Jumat, 25 November 2016

Stereotip: Sepatu Nike, Donor Darah Sampai Cina yang Pelit


Suatu ketika saya jalan-jalan di jejeran toko di Hamburg. Sampai di toko sepatu saya berhenti dan masuk. Di rak Nike saya sisir teliti dengan mata, sampai mata terhenti. Sepatu berwarna coral itu duduk di atas rak dengan warna yang “tidak sabaran”, layaknya seorang atlet lari menanti aba-aba “Siap-sedia-ya”. Sebelum keburu menghayal tinggi, saya lihat harganya. Sedikit di atas 100 Euro. Layak. Lalu saya mendapati sebuah label di dalamnya yang membuat saya serta merta meragu. Bak kitab pedoman shopping, saya seperti dibisik sebuah “kebijaksanaan” yang entah sejak kapan ada di ingatan saya. Ini barang Cina (barang yang diproduksi di negeri Cina)!!! Hati-hati pemalsuan! Ini bukan Nike asli, sekalipun harganya “asli”!



Saya lepas seketika jemari saya dari sepatu itu, seolah ia bawa hama penyakit. Tapi lalu  kembali merampasnya tidak sabaran, saking penasaran dengan keasliannya. Sambil berharap mata saya cukup cerdik membedakan barang asli dan palsu, saya bolak balik si Nike, depan-belakang, dalam-luar, bawah-atasnya, lalu menelusuri dengan mata tajam setiap jaring serat yang terkukuhkan oleh “lem” di setiap sendinya: dari tangan kiri, oper ke tangan kanan. Adegan ini menunjukkan betapa phobianya saya dengan barang produksi Cina. Selama di Indonesia saya berkali-kali beli produk Cina, dan saya memang tahu dan sengaja: they are fake. Misalnya anting-anting berwarna emas, tapi bukan emas benaran dsb. Tapi ini Nike!!! Dengan harga di atas 100 Euro! Mana rela saya keluarkan uang sebanyak itu untuk barang Cina. Persepsi saya terhadap barang Cina ini, yang entah diciptakan kapan dan oleh siapa, bukanlah sesuatu yang secara sosial positif! Persepsi ini bisa merugikan kelompok yang bersangkutan, karena terlanjur dicap negatif. Persepsi ini disebut stereotip.



Menurut Wikipedia, Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Asal mula stereotip adalah perbedaan yang dialami kelompok dengan kelompok lainnya; pola komunikasi tentang kelompok tersebut; dan konflik antarkelompok.  Berikut adalah contoh-contoh stereotip:

Ø  Barang Cina: pasti imitasi, murahan
Ø  etnis Tionghoa : pasti kaya dan pelit
Ø  Islam: pasti teroris (banyak orang barat yang berpikir begini)
Ø  Wanita berambut pirang : pasti bodoh dan penakut
Ø  Wanita yang suka berpakaian mini: pasti “murahan”
Ø  Guru: pasti jujur dan berakhlak mulia
Ø  Laki-laki: selalu pake otak, kuat, tidak pernah (tidak boleh) menangis
Ø  Perempuan: selalu pake perasaan, lemah, gampang meneteskan air mata
Ø  Insinyur: pekerjaannya laki-laki
Ø  Guru/pustakawati: pekerjaannya perempuan

Heyyy, memangnya kalian tidak pernah ketemu barang Cina yang bagus, orang Cina yang hidup sederhana dan murah hati, orang Muslim yang baik dan sangat berperikemanusiaan, cewek pirang yang cantik dan pintarnya ekstrim, cewek menor yang hatinya bersih, laki-laki yang menangis, perempuan yang berotot dan mandiri, insinyur perempuan, guru laki-laki?????

Bicara tentang stereotip, saya punya segudang cerita dari pengalaman sendiri. Dua hari lalu saya berdiri di antrian donor darah di sekolah saya. Hampir semua partisipan orang Jerman (ini saya nilai dari warna kulit mereka ya, entah mereka orang rantauan dari Polandia…who knows…). Tiba saat saya mau menunjukkan kartu identitas diri, saya sudah ditatap tidak simpatik oleh si wanita penjaga stand yang kerjanya gesek-gesek kartu di mesin aneh di depan batang hidungnya. Saya tanya, “Boleh tidak saya mendonor, jika berat badan saya 46 kg?” “Tidak,” jawabnya culas tanpa ampun. Serius, saya bukannya mematok nilai ramah tamah ala Nusantara ke beliau ini ya, tapi dia memang ketus banget terhadap saya. Saya pun angkat bahu dan balik ke kelas sebelum beberapa menit sempatkan diri baca “aturan main” donor darah di Jerman. Karena ini kali pertama saya, saya buta dan gelap tentang poin-poin yang harus ditaati. Saat baca, ada sebuah poin bilang, “Anda tidak berhak mendonor darah jika dalam 6 bulan terakhir ini berada di Asia Tenggara….dst dst dst”… Oh… saya paham. Dengan rating HIV/AIDS yang tinggi di tempat saya, tidak heran jika tatapan waspada tadi dilemparkan cuma-cuma ke arah saya. Lagi-lagi stereotip! Siapa yang mau “pakai” darah Asia Tenggara saya?


Contoh yang saya ceritakan di atas termasuk ke golongan stereotip yang negatif, jadi artinya ada yang positif juga (contohnya orang latin pintar dansa). Stereotip yang negatif selalu merugikan masyarakat yang bersangkutan, jika stereotip ini tentang etnis/suku/kelompok masyarakat tertentu. Stereotip tidak kenal individualitas, bro. Stereotip sapu rata! Stereotip sangat subjektif, kebenarannya bisa sampai nol persen!

Rabu, 23 November 2016

The Power of Kebetulan

Empat minggu lagi dari sekarang saya akan berlibur ke Indonesia selama tiga minggu. Kedengarannya banyak, tiga minggu, padahal kalau dihitung dengan cermat, itu bukan apa-apa! Waktu habis di jalan, kata orang Indonesia. Bagaimana tidak: terbang dari Hamburg-Munich-Doha-Jakarta- dan bermuara di- Kupang makan waktu dua hari (saya wajib harus mengunjungi orang tua dulu di Pulau Timor), lalu berziarah ke makam leluhur di Pulau Flores, mengurus “gudang” berjalan saya yang sudah dua tahun ini terlantar begitu saja di Jakarta, dan sebagai perjalanan penutup saya sudah janji dengan seorang sahabat untuk berlibur romantis ala gadis-gadis di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Reuni-reuni kecil dan besar sudah saya set up, bahkan beberapa teman meminta saya menset-up kan karena kangen, yang mana susah untuk saya tolak. Pelesir kecil-kecil atau besar-besar sudah saya jadwalkan: di mana, ke mana, dengan siapa, kapan, bawa apa, nanti buat apa saja… Lengkap di notebook saya. Saya tidak bisa hidup tanpa rencana. Saya tipe yang suka listing. Ini tidak ada kaitannya dengan sifat pelupa. Lha, bayangkan saja kalau barang yang harus dibawa ada 10 biji, emang situ hafal semua, apalagi dalam bingkai travel, jadi Listing itu penting! Saya suka mendaftarkan per nomor poin-poin yang harus saya ingat/beli/bawa/cari, supaya saya tahu mana yang sudah ter-cross-check, mana yang masih menggantung. Secara liburan seperti ini tidak terjadi setiap tahun, enaknya kalau sekali pergi, pulang-pulang semua yang diharapkan berhasil terkumpul di bakul hehehe! Kecenderungan untuk planning dan/atau listing seperti ini bukan hanya terdapat dalam diri saya, tapi hampir semua manusia. Rencana sudah jadi bagian dalam hidup dan dunia. Dan memang tidak ada salahnya berencana!

