Selasa, 30 Agustus 2016

You can be moslem, vegan, jews, gay… I can be single.

Selagi kita menikmatinya, tidak ada detik yang sia-sia.

Saat istirahat kerja siang tadi, saya membaca sebuah artikel online dari seorang jurnalis Jerman yang tampaknya… single. Artikel ini memang sudah saya tongkrongi berhari-hari. Tulisannya polos. Penulis sama sekali tidak ada maksud men-single kan umat manusia lainnya, namun pemikirannya benar-benar autentis.  Saya tertarik dengan kepolosannya dalam bercerita. Dia tidak malu jadi dirinya sendiri. Malah membalikkan “aib” single nya untuk jadi berita di blog nya yang “vintage”.
Saya tidak sendiri. Di seberang meja di mana kedua tangan saya membingkai smartphone saya, duduk seorang kolega kerja yang manis dan mungil nan ramah. Hanya kami berdua di dapur Praxis  itu. Sambil memoles keju di atas roti yang telah terbagi dua, dia mendengarkan saya yang membacakan blog ini tadi, dengan tujuan menjadi bahan bahasan. Siang yang panas di musim panas Jerman yang kadang panas kadang dingin. Meskipun lebih sering dinginnya… Daripada tidak ada bahan celotehan, saya berinisiatif membahas artikel di blog si jurnalis single.
Swantje nama kolega saya itu. Di usianya yang menginjak kepala tiga 3, ingin betul dia menikah, tuturnya beberapa waktu yang lalu. Saya tahu, dia bukan ingin menikah karena usianya, namun karena ia telah menemukan pasangan yang tepat. Summer tahun depan dia akan menikah dengan sang pria beruntung itu. Menurut pengakuan Swantje, hubungan mereka belum berlangsung lama. Baru dua tahun:  bagi orang Jerman, dua kali 365 hari terlalu cepat untuk terjerumus ke pelaminan. But after all, I’m happy for her…
Masuklah kami ke artikel ini. Bertemakan single. Seperti biasa, saya memang suka membuka tema dengan lawan bicara yang saya rasa cukup open minded untuk diajak berbuka pendapat. Semakin banyak kata yang terurai di antara kami, semakin terang di mata saya bahwa umur memainkan peran.

“Saya juga pernah ada di masa-masa di mana saya berkata pada diri sendiri : no marriage, no kids, meskipun saat itu saya sedang berpacaran dengan seseorang, hubungan kami sempat bertahan selama enam tahun.”

Saya juga pernah ada di masa-masa… Kalimat ini terdengar seolah-olah “Suatu saat juga pasti kamu ingin menikah dan mempunyai anak.” Saya memang tidak mengelak. Saya belum pernah berusia 31, sementara 6 tahun yang lalu Swantje berusia seperti saya.
Baiklah. Seperti saya bilang, tidak berniat membangkangi kalimat Swantje barusan. Dia tahu arah bicara saya. Saya menjalani gaya hidup single, pemikiran dan prinsip single. Swantje paham itu dan setuju bahwa itu tidak salah. Meskipun, ‘salah atau benar’ sebenarnya hanyalah interest orang jaman adam dan hawa…

“Lalu saat saya berkenalan dengan tunangan saya, saat itulah semuanya berubah. Semua rencana banting stir, dan mendadak saya menginginkan pernikahan dan anak. Saya bahkan tidak bisa lagi sabar,” Lanjutnya lagi dengan tatapan seperti seorang ibu ke anaknya: Nduk, ikut nasihat ibu, nak…

Saya hanya menjawab, “Akan datang waktunya.”

Itulah letak permasalahannya. Orang mengukur seberapa jauh jarak ke-single-an dari masa di mana kita in relationship. Kalimat gampangnya: ketika kita single, bukannya malah menikmati masa-masa berkenalan dengan diri sendiri, kita malah menanti-nanti, “Kapan yah aku dipacari?” Akhirnya kita kelewatan memaknai arti single. Padahal momen pemaknaan itu begitu indah dan jujur.
Bicara single memang rawan. Yang pertama, status ini dipandang sebagai aib. Tuntutan sosial seolah-olah memaksa kita untuk berpikir,

“Si X yang jelek aja nggak jomblo… Berarti.. saya lebih jelek dari X? Oh tidaaak… Apa kata dunia!”

atau karena desakan usia,
“Jangan-jangan saya jadi perawan tua besok-besok!!”

Yang ke dua, ada rasanya kesepian dan kurang percaya diri.

“Kalo ada pacar kan yang bantu pindahan, anterin ke kampus, ngajak nonton di bioskop…”

dan seterusnya.

Artikel yang saya maksud di paragraf teratas bisa kamu temukan di sini http://dieschreibmaschine.net/2016/08/11/kurioses-single/ (Bagi yang bisa berbahasa Jerman, silahkan baca.)

