Kamis, 15 Desember 2011

Bapa

          Ayahku sering kupanggil Bapa. Ia adalah sesosok ayah yang tampak biasa dari luar. Ia bukan tipe pria metropolitan atau metroseks seperti David Beckham atau siapa. Pakaian-pakaian untuk acara resminya biasanya Batik Solo. Satu-satunya dokumentasi yang menangkap basah Bapa memakai jas dan berdasi adalah foto-foto pernikahannya dengan Mama. Bapa benar-benar pribadi yang sederhana tapi hanya aku dan keluarga kecilku yang tahu betapa sebenarnya ia sangat luar biasa. 


Bapa lahir 58 tahun yang lalu, dari keluarga petani yang serba kekurangan. Akan tetapi justru dengan kekurangan itu Bapa belajar untuk menghargai dan juga sebagai motivasinya untuk tetap bertahan sampai menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Menurut Mama, Bapa bukan siswa yang cerdas, tetapi ia adalah yang paling tekun di antara teman-temannya. Dan aku sendiri bisa melihat itu.
Meskipun Bapa sangat menjengkelkan karena ia sering ngomel, tetapi ia bukan tipe yang PERNAH mengeluh. Ia sangat cerewet, terutama jika itu berbicara padaku.  Dan ia terus saja menasihatiku dengan nasihat-nasihatnya yang saaaaangat membosankan (jika dikumpulkan dalam bentuk tulisan, tebalnya kira-kira setara dengan Alkitab), tetapi akhirnya ketika aku berada jauh darinya, nasihat-nasihat itulah yang menjadi pedomanku.
Bapa tidak merokok, atau minum alkohol, atau bahkan kopi atau teh. Ia pecinta air putih sejati. Ia menyukai olahraga sehingga posturnya sangat atletis, tetapi ia juga sangat suka membaca — dua hal yang sulit dihubungkan dalam satu kepribadian. Selain fisik, secara rohani ia adalah orang yang sangat taat beragama. Seumur hidupku, aku belum pernah mendapati kebohongannya atau pun sekali melihat ia absen ke gereja, meskipun dalam keadaan sakit. Ia juga sangat tabah dalam menghadapi berbagai cobaan yang datang silih berganti dalam keluarga kami.
Semasa kanak-kanak, aku sering didongengi Bapa. Ia mendongengiku di mana saja, termasuk di atas motor atau di meja makan, supaya aku menyelesaikan makananku. Bapa adalah pendongeng terbaik sedunia. Ketika ada adegan nyanyi dalam sebuah bagian cerita, ia akan menyanyikannya, dan ketika harus menirukan suara para tokohnya, ia akan menirukannya lengkap dengan dua tangannya yang juga ikut mengilustrasikan. Ketika kecil, Bapa memanggilku dengan sebutan “Cahaya Biru”. Cahaya Biru adalah tokoh dalam salah satu dongeng kesukaanku. Ia adalah peri yang menyelamatkan sang putri yang dibuang ke dalam sumur gelap oleh seorang nenek sihir. Bapa juga adalah orang yang tetap menggendongku ketika aku sudah bisa berjalan sendiri, ketika aku sudah berseragam putih-abu, bahkan! Dan kalian tahu itu di mana? Di pelabuhan dan bandara. 


Bapa sangat ulet dalam setiap usahanya. Ia sangat suka bertani, bertani apa saja. Bahkan di usianya yang hampir kepala 6, ia masih sangat proaktif mengurusi sawah-sawah dan kebunnya. Dari sana Bapa mengajariku banyak hal yang tidak akan kuperoleh dari orang lain, yaitu kemandirian dan ketekunan. Karena Bapa adalah sosok yang enerjik yang tidak takut kalah dan pantang menyerah.
Sekalipun begitu, Bapa pernah menjadi orang pertama yang bersikeras melarangku kuliah di luar provinsi. Awalnya kukira karena ia menyayangi uangnya, tapi setelah aku terpisah ribuan kilometer darinya dan menyaksikan sendiri betapa ia sangat berkorban demi aku, akhirnya aku sadar bahwa ia lebih menyayangiku. Karena itulah ia tak ingin aku berada jauh darinya.  Bapa sangat suka membangga-banggakan aku, meskipun itu hal remeh sekalipun sehingga aku sadar, ia menaruh harapan yang begitu besar padaku. akhir kata bukan akhir cerita. Begitulah para orang tua tidak pernah sekali pun mengatakan, "Nak, kami sayang padamu." Tapi apa yang mereka lakukan selalu adalah pengorbanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aku sangat bahagia karena ia telah memilih menjadi ayahku, dulu, kini, dan selamanya.