Banyak Melihat Itu Memang Bagus, Semua Orang Juga Bisa. Tapi Banyak Mengalami Itu Lebih Baik.
Dinginnya Jerman membuat saya kangen pantai Indonesia yang sebiru batu safir. Sebagai pembalasan dendam, saya ingin sekali menghabiskan waktu dengan teman-teman di atas pasir pantai sambil bersenda gurau dan bernostalgia jaman di mana kita dulu masih unyu. Harapan ini lalu membawa kalender ke tangan saya, hampir setiap hari saya geser sana-sini tanggal-tanggal mainnya. Tidak menentu. Sudah saya tetapkan harinya, tiba-tiba teringat kendala biaya, saya hapus lagi, ganti tanggal lagi, ganti acara lagi. Saya jadi pusing sendiri. Hingga muncul pertanyaan: ini liburan atau tur seminar? Rasa-rasanya saya hampir-hampir tidak punya waktu untuk mneyeruput es kelapa karena tiket pesawat/kapal laut berikutnya sudah berdetak layaknya jarum jam di teling saya. Saya tidak mau menghitung hari atau jam atau menit pada saat saya berada dalam liburan. Bahwa Indonesia memang isinya pulau-pulau, itu sudah tidak bisa kita rubah, sodara-sodara. Artinya, kalau mau keliling-keliling pulau ya resikonya waktu habis. Semakin tua saya semakin paham: lebih baik banyak mengalami daripada banyak selfie!

Surprise Itu Tidak Selamanya Bad, Planning Itu Tidak Selamanya Under Control
Saya akhirnya temukan satu solusi: jangan berencana. Kalau pun harus, ya garis-garis besarnya saja. Maka saya tetapkan untuk tinggal masa bodoh dengan orang tua saya sampai muncul kesempatan atau tawaran berikutnya, ke mana saya harus pergi selanjutnya. Saya tidak mau waktu berkualitas kami harus diinterupsi oleh listing yang sudah saya patokkan sebelumnya. Setelah saya pikir-pikir, listing itu bisa saja malah jadi mempersempit kemungkinan datangnya kejadian-kejadian menarik lainnya ke lorong perjalanan saya, namun keburu kepotong si listing. Oh ya, bicara tentang lorong. Hidup dengan planning (jadwal/rutinitas) sama analoginya dengan Highway. Sudah jalannya mulus, diberi nomor lagi, mana mungkin nyasar! Tanpa planning? Analoginya seperti lorong dan gang: kau bahkan tidak tahu apa yang ada di ujung sana, apakah gang itu buntu, tak ada yang tahu; berapa cabang yang ada dalam lorong, jalani saja kalau mau tahu! Just let yourself be surprised! Tidak semua kejutan serta merta bawa bencana.

Sejarah manusia berencana itu simple saja: manusia selalu ingin pegang kendali, manusia berharap segala sesuatu semaksimal mungkin terjadi sesuai yang otak mereka bayangkan. Mereka lebih pilih jalur aman ini karena takut terjadinya kejutan-kejutan dramatis yang mengseluncurkan mereka ke kawah masalah sebecek lumpur dan selengket bubur. Tapi pengalaman saya mengajarkan, seberencana apa pun saya, tetap juga tuh terjadi “kebocoran”. Hanya karena otak kita tahu masa lalu kita, bukan berarti dia tahu masa depan kita. Listing yang otak kita sering catat, kerap disaring dari memori masa lalu. But please, Hidup ini jauh lebih luas dari otak kita choy, jadi keluarlah dari lisitng-mu hari ini, dan coba lakukan sesuatu yang berbeda, yang mungkin saja mengantarmu ke sebuah pencerahan atau inspirasi, bahkan revolusi!

Berikan kebetulan kesempatan untuk lewat atau mampir dalam perjalananmu!

Selasa, 22 November 2016

Napoleon Kompleks dan Krisis Tinggi Badan Ala Jerman

Sampai dua tahun yang lalu belum ada yang mengatakan kepada saya kalau saya bertubuh pendek. Kecil sudah, mungil sudah, imut sudah, pendek? Baru ketika saya tinggal di Jerman! Di Jerman ini semuanya diciptakan besar-besar. Rumahnya besar-besar, atapnya tinggi-tinggi, meja dapurnya tinggi-tinggi, lemari/rak mencapai atap, cerminnya tertempel tinggi di dinding, sampai kita benar-benar sadar: kita ini pendek sekali!

Secara orang Eropa rata-rata memang lebih tinggi dari orang Asia, orang Jerman apalagi! Yang saya maksud di sini adalah Jerman di mana saya tinggal: Hamburg. Ada sebuah mitos orang sini yang mengatakan, “Semakin ke utara, semakin tinggi-tinggi manusianya. Sebaliknya semakin ke selatan (ke arah Jerman bawah, Italia, Prancis, dst) tinggi badan manusianya semakin rendah.” Mitos ini sebenarnya tidak 100 % benar juga karena toh ada tuh orang Hamburg yang lebih pendek dari orang München! Tapi memang saya akui, menemui pria/wanita dengan tinggi badan 185 cm ke atas di jalanan Hamburg ini memang sudah bukan hal yang eye catching. Sejarah ziarahnya suku bangsa Viking (Skandinavia) ratusan tahun lalu ke si kota pelabuhan memang memainkan peran besar dalam evolusi tubuh manusia di Hamburg dan sekitarannya.

Di Kleine Mona (Si Mona Kecil/Pendek) : Nama panggilan = labelisasi
Sebagai orang Asia yang juga lahir besar di Asia, saya tentu tidak pernah merasa wajib gelisah dalam mempertanyakan tinggi badan saya: toh hampir seluruh suku bangsa saya tingginya seperti saya. Domisili saya di Jerman mengubah persepsi saya terhadap tubuh saya. Saya tadinya lumayan terganggu jika semua meja yang ada di mana pun tingginya melelahkan bahu kanan kiri saya. Namun kesadaran akan kecilnya tubuh saya ini masih terbilang normal, karena saya belum merasa ada yang kurang, atau bahkan ada yang salah dengan tumbuh kembang tubuh saya (yang mana sejak 8 tahun yang lalu sudah tidak saya pertanyakan lagi!). Sampai suatu ketika saya menyadari sesuatu: orang-orang di sekitar saya sering memanggil saya “Die kleine Mona” yang artinya “Si Mona Kecil/Pendek”. Kadang ada variasinya, seperti, “Na, da ist die kleine!” (Nah, itu dia si Kecil/Pendek!). Seruan ini saya dengar se-ti-ap hari. Baik oleh ‘orang-orang rumah’ maupun kolega kerja saya (Mendapati orang pendek di Jerman itu memang eye catching banget!). Saya akhirnya merasa seperti ditepuk di bahu, “Eh, Mona, kau itu kecil.” Coba bayangkan kalau kau dibilang kecil/pendek terus-menerus, lama-kelamaan kau jadi yakin bahwa kau memang kecil/pendek. Coba ini saya bandingkan seorang gadis yang tembem kalau sejak kecil dikasi nama panggilan “Eh Ndut!” dan setiap hari harus berkali-kali mendengar dirinya dipanggil dengan nama si Gendut, maka sampai kapan pun dia akan merasa dirinya gendut. Jika di Asia orang paling takut jadi gendut, di Jerman orang paling takut jadi kecil, dalam artian pendek. Dan yang saya pertanyakan, kenapa yah, nama panggilan itu selalu dicari dari kekurangan fisik seseorang. Coba lihat, mana ada cewek cantik sejak kecil dipanggil teman-teman sebangku sekolah dasarnya, “Eh cantik!”. Yang ada diamati dulu kelemahannya sampai ketemu. Tiba-tiba, “Eh Tukang Contek!”