Secara ringkas, artikel ini bercerita tentang seperti apa kamu memandang single itu? Banyak orang menganggap single itu aneh, tapi si penulis menganggapnya sebuah fase yang tidak ada bedanya dengan berpacaran. Salah satu contoh: penulis menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri secara “mewah”. Bahkan penulis menambahkan, menjadi single adalah juga sebuah pandangan. Artinya, sekalipun kita mempunyai pacar, kita tetap bisa menerapkan gaya hidup single.

 http://weheartit.com/entry/83348880

Single bukan berarti memperlakukan diri sendiri secara “kurang berharga”. Setiap momen adalah berharga! Setiap momen single itu berharga. Sebagai seorang perempuan, kamu pasti bosan mendengar tuduhan klasik ini kan: wanita berdandan untuk menarik perhatian laki-laki. Kalian sendiri tahu, itu tidak benar. Ketika berdandan, kamu sebenarnya sedang menyenangkan diri sendiri. Dalam hal makan pun demikian. Bukan hanya karena sang kekasih duduk di seberang meja makan, jadi segalanya pun harus dibuat rapi, segelas anggur merah di antara tepi piring dan nyala lilin… Saat single pun kamu bisa mengalami semua kemewahan itu. Ciptakanlah kemewahanmu sendiri dalam ke-single-anmu. Kembali ke artikel tadi: tergantung dari sudut mana kamu memandang single itu.
Menjadi single= mencintai diri sendiri.


Artikel ini berlanjut J

Kamis, 25 Agustus 2016

Pria Jerman, Sang Pahlawan Dapur

Sekitar 17-18 tahun yang lalu, saya masih memiliki indra penciuman yang sangat kuat. Saya bahkan punya sebuah hobi yang janggal: membaui (baca: mencium-cium suatu jenis bau). Saya katakan hobi ini tergolong janggal karena saya tidak pernah lihat tuh, orang cium-cium bangke belalang, tapi saya pernah… Saya bahkan bisa sampai memarahi diri saya sendiri jika itu tidak saya lakukan (menciumi bau).

Saya ingat betul, betapa isnting saya suka menantang saya. Jika melihat sebuah serangga, dia bilang “Kalau rupanya begitu buruk, pasti baunya pun tak sedap. Ayo cium! Cari tahu, seberapa busuk baunya!” Kita semua tahu bentuk serangga kebanyakan “asing”, “tidak indah”, “mirip mesin/monster”. Jenis serangga yang biasanya saya cium adalah yang sudah mati dan tergeletak tanpa “nyawa” di mana pun itu.

Ternyata bukan hanya serangga. Pada suatu musim hujan di masa kecil saya yang penuh rasa penasaran itu, bertumbuhan di sekitaran halaman rumah kami sebuah jenis jamur aneh berwarna orens, tudungnya berwarna orens menyala. Belum pernah seumur hidup saya yang masih sedikit saat itu, melihat jamur dengan warna se-ngejreng itu. Bagaimana tidak menyedot rasa ingin tahu, dia tumbuh di cela-cela kerikil membosankan di depan rumah saya. Satu-satunya yang berwarna di situ hanyalah si jamur dan sejumput rumput hijau kesepian sekitar satu meter di sampingnya. Lagi-lagi insting saya menyeret saya ke situ. Selama beberapa hari mekar-mekarnya, saya duduk jongkok di samping mereka, mengamati jamur-jamur itu berlama-lama. Saya tahu usia jamur hanya sekejap mata. Tidak ingin melewati kesempatan langka ini. Saya tahu rupanya terlalu berlebihan menarik, artinya beracun (sesuatu yang bagi sensor penasaran saya justru menarik). Aromanya pun dari jarak 50 centi sudah tercium: busuk. Sudah jelas-jelas busuk, dengan rayuan yang keras, insting saya menyuruh “Mendekat, letakkan tepat di depan lubang hidung.” Dan saya yang tak berdaya, melakukannya.

Memang benar-benar busuk.
Jamur sialan.
Jamur orens sialan.
Tapi anehnya saya puas. Sudah tahu rasa, ya sudah, puas.

***

Anekdot jamur orens dan baunya yang menyengat selesai. Sampai saat itu indra penciuman saya memang tajam. Sekalipun sebagai anak kecil saya tidak menyadarinya, di kemudian hari barulah saya tercengang oleh perbedaannya. Saat itulah saya mulai menelusuri kembali riwayat indra penciuman saya sejak saya punya ingatan. Anekdot dalam tulisan lepas ini adalah riwayat singkatnya.

***

Saya memiliki tetangga yang sangat suka kerapihan, kebersihan, dan keindahan. Mereka sekeluarga memang doyan makan ikan, seingat saya. Setiap kali selesai makan ikan, saya pasti turut mendengar si ibu menegur anak-anaknya untuk mencuci tangan. “Bau amis!” tegurnya sedikit comel (namanya juga ibu-ibu). Lucunya, karena rumah kami itu sangat berdekatan, saya sering mendengar suara ibunya. Memang beliau sangat tegas dan disiplin kepada anak-anaknya. Percakapan normal yang terjadi di teras belakang rumah mereka jarang saya dengar dari teras rumah saya, namun teguran-teguran sang ibu terhadap anak-anaknya… sudah pasti saya turut dengar juga. Terkadang beliau benar-benar tegas sehingga saya sebagai anak kecil saat itu jadi sekejap diam tak berkutik, meskipun bukan saya yang sedang dimarahi/diteguri.

