Senin, 26 Maret 2012
Angsana di Kampusku
Angsana di
kampusku
Tinggi menjulang
Mendongak ke awan
Angkuh rupawan
Di bumi kampus
unguku
Hujan menghindar
Hijau memudar
Daun dan angin
berkejar
Kini tinggal
matahari berpendar
Jiwa sang angsana
melayang, menari di udara
Lalu pasrah ke
tanah
Ah, hujan,
tinggalah sebentar
Biarlah
nyanyianmu kudengar
Selasa, 20 Maret 2012
Sepucuk Surat Dari Hatiku Untuk Alam
Langit Desember yang
kelabu ini seharusnya menjatuhkan titik-titik air yang disebut hujan. Itu lebih
baik dibandingkan harus menahannya menjadi mendung dengan awan gelap yang
beronggok-onggok. Hal itu hanya akan menambah hawa panas di bumi saja. Padahal
aku sangat menunggu hujan, bahkan lebih dari sekedar menanti, aku
mengharapkannya dan mendambakannya supaya aku bisa menulis di jendela kaca
kamarku. Dan ketika suaranya yang deras memisahkan aku dari keramaian dunia,
aku akan membangun duniaku sendiri di bawah selimut dan di atas bantal. Dan tak
akan ada seorang pun yang menemukanku. Seperti Ariel yang terdiam di balik
hujan dan Billie Joe yang percaya bahwa hujan turun dari bintang.
Dan seperti setiap kali
hujan turun, aku akan mendengarkan musiknya—musik yang dimainkan oleh
tetes-tetesannya di atas tanah dan di atas atap. Aku pun akan merasa tentram
karena semua itu mengantarkanku ke masa-masa dari kisah hidupku yang berisikan
hal-hal yang indah-indah saja. Aku akan teringat masa kecilku, ketika aku
berjalan setengah melompat di atas aspal dengan kaki telanjang dan aspal itu
sangat hangat terasa di kulit telapak kakiku. Aku juga tak akan pernah
melupakan itu, bahwa bagaimana hujan membawa kembali kehidupan lewat benih apa
pun yang jatuh ke tanah dan menjadikannya tunas yang hijaunya membuat aku
merasa disambut hangat. Pohon-pohon menjenjangkan rantingnya ke mana-mana,
seolah ingin leluasa menari bersama hujan, serta rerumputan yang menjalari
tanah dan menjulangkan daun-daunnya, seakan ingin berpesta dengan hujan.
Ah, hujan, begitu
banyak yang bisa kuceritakan tentang kehadiranmu. Dan ketika aku berjalan di
dalam hujan, perasaanku terbebas dari kepenatan, berubah menjadi lapang dan
senang. Itulah salah satu ciri Desember dalam sepanjang ingatanku. Dan itulah
mengapa aku begitu mencintai natal—aku tak bisa membayangkan natal jatuh pada
musim-musim kemarau. Aku sangat berterima kasih pada Julius Caesar atau siapa
saja yang telah menetapkan penanggalan Masehi dan natal.
Tetapi apa gerangan
yang terjadi dengan Desemberku kali ini? Apa alam sedang bicara dalam bahasanya
sendiri? Payungku masih rapi di sudut kamar, berdebu.
Ah, hujan, turunlah.
Aku harus melepaskan semua beban, kekecewaan, putus asa, kegelisahan,
kerinduan, kemarahan, kelemahan, patah hati dan kesepian di akhir tahun ini.
Aku membutuhkanmu untuk membasahi ladang hatiku yang gersang dan kosong, agar
setidaknya ada bunga dan rerumputan liar yang tumbuh di sana. Aku tak akan
pernah siap menyambut tahun yang baru sebelum kehadiranmu karena aku percaya
air mata bisa membersihkan jiwa. Dan engkau matahari, tahanlah dulu sinarmu
sampai pagi pertama di tahun yang akan datang.
Senin, 19 Maret 2012
Mata Kuliah DSV Tuh Sesuatu Banget Deh
Semua ini
berawal dari mata kuliah Deutsch für speziellle Verwendung (DSV). Namun jauh
sebelumnya, memang ada benih-benih cinta budaya dalam diriku (kwkwkwkwkwkk)
yang berasal dari kebiasaan merantau (merantau...kosakata
angkatan berapa itu?).
Jadi ceritanya
tuh, aku selalu terjebak dalam suatu lingkungan, di mana di sana aku menjadi
asing, berbeda, baru, bahkan minor. Itulah yang memberiku jarak (Herr Uki, aku
ingat banget konsep V-Effekt: distanziert werden um betrachten zu kӧnnen.)
untuk bisa mengamati yang akhirnya membuatku menemukan adanya perbedaan. Dari
perbedaaan itu aku belajar menghargai, mengapresiasi, dan membenahi diri (ehem ehem...bahasa mahasiswanya keluar deh).
Dan sekaligus sadar : wah, kaya banget
Indonesia tuh!!!
