Jumat, 25 November 2016

Stereotip: Sepatu Nike, Donor Darah Sampai Cina yang Pelit


Suatu ketika saya jalan-jalan di jejeran toko di Hamburg. Sampai di toko sepatu saya berhenti dan masuk. Di rak Nike saya sisir teliti dengan mata, sampai mata terhenti. Sepatu berwarna coral itu duduk di atas rak dengan warna yang “tidak sabaran”, layaknya seorang atlet lari menanti aba-aba “Siap-sedia-ya”. Sebelum keburu menghayal tinggi, saya lihat harganya. Sedikit di atas 100 Euro. Layak. Lalu saya mendapati sebuah label di dalamnya yang membuat saya serta merta meragu. Bak kitab pedoman shopping, saya seperti dibisik sebuah “kebijaksanaan” yang entah sejak kapan ada di ingatan saya. Ini barang Cina (barang yang diproduksi di negeri Cina)!!! Hati-hati pemalsuan! Ini bukan Nike asli, sekalipun harganya “asli”!



Saya lepas seketika jemari saya dari sepatu itu, seolah ia bawa hama penyakit. Tapi lalu  kembali merampasnya tidak sabaran, saking penasaran dengan keasliannya. Sambil berharap mata saya cukup cerdik membedakan barang asli dan palsu, saya bolak balik si Nike, depan-belakang, dalam-luar, bawah-atasnya, lalu menelusuri dengan mata tajam setiap jaring serat yang terkukuhkan oleh “lem” di setiap sendinya: dari tangan kiri, oper ke tangan kanan. Adegan ini menunjukkan betapa phobianya saya dengan barang produksi Cina. Selama di Indonesia saya berkali-kali beli produk Cina, dan saya memang tahu dan sengaja: they are fake. Misalnya anting-anting berwarna emas, tapi bukan emas benaran dsb. Tapi ini Nike!!! Dengan harga di atas 100 Euro! Mana rela saya keluarkan uang sebanyak itu untuk barang Cina. Persepsi saya terhadap barang Cina ini, yang entah diciptakan kapan dan oleh siapa, bukanlah sesuatu yang secara sosial positif! Persepsi ini bisa merugikan kelompok yang bersangkutan, karena terlanjur dicap negatif. Persepsi ini disebut stereotip.



Menurut Wikipedia, Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Asal mula stereotip adalah perbedaan yang dialami kelompok dengan kelompok lainnya; pola komunikasi tentang kelompok tersebut; dan konflik antarkelompok.  Berikut adalah contoh-contoh stereotip:

Ø  Barang Cina: pasti imitasi, murahan
Ø  etnis Tionghoa : pasti kaya dan pelit
Ø  Islam: pasti teroris (banyak orang barat yang berpikir begini)
Ø  Wanita berambut pirang : pasti bodoh dan penakut
Ø  Wanita yang suka berpakaian mini: pasti “murahan”
Ø  Guru: pasti jujur dan berakhlak mulia
Ø  Laki-laki: selalu pake otak, kuat, tidak pernah (tidak boleh) menangis
Ø  Perempuan: selalu pake perasaan, lemah, gampang meneteskan air mata
Ø  Insinyur: pekerjaannya laki-laki
Ø  Guru/pustakawati: pekerjaannya perempuan

Heyyy, memangnya kalian tidak pernah ketemu barang Cina yang bagus, orang Cina yang hidup sederhana dan murah hati, orang Muslim yang baik dan sangat berperikemanusiaan, cewek pirang yang cantik dan pintarnya ekstrim, cewek menor yang hatinya bersih, laki-laki yang menangis, perempuan yang berotot dan mandiri, insinyur perempuan, guru laki-laki?????