Sekitar 18-19 tahun yang lalu. Di sekolah dasar. Teman-teman sekelas saya sering membuat celotehan yang cukup bikin iritasi kalau saya ingat-ingat. Salah satu contohnya, “Hmh, bau! Siapa yang kentut!!!” Meskipun memang kentut itu bau, tapi cara mereka melebih-lebihkan bau sebuah kentut itu selalu membuat saya gerah ketika kecil. Masih ingat betul,  saya merasa tidak lucu jika ada yang menistakan sebuah bau kentut. Come on, setiap orang punya lambung kan… isinya apa kalau bukan calon hajat. Yang paling membuat iritasi adalah jika yang kentut ketahuan siapa orangnya, pasti diperhinakan habis-habisan, seolah baru bangkai pun masih harum. Setidaknya begitulah pengalaman masa sekolah dasar saya. Entahlah bagaimana dengan kalian.

Kisah kecil ini ternyata berdampak besar ketika saya beranjak dewasa. Sebagai anak kecil ketika itu, saya hanya tahu apa yang saya lihat dan saya dengar. Karena selalu mendengar “ih, bauuu!!!” atau “idihhh, jijikkkk ah, bau amis!!! sana cuci tangan!”, atau “Sana mandi!”, secara otomatis saya mengartikan bau sebagai sesuatu yang menjijikkan, jahat, perlu dihindari, tidak bisa ditoleransi, jelek, sampai memalukan. Perlahan-lahan tanpa sadar, saya belajar berhenti menghirup lewat hidung setiap kali berpapasan dengan sesuatu yang mengeluarkan bau busuk. Dengan demikian saya tidak perlu menanggung derita bau. Ketika itu mana saya tahu akibatnya, namanya juga anak kecil. Tanpa sadar saya lakukan penahanan napas tersebut secara otomatis, kapan pun saya melihat bangkai atau mendeteksi bau.

Ketika remaja, mendengar teman sekelas atau seasrama berkata “Hmh, bau! Mona kau cium itu tidak?” Dan saya menjawab polos “Apa? Apa yang bau? Saya tidak cium apa-apa.” Kalau memang baunya busuk, saya tidak rugi, justru untung: saya berhasil dan selamat melalui detik-detik kelam mencekam ketika seseorang kentut di dalam ruangan. Semua orang memaki dan mengutuk seraya saling melempar pandangan menuduh. Saya? Sibuk dengan kesibukan saya sendiri, dengan damainya. Kalau pun angin jahat nan halus itu busuknya minta ampun, pasti hidung saya ikutan tangkap juga, tapi biasanya paling terakhir, terlambat loading sensornya.

Namun, jika yang saya lewatkan itu adalah aroma masakan…. Saya merasa sialan juga… “Ya ampun, harum bangettt… Jadi lapar…,” seru teman saya sambil menarik napas dalam-dalam. Dan saya hanya berdiri bingung, mencari sinyal, sambil membayangkan aroma masakannya. “Barangkali begini, ya, pasti harum banget,” bisik hati saya sambil membayangkan tumisan sayur pakai bawang merah dan putih. Mentok.

***

Sejak tahun lalu saya berdomisili di Jerman. Saat itu saya berkenalan dengan seorang pria yang benar-benar jago masak. Kemampuannya memasak membuat saya bungkam. Saya yang tadinya menghitamkan kosa kata dapur, akhirnya jatuh cinta setengah mati dengan dunia gastronomi. Pria ini sangat mencintai sayur-sayuran. Dia menguasai nama-nama bumbu, bahkan sampai yang tidak saya temukan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Rosmarin. Dia tahu proses memasak, dan proses sebuah bahan termasak. Dia bisa jelaskan semua itu dengan detail dan setiap deskripsi masakannya tercium passion yang bisa meleleh di ujung lidah. Dia bisa jelaskan kenapa dalam tumisan sayur kita membutuhkan lemak hewani ; “It is the trigger,” katanya dengan mata bernyala-nyala.



Dapur adalah kosakatanya. Memasak adalah panggilan hidupnya. Makan adalah suka citanya. Kami sering menghabiskan waktu bersama memasak, dan menikmati masakan kami. Koreksi: masakan dia. Saya hanya bisa mengiris bawang. Namun saya belajar banyak hal dari kebersamaan ini.
Saya ingat betul. Setiap kali dia memasukkan bumbu atau bahan berikutnya ke dalam wajan, aduk, dia dekatkan hidungnya ke wajan dan menghirup dalam-dalam. Mata terpejam. Saya terpana. Saya tidak tutup mata. Saya menunggu. Dia mau bilang apa.

“Hmmm….” katanya dengan senyum bangga. “Mona, sini, coba cium!” Saya mendekat, hidung kedap-kedip, dengan mata terbuka, lagi-lagi mencari sinyal…

”Ohhh…” Tidak dipungkiri, memang enak benar sih aromanya, hehehe.




Saya tidak melihat adegan live mencium masakan ini sebagai sesuatu yang lebay. Insting saya paham: kalau memang cinta, pasti jadi mellow… Saya juga kalau lihat high heels di toko sepatu, saya bisa meleleh bahagia. Itu baru melihat loh!

Kejadian narsis mencium masakan ini dilakukan si Pria Jerman berkali-kali, setiap kali kami memasak. Lalu karena penasaran, saya bertanya di suatu sore, ketika kami jalan-jalan ke hutan. Hutan-hutan di Jerman indah-indah dan berpelindung hukum, benar-benar untuk mencari kedamaian.
“Kenapa kamu suka mencium masakan dan lebay cara ciumnya?” tanya saya blak-blakan.