Napoleon Bonaparte, Kaisar Mungil yang Menaklukan Eropa
Suatu ketika saya terlibat obrolan dengan seorang Jerman bertubuh 190 cm. Kami mengobrolkan seorang pria kecil yang mana tidak lain adalah mantan bapak kos saya sendiri. Beliau itu cerewet orangnya, selalu mencari pujian dan pengakuan, seperti pernah dia bilang ke saya, “Mona, saya ini dulu mudanya ganteng!” Ketika itu saya anggukan saja sambil tersenyum ala Asia. Tapi si bapak kos ini memang bukan jenis yang peka, dia malah semakin ngoceh tentang kelebihan-kelebihannya yang mana… saya harus tahu begitu. … Dia sama sekali tidak tertarik untuk tahu apakah saya tertarik untuk tahu itu! Yang penting ngomong tinggi sampai dipuji. Nah, menurut teori si Alfred Adler, psikolog yang menemukan sindrom pria kecil ini, perilaku haus akan pujian yang dilakukan oleh para pria bertubuh kecil di sebut Napoleon Kompleks.

Menurut Wikipedia, Napoleon kompleks adalah sindrom yang “diidap” oleh para pria bertubuh kecil dengan ditandai adanya perilaku sosial yang terlalu agresif atau mendominasi. Penemuan teori ini dinamakan menurut Kaisar Prancis yang sangat terkenal, Napoleon Bonaparte. Konon untuk mengimbangi kurangnya tinggi badannya yang kira-kira hanya 170 cm (untuk ukuran Eropa itu sudah termasuk kecil, apalagi untuk seorang kaisar!) adalah sebab mengapa ia bersikeras mencari kekuasaan, tahta, melepas perang dan penaklukan di mana-mana sampai Eropa selebar yang kita kenal sekarang.

source: https://northtexasdrifter.blogspot.de/2015/05/napoleon-complex.html


Kenapa Nenek Sihir dan Bukan Kakek Sihir?
Menurut si Pria 190 cm, mantan bapak kos saya itu absolutely mengidap Napoleon Kompleks. Saya memang sudah pernah dengar istilah itu, tapi saking sering si pria 190 cm mengecap orang-orang yang kami temui dengan label “Dasar Napoleon!”, saya jadi penasaran untuk meng-google pendapat para penduduk dunia maya tentang Napoleon kompleks. Saya pengen tahu, apakah itu mitos atau nyata, saya penasaran, berapa di antara mereka yang benar-benar yakin, seyakin si pria 190 cm, bahwa kompleksitas ini murni penyakit. Terlebih dalam lagi, saya mempertanyakan, kompleksitas ini jangan-jangan hanyalah fenomena yang muncul sebagai korban diskriminasi masyarakat. Persamaannya seperti sejarah wanita penyihir. Pernah dengar sebelumnya? Jadi konon, fenomena wanita penyihir atau kerap disebut nenek sihir itu muncul gara-gara wanita sering tidak dikasi podium di masyarakat, wanita banyak yang dikecewakan oleh kaum lelaki, diselingkuhi, ditinggalkan, cinta bertepuk sebelah tangan, dst… Dan si kaum laki-laki ini sialnya memegang posisi-posisi penting dalam masyarakat atau birokrasi, si perempuan semakin merasa tidak punya otoritas. Nah, untuk memenangkan/melampiaskan dendam/impian/harapannya, wanita mempelajari ilmu sihir, jadi dendam mereka terhadap diskriminasi masyarakat itu terbalas di situ. (Itulah mengapa penyihir itu biasanya digambarkan dalam wujud wanita; emang ada yang pernah dengar istilah ‘kakek sihir’?). Begitu ceritanya. Jadi kalau saya sinkronkan dengan teori Napoleon Kompleks, saya bisa tarik benang merah sendiri: Bagaimana si pria pendek tidak mati-matian unjuk kemampuan, jika di masyarakat mereka selalu dianggap si kecil/pendek, selalu diremehkan hanya karena kurangnya sekian centimeter di tubuh vertikal mereka, selalu dibandingkan dengan pria lain yang lebih tinggi, gagal meraih hati wanita pujaan karena si pujaan kawin lari dengan si yang lebih tinggi…. Mujurlah saya terlahir sebagai wanita, jadi menurut standar masyarakat saya tidak perlu tinggi-tinggi amat, toh menjadi model bukan ketertarikan saya. Syukurlah saya bukan si jenis kelamin yang diwajibkan oleh masyarakat untuk lebih tinggi dari lawan jenis saya. Tapi coba lihat para pria, yang mana dijadikan objek untuk teori kompleksitas ini. Mereka didiskriminasi, mereka disepelekan hanya karena fisik yang kurang sekian inchi view di atas kepala orang lain. Saya terus terang merinding baca komen-komen di halaman online itu, rasa penasaran saya menelantarkan saya di antara ratusan komenan sadis-diskriminatif tentang tubuh pendek para lelaki dan hubungannya dengan “ketimpangan” perilaku mereka. Para komentatornya mencaci maki pria-pria bertubuh kecil. Mereka dengan blak-blakan melabeli hal yang sama: haus pujian, lucu tapi kurang serius, bahkan tidak bisa diajak serius, hiruk-pikuk, haus perhatian, butuh pengakuan, dst, dst. Oke, wait, Bapak kos saya tadi itu memang nyata-nyata mengidap Napoleon kompleks. Namun hanya karena satu laki-laki yang saya temui seperti itu, bukan berarti saya harus melabeli semua pria pendek dengan cap yang serupa, kan?

Sebagai orang yang pernah ditolak bekerja di dua tempat, salah satunya di Pizza Hut, karena alasan tinggi badan yang tidak mencukupi, saya bisa (terpaksa) paham: Itu area professional. Namun di Jerman ini beda: tinggi badan jadi bahan sebutan sehari-hari. Rasa-rasanya terlahir pendek itu sama dengan terlahir cacat kira-kira begitu. Atau terlahir tanpa sebuah indra, atau apalah yang nilainya bisa bikin minus rasa percaya diri kita. Saya belum pernah sebelumnya ada di sebuah masyarakat di mana tinggi badan menjadi diskusi seringan snack, yang rankingnya berada tepat di samping cuaca (orang Jerman membicarakan cuaca sehari bisa 10 x). Lama-kelamaan saya memahaminya begini: orang Jerman ini punya krisis, namanya krisis tinggi badan.

Seperti analisis saya di atas, semakin seseorang dianggap/dipandang/dikatakan pendek, semakin ia membangun sebuah rasa citra diri bahwa ia MEMANG pendek. Dan menjadi pendek itu mengesalkan jika harus selalu dibandingkan dengan mereka yang lebih tinggi. Rasa kesal ini lantas lahir ke permukaan namun malah ditolak oleh masyarakat. Padalah yang membuahkan rasa kesal ini siapa kalau bukan si masyarakat itu sendiri? Mereka malah dengan pongahnya meluncurkan teori psikologi baru dalam hal kompleksitas, bernama Napoleon Kompleks. Haduh, masyarakat ini bodoh betul ya!