Bicara tentang stereotip, saya punya segudang cerita dari pengalaman sendiri. Dua hari lalu saya berdiri di antrian donor darah di sekolah saya. Hampir semua partisipan orang Jerman (ini saya nilai dari warna kulit mereka ya, entah mereka orang rantauan dari Polandia…who knows…). Tiba saat saya mau menunjukkan kartu identitas diri, saya sudah ditatap tidak simpatik oleh si wanita penjaga stand yang kerjanya gesek-gesek kartu di mesin aneh di depan batang hidungnya. Saya tanya, “Boleh tidak saya mendonor, jika berat badan saya 46 kg?” “Tidak,” jawabnya culas tanpa ampun. Serius, saya bukannya mematok nilai ramah tamah ala Nusantara ke beliau ini ya, tapi dia memang ketus banget terhadap saya. Saya pun angkat bahu dan balik ke kelas sebelum beberapa menit sempatkan diri baca “aturan main” donor darah di Jerman. Karena ini kali pertama saya, saya buta dan gelap tentang poin-poin yang harus ditaati. Saat baca, ada sebuah poin bilang, “Anda tidak berhak mendonor darah jika dalam 6 bulan terakhir ini berada di Asia Tenggara….dst dst dst”… Oh… saya paham. Dengan rating HIV/AIDS yang tinggi di tempat saya, tidak heran jika tatapan waspada tadi dilemparkan cuma-cuma ke arah saya. Lagi-lagi stereotip! Siapa yang mau “pakai” darah Asia Tenggara saya?


Contoh yang saya ceritakan di atas termasuk ke golongan stereotip yang negatif, jadi artinya ada yang positif juga (contohnya orang latin pintar dansa). Stereotip yang negatif selalu merugikan masyarakat yang bersangkutan, jika stereotip ini tentang etnis/suku/kelompok masyarakat tertentu. Stereotip tidak kenal individualitas, bro. Stereotip sapu rata! Stereotip sangat subjektif, kebenarannya bisa sampai nol persen!

Rabu, 23 November 2016

The Power of Kebetulan

Empat minggu lagi dari sekarang saya akan berlibur ke Indonesia selama tiga minggu. Kedengarannya banyak, tiga minggu, padahal kalau dihitung dengan cermat, itu bukan apa-apa! Waktu habis di jalan, kata orang Indonesia. Bagaimana tidak: terbang dari Hamburg-Munich-Doha-Jakarta- dan bermuara di- Kupang makan waktu dua hari (saya wajib harus mengunjungi orang tua dulu di Pulau Timor), lalu berziarah ke makam leluhur di Pulau Flores, mengurus “gudang” berjalan saya yang sudah dua tahun ini terlantar begitu saja di Jakarta, dan sebagai perjalanan penutup saya sudah janji dengan seorang sahabat untuk berlibur romantis ala gadis-gadis di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu. Reuni-reuni kecil dan besar sudah saya set up, bahkan beberapa teman meminta saya menset-up kan karena kangen, yang mana susah untuk saya tolak. Pelesir kecil-kecil atau besar-besar sudah saya jadwalkan: di mana, ke mana, dengan siapa, kapan, bawa apa, nanti buat apa saja… Lengkap di notebook saya. Saya tidak bisa hidup tanpa rencana. Saya tipe yang suka listing. Ini tidak ada kaitannya dengan sifat pelupa. Lha, bayangkan saja kalau barang yang harus dibawa ada 10 biji, emang situ hafal semua, apalagi dalam bingkai travel, jadi Listing itu penting! Saya suka mendaftarkan per nomor poin-poin yang harus saya ingat/beli/bawa/cari, supaya saya tahu mana yang sudah ter-cross-check, mana yang masih menggantung. Secara liburan seperti ini tidak terjadi setiap tahun, enaknya kalau sekali pergi, pulang-pulang semua yang diharapkan berhasil terkumpul di bakul hehehe! Kecenderungan untuk planning dan/atau listing seperti ini bukan hanya terdapat dalam diri saya, tapi hampir semua manusia. Rencana sudah jadi bagian dalam hidup dan dunia. Dan memang tidak ada salahnya berencana!

Banyak Melihat Itu Memang Bagus, Semua Orang Juga Bisa. Tapi Banyak Mengalami Itu Lebih Baik.
Dinginnya Jerman membuat saya kangen pantai Indonesia yang sebiru batu safir. Sebagai pembalasan dendam, saya ingin sekali menghabiskan waktu dengan teman-teman di atas pasir pantai sambil bersenda gurau dan bernostalgia jaman di mana kita dulu masih unyu. Harapan ini lalu membawa kalender ke tangan saya, hampir setiap hari saya geser sana-sini tanggal-tanggal mainnya. Tidak menentu. Sudah saya tetapkan harinya, tiba-tiba teringat kendala biaya, saya hapus lagi, ganti tanggal lagi, ganti acara lagi. Saya jadi pusing sendiri. Hingga muncul pertanyaan: ini liburan atau tur seminar? Rasa-rasanya saya hampir-hampir tidak punya waktu untuk mneyeruput es kelapa karena tiket pesawat/kapal laut berikutnya sudah berdetak layaknya jarum jam di teling saya. Saya tidak mau menghitung hari atau jam atau menit pada saat saya berada dalam liburan. Bahwa Indonesia memang isinya pulau-pulau, itu sudah tidak bisa kita rubah, sodara-sodara. Artinya, kalau mau keliling-keliling pulau ya resikonya waktu habis. Semakin tua saya semakin paham: lebih baik banyak mengalami daripada banyak selfie!

