Minggu, 30 Desember 2012

Sejenak Waktu Untuk Jiwa dan Raga

Ia menari bersama kepulan asap hitam. 

Jiwaku terbang sebebas-bebasnya, sampai terlepas dari ragaku, berayun, dan sesekali hinggap ke bubungannya. 

Aku tak khawatir sedikit pun. Aku percaya ia percaya pada kata kembali

Ia hanya akan kembali, padaku. 

Ia hanya ingin mencari ruang lain di luar diriku. 

Aku berpikir, jangankan dia, jiwaku ; bahkan ragaku pun seandainya bisa, ia juga ingin keluar dan sejenak terpisah dari diriku. 

Apakah itu kata lain dari kematian? 

Aku tak ingin sendiri, ia menjerit. 

Aku ingin berpesta, matanya membara. 

Ke sebuah pesta yang tak kenal sudah; 

ke pesta yang anggurnya tak pernah selesai mengalir; 

ke pesta yang musiknya tak pernah berakhir digesek dan dipetik dan didebumkan; 

yang pesta dansanya tak pernah berhenti; 

ke pesta yang lampunya tak pernah digantikan matahari.

Jumat, 14 Desember 2012

KAMI BERDOSA, KAMI SUNGGUH BERDOSA

       Ketika saya masuk Syuradikara pertama kali (tahun 2006) tradisi setiap kelas untuk memberikan nama (biasanya berupa akronim unik yag membentuk sebuah kata atau nama) pada kelasnya sudah ada, entah dimulainya sejak kapan. Saat kami kelas 2 SMA, nama-nama kelas itu antara lain :

XI IPA 1 :   D'RAINSTU (....)
XI IPA II :  DEPOSITO (DE People Of ScInce Two)
XI IPS 1  :  ANEKDOTE ()
XI IPS 2  :  REPSOL (REPublic Sosial)
XI IPS 3  :  COUNTER DUBESTIG (...)
XI BAHASA 1  : SLASH (....)
XI BAHASA 2  :  S BATWO (Sebelas BAhasa TWO)
XI BAHASA 3  :  REALITA (REpublic Anak Language TigA)