Lalu keluarlah anekdot masa kecilnya.

Ketika itu si Pria Jerman berusia 11 tahun. Bertiga dengan ayah tirinya yang sarkastis dan ibunya, mereka duduk di bus. Bus ini berjalan melewati pedesaan dan ladang. Kebetulan saat itu sedang musim menanam. Petani di Jerman sejak dulu menggunakan kotoran hewan asli sebagai pupuk, demi menjaga kesuburan dan humus tanah (super duper smart!—komentar penulis). Ketika Bus lewat, masuklah aroma kotoran hewan itu ke lewat cela-cela lubang bus dan menyebar ke indra penciuman setiap penumpang (bus-bus di Jerman tertutup rapat karena mereka mempunyai musim dingin, sekalipun summer, mereka tidak jalan dengan pintu/jendela terbuka seperti di Indonesia). Mencium bau tak sedap, si ayah tiri berkata ironis “wah, benar-benar harum ya…”

Si Pria Jerman yang ketika itu masih anak-anak menerjemahkan kalimat yang didengarnya tadi utuh-utuh seperti kedengarannya. Yang dia paham: Oh, ini baunya enak. Sejak saat itu ia mengenali bau pupuk kandang sebagai aroma yang bagus untuk hidung. Dia mengaku ke saya, sering mencium dalam-dalam aroma pupuk kandang, sampai ia cukup besar untuk memahami kalimat ironi, parabola, dan sarkasme.

Kebersamaan kami memang membuat saya menyadari satu hal: indra penciuman si pria Jerman memang benar-benar tajam. Hipotesis saya, karena dia tidak bersembunyi di balik paru-paru yang terbuka dan tertahan di sana. Sebaliknya, dia menerima bau apa adanya. Sebagai sebuah proses kimia yang kadang enak kadang tidak.
Saya akhirnya belajar, ketajaman indra, begitu pula dengan ketumpulannya adalah kemampuan yang bisa dilatih, sama halnya dengan saraf, sensor, otot, kemampuan berpikir, hati nurani dan seterusnya.



Rabu, 24 Agustus 2016

Dari Cina yang didiskriminasi hanya karena kaya sampai katolik dan kaul kemiskinan

·        Apa sih menurut kalian didikan itu?
·        Didikan seharusnya datang dari siapa?
·        Apakah orang tua kalian mendidik kalian dengan baik?
·        Dari mana kamu tahu kalau didikan mereka baik?
·        Dari mana kamu tahu kalau didikan mereka tidak baik?
·        Pernahkah hati nuranimu mengejarmu dengan seribu tanda    tanya, atas apa yang kamu (tersuruh/terpaksa) telan        dari kitab ajaran dan didikanmu? 


Saya akan mencoba menulis artikel ini dengan tidak terlalu banyak melibatkan teori/bahasa buku pengantar, karena kenyatannya adalah saya sedang pengen banget. Tapi agar mudah dipahami, artikel ini saya sajikan lebih ke arah monolog-dialog antara pembaca yang bungkam dan penulis yang sedang curhat. Curhatan dalam pengertian pengamatan-pengalaman-pemahaman-kritik sosial & politik.

Masa kecil saya penuh dengan rekaman dialog-dialog dan monolog-monolog dari orang-orang sekitar saya: orang tua, kakak, teman bermain, teman sekelas, teman gereja, pastor-pastor, kepala sekolah, guru-guru, tetangga, keluarga, kolega orang tua saya, teman-teman mereka, atau bahkan hanya tamu yang sekedar numpang singgah minum air putih. Saya suka mendengar, dan saya menikmati kata-kata. Kadang kata-kata hadir berupa dialog antara dua orang, kadang di antara banyak orang, kadang kata-kata itu hanya berupa keluh kesah atau sindiran, sinis, caci maki, pujian, cerita-cerita, dongeng, anekdot, perumpamaan, peribahasa, analogi, nasihat, omong kosong, bualan sembrono, dan masih banyak lagi. Saya rekam semuanya. Saya masih ingat dengan jelas beberapa di antaranya, dan jika hari ini saya “putar ulang rekaman-rekaman itu” … saya temukan banyak sekali ketidakadilan: seksismus, stereotip, diskriminasi, nepotisme, korupsi, dll. Kenyataannya adalah saya sering berdialog dengan “rekaman-rekaman” tersebut. Saya “putar” mereka kadang tanpa sadar, kapan pun saya mau jika saya sadar, dan terlebih lagi ketika tiga tahun lalu saya menyusun skripsi jenjang sarjana tentang dominasi laki-laki, setiap hari kerjaan saya membongkar “rekaman-rekaman” berdebu dari peti memori saya.

Bicara tentang seksismus, saking biasanya, barangkali pula sudah basi di telinga kita: anak perempuan harus begini begitu, anak laki-laki harus begini begitu. Lantas ketika mereka menjadi wanita dan pria dewasa pun nanti perannya dibagi-bagi lagi, dst… Pembagian sesuai jenis kelamin ini disertai dengan larangan-pembolehan tertentu yang nanti muaranya terjadi ketidakadilan. Di situlah letak masalahnya.

