dalam alam hayalanku. Di sana kudapati diriku utuh karena di sanalah belahan jiwaku memanggil-manggil dalam ketenangan yang mengundang. Bayangan diriku berjalan di alam tersebut terasa sangat nyata, sampai-sampai aku yakin di suatu tempat di dunia ini ada tempat yang seperti itu. Gambarannya mungkin seperti deskripsi Stephanie Meyer tentang alam Forks yang ada dalam novel Twilight.
         Dalam hayalanku itu, aku berjalan di suatu tempat yang kuyakini luas, hanya saja saking lebat pepohonannya, terasa sempit. Aku berjalan tanpa alas kaki. Kakiku yang terasa ringan, seolah menemukan home sweet home, dengan lincahnya hampir seperti sambil loncat-loncat menyusuri rimbunan daun yang warnanya sangat hijau, bahkan hampir menyerupai warna lumut. Setiap daun yang kusentuh, menyambutku dengan tetesan embun di ujungnya : sesejuk surga dan sebening kristal. Telapak kakiku beradu lembut dengan rumput, tanah, dan lumut yang menyatu dalam suatu skala becek yang membuat suasana kulitku nyaman. Aku hampir yakin aku berada di sebuah surga. Aku lupa kalau aku memiliki raga yang sehari akan merasa lapar dua atau tiga kali. Lagian di tempat ini tak ada petunjuk hari. Aku juga lupa kalau aku membutuhkan manusia lain sebagai inti dari eksistensiku dalam istilah zoon politicon. Tapi aku di sini, merasa nyaman, aman, dan sempurna, aku sampai lupa kalau aku berasal dari dimensi yang sarat teknologi.
        Aku terus berjalan, menikmati keberadaanku di antara alam hayalanku yang durasinya biasanya tak akan lama.
        Mataku tak sendiri, ia bersama hatiku yang tak hentinya bernyanyi dan bersyair, dan kicauan burung yang hanya beberapa senti di belakang daun telingaku. Sejauh batas pendengaranku, kudengar langkah seekor dua ekor hewan berkejaran dan masuk ke dalam lubang dalam batang pohon tua raksasa yang akarnya menjalar dalam tanah ke arah delapan penjuru mata angin di tempat ini. Aku bahagia tiada tara. Aku tak ingin kembali, kemana pun arti kembali itu.
        Ke sanalah hayalanku membawaku setiap kali hujan turun. Kadang aku bertanya, apakah mungkinkah karena aku lahir di dalam jeda waktu bintang pisces, sehingga aku menjadi manusia yang tak bisa terpisah dari segala yang berhubungan dengan air?
       Aku berharap musim hujan ini jangan lekas berakhir…


Selasa, 05 Maret 2013

Opera Di Pagi Hari



Aku menemukan kehangatan dari gigilnya sinar matahari yang membeku

Seolah dalam ribuan percik air mata yang berhamburan tanpa rasa sakit

Aku rindu bilamana cahaya itu membiru terjebak turunnya hujan

Dan langit yang blur seakan menyatu dalam dramatisasi irama

Alam sedang menggubah tangga nada menjadi mahakarya

Kali ini angin memainkan peran sebagai anak gadis yang duduk manis

Tak bisa dikira berapa lama penjelmaannya memakan waktu sampai habis

Tanah bak laki-laki tua yang menenggak arak sampai sekarat

Semua yang bersayap bersabar di sangkar, sebagian di bandara

Kota ini terbiasa hidup di bawah matahari

Tapi pagi ini biarkan hujan menyanyi dan menari