      Takdir mempertemukan 13 perempuan bandel dan 13 laki-laki kepala batu ke dalam sebuah kelas bernama Bahasa 3.  Wali kelas kami adalah Pak Nato, namun karena intensitas ketemu yang jarang (kelas kami memilih Bahasa Jerman, sedangkan beliau mengajar Bahasa Jepang.) dan juga adanya satu dua alasan yang lain, kami pun dipindahtangankan ke Pak Kletus seiring kenaikan kelas kami. Pada waktu itu Beliau mengampu mata pelajaran Agama dan kesenian.
     Tahun 2008, waktu sudah naik kelas tiga, nama kami berubah: FBI (Forum Bahasa Tiga-- ciri-ciri penjahat adalah selalu mengganti nama). Kelas ini paling sering jadi hot news (dalam pengertian yang buruk) di ruang guru. Kami feeling begitu soalnya setiap kali kami berbuat salah (kesalahan anak Bahasa 3 biasanya bersifat masal / berjamaah, tidak laki-laki tidak perempuan.... sama saja), komentar para guru selalu diawali dengan kalimat-kalimat berikut :
"Selalu saja kalian ee!"
"Kalian tu kenapa ee?"
"Oh, saya tidak heran kalau kelas ini!"
" Kalian tidak kasihan kah dengan Pak Kletus?"
Maka relevan kalau kami berpikirkami sudahterlalu sering menjadi topik kecemasan masa depan presentasi kelulusan Syuradikara di ruang guru. Dan sejujurnya kami sendiri merasa tidak nyaman dengan posisi "terkenal" seperti itu. Ya kami memang berdosa (tapi seberdosa itu kah?).
    Tahun-tahun menjadi bagian dari FBI terasa seperti tahanan luar! Setiap kali gerak-gerik kami diawasi. Ditambah lagi suatu ketika Syuradikara kedatangan keryawan Bimbingan Konseling yang baru, Ibu Emy (kalau tidak salah di akhir 2008). Kedatangan Ibu Emy langsung mendapat 'kantor' khusus (letaknya di samping ruang UKS) menandakan bahwa bimbingan konseling adalah sesuatu yang serius di lembaga ini. Saya masih ingat, pertanyaan pertama yang akan Ibu Emy ajukan saat kau pertama kali tiba di kursi panasnya adalah : "Kau berapa mata pelajaran tidak lulus mid kemarin?" Nah, kena!!
    Bicara tentang 'kena'. Rotan, tali plastik, telapak tangan gempal (untuk menjitak atau menampar), bahkan kabel kopling adalah makan minum kami sehari-hari. Bagi yang tidak merasakan, pasti menyaksikan. Beberapa guru bahkan identik dengan salah satu mustika tersebut. Setiap kali, kami selalu tahan napas, mendesah, pasrah. Kalau Beliau masuk-masuk sudah bawa itu barang memang, sebaiknya kau hati-hati sudah.
    Naluri manusia : perasaan nasib dan sepenanggungan ini membuat kami merasa terikat satu sama lain: karena ada kenangan bersama yang mengikat. Dan herannya, kami selalu punya cara untuk menertawakan itu semua (atau mungkin hanya untuk sekedar menghibur diri?). Seolah memar biru-ungu di betis atau segaris warna hijau ranting gamal di punggung seragam putih-abu itu lucu. Entahlah, selera humor remaja kami yang tidak terbiasa dengan keseriusan itulah yang menggelitik kami untuk tertawa.
      Meminjam istilah dari kamus anak asrama, kami sudah "batu-kayu": kelima indra kami telah berubah menjadi lima jenis batu yang dicampur dengan lima jenis kayu yang paling keras. Kamus Bahasa Pasar : "kepala batu". Kamus Bahasa Kupang : "Babatu".
    Untuk Bapak/ibu guru yang saya cintai termasuk para pater sekalian, ini adalah ucapan terima kasih saya yang besar. Tengah tahun 2012 yang lalu saya mengajar (PPL) di salah satu SMA di Jawa Tengah selama dua bulan. Dari situ baru saya pahami bahwa tugas guru itu benar-benar mulia jika dilakukan dari hati. Dan selama tiga tahun saya di Syuradikara, saya merasakan pengabdian kalian yang sungguh tulus dari hati. Untuk itu juga kembali dari hati saya ucapkan terima kasih.
    Berikut adalah litani permohonan maaf:
    Kepada Pater Kanis yang saat itu menjabat sebagai kepala sekolah : Pater, mohon maaf karena kelas saya selalu 'menyita perhatian & energi'. Kehadiran Bahasa Tiga meresahkan warga (Syuradikara). Dan apa yang Pater lakukan bagi kami anak asrama yang 16 orang pada waktu itu, detik-detik terakhir menjelang UAN, tidak akan kami lupakan.Saya juga ingat betul kontribusi penyitaan gelang terbesar pada saat itu, saya rasa, salah satunya saya. Tiap hari saya dicegat, pernahjuga oleh Pak Ambross---hanya karena pakai gelang (ini belom bawa pistol atau apa...). Tapi besok datang tetap pake lagi--- untuk adek-adek yang terlanjur baca adegan ini tolong jangan ditiru. Tapi terima kasih Pater, saya tahu ini untuk mendidik.
     Kepada Pak Nato : Bapak, kami menyesal dan memohon maaf karena tidak bisa jadi anak yang ideal.
     Kepada Ibu Mathilde Niba : Ibu, maafkkan kelas kami yang kepala batu dan selalau remidi (bahkan sepertinya kami sampai pernah remidi dua kali, dan tetap tidak lulus-lulus). Kami juga sudah selalu membuat ibu cemas.
     Kepada Ibi Anas Theo : Ibu, kami mohon maaf sangat atas keautisan kami yang malas mengerjakan soal-soal PR antropologi dan sejarah (kalau ibu masih ingat pertanyaan yang ibu berikan ke kami pagi itu : "Tanah itu ada di mana?" diambil dari mapel antropologi, bab tentang budaya. Sampai sekarang itu jadi cerita klasik penuh canda tawa di antara kami karena tak ada yang berhasil jawab)
    Kepada Opa Nadus :  Opa tersayang, maafkan kami yang cacat secara linguistik (untuk menuliskan aksara Latin saja kami masih jatuh bangun, bagaiman nasib aksara Arab?)
    Kepada Bapak Anton Buga : Pak, sejujurnya kami pernah nyontek masal pada saat ulangan bapak. (Untung karmanya jangka pendek : dalam ulangan tersebut tak ada satu pun yang nilainya lulus)
    Kepada Ibu Nanci : Ibu, maafkan kelemahan matematis kami. Daya tangkap yang lemah hanya bisa diatasi dengan kesabaran seorang mama. Bagi kami  ibu telah menjadi mama matematika yang terbaik. Terima kasih, Bu.
     Ke 23 anak ini sekarang kami sudah di tahun terakhir masa studi di bangku kuliah. Yang lain bahkan sudah bekerja. Ada yang sudah jadi polisi, bidan, dan bekerja di bidang perhotelan. Kelas Bahasa Tiga yang dulunya sering ditempa, kini bisa dilihat hasilnya. Emas dan berlian memang harus ditempa dalam suhu dan tekanan yang tinggi sehingga setiap gramnya menjadi berharga.

Syuradikara, ada di dada kami.