Selasa, 01 November 2016

Keterpaksaan Untuk Tahu (Part I)

Berapa di antara kita yang masih ingat selownya era di mana internet belum bermain dengan anak-anak desa. Sumber informasi kita hanyalah radio, televisi dan surat kabar. Sadarkah kita, bahwa zaman itu begitu indah, tenang dan damai?

Oke, kita barangkali akan “kebagian” jatah tenar sebuah lagu bertahun-tahun setelah ketenaran yang sebenarnya pertama kali meletus…
Kita juga bukan jadi yang pertama tahu kalau Si Band X dari Amerika konser di Jakarta bulan sekian, tanggal sekian, sehingga kita barangkali bisa menabung untuk menghadiri konsernya…
Kita juga bukan jadi orang pertama yang tahu, di dunia sedang gempar isu X atau doktrin Y…
Namun memang ada baiknya seperti itu, tertinggal dalam kedamaian.

***

Di smartphone saya pernah ada multi jenis media sosial. Deringnya per menit. Bahkan Line, bisa beberapa kali dalam kurun kurang dari semenit! Saya mengikuti beberapa akun yang membuat saya dikabari tiada henti jika ada yang baru dari mereka. Tiba-tiba Starbucks, “Beli sore ini pasti diskon!” Atau Plan Internasional, “Hentikan pernikahan dini di Indonesia!” dengan segenap fakta yang terlampir. Gmail saya juga demikian. Tiba-tiba muncul pesan dari ebay, “Mona, temukan barang yang paling dicari saat ini!” Dan dari Quora, “Bagaimana rasanya kerja di Microsoft?” dan seterusnya, dan seterusnya. Aliran informasi ini per detik, terkanal langsung dari penulis/pengiklannya, membuat saya merasa terkomunikasikan atau dipaksa menjadi komunikatif. Komunikasi searah atau dua arah, yang penting terima dulu informasinya! Kadang terasanya seperti babak belur info. Bagi penggemar Twitter, pasti lebih babak belur lagi di-hashtag sana sini.

Radio, televisi dan surat kabar cetak tidak bakal bisa menandingi kecepatan media online. Kelangsungannya, kecepatannya, dan kemultimediaannya membuat kita memasrahkan ketiga media konvensional tadi dan beralih ke online. Ada gambar, ada video, ada suara, ada feed back! Saling berkomentar adalah fasilitas yang sangat mungkin di dunia online. Jadi si penulis menulis, si pembaca beri masukan. Sikap responsif media online membuat massa jadi kecanduan. Semakin disuguhi informasi, semakin lengket mata pembaca ke layar computer/smartphone. Semakin cepat, semakin berkembang topiknya, semakin maju arah perbincangannya, semakin laku iklannya, semakin kuat dominasi internet terhadap kekaleman media konvensional. Kalem, lamban, kemayu, cupu, jadul: barangkali itulah kata-kata yang bisa saya “umpatkan” ke TV, radio, koran. Namun sadarkah kita, jika suatu waktu nanti kita justru akan membutuhkan “kekaleman” media ini?

Jika dulu kita duduk bersama di teras depan rumah dan menyanyi lagu kesayangan bersama radio dan sahabat akrab, sekarang masing-masing dengan headset dan mendengarkan lagu lewat Soundcloud. Jika dulu tetangga mampir ke rumah untuk baca koran sore, sekarang si tetangga duduk di toilet sambil baca detiknews di smartphone sekian inchinya. Jika dulu jam delapan teng seisi rumah berkumpul untuk menonton Indonesian Idol, sekarang masing-masing di kamarnya dan memutar ulang dari YouTube. Di manakah kebersamaan itu perginya? Menyatu bukan lagi berkumpul menjadi satu, tetapi berpencar satu satu.

-bersambung


Jumat, 28 Oktober 2016

Apakah saya seorang Scanner atau Diver (Part II-End)

Scanners love to read and write, to fix and invent things, to design projects and businesses, to cook and sing, and to create the perfect dinner party. Mereka memiliki aneka ragam interest dan hobi yang warna-warni. Mereka selalu ada dalam pergerakan: sebelum sesuatu mereka tuntaskan, tampaknya Scanners sudah mendarat ke hal berikutnya yang menarik perhatiannya. Menjadi Expert bukanlah tujuannya sejak awal. Dia justru berpikir: Menjadi ahli berarti membosankan, sama saja dengan mengikuti satu hal yang sama seumur hidup dan menyangkali 999 hal menyenangkan lainnya.

Tipe Scanners yang jarang dijumpai dalam masyarakat membuat ia sering dianggap remeh bahkan tidak ditoleransi, terutama oleh pemberi kerja. Bagaimana tidak? Curriculum vitae seorang Scanner terlihat begitu tidak fokusnya sehingga si calon bos berpikir ia tidak akan setia bekerja di perusahaan tersebut. Seperti yang kita semua tahu, semua pemberi kerja berharap merekrut karyawan setia yang setidaknya bisa bekerja sampai 30 tahun… Scanners? Dengan resume yang “zig zag” tampak seperti seorang drifter (tersesat ke sana kemari)? Setahun jadi tenaga marketing, kemudian jadi guru, lantas tiga tahun kerja sebagai pemandu wisata, eh, sekarang melamar sebagai tim kreatif pada sebuah perusahaan organiser. Kebanyakan mereka ditolak: dituduh sebagai karyawan yang kurang loyal, bukan tenaga yang expert di bidangnya, tidak komitmen terhadap tugas, dsb, dsb… Sementara itu, menurut Sher, Scanners bukanlah Drifters, mereka justru Adventurers. Scanners menyukai petualangan, mereka menyukai hal baru dan menyingkap tabir misteri (While scanners explore the world broadly, divers explore in depth.) Mereka memiliki rasa penasaran yang naif terhadap segala sesuatu yang menarik perhatian mereka.

Membaca artikel ini saya merasakan epifani: ternyata there’s nothing wrong with me. People Like me do exist. It is totally normal being me as a scanner. Jika membandingkan dengan teori ini, saya adalah seorang Scanner. Saya lulusan pendidikan (pedagogik), pernah mengecap beberapa pekerjaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan latar belakang pendidikan saya, pernah bekerja sebagai  guru bahasa Inggris dan Jerman, lalu asisten dokter gigi, di saat yang bersamaan blogger dan pelukis. Dan sejak lima tahun terakhir I started taking pictures, karena fotografi adalah bidang yang sangat menarik saya. Bukan hanya di dunia pendidikan dan pekerjaan ciri Scanners dalam diri saya bisa terlihat, di bidang lain pun bisa dengan jelas. Contohnya di usia 17 saya benar-benar ingin belajar main gitar, saking saya menyukai Avril Lavigne (dan belum lagi kecintaan saya terhadap gitaris Andra Dewa 19, Izzi Stradlin dan Zynyzter Gates). Setelah susah payah mengumpulkan uang, saya akhirnya membeli sebuah gitar akustik. Sampai hari ini saya tetap saja tidak tahu cara memetik gitar. Seiring waktu, hal yang sama terjadi pada selera musik saya. Saya menyukai rock, blues, lalu merambat  ke jazz, mendarat di reggae, ska, yang pasti soul, RnB, hip hop, latin, pop, dan ujung-ujungnya dangdut. Teman, sahabat, kenalan saya terdiri dari berbagai jenis golongan yang mana kalau saya pikir-pikir, kadang sampai harus kagum, kok kita bisa nyambung. Bahkan domisili saya pun menunjukkan kalau saya seorang scanners. Saya pernah berdomisili di beberapa pulau yang berbeda yang membuat saya bisa paham/berbicara beberapa bahasa/dialek lokal. Sebagai seorang yang menyukai bahasa, saya berbicara fasih dalam tiga bahasa nasional, dan sedang belajar Bahasa Spanyol. Dulu saya pernah dicap seorang kolega sebagai si tukang Escape, sedangkan baru-baru ini seorang teman pernah melabeli saya YOLO (You Only Live Once)-Type. Dia mengamati saya yang sering merasa dunia ini terlalu besar dan berwarna, tapi saya hanya hidup sekali, usia saya tidak akan lebih dari kurun seratus tahun, I need to grab more and fast before it is too late, cause I’m dying to experience them all!
Pure as a melody, pure as I wanna be…
All I wanna be, oh
All I wanna be is everything
everything at once…