Bicara tentang stereotip, misalnya kalau ada anak gadis berdandan, apalagi berlebihan, datanglah suara teguran dari si Ibu: “Nak, jangan bergaul sama dia.”
Biasanya stereotip kita gunakan sebagai alat untuk mengumpulkan ciri-ciri agar bisa mendeteksi “mana teman yang baik mana yang bukan”. Kita pikir itu sah-sah saja. Kita pikir kita sedang terjun dalam dunia norma…mana ada! Kita pikir kita sedang mengajarkan rumus yang benar kepada orang lain/anak cucu kita, kenyataannya tidak, sodara-sodara.
Karena beberapa alasan tersebutkan tadi, makanya kerap si pelaku stereotip sendiri tidak sadar bahwa dia sedang tidak adil (sedang menjalankan ketidakadilan).

Bicara tentang diskriminasi. Di artikel ini saya lebih ingin tonjolkan sisi gelap yang satu ini. Tampaknya memang akan selalu aktual untuk kembali menjadi bahan berpikir, bertimbang dan diskusi.
Diskrimasi memiliki berbagai jenisnya. Bukan saja suku, agama, ras, jenis kelamin, usia, tapi juga kelas sosial tertentu.
Sejak saya kecil, saya sering mendengar ucapan-ucapan yang berbau sinis terhadap orang dari kalangan/kelas sosial tertentu.
Lucunya, diskriminasi yang satu ini bukan si kaya ke miskin seperti “lumrahnya” terjadi, tapi si miskin ke kaya. Karena si miskin iri, maka diskriminasi ini ditutupi dengan judul “diskriminasi suku (etnis)”. PADAHAL bukan, mereka cuma iri karena si X punya lebih, karena rumput tetangga lebih hijau. Yah, sebelas dua belas lah, sama orang yang membenci suku Yahudi.
Sinisme itu tadi sering terdengar janggal dan tidak pakai logika, contohnya “Dasar orang kaya.” atau “Orang kaya itu memang pelit.” dsb.
***

Coba sebutkan siapa yang paling kaya di Indonesia.Ya, kaya harta.Ya, yang banyak uang dan asetnya!Mereka adalah “orang Cina” atau benarnya etnis Tionghoa.

***

Banyak dijumpai di wilayah lokal kita, bukan? Apalagi di ranah nasional! Artinya setiap orang Indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan diskriminasi yang satu ini. Pengalaman penulis sendiri begini: pemilik toko terbesar pertama di desa saya adalah etnis Tionghoa. Dia ramah banget kok, anak cucunya pun ramah-ramah, tapi tetap saja jadi bahan gossip. Sayangnya, hanya karena dia kaya L

Tulisan ini mereferensi sebuah thread (http://m.kaskus.co.id/thread/537590fb9acf17e95f000044/logika-orang-indonesia-makin-miskin-makin-benar) di kaskus yang ditulis sangat kritis dan blak-blakan. Penulis mengambil contoh yang sangat relevan dan nyata, keliatan sehari-hari, bahkan bisa dirasa pula. Dalam tulisan ini titik beratnya adalah logika berpikir orang Indonesia yang sangat disayangkan terpengaruh sinteron. Sangat menarik digambarkan penulisnya :
"Artis yang dibayar mahal tersebut, disuruh memerankan orang super miskin namun baik hati dan selalu benar, walau endingnya dengan sedemikian rupa bisa jadi orang kaya juga. Di sisi lain, tokoh antagonis selalu orang kaya yang jahat absolut, menyeringai dengan kelicikannya, tidak ada satu pun kebaikan tersisa dalam peran tokoh antagonis ala sinetron Indonesia. Tidak perlu riset mahal untuk memahami bahwa sinetron turut berperan. Sinetron yang terus menjejali kalangan bawah justru menciptakan ilusi perbedaan kelas yang mana kaya=jahat dan miskin=baik. Melihat punya mobil sedikit (yah elah, mobil bukan berarti kaya kali), sudah dicurigai antagonis” contoh salah yang dibenarkan."

Jika ditelaah, dua anekdot yang ada dalam tulisan saya ini dan yang di tulis penulis kaskus ini memang sangat berhubungan. Saya sangat merekomendasikan tulisan ini untuk dibaca. Orang Indonesia cenderung menginterpretasikan sebuah ajaran dengan salah. Salah satu faktor yang mendukung adalah… lagi-lagi agama. Contohnya dalam agama Katolik, dikenal yang namanya “kaul kemiskinan”.

Menurut Wikipedia:

“Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukerela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan Allah.”


Banyak umat akhirnya jadi salah paham: mereka mengira, Tuhan hanya akan senang jika umatnya miskin. Ya, miskin yang itu tadi, miskin uang dan harta!
Masih pada trotoar salah paham itu tadi, maka mulailah mereka untuk tidak menyukai/tidak menyenangi/menyindir/menghujat/memfitnah/menggosip mereka-mereka yang beruang, berharta, berbenda, bermilik, dst…
Di suatu masa hidup saya, saya pernah dengar kalimat ini terucap.


“Banyak orang kaya tidak masuk surga”



Tidak heran banyak orang memusuhi orang kaya; siapa juga yang mau temenan sama si calon neraka? Ya nggak?
Saking takutnya dengan neraka, tidak ada yang ingin berusaha mengembangkan talentanya. Padahal kalau dia religius, harusnya jeli melihat talenta, bukannya malah “dikubur di tanah”.