Selasa, 22 November 2011

Kebiasaan Minum Kopi Ala Orang Manggarai

Inung kopi atau minum kopi sudah menjadi sebuah budaya dalam masyarakat Manggarai, Flores, NTT. Kopi tidak diminum dalam rangka menahan kantuk atau saat santai, tetapi kopi sudah merupakan minuman tradisional yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat ini. Pagi, sore, siang, malam, kopi dolo….
Dalam budaya mastarakat Manggarai, jika seseorang bertamu, tuan rumah tidak akan menanyakan “Mau minum apa?” tapi hanya menawarkan, “Minum?” dan tawaran itu berarti kopi. Mau tidak mau, suka tidak suka, untuk menghormati tuan rumah, kita harus meminum yang tuan rumah sudah sediakan tadi.
Bagi orang Manggarai asli, komposisi kopi dalam satu takaran saji sudah ada aturannya. Gula tidak begitu memainkan peran. Kopi ya kopi, gula ya gula. Kalau kopi yang terlalu banyak gula, itu bukan kopi bagi mereka. Karena itu, biasanya komposisinya dalam 200 ml air, perbandingan kopi dan gula 3 : 1 sdm.
Satu lagi, yang dimaksudkan kopi di sini bukan kopi Kapal Api atau sebangsanya yang bisa ditemui di kios-kios atau swalayan, tetapi kopi asli yang diolah langsung dari sejak masih di pohon, dijemur, digoreng, dan digiling. Jika kopi yang disajikan encer atau berwarna coklat muda bisa diartikan ketidakramahan tuan rumah. Jadi bayangkan saja sendiri, bagaimana rasanya, bagaimana tebal ampasnya, pekat warnanya, dan yang paling mengesankan adalah bagaimana aromanya!
Bukan sesuatu yang mengherankan jika di Mannggarai ditemukan anak balita diberi minum kopi yang kental. Tidak tua, tidak muda, tidak laki, tidak perempuan, yang namanya orang Manggarai pasti kesukaan dan kebiasaannya adalah inung kopi. Sekalipun sudah merantau jauh, tradisi ini rupanya sulit hilang. Makanya orang Manggarai terkenal dengan minum kopinya ini. Intensitas mereka minum kopi sama dengan intensitas orang lain minum air putih. Bagi mereka, tidak makan nasi lebih baik daripada tidak minum kopi sama sekali dalam satu hari.

Jumat, 28 Oktober 2011

PATUNG INA BO’I , TERCANTIK DI KUPANG


Ini dia b pu patung kesayangan sejak b masih kecil. 
Setiap kali b deng bapa naik motor lewat jalan menurun itu, b selalu menatap itu patung dengan penuh rasa kagum. 
B rasa dia patung yang melambangkan kecantikan kota kupang dari segi budaya.

Memang su son banyak orang lai 
yang bisa main sasando di NTT ,
bahkan konon, katanya tinggal 6 orang!... 



wiii ju karmana su kalo tu 6 orang su “punah”? 
Berarti kotong pung sasando iko punah ooww…
Makanya teman2, basodara, susi, bu, kaka, ade dong… mari ko kotong sama2 lestarikan kotong pu budaya. 



Supaya kalo orang tanya 
apa yang bisa dibanggakan dari Kupang, 
na kotong bisa pertanggungjawabkan. 
Kotong kan sama2 love Kupang to….