Saya pernah ada di suatu titik di mana saya sempat berpikir: Jangan-jangan saya nanti tidak bisa apa-apa dengan sangat baik dan mapan, karena keseringan ganti hobi dan interest. Saya sadar, saya berbeda. Bahwasanya orang-orang di sekitar saya cenderung homogen: kalau pengennya itu ya itu saja, ditekuni habis-habisan sampai lihai dan professional. Namun menurut buku Barbara Sher, jika dunia memahami dan menerima spesies Scanners ini sebagai eksis dan normal, justru mereka akan menjadi tenaga handal dalam dunia jaman sekarang yang penuh perubahan dan dinamis nan dramatis. Dengan kemampuan dan background mereka yang heterogen, seorang pemberi lapangan kerja bisa memanfaatkan ini ke kreativitas yang benar-benar positif dan inovatif.

Apakah saya seorang Scanner Atau Diver? (Part I)

Ketika kecil saya suka melukis. Karena melihat bakat menggambar saya, ibu saya membelikan cat air dan perlengkapannya. Saya bahkan sempat memenangkan lomba melukis tingkat kabupaten. Tidak lama kemudian saya jatuh cinta dengan menjahit. Lagi-lagi terinspirasi dari ibu saya yang dulu sempat menekuni bidang garmen. Saya sempat menjahit pakaian Barbie, membuat sebuah boneka dan menempel nama saya di bantal kepala. Di saat yang bersamaan saya suka menggunting-gunting kertas, melipat, membuat hiasan, tempat pensil atau apa pun itu. Singkatnya basteln (bahasa Jerman untuk aktivitas menggunting-melipat-menempel). Kalau Anda punya anak putri seperti ini bayangkan seperti apa rumahnya? Berantakan. Jelas.

Ibu saya sering marah-marah karena sebelum menyelesaikan satu “proyek”, saya sudah membanjiri diri saya dengan “proyek” lainnya. Belum selesai melukis, saya masuk kamar dan gunting majalah sana-sini.  Belum kelar rajutan saya, saya sudah minta bantuan ibu saya untuk mengajarkan saya nyanyi. Oh ya, by the way ibu saya pintar nyanyi. Sebenarnya sih dia bisa banyak hal—dengan sangat professional malah— dan “sayangnya” saya mewarisi itu. Tapi ibu saya tidak memahami kenapa saya suka tidak tuntas mengerjakan sesuatu. Dia selalu bilang, “Mona, kamu itu tidak telaten.” Dan karena alasan ini, beliau pernah bilang, “Kalau saya ajarkan kau nyanyi, nanti baru sampai nada mi kau sudah bosan. Kalau mau belajar sama mama harus tuntas, tidak main bosan-bosanan!”  Mama saya bukannya sedang jahat, dia hanya sedang bingung saja—layaknya orang tua “normal”—barangkali pikirnya “Ini anak kalau tipenya begini, jangan-jangan sekolah pun tidak akan tuntas.” Itulah sebagian gambaran masa kecil saya. Saya punya beraneka ragam hobi. Mulai dari indoor (basteln) sampai outdoor: memanjat pohon, menangkap kupu-kupu, jalan-jalan ke hutan, memancing… Saya sampai tidak bisa bilang, saya suka mana lebih daripada yang mana.

Hobi adalah benih dari cita-cita. Karena sejak kecil gemar membaca buku, saya sangat ingin menjadi penulis buku. Tapi cita-cita pertama saya justru menjadi pembaca berita. Masih ingat Desi Anwar? Ya, yang itu, acara berita Nuansa Pagi! Siapa yang tidak ingat kharismanya saat membaca berita. Saya dan sang ayah yang tidak pernah alpa setiap pagi menonton acara di RCTI itu, sangat memuja pesona smart ala Desi Anwar, sampai-sampai sang ayah sempat sangat berharap saya menjadi seperti sang bintang jurnalistik idola. Di masa sekolah dasar saya tiba-tiba ingin menjadi polwan, lalu pernah ingin jadi dokter… bahkan astronot, yang mana sempat menjadi karya lukis saya. Hhh, saya sendiri kadang pusing jadi pribadi yang banyak maunya.

Sampai di sini kalian akan mulai mengambil satu kesimpulan sederhana: saya orang yang tidak fokus terhadap satu hal, saya tidak konsisten, tidak komitmen, saya suka mengganti-ganti. Tapi saya mendefinisikan diri saya dalam kosakata yang nadanya positif: saya hetero, saya adalah garis zig zag, saya dinamis, saya tidak statis, saya eksploratif, saya adaptif, saya fleksibel terhadap perubahan, saya kreatif, variatif, saya lebih dari 50 gradasi abu-abu—bukan berarti saya tidak pegang prinsip. Prinsip saya itu tadi: mobilitas. Tapi jujur saja, saya terang-terangan akan menjauhi rutinitas, menghindari monotonitas dengan alasan itu penjara, perangkap atau takdir.

Secara kebetulan saya membaca di internet sebuah referensi buku psikologi yang ditulis oleh Barbara Sher, “Refuse To Choose” (2006). Buku ini memperkuat keyakinan saya bahwa saya bukannya “tidak normal”, saya hanyalah spesies yang belum dideteksi oleh dunia. Jadi, dalam buku ini, Sher membagi jenis manusia ke dalam jenis The Divers dan The Scanners. Penjelasannya seperti di bawah ini.

The Divers
The Divers adalah tipe yang perfeksionis. Ciri mereka bisa dijumpai pada para musisi, ilmuwan, atlet, penari, programmer. Seperti arti namanya, Penyelam, mereka akan menyelam sampai ke dasar, hingga menemukan keutuhan dari bidang yang mereka tekuni. Mereka ulet, setia, tekun di suatu bidang yang sama, hingga kemampuan mereka di bidang itu tajam terasah. Mereka adalah expert di bidang tertentu dan tidak akan puas jika hanya disuguhkan “permukaan” saja. Mereka terkadang juga hanya memiliki satu atau dua long-life hobi yang mana mereka jalankan dengan telaten. Menurut Sher, mayoritas populasi di dunia adalah tipe Divers.

The Scanners
“To scanners, the world is like a big candy store full of fascinating opportunities, and all they want is to reach out and stuff their pockets. It sounds wonderful, doesn’t it? The problem is, Scanners are starving in the candy store.” tulis Barbara dalam situs http://www.getmotivation.com/articlelib/articles/barbara_sher_scanner.html Terkait dengan tema ini, sebuah situs pernah memaparkan, Scanners tidak takut gagal, Scanners hanya takut bosan. Mereka mencoba ini itu, layaknya si tukang cemil: banyak makan tapi tidak akan merasa kenyang yang sesungguhnya.