Melihat kekayaan sebagai hasil usaha,
bukan dari sudut pandang agama yang salah terinterpretasi
Uang itu tidak jahat. Buang jauh-jauh perspektif ini, ini sudah tidak jaman lagi untuk menjadi cukup bodoh dan berpikir seperti itu. Menjadi kaya itu REJEKI! Bukan serta merta calon neraka. Namun ingat, kekayaan tidak turun dari langit, kita perlu niat, usaha dan kerja keras. Niatnya tentu saja bukan untuk jadi kaya atau memiliki banyak uang, namun niatnya:

ü  mendapatkan gizi yang lebih baik
ü  memiliki rumah sendiri
ü  kendaraan sendiri
ü  menikah tanpa mengemis (mencekik) orang tua
ü  berlibur ke mana pun mau/mampu
ü  membiayai kelahiran, makan-minum anak
ü  menyekolahkan anak hingga selesai
ü  menyekolahkan anak di sekolah yang bermutu
ü  menyenangkan orang tua
ü  beramal, dst

Coba lihat, uang sama sekali tidak jahat. Justru sebaliknya, uang bisa menjadi sangat baik jika penggunanya bijaksana.
Teramat disayangkan bahwa di Indonesia, jika ada yang berusaha dan bekerja keras, segera dilabeli ambisius, serakah, dan macam-macam. Kasihan benar kan? Energi positif, semangat, optimisme dan motivasi orang difitnah sebegitu rupa hanya karena rasa iri…ck ck ck

Orang Kaya tidak selamanya dari hasil korupsi
Saya rasa orang yang beranggapan seperti ini hanya orang iri, kecuali dia punya bukti-buktinya. Namun jika hanya bualan seorang pecundang belaka, saya pun tidak suka dengarnya :D

Curhatan ini sudah mengorek-ngorek saya sejak kecil, betapa inginnya suatu hari saya beberkan secara terbuka. Saya tidak ingin sok pintar (demi Tuhan, saya cuma insan bernurani, saya mendeteksi ketidakadilan menggunakan hati yang jernih) atau kedengaran peduli, karena faktanya adalah saya memang peduli. Jika saya diam, kasihan suara yang terbungkam. Jika saya pendam, siapa lagi yang mau berjuang buka suara?

Senin, 22 Agustus 2016

Syarat mendapatkan Wohngeld di Jerman

Sekalipun pendatang/imigran/ Ausländer, kamu berhak mendapatkan tunjangan sosial dari Jerman, jika kamu memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan.

Jerman adalah salah satu negara yang memiliki sistem sosial dan kesehatan yang benar-benar maju. Seperti yang pernah saya sebutkan di artikel sebelumnya, setiap pekerja di Jerman membayar pajak yang dipotong secara otomatis per bulannya. Potongan ini termasuk di antaranya Gesundheitsversicherung (asuransi kesehatan) dan Sozialleistung (jaminan sosial). Keuntungannya apa? Dari Gesundheitsversicherung memungkinkan si individu untuk berobat/menjalani pemeriksaan medis secara gratis. Selain itu, jaminan sosialnya memungkinkan kita untuk mendapat tunjangan finansial dari negara. Tunjangan ini macam-macam bentuknya, beberapa yang terkenal di antaranya:
Ø  Hartz IV (tunjangan finansial bagi para pengangguran)
Ø  Bafög (tunjangan finansial bagi para siswa/mahasiswa)
Ø  BAB (Berufsausbildungsbeihilfe: tunjangan finansial bagi Auszubildende)
Ø  Wohngeld (tunjangan finansial untuk mengongkosi Wohnung/kos/apartemen)
Ø  Elterngeld (tunjangan finansial bagi para orangtua yang memilih untuk tidak bekerja demi mengasuh anak mereka sendiri Jerman maju banget ya…)
Ø  Kindergeld (tunjangan finansial bagi anak/orang di bawah usia 25 tahun)

Di artikel ini penulis akan mengulas hanya tentang Wohngeld.

Apa itu Wohngeld?
Subsidi rumah, arti singkatnya. Wohngeld dibayar oleh pereintah Jerman (per bulan) bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan untuk membayar rumah/tempat tinggal.

Kenapa kita bisa butuh Wohngeld?
Harga rumah/kos/Wohnung/apartemen di Jerman itu serba mahal. Dengan penghasilanmu yang pas-pasan (biasanya bagi mereka yang menjalani Das Freiwillige Sozoiale Jahr (FSJ) atau Ausblidung http://mulutnyamona.blogspot.de/2016/08/ausbildung-sebagai-zahnarzthelferin.html), hanya untuk membayar tempat tinggal pun rasanya setengah dari gaji jadi lenyap, belum lagi biaya untuk kebutuhan yang lain. Maka cobalah ke Rathaus (kantor balai kota) setempat dan menanyakan kemungkinan kamu mendapatkan jaminan sosial yang satu ini. Tidak terbatas warga negara kok, jadi jangan merasa minder duluan karena kamu pendatang.

Apa saja ciri-ciri kalau kamu berhak mendapatkan Wohngeld?
Ø  Kamu memiliki pekerjaan
Ø  Tapi penghasilannya “terbatas”
Ø  Kamu memiliki tempat tinggal sendiri (Wohngemeinschaft termasuk dalam perhitungan ini)

Berapa banyak uang yang mungkin bisa kamu dapatkan?
Berbeda-beda, kalkulasinya tergantung pada besaran uang sewa rumah dan besaran penghasilan.