Sabtu, 11 Juni 2011

Perbedaan Budaya Lokal dan Budaya Asing

Perbedaan budaya memang unik buntuk dipelajari. Bangsa Indonesia memiliki beragam budaya yamng berasal dari berbagai daerah di Nusantara. Betapa kayanya budaya Indonesia, dan orang Indonesia cenderung membangga-banggakan hal tersebut. Tapi eits, tunggu dulu! Sebegitu bagusnyakah Indonesia sampai-sampai merasa bangsa lain di bawahnya?
Memahami budaya itu tidak gampang. Ada proses mental di sana. Akulturasi, adaptasi, sampai shock-culture. Sebagai negeri persimpangan budaya, Indonesia selalu bersinggungan dengan hal-hal yang terkait dengan budaya. Orang Yogyakarta misalnya, masih harus memahami budaya orang Jawa Timur, meskipun mereka masih sama-sama suku Jawa yang mendiami pulau yang sama. Apalagi dengan orang dari wilayah Timur, misalnya, tentu perbedaannya makin kontras, meskipun  kenyataannya mereka masih sama-sama bagian dari Nusantara. Nah, bagaiman kalau pemahaman budaya itu terjadi di antara dua negara yang berbeda? Padahal kenyataannya, sesama Nusantara saja, kita masih sering salah paham. Apalagi yang dari luar negeri?

  • budaya basa basi
Budaya basa-basi di Indonesia, dianggap sopan dan halus. Sementara di barat? Misalkan saja kita berkunjung ke rumah seorang teman. Begitu kita masuk, dia berkata, ”Anggap saja rumah sendiri.” Dan kemudian ia juga berkata, ”Kalau lapar atau haus, silahkan ambil saja sendiri dari kulkas.” Tetapi dalam budaya Indonesia, melayani diri sendiri ketika kita masuk rumah orang itu sesuatu yang tidak sopan.  Tapi di barat memang demikian. Tak ada pelayanan. Sebenarnya anda sendiri yang harus sadar bahwa anda tidak ingin merepotkan tuan rumah bukan? Jadi layanilah dirimu sendiri, tetapi tentu saja masih dalam batas-batas tertentu. Mereka juga ingin agar kita mengatakan secara langsung apa yang kita rasakan atau pikirkan tanpa menutup-nutupinya. Misalnya ketika lapar, katakqan saja anda lapar dan butuh makan. Di Indonesia, sebaliknya, mengatakan sesuatu secara gamblang seperti ini dianggap tidak dewasa dan kurang sopan. Salah satu contoh kasus lagi, dalam sebuah undangan makan-makan di rumah kolega orang barat, sang tuan rumah mengatakan, “Apakah makanannya enak?” Lalu dengan alasan sopan santun, dan ingin menyenangkan hati tuan rumah, kita pun mengatakan,  “Ya, ya, sangat enak.” Padahal mungkin lidah dan perut Indonesia kita mengatakan sebaliknya. Dan karena senang, tuan rumah pun mengatakan, “Kalau begitu, silahkan tambah makanannya.kita pun menambah, dan alhasil perut kita jadi sakit dan mengeluh. Salah sendiri bukan?
  • Dikit-dikit minta maaf