Setelah tugas
demi tugas yang kami hadapi dalam mata kuliah DSV I dan DSV II (kami nggak capek kok, Pak...), mataku
terbuka dan mulai menyadari betapa kayanya alam Indonesia sekaligus betapa
rendahnya SDM nya (riskan). Dari dulu
aku memang sudah mengetahui ini (ditambah
lagi dengan ‘kampanye’ di buku sejarah dan PPKN di bangku sekolah) tapi
tingkat kesadaranku baru benar-benar ada sekarang. Setelah aku bertemu
teman-temanku dari berbagai asal peradaban, kami sering sharing tentang potensi-potensi
dan aset apa saja yang ada di daerah masing-masing. Kami sampai sulit
menginventariskannya saking banyak dan beragam jenis, misalnya potensi wisata
alam, bahari, budaya, pendidikan, kuliner, dsb. Aku hanya sebut yang
terkenal-terkenal saja ya, misalnya di Bali (ada sekitar satu juta artikel yang
ditulis tentang Bali di mesin pencari, so
alles klar.), di Lombok: pantai Senggingi, di Kalimantan ada kabupaten
Berau yang mulai mengekspos wisata baharinya yang terdiri dari Pulau Derawan,
Pulau Maratua, dan Pulau Kakaban , belum lagi Papua tak mau ketingalan dengan
Rajaampat-nya. Catatan: laut di Berau dan Rajaampat adalah surganya diving
kelas dunia!! Supaya tidak rasis, ini daerah asalku aku sebutkan paling
belakangan : Pulau Komodo (saat ini hewan komodo telah diakui sebagai 7
keajaiban dunia) dan Danau Kelimutu (tiga danau bersampingan yang memilki warna
yang berbeda-beda) di Flores.
Biar tulisanku
ini ada konfliknya (biar kaya dalam mata
kuliah Literatur : dalam Epik dan Drama harus ada konflik sebagai garam),
aku mau menyorot bahwa sayang sekali aset-aset pariwisata di Indonesia itu
banyak yang dikelola oleh orang asing. Aku tahu banget tuh siasat mereka (meskipun belum pernah mengalami) :
mereka menikahi penduduk pribumi untuk mendapatkan hak-hak layaknya WNI. Abisnya,
orang kita juga takut sih untuk berinvestasi (nah, kalo masuk kosakata ini, aku agak gelap, jadi kita batasi saja ya).
Temanku pernah bilang (lagi-lagi saat
kami sedang mengerjakan tugas DSV II) : Jangan
takut mengeluarkan uang dalam jumlah besar hari ini untuk hasil yang
akan kita terima 20 tahun yang akan datang.
Terus terang,
aku belum pernah mengunjungi semua tempat yang kusebutkan di atas tadi. Ke Bali
dan Lombok belum pernah, ke Kalimantan terlalu jauh, ke Papua apalagi!! Bahkan
aku yang pernah tinggal di Flores selama 3 tahun saja belum pernah ke Pulau
Komodo atau mengunjungi Danau Kelimutu (yang
sampai sekarang masih kusesalkan, kok aku cinta kasur banget yah?).
Doa-doakan saja kuliahku cepat selesai sehingga aku bisa ke semua tempat itu (selamat datang mimpi!!!) dan
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi pengetahuanku.
Masih bicara
tentang potensi wisata daerah asal. Sayangnya lagi, ada satu konflik (baca : masalah) lagi. Kalau kalian tanya
kenapa anak muda kurang terpikirkan untuk menghargai dan mengembangkan potensi wisata daerah asalnya,
aku tahu banget jawabannya (ijinkan aku
berteori.,..hehehe). Kalau seseorang tak pernah keluar dari daerahnya (baca : tempurung), ia akan merasa
dunianya hanya di sini. Dia akan berkata, “Ah,
Parangtritis doang, tiap hari juga aku ke sana.” atau “Males banget denger lagu tradisional, tiap hari juga mbahku nyanyinya
itu.” Atau “Memang tarian caci itu
hanya ada di Flores, trus kenapa? Mau diapain kalo faktanya begitu?”
Nah, inilah
gejala kurang apresiatif itu tadi. Sampai suatu hari nanti ketika ia keluar
dari daerahnya, bertemu dengan hal-hal positif di tempat baru yang bisa
menstimulusnya, ia baru akan memiliki perasaan posesif terhadap daerah asalnya
itu dan akhirnya menyadari kurangnya apresiasi dan kontribusi dia selama ini terhadap
potensi pariwisatanya.
Selesai teori,
sekarang praktekin yuk!
Merantau untuk
belajar banyak hal dari perbedaan itu memang bagus, tapi juga tak perlu
repot-repot keluar daerah dulu baru sadar kalo daerah sendiri juga punya
potensi yang butuh perhatian kita untuk diapresiasi, dijaga, dan dikembangkan.
Sippp? Start from here, now!
Oya, aku punya
mimpi. Impianku itu adalah memberikan kontribusi yang nyata untuk pariwisata di
daerah asalku. Juga, mengadakan perjalanan wisata antarpulau, bahkan
antarbenua!!! (Diaminin dong... Danke..)
Langganan:
Postingan (Atom)