Profesi The scanners biasanya pustakawan, filmmakers, guru, manajer, dsj. Jika kita bandingkan terhadap Divers, Scanners cenderung menyentuh sesuatu di permukaan saja. Mereka menyukai banyak hal, bahkan dalam waktu yang bersamaan. Mereka tidak pernah takut mencoba, justru mereka takut untuk tidak mencoba hal baru. Kenapa? Mereka takut missing all that fun!

Jika kamu hampir selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan "Ya", kamu bisa masuk dalam golongan The Scanners.

Senin, 24 Oktober 2016

Mengdeinstalasi Facebook dari Gadget: Bukan salah kacang melupakan kulitnya

Sebagai seorang perantau, saya sering merasa kangen rumah dan orang-orang tersayang saya. Sejak usia 15 tahun saya meniggalkan rumah dan orang tua demi sekolah. Yang letaknya di pulau seberang. Selama tiga tahun di sekolah berasrama tersebut, saya jadi memiliki banyak teman dan sahabat baik. Setamat SMA, saya kembali mengembara. Ke pulau yang justru lebih jauh, Jawa. Saya memilih Jogjakarta, kota kecil yang indah dan nyaman untuk mahasiswa. Selama kuliah saya sempat mengecap lima dunia kerja yang berbeda—part-full time. Kenalan saya mulai dari kaum akademik sampai para pedagang di Malioboro yang bahkan berteman sangat baik dengan mereka, sampai hari ini. Lima tahun kemudian saya pindah ke Jakarta dan bekerja setahun di sana. Sebagai seorang tenaga pengajar, saya tidak hanya menjadi bagian dari staf, melainkan juga dari murid-murid. Kalau ingat mereka yang baik hati, manis dan lucu, jadi benar-benar kangen.

Domisili saya yang sekarang di Jerman membuat saya merasa terampas oleh jarak dan waktu. Kalau di sini jam 7 malam (saya hampir selalu tiba jam 7 di kos sepulang kerja), di Indonesia sudah jam 1 pagi. Itu baru yang di Jawa. Kalau orang tua dan keluarga besar saya di NTT, sejam lebih awal lagi, jam 2 dini hari: bagaimana saya bisa telpon?! Sementara pekerjaan yang sangat menyita waktu ini membelenggu komunikasi kami. Waktu yang tersisa untuk memble dan kangen-kangenan kampong halaman rasanya seperti remah-remah waktu. Kadang tidak masuk akal saja jika saya harus mengirim pesan satu per satu keluarga/teman secara regular, “Hai, apa kabar? Saya kangen.” Bayangkan, dari keluarga/teman yang tersebar di beberapa pulau/propinsi/kabupaten/kota seperti itu, mana kebagian waktunya. Sementara dilihat dari realita Life is now and here: saya juga butuh kale, nongkrong dengan manusia-manusia yang wujud dan suaranya bisa saya lihat/dengar langsung. Weekend kadang saya habiskan dengan teman-teman yang saya kenal di Jerman. Bisa macam-macam orangnya, mulai dari yang saya kenal di tempat kerja, sampai yang saya kenal di situs online. Kadang saya menemukan diri saya dalam keadaan sedih dan lelah. Hanya karena saya tidak sanggup menjaga silahturahmi dengan “kulit kacang saya”. My family and my friends mean the world to me!



Saya masih ingat ketika SMA, saya masih kirim-kiriman sms dan telponan dengan orang tua saya. Hal yang serupa ketika saya kuliah di Jogja. Sejak di Jakarta, komunikasi kami berubah: saya hanya cek-cek di Facebook lewat postingan mereka, untuk mencari tahu apa kabar mereka. Saya paham, mereka sendiri punya hidup. Artinya saya juga tidak berharap jika ada kabar baru, sayalah orang pertama yang mereka cari untuk dikabari. Contohnya ipar saya yang melahirkan anak, saya awalnya tahu dari Facebook dulu. Kemudian baru dia berkabar, “Mona, kau sudah punya ponaan baru sekarang.” Bagi saya, telat tidak apa, toleransi saja, toh saya juga mengembaranya pake tingkat benua!

Pada fase ini jugalah saya yang gaptek mulai menggeser fungsi sms dengan Whatsapp. Tapi stalking di Facebook tetap saya jalankan, saya kangen! Serius, saya suka stalking bapa, kakak, sepupu, om/tante, teman masa kecil, sahabat kuliah, sahabat seperjuangan, kolega baik, konco-konco gila saya, abis itu saya like postingan mereka bertubi-tubi. Postingnya 2013, saya like di 2015. Kira-kira begitu. Ketahuan sekali ini orang kepo. But they just mean the world to me!!!

Suatu ketika, saya merasa kelabakan. Harus noleh kiri, kanan, tegak, depan, belakang, diam, nyahut… Saya bingung. Banyak yang ajak chat di Whatsapp, BlackberryMessenger, Line, Facebook dan Skype. Saya kasi respon “remah-remah”. Beberapa diamkan saja tapi beberapa took it too personal, dan itu membuat saya bingung. Saya berharap pihak seberang paham posisi saya, tapi barangkali dia sama lelahnya juga seperti saya. Saya bukannya tidak respek dengan yang namanya silahturahmi, tapi saya merasa kurang hidup. Waktu saya saya lempar ke belakang terus, kapan saya maju…. Rumusnya begini, kalau setiap kali ada waktu luang saya pakai untuk chat dengan keluarga/teman di Indonesia, kapan saya berkembang di Jerman? Saya selalu sempatkan diri untuk berkabar dan menyatakan how much I love my family/friends. Tapi kadang ada aja yang nuntut lebih… Maunya aku tongkrongi berjam-jam di skype atau Whatsapp. Kapan saya punya quality time dengan diri saya sendiri kalau begini?  Saya juga butuh malam-pengobat-lelah-sepulang-kerja: mandi air panas 20 menit, teh hangat, baca buku, dst tanpa dentang denting di handphone atau laptop. Yang kalau saya buka ternyata “hanya” pesan berulang dari orang yang sama.

Akhirnya solusi saya adalah menghapus semua media sosial tersebut (WA, FB, BBM, Line, Skype) dari handphone/laptop saya. Minggu pertama berlalu: saya merasa benar-benar nyaman. Tidak perlu lagi kebiasaan lama: sadar pagi-pagi langsung buka handphone dan cek pesan atau komen di Facebook. Tidak perlu lagi chat online di saat saya lagi hang out dengan beberapa teman di kafe. Tidak perlu lagi merasa wajib balas-balas pesan di media sosial capek-capek sepulang kerja. Daaaannn… tidak perlu lagi kesakitan mata karena terlampau lama menatap layar bercahaya. Lebih baik tertinggal daripada terkejar.

Minggu kedua saya mulai kangen. Saya tidak bisa obati kangen ini dengan meng-sms kaluarga/teman saya, mahal! Sempat terpikir instal ulang Whatsapp: ah kemudahan, nanti chat-chatan melulu! Akhirnya saya instal kembali Facebook di Smartphone saya. Saya jadi bisa berkiriman pesan, kepo orang-orang terdekat, dan sebaliknya mereka pun bisa kepoin saya kalau-kalau kangen.
Seminggu tanpa Facebook sangat menenangkan dan menyehatkan. Saya bisa tidur awal, bangun tanpa sengatan cahaya layar, dst.
Menurut BBC (http://www.bbc.co.uk/newsbeat/article/26780069/smartphone-overuse-may-damage-eyes-say-opticians), menatap layar smartphone dalan frekuensi yang intensif, menyebabkan gangguan tidur, mood yang tidak menentu, sakit kepala, jarak lihat yang semakin mendekat, dan macular degeneration.
Reinstalasi FB membuat saya pun jadi lebih bijaksana menggunakan media sosial ini: frekuensi cek update pun tidak dalam hitungan jam! Saya kadang bisa berhari-hari tidak cek Facebook: record yang dulu mana bisa saya pertahankan dalam waktu 5 menit!