Mengenai budaya minta maaf. Orang barat berpendapat bahwa orang Indonesia terlalu sering mengucapkan maaf. Misalnya pada saat berpamitan, ketika ia harus meninggalkan teman-teman lainnya karena ada keperluan lain, dsb, kita akan mengucapkan maaf, bukan? Ketika makan permen sendirian, tak bisqa membaginya ke teman sebelah karena permennya hanya tinggal satu, lagi-lagi kita meminta maaf. Ketika memotong pembicaraan lawan bicaranya, kita mengucapkan kata maaf lagi. Di barat hal ini tidak berlaku. Mereka justru beranggapan bahwa orang yang terlalu sering meminta maaf adalah orang yang selalu merasa dirinya bersalah dan bahkan dianggap memiliki kepercayaan diri yang buruk. Meminta maaflah pada saat anda merasa berada di pihak salah, agar tidak salah tempat.
Selain itu, orang Indonesia juga sangat penasaran dengan orang lain. Pada umumnya mereka ingin tahu berbagai hal tentang orang yang baru mereka kenal. Misalnya berasal dari mana, sudah menikah atau belum, agamanya apa, umurnya berapa, dsb. Di barat hal-hal tersebut sifatnya sangat privasi. Untuk yang terakhir, menanyakan umur, di antara pria msih lazim, tetapi tidak untuk wanita. Ada kecendrungan bahwa wanita suka menipu umur mereka. Mereka selalu ingin muda dan tidak ingin orang lain tahu bahwa mereka sudah tua. Wanita barat berumur 30 akan mengaku bahwa dia baru 25, yang 40 mengakunya 34,dst. Menanyakan umur seorang wanita di barat dirasakan kurang menghargai estetika wanita, dan mengurangi rasa kepercayaan diri mereka.
  • Memberi tahu sebelum mengadakan kunjungan
Sebelum kita mengadakan kunjungan ke rumah kolega atau siapapun, sebaiknya memberi tahu si tuan rumah terlebih dahulu (misalnya via telepon), lalu membuat janji, baru kita datangi. Sehingga kita datang ke rumahnya pada waktu dan situasi yang tepat karena ia sudah siap. Ketika kita melakukan kunjungan spontan (tanpa pemberitahuan sebelumnya), tentu saja dia akan kaget dan mungkin keberatan. Mungkin saja dia akan mengatakan, “Maaf tapi saya belum bisa menerima kunjunganmu saat ini kerena saya sedang ada janji dengan orang lain.” Budaya ini tidak ada di Tanah Air, karena slogan "Time is Money" di sini hanya berlaku bagi sebagian kecil orang kelas atas.
  • Tertawa tidak pada tempatnya
Di Indonesia humor adalah sesuatu yang sangat penting. Orang Indonesia cenderung lebih menyukai tokoh-tokoh yang humoris dan suka melawak, contohnya Sule, dll. Kita rata-rata terbiasa dengan tawa yang keras dan berkepanjangan. Terkadang kita menertawakan sesuatu yang bahkan tidak lucu.  Selera humor orang barat memang tinggi, tetapi teratawa sepantasnya saja, dan juga jangan lupa tempat dan sikon.