Surprise Itu Tidak Selamanya Bad, Planning Itu Tidak Selamanya Under Control
Saya akhirnya temukan satu solusi: jangan berencana. Kalau pun harus, ya garis-garis besarnya saja. Maka saya tetapkan untuk tinggal masa bodoh dengan orang tua saya sampai muncul kesempatan atau tawaran berikutnya, ke mana saya harus pergi selanjutnya. Saya tidak mau waktu berkualitas kami harus diinterupsi oleh listing yang sudah saya patokkan sebelumnya. Setelah saya pikir-pikir, listing itu bisa saja malah jadi mempersempit kemungkinan datangnya kejadian-kejadian menarik lainnya ke lorong perjalanan saya, namun keburu kepotong si listing. Oh ya, bicara tentang lorong. Hidup dengan planning (jadwal/rutinitas) sama analoginya dengan Highway. Sudah jalannya mulus, diberi nomor lagi, mana mungkin nyasar! Tanpa planning? Analoginya seperti lorong dan gang: kau bahkan tidak tahu apa yang ada di ujung sana, apakah gang itu buntu, tak ada yang tahu; berapa cabang yang ada dalam lorong, jalani saja kalau mau tahu! Just let yourself be surprised! Tidak semua kejutan serta merta bawa bencana.

Sejarah manusia berencana itu simple saja: manusia selalu ingin pegang kendali, manusia berharap segala sesuatu semaksimal mungkin terjadi sesuai yang otak mereka bayangkan. Mereka lebih pilih jalur aman ini karena takut terjadinya kejutan-kejutan dramatis yang mengseluncurkan mereka ke kawah masalah sebecek lumpur dan selengket bubur. Tapi pengalaman saya mengajarkan, seberencana apa pun saya, tetap juga tuh terjadi “kebocoran”. Hanya karena otak kita tahu masa lalu kita, bukan berarti dia tahu masa depan kita. Listing yang otak kita sering catat, kerap disaring dari memori masa lalu. But please, Hidup ini jauh lebih luas dari otak kita choy, jadi keluarlah dari lisitng-mu hari ini, dan coba lakukan sesuatu yang berbeda, yang mungkin saja mengantarmu ke sebuah pencerahan atau inspirasi, bahkan revolusi!

Berikan kebetulan kesempatan untuk lewat atau mampir dalam perjalananmu!

Selasa, 22 November 2016

Napoleon Kompleks dan Krisis Tinggi Badan Ala Jerman

Sampai dua tahun yang lalu belum ada yang mengatakan kepada saya kalau saya bertubuh pendek. Kecil sudah, mungil sudah, imut sudah, pendek? Baru ketika saya tinggal di Jerman! Di Jerman ini semuanya diciptakan besar-besar. Rumahnya besar-besar, atapnya tinggi-tinggi, meja dapurnya tinggi-tinggi, lemari/rak mencapai atap, cerminnya tertempel tinggi di dinding, sampai kita benar-benar sadar: kita ini pendek sekali!

Secara orang Eropa rata-rata memang lebih tinggi dari orang Asia, orang Jerman apalagi! Yang saya maksud di sini adalah Jerman di mana saya tinggal: Hamburg. Ada sebuah mitos orang sini yang mengatakan, “Semakin ke utara, semakin tinggi-tinggi manusianya. Sebaliknya semakin ke selatan (ke arah Jerman bawah, Italia, Prancis, dst) tinggi badan manusianya semakin rendah.” Mitos ini sebenarnya tidak 100 % benar juga karena toh ada tuh orang Hamburg yang lebih pendek dari orang München! Tapi memang saya akui, menemui pria/wanita dengan tinggi badan 185 cm ke atas di jalanan Hamburg ini memang sudah bukan hal yang eye catching. Sejarah ziarahnya suku bangsa Viking (Skandinavia) ratusan tahun lalu ke si kota pelabuhan memang memainkan peran besar dalam evolusi tubuh manusia di Hamburg dan sekitarannya.