Menjadi media social junkie bukanlah impian saya. Facebook adalah satu-satunya media sosial di smartphone saya saat ini. Barangkali teman-teman yang membaca tulisan bisa mengambil hikmah dan ini bisa jadi inspirasi buat kalian. Have a nice day J

Selasa, 27 September 2016

following, liking, adding, subscribing, stalking


 Sadar tidak sadar, internet telah meningkatkan angka penderita HIV/AIDS di dunia. Konon maraknya jumlah website/aplikasi smartphone untuk online dating adalah sebabnya.

Sadar tidak sadar, hidup kita diambil alih oleh internet. Mulai dari arus informasi, tekanan industri, bahkan sampai jumlah penduduk. Bagaimana tidak? Tetangga saya mau tahu saya sedang ngapain saja, bukannya mengirim saya sms/pesan online menanyakan kabar, malah men-stalking di Facebook. Ibu-ibu rumah tangga bukannya buka lapak di pasar, bakul lapaknya dijejer di internet. Jika industri naik, angka kelahiran menurun. Itu hukum alam jaman sekarang, teman.

Internet menyita banyak waktu manusia. Manusia sendiri merasa waktunya disita internet? Kelihatannya tidak. Mereka dengan suka rela membuka akun di sana-sini, bahkan rela membayar untuk akses-akses tertentu.

Saya suka miris jika sedang di kereta atau di taman, melihat sepasang kekasih duduk bersebelahan tapi tertunduk menatap layar di ganggaman tangannya masing-masing. Tiada kata. Tanpa percakapan. Kontak mata? Jika si kekasih bilang, “Eh sayang, lihat deh ini postingannya lucu banget kan?” Pacarnya menoleh, tapi yang dilihat toh si layar smartphone juga…

Rasa-rasanya manusia seperti ini adalah makhluk setengah-setengah: setengah hidup di dunia nyata, setengahnya maya. Jadi kayak pintu Doraemon begitu: masuk dimensi lain, keluar lagi, masuk lagi…

Banyak memang manfaat internet. Contohnya saya bisa tinggal dan mengenyam pendidikan di Jerman berkat kekreatifan saya menggunakan internet. Saya tidak bilang berkat internet loh… Toh banyak orang menggunakan internet dengan jumlah giga bite yang bombastis tapi di mana mereka sekarang?

Di rumah, di atas kasur, men-stalking instagram Kendal Jenner.

***
Bicara tentang stalking, bicara tentang media sosial. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, dkk. Aturan main di sana memang: tunjuk pamerreaksi publikrepeat. Teman Facebook saya makan es cendol saja difoto dan diupload di Facebook, dapat like dari pemirsa. Besoknya dia foto lagi menu makan serba murah dari KFC— yang dia beli dari uang jajan terakhirnya (barangkali). Siklus ini (tunjuk pamerreaksi publikrepeat), herannya, tidak membuat mereka jengah. Boro-boro sadar kalau mereka sedang pasif!

Kata kolega saya, “Orang-orang begitu memang tidak punya hobi.”

Saya akhirnya jadi membenarkan hipotesis dia. Jika “semua” bisa diakses dari smartphone mungil, siapa lagi yang mau repot-repot memiliki hobi. Siapa yang hari gini masih melukis atau menggambar dengan mengandalkan imajinasi dan keaslian karyanya? Ngapain mikirin inspirasi dari dunia nyata, jika bisa saya tiru dari gambar-gambar di Google?

Hidup di jaman following, liking, adding, subscribing, stalking, lama-kelamaan saya merasakan kekeringan jiwa orang-orang di seputaran bumi ini beredar. Internet memang gratis, tapi justru kegratisan ini seperti membeliputus jiwa-jiwa manusia.

Blackberry messenger adalah sebuah media sosial di mana usernya hampir selalu aktual meng-update status. Senang, update status, patah hati, update status, jadian, update status, putus, update status, sedih, update status, lapar update status, tukang sate lewat pun dia update! … don’t these people have any other thing to do?
“Mereka nggak punya hobi, Mona,” suara kolega saya berdengung lagi.

***
Saya ingin sedikit berkisah tentang alpanya hobi.

Pernah ketika kuliah, teman saya mengeluh tentang hubungan cintanya yang kandas. Dia sangat sedih dan sampai berkeinginan bunuh diri. Saya tentu saja membelalak. Dia jauh-jauh datang ke Jawa hanya untuk patah hati dan bunuh diri? You gotta be kidding me. Saat itu dia meminta saran saya, bagaimana caranya mengalihkan pikirannya, supaya rasa sakit hati itu berkurang. Saya, yang saat itu sangat niat membantu, mengopikan film-film seru dari laptop saya ke laptop dia. Selain itu saya pinjamkan novel-novel seru (yah, menurut saya, seru) saya untuk dia dibaca. Lantas dia datang lagi ke saya. Novel di tangan. Mata putus asa. Dia tidak bisa pakai “terapi” saya. Saya tidak hilang akal. Saya ajak jalan-jalan. Dia menikmati ketika kami di jalan, tapi ketika pulang, dia kembali membiru. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Lalu saya menyerah. Masuk semester 5 dia dropped out dan menikah (dengan pria lain, tentu saja). Sangat disayangkan. Dan terlebih lagi, saya benar-benar menyayangi dia sebagai sahabat.

Saat berada di dunia kerja, seorang teman seperjuangan saya mengeluh hal yang sama: putus cinta,  putus asa. Teman saya ini unik: cerdas dan cantik. Di mata saya dia bisa jadi inspirasi untuk kerja keras dan perjuangannya meraih gelar master hingga mendapat beasiswa ke luar negeri. Tapi dia sendiri tersesat di sebuah arena tanpa petunjuk: what to do now???. Status dia di Facebook isinya jelas-jelas broken hearted. Penyesalan, cinta, ambisi, harga diri, kekecewaan, harapan, jengkel, putus asa, mau move on tapi malah jalan di tempat…ah, campur aduk. Dia beberapa kali minta saran ke saya: what should I do now.

Saya bukannya dokter cinta. Saya hanya teman biasa yang dimintai saran. Beberapa hari setelah dia putus cinta, ternyata saya pun mengalaminya. Lebih jelasnya, hubungan asmara saya berakhir dengan seorang pria Jerman. Saya menangis. Saya kan sudah bilang, saya bukan dokter cinta.

Hari ke dua. Masih di setiap pukulan jarum detik, saya memikirkan si yang baru saja jadi mantan—kecuali jika sibuk di tempat kerja atau tidur. Pagi-pagi mendayung sepeda di tengah dinginnya udara Jerman, saya pikirin dia. Sambil mengiris sayur di dapur mungil saya, muncul lagi ulah dia yang bikin geram. Sambil sedot debu kamar, teringat betapa lembutnya hati mantan yang kadang  malah saya tanggap angin lalu. Beberapa detik kemudian, saya mandi. Di tengah guyuran air hangat di atas bahu (saya seharusnya menikmati momen ini, tapi tidak. Kepala saya berasap) muncul penyesalan: kenapa saya begitu bodoh? Eh, besoknya ketika di dalam bis menuju sekolah, saya berhasil mengumpulkan 50 kesalahan si mantan terhadap saya. My mind was just like a roller coaster!
Dua hari kemudian, saya mencapai klimaks. Saya tidak akan keluar dari lubang jika saya tidak tegakkan lutut dan bangun, pikir saya. Selama dua hari ini saya hanya seperti bola yang ditendang sana sini oleh pikiran saya sendiri. Sempat gol? Ya, habis gol dioper-oper lagi ke depan, ke belakang, kanan kiri.

