Suatu ketika saya
jalan-jalan di jejeran toko di Hamburg. Sampai di toko sepatu saya berhenti dan
masuk. Di rak Nike saya sisir teliti
dengan mata, sampai mata terhenti. Sepatu berwarna coral itu duduk di atas rak
dengan warna yang “tidak sabaran”, layaknya seorang atlet lari menanti aba-aba
“Siap-sedia-ya”. Sebelum keburu menghayal tinggi, saya lihat harganya. Sedikit
di atas 100 Euro. Layak. Lalu saya mendapati sebuah label di dalamnya yang
membuat saya serta merta meragu. Bak kitab pedoman shopping, saya seperti dibisik sebuah “kebijaksanaan” yang entah
sejak kapan ada di ingatan saya. Ini
barang Cina (barang yang diproduksi di negeri Cina)!!! Hati-hati pemalsuan!
Ini bukan Nike asli, sekalipun harganya “asli”!
Saya lepas seketika jemari
saya dari sepatu itu, seolah ia bawa hama penyakit. Tapi lalu kembali merampasnya tidak sabaran, saking
penasaran dengan keasliannya. Sambil berharap mata saya cukup cerdik membedakan
barang asli dan palsu, saya bolak balik si Nike, depan-belakang, dalam-luar,
bawah-atasnya, lalu menelusuri dengan mata tajam setiap jaring serat yang
terkukuhkan oleh “lem” di setiap sendinya: dari tangan kiri, oper ke tangan
kanan. Adegan ini menunjukkan betapa phobianya saya dengan barang produksi Cina.
Selama di Indonesia saya berkali-kali beli produk Cina, dan saya memang tahu
dan sengaja: they are fake. Misalnya
anting-anting berwarna emas, tapi bukan emas benaran dsb. Tapi ini Nike!!! Dengan harga di atas 100 Euro!
Mana rela saya keluarkan uang sebanyak itu untuk barang Cina. Persepsi saya
terhadap barang Cina ini, yang entah diciptakan kapan dan oleh siapa, bukanlah sesuatu yang secara sosial
positif! Persepsi ini bisa merugikan kelompok yang bersangkutan, karena terlanjur
dicap negatif. Persepsi ini disebut stereotip.
Menurut Wikipedia, Stereotip adalah
penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di
mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip
merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia
untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan
keputusan secara cepat. Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan
kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip jarang sekali
akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan
sepenuhnya dikarang-karang. Asal mula stereotip adalah perbedaan yang dialami kelompok
dengan kelompok lainnya; pola komunikasi tentang kelompok tersebut; dan konflik
antarkelompok. Berikut
adalah contoh-contoh stereotip:
Ø Barang Cina: pasti imitasi, murahan
Ø etnis Tionghoa : pasti kaya dan pelit
Ø Islam: pasti teroris (banyak orang barat yang berpikir begini)
Ø Wanita berambut pirang : pasti bodoh dan penakut
Ø Wanita yang suka berpakaian mini: pasti “murahan”
Ø Guru: pasti jujur dan berakhlak mulia
Ø Laki-laki: selalu pake otak, kuat, tidak pernah (tidak boleh) menangis
Ø Perempuan: selalu pake perasaan, lemah, gampang meneteskan air mata
Ø Insinyur: pekerjaannya laki-laki
Ø Guru/pustakawati: pekerjaannya perempuan
Heyyy, memangnya kalian
tidak pernah ketemu barang Cina yang bagus, orang Cina yang hidup sederhana dan
murah hati, orang Muslim yang baik dan sangat berperikemanusiaan, cewek pirang
yang cantik dan pintarnya ekstrim, cewek menor yang hatinya bersih, laki-laki
yang menangis, perempuan yang berotot dan mandiri, insinyur perempuan, guru
laki-laki?????
Bicara tentang
stereotip, saya punya segudang cerita dari pengalaman sendiri. Dua hari lalu
saya berdiri di antrian donor darah di sekolah saya. Hampir semua partisipan
orang Jerman (ini saya nilai dari warna kulit mereka ya, entah mereka orang
rantauan dari Polandia…who knows…). Tiba
saat saya mau menunjukkan kartu identitas diri, saya sudah ditatap tidak
simpatik oleh si wanita penjaga stand yang kerjanya gesek-gesek kartu di mesin
aneh di depan batang hidungnya. Saya tanya, “Boleh tidak saya mendonor, jika
berat badan saya 46 kg?” “Tidak,” jawabnya culas tanpa ampun. Serius, saya
bukannya mematok nilai ramah tamah ala Nusantara ke beliau ini ya, tapi dia memang
ketus banget terhadap saya. Saya pun
angkat bahu dan balik ke kelas sebelum beberapa menit sempatkan diri baca “aturan
main” donor darah di Jerman. Karena ini kali pertama saya, saya buta dan gelap
tentang poin-poin yang harus ditaati. Saat baca, ada sebuah poin bilang, “Anda
tidak berhak mendonor darah jika dalam 6 bulan terakhir ini berada di Asia
Tenggara….dst dst dst”… Oh… saya paham. Dengan rating HIV/AIDS yang tinggi di tempat
saya, tidak heran jika tatapan waspada tadi dilemparkan cuma-cuma ke arah saya.
Lagi-lagi stereotip! Siapa yang mau “pakai” darah Asia Tenggara saya?
Contoh yang saya
ceritakan di atas termasuk ke golongan stereotip yang negatif, jadi artinya ada
yang positif juga (contohnya orang latin pintar dansa). Stereotip yang negatif selalu
merugikan masyarakat yang bersangkutan, jika stereotip ini tentang
etnis/suku/kelompok masyarakat tertentu. Stereotip tidak kenal individualitas, bro. Stereotip sapu rata! Stereotip
sangat subjektif, kebenarannya bisa sampai nol persen!