Di Kleine Mona (Si Mona Kecil/Pendek) : Nama panggilan = labelisasi
Sebagai orang Asia yang juga lahir besar di Asia, saya tentu tidak pernah merasa wajib gelisah dalam mempertanyakan tinggi badan saya: toh hampir seluruh suku bangsa saya tingginya seperti saya. Domisili saya di Jerman mengubah persepsi saya terhadap tubuh saya. Saya tadinya lumayan terganggu jika semua meja yang ada di mana pun tingginya melelahkan bahu kanan kiri saya. Namun kesadaran akan kecilnya tubuh saya ini masih terbilang normal, karena saya belum merasa ada yang kurang, atau bahkan ada yang salah dengan tumbuh kembang tubuh saya (yang mana sejak 8 tahun yang lalu sudah tidak saya pertanyakan lagi!). Sampai suatu ketika saya menyadari sesuatu: orang-orang di sekitar saya sering memanggil saya “Die kleine Mona” yang artinya “Si Mona Kecil/Pendek”. Kadang ada variasinya, seperti, “Na, da ist die kleine!” (Nah, itu dia si Kecil/Pendek!). Seruan ini saya dengar se-ti-ap hari. Baik oleh ‘orang-orang rumah’ maupun kolega kerja saya (Mendapati orang pendek di Jerman itu memang eye catching banget!). Saya akhirnya merasa seperti ditepuk di bahu, “Eh, Mona, kau itu kecil.” Coba bayangkan kalau kau dibilang kecil/pendek terus-menerus, lama-kelamaan kau jadi yakin bahwa kau memang kecil/pendek. Coba ini saya bandingkan seorang gadis yang tembem kalau sejak kecil dikasi nama panggilan “Eh Ndut!” dan setiap hari harus berkali-kali mendengar dirinya dipanggil dengan nama si Gendut, maka sampai kapan pun dia akan merasa dirinya gendut. Jika di Asia orang paling takut jadi gendut, di Jerman orang paling takut jadi kecil, dalam artian pendek. Dan yang saya pertanyakan, kenapa yah, nama panggilan itu selalu dicari dari kekurangan fisik seseorang. Coba lihat, mana ada cewek cantik sejak kecil dipanggil teman-teman sebangku sekolah dasarnya, “Eh cantik!”. Yang ada diamati dulu kelemahannya sampai ketemu. Tiba-tiba, “Eh Tukang Contek!”

Napoleon Bonaparte, Kaisar Mungil yang Menaklukan Eropa
Suatu ketika saya terlibat obrolan dengan seorang Jerman bertubuh 190 cm. Kami mengobrolkan seorang pria kecil yang mana tidak lain adalah mantan bapak kos saya sendiri. Beliau itu cerewet orangnya, selalu mencari pujian dan pengakuan, seperti pernah dia bilang ke saya, “Mona, saya ini dulu mudanya ganteng!” Ketika itu saya anggukan saja sambil tersenyum ala Asia. Tapi si bapak kos ini memang bukan jenis yang peka, dia malah semakin ngoceh tentang kelebihan-kelebihannya yang mana… saya harus tahu begitu. … Dia sama sekali tidak tertarik untuk tahu apakah saya tertarik untuk tahu itu! Yang penting ngomong tinggi sampai dipuji. Nah, menurut teori si Alfred Adler, psikolog yang menemukan sindrom pria kecil ini, perilaku haus akan pujian yang dilakukan oleh para pria bertubuh kecil di sebut Napoleon Kompleks.

Menurut Wikipedia, Napoleon kompleks adalah sindrom yang “diidap” oleh para pria bertubuh kecil dengan ditandai adanya perilaku sosial yang terlalu agresif atau mendominasi. Penemuan teori ini dinamakan menurut Kaisar Prancis yang sangat terkenal, Napoleon Bonaparte. Konon untuk mengimbangi kurangnya tinggi badannya yang kira-kira hanya 170 cm (untuk ukuran Eropa itu sudah termasuk kecil, apalagi untuk seorang kaisar!) adalah sebab mengapa ia bersikeras mencari kekuasaan, tahta, melepas perang dan penaklukan di mana-mana sampai Eropa selebar yang kita kenal sekarang.