Layaknya manusia dan perasaan: mereka memang saling tergantung. Bahkan at some point kamu malah terbiasa dengan itu, dan justru menikmati keterpurukkan tersebut. Ujung-ujungnya kamu mendapati diri kamu berjalan di tempat. (Boro-boro move on) And I don’t want it!

Singkatnya, sebelum genap hari ke tiga, saya sudah semangat lagi dan berpikir positif. Hubungan cinta yang sempat berlangsung lebih dari setahun sekarang bukan lagi monster di kepala saya.
Pelajaran saya selama ini simpel saja: kenali apa yang kamu mau dan terlebih lagi apa yang kamu butuh. Prinsip ini yang mengantarkan saya ke sebuah movement. Adalah hobi dan interes. Saya menyukai fotografi, jalan-jalan, dan menulis. Dan ketika putus cinta, saya akhirnya menemukan lapangan luas di mana saya bisa mengekspresikan hobi dan interes. Now I have mooooreee quality time for most all of them J Janji-janji weekend saya dipenuhi nama-nama dari ujung-ujung bumi, sebut saja Armenia, Madagaskar, Meksiko, Equador, Iran, Afghanistan, China, dan Indonesia (can be more). Dan kami melakukan banyak aktivitas yang mungkin: memasak menu tradisional, jalan-jalan ke kota tua, shopping, sekedar piknik di danau, saling mendandani, belajar salsa dan bachatta, makan-makan di restoran (kalo ini sangat jarang J) Caffee and Cake, atau party dan bir… You decide. Smartphone? Silahkan tinggal di tas.




Jumat, 23 September 2016

Bawang Merah Bawang Putih: cantik, lamban, dependen dan bimbang?



Peran Sinetron

Ketika hampir beranjak remaja, saya punya sebuah sinetron favorit: Bawang Merah Bawang Putih. Jujur saja, saya sering menyukai peran antagonis (“si jahat”, bahasa emak-emaknya). Mereka biasanya diperankan lincah, gesit, banyak ide, agresif, berani katakan “iya” dan “tidak”, blak-blakan tentang pendapat, optimis (yang mana sering digambarkan ekstrim oleh sutradara: ambisius). Dalam sinetron ini, siapa lagi kalau bukan si Bawang Merah. Dari namanya saja, “Merah”, asosiasi di kepala kita pasti langsung menuju ke bara api atau bahkan lidah api yang tajam nan runcing pula menjilat-jilat ke awang-awang. Pokoknya warna merah tidak pernah menyimbolkan yang lemah gemulai lah… seperti stereotip para protagonis (“pemeran utama” alias “si baik”, menurut bahasa emak-emak keranjingan sinteron).

Tokoh protagonis di sinetron-sinetron Indonesia dari waktu ke waktu sama saja.
stereotipnya:

-        cantik (supaya enak dilihat dan penonton segera memberi simpati/perhatian lebih kepadanya)

-        lemah gemulai (karena wanita diidentikan dengan bunga, secara sosial tidak  “diijinkan” untuk aktif dan sportif)

-        rada lamban (karena agresivitas diidentikan dengan sesuatu yang negatif)

-        bimbang (apa-apa harus tanya teman; tidak bisa ambil keputusan sendiri)

-        rada bodoh (berpikir kritis adalah pantangan bagi tokoh ini. Coba lihat Putri Salju yang dengan cerobohnya memakan apel dari orang asing)

-        sangat tergantung (entah terhadap nasib atau “sang pangeran”)

-        menunggu diselamatkan (oleh ibu peri atau “sang pangeran”)

-        serba takut: takut berbuat/berucap/bertutur salah, takut berdosa, takut berubah, dsb    

-        cenderung mengasihani diri sendiri (clueless … tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu sampai pangeran impian datang dengan kuda putihnya)

-        gampang meneteskan air mata (dilambangkan melankoli kesucian jiwa yang murni. Padahal saya lihatnya sebagai sebuah ketidakmatangan mental! Ketegaran hati hampir-hampir diartikan sebagai jahat)


source : http://www.mesra.net/forum/lofiversion/index.php/t54938-250.html

Saya selalu melihat fenomena ini sebagai pembodohan kaum perempuan (dan masyarakat pada umumnya!). Akhirnya kita sebagai perempuan selalu ingin mengidentikkan diri dengan si pemeran utama agar disukai oleh orang lain. Dan bagi lawan jenis, atau masyarakat pada umumnya, mereka juga mengharapkan supaya si perempuan berciri demikian! Ya seperti si pemeran protagonis tadi.  Akhirnya keorisinilan kita terpaksa harus kita lupakan. Contohnya, kita sebenarnya bisa mengangkat kardus-kardus kita sendiri ketika pindahan, namun karena terdoktrin idealismeseorang tuan potrin yang kita tonton di televisi, akhirnya kita harus meminta bantuan pacar untuk melaksanakannya. Padahal kita sebenarnya bisa. Siapa sih, yang kulitnya serta merta jadi keriput hanya karena angkat-angkat kardus? Atau yang harga dirinya langsung ambruk?! Takut amat

Berbahayanya, masyarakat kita banyak yang mengeyam “pendidikan” dari sinetron. (Coba saja bikin presensi seperti di kelas, mana ada hari yang bolong karena absensi di depan TV?!) Tidak heran jika bullying semakin mewabah di sekolah. Karena anak-anak yang menonton sinetron, mengerti secara harafiah saja. Mereka tahunya:

ü  gendut berarti jelek,

ü  berkulit hitam/berambut keriting berarti jadi bahan lelucuan,

ü  pria kemayu berarti banci, perlu di-bully

ü  cewek tomboy berarti disegani/di-bully juga

ü  adanya julukan anak rumahan/anak mami dsb (karena sebagai kaum adam harus berani, agresif, dst)



Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara: Ketidakadilan Gender


source http://www.clipartkid.com/step-sister-cliparts/

Ada masih banyak lagi contoh-contoh bully yang basisnya sinetronis banget di dunia nyata ini. Tren stereotip peran dalam sinetron ini memiliki sejarah peradabannya yang panjang. Mulai dari perbedaan jenis kelamin yang ujung-ujungnya melahirkan standar-standar tertentu, sampai dongeng Grimm Bersaudara yang sampai hari ini masyarakat kita baca secara membabi buta tanpa berpikir kritis. Ambil contoh Cinderella: lemah gemulai, boro-boro memperjuangkan nasib untuk keluar dari cengkraman si ibu tiri, dia malah menunggu diselamatkan oleh pangeran! Sebagai pelopor dongeng sedunia, Grimm Bersaudara telah menginvestasikan banyak stereotip gender dan tokoh protagonis dalam karya-karyanya. Sayangnya, populernya berabad-abad! Kembali ke sinteron Bawang Merah Bawang Putih. Mirip sekali kan dengan pola yang dipopulerkan Grimm Bersaudara: gadis lemah yang dijajah si ibu dan saudara tiri.

(Inilah salah satu alasan kenapa saya justru tidak tertarik dengan para lakon utama. Saya memiliki banyak ciri dari karakter yang dijubahkan ke si tokoh antagonis. Saya gesit, lincah, tahu apa yang saya mau dan butuh, mandiri, optimis, dst—dan saya tidak menemukan ada yang salah dengan hal ini (justru sebaliknya!)).