Dokumen yang kamu perlukan /syarat-syaratnya:
Ø  Antragsformular (formulir lamaran Wohngeld)
untuk memperoleh ini kamu harus ke Rathaus di mana kamu berdomisili

Ø  Aufenthaltserlaubnis/ residence permit

Ø  Verdienstbescheinigung (keterangan penghasilan per bulan)
Kamu akan mendapatkan sebuah formular terpisah dari pihak Rathaus, yang mana ditujukan kepada majikan (Chef) kamu untuk diisi.

Ø  Mietvertrag (kontrak tempat tinggal)
(Kalo di Indo mah ngekos ngekos aje, ga pake kontrak segala, mau pindahan besok, hari ini baru bilang bu kos juga kaga pape :P )

Ø  Kontoauszüge (keterangan pengeluaran uang di rekening bank) selama tiga bulan terakhir, berturut-turut

Ø  Berufsausbildungsbeihilfe (BAB) – Bescheid
Jadi ceritanya, bagi para Auszubildende, kamu harus melampirkan surat keputusan dari Bundesagentur für Arbeit bahwa kamu pernah melamar BAB… Entah lamaran BAB mu ketika itu di-approved atau tidak, lampirkan saja ketika melamar Wohngeld.

Ø  Surat keterangan dari ibu kos / pemilik tempat tinggal yang kamu sewa bahwa kamu selalu membayar uang sewanya.


Berapa lama kamu berhak mendapatkan uang dari Wohngeld?
Jika kamu seorang Auszubildende, kamu berhak mendapatkan uang tersebut sampai masa kontrak Ausbildungmu selesai.

Seperti kata pepatah Jerman: “Fragen kostet nichts” (bertanya itu gratis), ayo ke Rathaus setempat dan tanyakan kemungkinan kamu mendapatkan Wohngeld. Mereka akan selalu ada untuk menjawab pertanyaanmu.

Rabu, 17 Agustus 2016

Ausbildung Sebagai Zahnarzthelferin

Hallooo :)
Pada kesempatan ini saya akan berbagi pengalaman kecil saya sebagai seorang tenaga magang di sebuah praktek dokter gigi di Jerman.
Pengalaman berikut yang saya catat ini hukumnya tidak mutlak ya, artinya ada kemungkinan juga kalian yang berminat mengikuti Ausbildung mengalami hal yang berbeda atau menemui kemudahan/kesulitan dalam bentuk yang saya sendiri tidak alami.
saya mencoba menyajikan ulasan ini dalam butir-butir tanya jawab.

saya mencoba menyajikan ulasan ini dalam butir-butir tanya jawab.

1.     Apa itu Ausbildung?
Ausbildung adalah sebuah sistem belajar lanjutan yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian teori dan praktek (-Blog.goethe.de).
Untuk lebih konkretnya, saya gambarkan Ausbildung itu seperti SMA di Indonesia. Dalam pengertian, teman-teman sekolahmu bakal berada di kisaran usia 15-20 tahun. Tapi yang lebih tua ada juga kok… (penulis contohnya, ehem) .. setua apa? Teman kelas saya ada yang berusia 41 tahun, hehehe. Ausbildung itu bisa dikatakan juga sarana “ganti profesi” yang dalam bahasa Jermannya disebut Umschulung. Ganti profesi di sini artinya, kamu menekuni bidang yang sama sekali baru dari bidang yang dulu pernah kamu tekuni yang sekarang kamu tinggalkan. Contohnya, seorang asisten dokter gigi ingin bekerja di bank, berarti dia harus mengambil Ausbildung baru lagi di jurusan perbankan.

2.     Ausbildung itu sejenis magang? Kenapa?
Sejenis…iya!
Dan para pelajarnya disebut:
Ø  Auszubildende
Ø  Azubi
Ø  Lehrling
Karena kamu bakal menjalani banyak praktek di perusahaan dan teori di sekolah, maka kamu bisa tergolong ke tenaga magang.

3.     Ada berapa jenis Ausblidung? Di mana letak perbedaannya?
Ø  duales System/ duale Ausbildung : kamu digaji; lebih banyak praktek ketimbang teori
Ø  schulische Ausbildung: tidak digaji, bahkan kadang harus membayar; lebih banyak teori ketimbang praktek

4.     Perlukah kita mengongkosi Ausbildung?
Karena kita akan disekolahkan semasa Ausblidung, ada yang berpikir barangkali butuh biaya untuk bisa masuk ke sekolah tersebut.
Pada duales System/ duale Ausbildung, biaya sekolah dibayar oleh Ausbilder (Chef) kita, kita justru menerima gaji.
Saya kurang berpengalaman tentang schulische Ausbildung, tapi dari yang saya baca, ada juga yang bahkan harus membayar sekolahnya. Setahu saya, mereka adalah yang menjalani Ausbildung jurusan lain, bukan Zahnarzthelferin. Kenalan saya, mengikuti Ausblidung Ergotherapie, pernah cerita bahwa dia tidak menerima gaji semasa Ausblidungnya.