source: https://northtexasdrifter.blogspot.de/2015/05/napoleon-complex.html


Kenapa Nenek Sihir dan Bukan Kakek Sihir?
Menurut si Pria 190 cm, mantan bapak kos saya itu absolutely mengidap Napoleon Kompleks. Saya memang sudah pernah dengar istilah itu, tapi saking sering si pria 190 cm mengecap orang-orang yang kami temui dengan label “Dasar Napoleon!”, saya jadi penasaran untuk meng-google pendapat para penduduk dunia maya tentang Napoleon kompleks. Saya pengen tahu, apakah itu mitos atau nyata, saya penasaran, berapa di antara mereka yang benar-benar yakin, seyakin si pria 190 cm, bahwa kompleksitas ini murni penyakit. Terlebih dalam lagi, saya mempertanyakan, kompleksitas ini jangan-jangan hanyalah fenomena yang muncul sebagai korban diskriminasi masyarakat. Persamaannya seperti sejarah wanita penyihir. Pernah dengar sebelumnya? Jadi konon, fenomena wanita penyihir atau kerap disebut nenek sihir itu muncul gara-gara wanita sering tidak dikasi podium di masyarakat, wanita banyak yang dikecewakan oleh kaum lelaki, diselingkuhi, ditinggalkan, cinta bertepuk sebelah tangan, dst… Dan si kaum laki-laki ini sialnya memegang posisi-posisi penting dalam masyarakat atau birokrasi, si perempuan semakin merasa tidak punya otoritas. Nah, untuk memenangkan/melampiaskan dendam/impian/harapannya, wanita mempelajari ilmu sihir, jadi dendam mereka terhadap diskriminasi masyarakat itu terbalas di situ. (Itulah mengapa penyihir itu biasanya digambarkan dalam wujud wanita; emang ada yang pernah dengar istilah ‘kakek sihir’?). Begitu ceritanya. Jadi kalau saya sinkronkan dengan teori Napoleon Kompleks, saya bisa tarik benang merah sendiri: Bagaimana si pria pendek tidak mati-matian unjuk kemampuan, jika di masyarakat mereka selalu dianggap si kecil/pendek, selalu diremehkan hanya karena kurangnya sekian centimeter di tubuh vertikal mereka, selalu dibandingkan dengan pria lain yang lebih tinggi, gagal meraih hati wanita pujaan karena si pujaan kawin lari dengan si yang lebih tinggi…. Mujurlah saya terlahir sebagai wanita, jadi menurut standar masyarakat saya tidak perlu tinggi-tinggi amat, toh menjadi model bukan ketertarikan saya. Syukurlah saya bukan si jenis kelamin yang diwajibkan oleh masyarakat untuk lebih tinggi dari lawan jenis saya. Tapi coba lihat para pria, yang mana dijadikan objek untuk teori kompleksitas ini. Mereka didiskriminasi, mereka disepelekan hanya karena fisik yang kurang sekian inchi view di atas kepala orang lain. Saya terus terang merinding baca komen-komen di halaman online itu, rasa penasaran saya menelantarkan saya di antara ratusan komenan sadis-diskriminatif tentang tubuh pendek para lelaki dan hubungannya dengan “ketimpangan” perilaku mereka. Para komentatornya mencaci maki pria-pria bertubuh kecil. Mereka dengan blak-blakan melabeli hal yang sama: haus pujian, lucu tapi kurang serius, bahkan tidak bisa diajak serius, hiruk-pikuk, haus perhatian, butuh pengakuan, dst, dst. Oke, wait, Bapak kos saya tadi itu memang nyata-nyata mengidap Napoleon kompleks. Namun hanya karena satu laki-laki yang saya temui seperti itu, bukan berarti saya harus melabeli semua pria pendek dengan cap yang serupa, kan?

Sebagai orang yang pernah ditolak bekerja di dua tempat, salah satunya di Pizza Hut, karena alasan tinggi badan yang tidak mencukupi, saya bisa (terpaksa) paham: Itu area professional. Namun di Jerman ini beda: tinggi badan jadi bahan sebutan sehari-hari. Rasa-rasanya terlahir pendek itu sama dengan terlahir cacat kira-kira begitu. Atau terlahir tanpa sebuah indra, atau apalah yang nilainya bisa bikin minus rasa percaya diri kita. Saya belum pernah sebelumnya ada di sebuah masyarakat di mana tinggi badan menjadi diskusi seringan snack, yang rankingnya berada tepat di samping cuaca (orang Jerman membicarakan cuaca sehari bisa 10 x). Lama-kelamaan saya memahaminya begini: orang Jerman ini punya krisis, namanya krisis tinggi badan.