Minggu, 05 Juni 2011




BAHASA KUPANG DI ANTARA PULUHAN BAHASA DAERAH
DI NTT

Nusa tenggara timur adalah propisnis yang kaya akan etnik atau suku. Dengan 550 pulau, 21 kabupaten, puluhan  suku, dan bahasa daerah. Bayangkan saja apa jadinya kalau anda tinggal di sana! Setidaknya anda harus menguasai salah satu bahasa daerah atau salah satu dialek di sana – jika ingin “membumi” dengan masyarakat setempat. Untuk Pulau Flores (terdiri dari kabupaten Flores Timur, Maumere, Sikka, Ende, Manggarai Timur, Manggarai, dan Manggarai Barat), Pulau Alor, Kabupaten Belu, Sumba Barat, dan Sumba Timur, rata-rata penduduknya berbicara dengan bahasa Indonesia meskipun mereka juga berbicara dalam bahasa-bahasa daerah mereka sendiri. Hanya Kupang yang memiliki dialek tersendiri yang digunakan dalam percakapan sehari-hari, meskipun di sana juga ada bahasa daerah (bahasa daerah Timor dan Rote). Mereka tidak berbicara menggunakan “saya” atau “kamu”, tetapi “beta” dan “lu”.
Meskipun Kupang terletak di Pulau Timor, bukan berarti orang Kupang mayoritasnya suku Timor. Kabupaten Kupang, sejak zaman baheula, dihuni oleh 2 suku yang sampai sekarang masih mendominasi yaitu suku Timor dan suku Rote. Sejak dulu suku Timor dan suku Rote memperdebatkan hal ini. Suku Timor mengatakan bahwa merekalah Tuan Tanah di situ, karena namanya saja sudah Pulau Timor, bukankah Pulau Rote sendiri juga sudah ada di selatan NTT sana? Tetapi suku Rote yang keras kepala tak mau kalah. Mereka membantahnya dengan mengatakan, “ TIMOR: Tanah Ini Milik Orang Rote!”
Sebenarnya Kupang itu sendiri, terlepas dari suku Timor dan Rote, tidak benar-benar memiliki  bahasa sendiri, seperti halnya bahasa daerah. Yang Kupang miliki adalah dialek, seperti dialek orang Jakarta, dsb. Dialek Kupang mudah dipelajari karena banyak kesamaan dengan Bahasa Indonesia. Yang menjadi masalah adalah cara penerapannya yang tidak mudah. Bahkan, sesame orang NTT sendiri (yang berasal dari luar Kupang) masih susah menirukan dialek dan logat Kupang.
Satu hal utama yang perlu diketahui sebelum mempelajari dialek Kupang adalah pelafalan vocal e pada setiap kosa kata. Sembilan puluh sembilan persen (99 %) orang Kupang (dan orang NTT pada umumnya) tidak bisa mengucapkan e pepet seperti pada kata “besar”. Rata-rata mereka menggunakan e seperti pada katarekayasa”. Itulah sebabnya, hampir semua vokal e pada setiap kosa kata diubah menjadi a (atau o).
Contoh :
belum →balom atau bolom
Besar → basar
Betul → batul
Bengkak → bangka
Pelan → palan
Perut → parut (sedangkan parut yang di dapur itu juga disebut parut, hanya saja pengucapannya yang beda)
Peluk → palok
Sebentar → sabantar
Terlalu → talalu
Kosa kata inti :
Saya : beta / be
Engkau : lu
Dia : di / dia
Kami : kotong
Kalian : bosong
Mereka : dong
Kakek : ba’i
Cucu : upu /cucu
Bapak : bapa / pak (bapa untu ayah, sedangkan pak misalnya untuk pak guru)
Kekasih perempuan : maitua
Kekasih pria : paitua
Iya / ya : iya / ho (“ho” hanya digunakan untuk sesama umur atau bagi yang lebih muda)
Tidak : sonde / son
Pakaian : pakian
Panggil : pange
Sampai : sampe
Ramai : rame
Tanganku : beta pung tangan / be pu tangan
Pacarku : beta pung pacar / be pu pacar
Memakan sampai habis : makan buang
Memandikan : kasi mandi
Membersihkan : kasi bersih
Merapihkan : kasi rapi
Ani memasakkanku air : Ani masak kasi beta air
Yang sama dengan bahasa Indonesia :
Panas, dingin,  mati, jual, beli, baru, gila, sinting, sesak, jalan, lari, makan, mandi, cium, cuci, datang, kamar, bantal, kain, sepupu, om, tanta, ayam, anjing, daging, sayurnasi,
Uang : uang atau / doi
Suami : suami / laki
Istri : istri / bini
Anggota tubuh (kecuali kepala : kapala—hidung : idung -- perut : parut – pantat : panta)
U biasanya diubah menjadi o
            Jagung : jagong
Kangkung : kangkong
Lumpur : lompor
Tidur : tidor
H biasanya dihilangkan :
Hujan : ujan
Hidung : idung / idong
Habis : abis
Berhenti : brenti
Bodoh : bodo
Bersih : bersi (sering juga diucapkan barisi)
Lumpuh : lumpu
Rumah : ruma
Rapih : rapi
Suruh : suru
Sumpah : sumpa
Huruf k seringkali tidak diucapkan :
            Nenek : nene
Anak : ana
Kakak : kaka
Adik : adi / ade
Hobi menyingkat –nyingkat kata :
Ambil : ame
Saja : sa
Punya : pung / pu
Pergi : pi

SELAMAT BELAJAR BAHASA KUPANG.............PASTI  MENYENANGKAN.... !!


Selasa, 10 Mei 2011

ORANG INDONESIA RAMAH? KATA SIAPA?