5.     Syarat mengikuti Ausbildung?
Ø  Lamaran +  riwayat hidup
ditujukan kepada pemilik perusahaan (dalam kasus saya: dokter gigi di zahnarztpraxis (praktek dokter gigi)
Ø  tanda bukti resmi kemampuan berbahasa Jerman (B1-C2, standarnya)
Ø  ijin kerja dari kantor tenaga kerja Jerman
Jika lamaranmu diterima, kontrak keluar, kamu berhak mengajukan permohonan ijin bekerja  ke Bundesagentur für Arbeit (depnakernya Jerman), lampirkan kontrakmu dalam permohonan tersebut, sebagai syarat memperoleh ijin kerja.


6.     Berapa lama Ausbildung berlangsung?
berbeda-beda setiap Ausbildung. Sebagai Zahnarzthelferin, kamu harus menempuh tiga tahun teori+praktek sampai kamu lulus dan dinobatkan sebagai pekerja professional (bukan lagi sekedar anak magang)

7.     Berapa gaji bulanan?
Besaran gaji meningkat setiap tahun dan berbeda-beda setiap Bundesland. Semakin kaya (baca: mahal) tempatnya, semakin tinggi gaji pekerjanya. Tapi resikonya biaya hidup pun ikutan mahal.

            
            mau bandingkan setiap Bundesland? di sini:

8.     Apakah perlu membayar pajak?
Wajib… warga Negara yang baik adalah…
Pajak kita sudah terpotong secara otomatis di daftar gaji, yang bakal kamu lihat secara transparan setiap bulannya.

9.     Kapan gajian?
Di tempat saya gaji dicairkan pada akhir bulan.

10.  Berapa hari bekerja dalam seminggu?
karena Ausbildung saya berlangsung 3 tahun, saya harus menempuh 3      tahun ajaran.
Ø  tahun ajaran pertama :  tiga hari
Ø  tahun ajaran kedua dan ketiga: empat hari

11.  Berapa jam kerja (praktek) per hari/per minggu?
di Vertrag saya tertera 40 jam seminggu, itu sudah termasuk sekolah… Tapi eits, Pause (istirahat) tidak termasuk yah…
Jam kerja saya rata-rata 07.30-18.00, Pause sejam. Ada juga hari di mana saya pulang lebih awal (Feierabend) dari Praxis.

12.  Berapa jam di teori di sekolah? Berapa hari dalam seminggu?
Dalam  sehari saya belajar 7 jam di sekolah, 07.45-14.40
Ø  tahun ajaran pertama :  dua hari dalam seminggu
Ø  tahun ajaran kedua dan ketiga: satu hari dalam seminggu


13.  Siapa saja yang berhak mengikuti Ausbildung?
Semua orang yang mau dan mampu belajar dan bekerja.
Bagi yang ingin menjadi  Zahnarzthelferin, harus berjenis kelamin perempuan, heheh..

14.  Bagaimana dengan Visa atau ijin tinggal?
Pengalaman saya, ketika itu saya sudah berada di Jerman, dan bekerja sebagai aupair, jadi saya tinggal ke Ausländerbehörde dan mengajukan ganti visa.

15.  Syaratnya ganti visa?
Ø  kontrak (Vertrag) kerja
dari perusahaan di mana kamu nantinya melaksanakan Ausbildung
Ø  ijin kerja dari Bundesagentur für Arbeit
Ø  visa lama (dikembalikan ke Ausländerbehörde)
Ø  € 90 (…it’s all about the money, money, money )

16.  Libur?
Sebagai Zahnarzthelferin, enaknya kamu tidak perlu bekerja weekend. Jadi saya free sabtu dan minggu.
Libur dalam setahun berbeda-beda setiap orang, tergantung usia dan di tahun ajaran mana kamu berada. Di Jerman dibedakan minderjährig (di bawah umur) dan volljährig (cukup umur). Sebagai gambaran, di tempat saya seperti ini:
Di tahun ajaran pertama:
Ø  minderjährig (di bawah 18 tahun): 27-30 hari/tahun
Ø  volljährig: 25 hari /tahun


17.  Nggak betah sama pekerjaan?
kamu bisa:
Ø  ganti Praxis atau perusahaan di mana kamu bekerja
Ø  banting stir ke Ausbildung yang lain

18.  Masalah kesehatan?
Ø  bagi kaum hawa, jika hamil di tengah jalan, kamu tidak ada pilihan lain selain berhenti dari Ausbildung tersebut karena di Jerman orang hamil dilarang bekerja. Sementara, Auszubildende tidak berhak mengambil cuti (apalagi parttime).
Ø  jika kamu sakit dan butuh pengobatan jangka panjang (sebulan) kamu masih bisa melanjutkan Ausbildung kamu, tapi tetap konsultasikan dengan Ausbilder mu, ob das in Ordnung ist
Ø  Ausbildung tertentu mewajibkan surat keterangan (sertifikat) dari dokter. Isinya riwayat imunisasi dan tes darah. Sebagai Zahnarzthelferin, kamu wajib memiliki itu. Semua profesi yang menyangkut tubuh, kesehatan, pangan akan sangat membutuhkan keterangan dokter ini.

19.      Setelah Ausbildung ke mana?
Ø  Übernahme: Kamu bisa bekerja di perusaan yang memagangi kamu.
Ø  Ganti/pindah pindah ke perusahaan lain. Keputusan ada di tangan kamu.