Seperti analisis saya di atas, semakin seseorang dianggap/dipandang/dikatakan pendek, semakin ia membangun sebuah rasa citra diri bahwa ia MEMANG pendek. Dan menjadi pendek itu mengesalkan jika harus selalu dibandingkan dengan mereka yang lebih tinggi. Rasa kesal ini lantas lahir ke permukaan namun malah ditolak oleh masyarakat. Padalah yang membuahkan rasa kesal ini siapa kalau bukan si masyarakat itu sendiri? Mereka malah dengan pongahnya meluncurkan teori psikologi baru dalam hal kompleksitas, bernama Napoleon Kompleks. Haduh, masyarakat ini bodoh betul ya!



Selasa, 01 November 2016

Keterpaksaan Untuk Tahu (Part I)

Berapa di antara kita yang masih ingat selownya era di mana internet belum bermain dengan anak-anak desa. Sumber informasi kita hanyalah radio, televisi dan surat kabar. Sadarkah kita, bahwa zaman itu begitu indah, tenang dan damai?

Oke, kita barangkali akan “kebagian” jatah tenar sebuah lagu bertahun-tahun setelah ketenaran yang sebenarnya pertama kali meletus…
Kita juga bukan jadi yang pertama tahu kalau Si Band X dari Amerika konser di Jakarta bulan sekian, tanggal sekian, sehingga kita barangkali bisa menabung untuk menghadiri konsernya…
Kita juga bukan jadi orang pertama yang tahu, di dunia sedang gempar isu X atau doktrin Y…
Namun memang ada baiknya seperti itu, tertinggal dalam kedamaian.

***

Di smartphone saya pernah ada multi jenis media sosial. Deringnya per menit. Bahkan Line, bisa beberapa kali dalam kurun kurang dari semenit! Saya mengikuti beberapa akun yang membuat saya dikabari tiada henti jika ada yang baru dari mereka. Tiba-tiba Starbucks, “Beli sore ini pasti diskon!” Atau Plan Internasional, “Hentikan pernikahan dini di Indonesia!” dengan segenap fakta yang terlampir. Gmail saya juga demikian. Tiba-tiba muncul pesan dari ebay, “Mona, temukan barang yang paling dicari saat ini!” Dan dari Quora, “Bagaimana rasanya kerja di Microsoft?” dan seterusnya, dan seterusnya. Aliran informasi ini per detik, terkanal langsung dari penulis/pengiklannya, membuat saya merasa terkomunikasikan atau dipaksa menjadi komunikatif. Komunikasi searah atau dua arah, yang penting terima dulu informasinya! Kadang terasanya seperti babak belur info. Bagi penggemar Twitter, pasti lebih babak belur lagi di-hashtag sana sini.

Radio, televisi dan surat kabar cetak tidak bakal bisa menandingi kecepatan media online. Kelangsungannya, kecepatannya, dan kemultimediaannya membuat kita memasrahkan ketiga media konvensional tadi dan beralih ke online. Ada gambar, ada video, ada suara, ada feed back! Saling berkomentar adalah fasilitas yang sangat mungkin di dunia online. Jadi si penulis menulis, si pembaca beri masukan. Sikap responsif media online membuat massa jadi kecanduan. Semakin disuguhi informasi, semakin lengket mata pembaca ke layar computer/smartphone. Semakin cepat, semakin berkembang topiknya, semakin maju arah perbincangannya, semakin laku iklannya, semakin kuat dominasi internet terhadap kekaleman media konvensional. Kalem, lamban, kemayu, cupu, jadul: barangkali itulah kata-kata yang bisa saya “umpatkan” ke TV, radio, koran. Namun sadarkah kita, jika suatu waktu nanti kita justru akan membutuhkan “kekaleman” media ini?

Jika dulu kita duduk bersama di teras depan rumah dan menyanyi lagu kesayangan bersama radio dan sahabat akrab, sekarang masing-masing dengan headset dan mendengarkan lagu lewat Soundcloud. Jika dulu tetangga mampir ke rumah untuk baca koran sore, sekarang si tetangga duduk di toilet sambil baca detiknews di smartphone sekian inchinya. Jika dulu jam delapan teng seisi rumah berkumpul untuk menonton Indonesian Idol, sekarang masing-masing di kamarnya dan memutar ulang dari YouTube. Di manakah kebersamaan itu perginya? Menyatu bukan lagi berkumpul menjadi satu, tetapi berpencar satu satu.

-bersambung