Salah satu kebanggaan orang Indonesia adalah budaya keramahtamahannya. Mereka mengklaim bahwa orang Barat atau negara-negara maju di luar negeri sana orang-orangnya individualistis, sampai-sampai dengan tetangganya sendiri – baik yang tinggal di perumahan maupun di apartemen – saling tidak mengenal.
Slogan keramahtamahan ini sudah ada sejak zaman lama di Indonesia , sampai-sampai di setiap memperkenalkan budaya Indonesia, orang Indonesia akan mengatakan, “ Orangnya ramah-ramah dan murah senyum.” Di zaman yang makin maju dan perkembangan teknologi yang makin pesat ini, apakah slogan basi itu masih bernyawa? Apakah benar orang-orang Indonesia masih murah senyum seperti yang dikatakan itu? Ataukah itu sekarang hanya sebuah idealisme belaka – “ Keramahtamahan? Itu duluuu……” Apalagi zaman sekarang, manusia hampir-hampir lebih tertarik dengan benda mati seperti komputer dari pada sesama manusianya sendiri. Juga lebih senang jalan-jalan dan bahkan mencari jodoh di dunia maya daripada di dunia nyatanya. Bandingkan waktu bersosialisasi sehari-hari dengan waktu berhadapan dengan computer dari suat individu! Ini secara pasti merujuk ke individualisme.
Mungkin, mungkiiiiin, keramahtamahan itu masih ada sisa-sisanya di kampung-kampung atau tempat-tempat yang belum terjamah modernisasi. Tetapi di kota-kota dan daerah suburban, ternyata tidak lagi berlaku.
Pernah dalam suatu wawancara dengan turis asing dari Eropa, saya menanyakan (kata “menanyakan” kurang tepat karena sebenarnya secara tidak langsung saya hanya minta dia mengatakan “iya”).
Saya              : “Bagaimana pendapat Anda tentang Indonesia?”
Turis asing   : “Indonesia itu indah dengan cuaca dan jatuhnya hujan yang dramatis.”
Saya              : “Bagaimana dengan penduduknya? Mereka ramah-ramah, bukan?”
Turis asing   : (berpikir beberapa saat sambil mengerutkan keningnya) “Tidak juga!”
Saya              : (toeeeengggg!!!!)

Bagaimana ini? Kita mengklaim diri ramah, tetapi tamu malah tidak merasa bahwa kita ramah…
Ya, ramah bukan berarti melempar senyum ke siapa pun yang kita temui di jalan. Kalau begitu, bisa-bisa kita disangka “agak miring”. Tetapi keramahan bisa kita tunjukkan dari hal-hal kecil, misalnya dalam pelayanan dalam suatu bidang jasa, saat berhadapan dengan klien kita, dengan orang yang tergabung dalam satu atap atau naungan, sampai orang yang membutuhkan bantuan kita – meskipun itu hanya sekedar menanyakan arah jalan.
Terkadang keramahtamahan itu disalahartikan oleh kebanyakan orang Indonesia. Misalnya dalam budaya basa-basi (sepertinya ini satu-satunya budaya Indonesia yang tidak pernah pudar di kalangan mana pun). Pertanyaan seperti “Mau pergi ke mana?” – “Berapa usia Anda?” – “Sudah menikah atau belum?” – “Sudah memiliki berapa anak?”, dsb sering dilontarkan kepada orang lain yang baru dikenal, termasuk para turis asing. Pertanyaan ini mungkin dianggap biasa oleh orang-orang Indonesia, tetapi bagi orang luar negeri, ini justru namanya tidak sopan. Jadinya bukan ramah tamah lagi, malah penasaran dengan hak privasi orang lain.



Senin, 09 Mei 2011

Pulang Ko Kotong Bangun Sama-sama Kupang



Pernah baca novel “Lembata” karangan F. Rahardi? Novel itu bercerita tentang seorang romo (Romo Pedro) yang kembali untuk membangun daerahnya setelah studi S2 nya di Jakarta selesai. Ia merasa iba melihat kesengsaraan dan kemiskinan yang ada di daerah asalnya, NTT. Kebetulan ia diutus untuk menjadi pastor di Lembata, pulau kecil yang dikenal dengan ritual menangkap ikan pausnya dan tanah kelahiran Jenius Bahasa, Goris Keraf—namun masyarakat di sana hidup di bawah kemelaratan.
Meskipun ia akhirnya keluar dari imamatnya (menjadi orang biasa), namun semangat Romo Pedro untuk berkarya justru semakin membara. Dengan kecerdasan dan keluwesannya (bahkan ketampanannya yang luar biasa), ia tak pernah sedikit pun terpikir untuk tinggal dan mencari pekerjaan di Jakarta atau kota besar lainnya. Padahal orang setipe dia bukan levelnya tinggal di NTT, apalagi di Lembata. Sebenarnya dia bisa saja bekerja di mana saja, dengan ijazah S1 Teologi dan S2 Ekonominya, tetapi justru ia jadikan itu sebagai talenta untuk membangun tanah kelahirannya. Yang ia lakukan adalah membudidayakan tanaman anggur dan gandum di Lembata. Alhasil, pendapatan daerah tersebut meningkat karena hasil komersialnya. Penduduk pun jadi lebih terbantu dengan didirikannya koperasi setempat.
Di atas tadi hanya sebuah ilustrasi dari sebuah novel fiktif, namun hikmahnya bisa kita ambil dan terapkan di dunia   nyata. Sebagai mahasiswa, hendaknya mulai dari sekarang kita sadar karena kitalah yang akan menjadi masa depan bangsa ini, khususnya daerah kita berasal (masih ingat aturan otonomi daerah kan?). “ Siapa Anda dan dari mana Anda berasal” hampir selalu memnentukan status Anda untuk mendapatkan tempat dalam suatu “ruangan” atau situasi tertentu. Dalam suatu perkenalan, ketika menyebutkan asal, pernahkah Anda merasa bangga saat menyebutkannya? Ataukah Anda canggung sendiri karena sadar betul bahwa daerah Anda berasal terkenal dengan kekurangan air, busung lapar, korupsi yang subur, rendahnya SDM , dsb? Kita tidak mau kan, hal ini berlanjut sampai 10 tahun mendatang? Kalian juga mau kan, di setiap menyebutkan asal, Anda tersungging senyum bangga bahwa Anda berasal dari NTT. Karena itu, mulailah dari sekarang untuk menumbuhkan kesadaran membangun daerah. Do something! Minimal belajar yang rajin agar universitas Anda tidak merasa sembelit dengan keberadaan Anda. Ukirlah prestasi di bidang tertentu, agar bisa ada sesuatu yang bernilai positif yang bisa dibanggakan.
Bagi teman-teman yang menempuh pendidikan di luar NTT, saran saya, selesai wisuda kembalilah ke kampung halaman kita. Bangun dan baharuilah mereka. Dengan  hal-hal positif yang inovatif yang sudah dipelajari dari tanah rantauan. Tentu kita akan menuai buah yang manis demi masa depan anak cucu kita nanti.

Kamis, 05 Mei 2011

Maniak Cabai Rawit ala Orang Kupang

       Kebiasaan orang Kupang yang satu ini memang jangan diragukan lagi. Sebagai salah satu hasil pertanian utama di pulau Timor, cabai rawit (dalam bahasa Kupang : Kurus) memegang peranan penting. Pada saat musim kemarau tiba, banyak petani yang menanamnya di lahan tanam mereka. Selain nilai jualnya yang tinggi, tetapi orang Kupang sendiri memang begitu gemarnya dengan buah yang satu ini. 
      Begitu banyak jenis makanan khas Kupang yang bisa diramu dengan "si kecil" ini, misalnya lawar, Jagung Bose, singkong rebus (ubi), RW -- bukan RW yang Rukun Warga itu, tetapi RW yang daging anjing itu (di Kupang, RW identik dengan daging anjing, sedangkan di daerah lainnya di NTT, RW bisa juga daging babi).  Bahkan RW itu yang menentukan enak-tidaknya adalah cara si "koki" meracik kadar pedasnya cabai rawitnya. 
      Banyak orang Kupang tergila-gila dengan cabai rawit, sampai-sampai ada semboyan, "lebih baik makan nasi tanpa sayur daripada makan nasi tanpa kurus (cabai rawit)". Soal rasa, jangan ditanya lagi. Semakin pedas, orang Kupang akan semakin suka. Kalau di Jawa, orang membuat sambal dengan menambahkan gula agar rasanya gurih dan tak terlalu menyengat lidah, akan tetapi di Kupang justru sebaliknya-- acara goyang lidah merupakan ritual menarik saat menyantap makanan. Jadi, biasanya remaja Kupang yang berkuliah di luar NTT akan mengeluh soal sambal yang rasanya kok malah manis.
      Hmmm.... apakah karena itu, makanya banyak yang bilang rata-rata wanita Kupang cerewet-cerewet seperti orang kepedasan makan sambal...