Lebih
dari sepuluh tahun yang lalu saya dibuat jatuh cinta oleh ring tone hape senter (baca: hape monokrom) saya. Judulnya Liszt,
yang pada akhirnya saya tahu itu bukanlah nama lagu tersebut, melainkan nama
sang komponis. Namanya juga ring tone,
kontennya sangat terbatas, tidak ada satu menit, namun sepenggal dentangan
melodi piano yang terentang dalam ruang 30 detik itu sudah sanggup menyulap
perasaan saya. Merepetisi berhari-hari saya mendengarkan segmen itu dan saya
ingat betul betapa nyaman dan damai hati saya setiap kali saya dengar (jaman itu internet apalagi Spotify belum
diimpor ke desa). Ya, saya tidak hanya emosional dan musikalis tetapi juga
melankolis.
Adalah
Franz Liszt, seorang virtuoso piano yang sangat terkenal, berkebangsaan
Hungaria, yang dengan mantranya berjudul Liebestraum
(Love dream) telah merebut hati saya. Seperti judul lagu yang melegenda
ini, begitulah perasaan saya ketika berada di Budapest. Keindahannya yang charmant dan karismatis membuat orang
merasa seolah-olah mundur ke satu dua abad sebelum sekarang. Mulai dari gedung
Opera yang megah, Cita Della yang bertahta anggun sebagai balkonnya kota
Budapest, sampai sungai Danube yang membelah Buda di bukit barat yang terjal dan Pest yang terhampar
di dataran timur. Kedua kota itu akhirnya bersatu pada tahun 1873.
Eropa
memang benua dengan catatan sejarah terbanyak, bergolak ke sana ke mari hingga
tahta dan mahkota berpindah kuasa, hingga teritori-teritori berganti nama,
hingga batas-batas geografi bergeser, hingga gedung-gedung kokoh, kolosal nian
menawan dari Epoche ke Epoche berikutnya runtuh lalu dibangun
kembali… Eropa punya banyak cerita when
it comes to games of thrones.
Hanya tidur di pemakaman yang tidak
bisa!
Teman
saya, Desty, membookingkan pesawat untuk saya. Murah meriah, kalau tidak mana
saya mau terbang (Rekor terlama saya
berjalan darat tanpa singgah adalah 12 jam 45 menit! Saya masih hidup!!).
Sayangnya harus lewat Berlin, sementara saya hidup 4 jam perjalanan mobil dari
sana. Kamis, sepulang kerja jam 8 malam saya menumpang Car Sharing yang
mempersatukan saya dengan seorang Polandia dalam sebuah gubuk beroda empat. Dia
tidak berbicara bahasa-bahasa yang saya bicarakan dan itu bagus, sehingga tidak
terasa aneh kalau-kalau keheningan tercipta di antara kami. Saya lelah sudah
bekerja seharian, jika ada sesuatu yang saya butuhkan sekarang, itu adalah
istirahat di dalam mobil—kalau saya sanggup jatuh tertidur, itu sudah anugerah banget! Pesawat saya terbang besok pagi
jam 6! Saya tidak memiliki akomodasi sehingga saya harus tidur di sofa di
bandara. Terkadang saya berfantasi tentang tempat-tempat potensial mana lagi
yang bisa saya tiduri; taman nasional di Afrika di tengah-tengah suaka singa,
di tepi rawa buaya? Maybe? Hanya di taman
pemakaman ogah!
Solo trip= Bebas kompromi, tanpa diskusi
Menjadi
sesorang yang „datang dari dunia antah berantah“ itu menarik. Di mata mereka
saya adalah orang asing: mereka tidak tahu siapa saya, saya datang dari mana,
apa sejarah hidup saya, apa masa lalu saya, apa luka-luka saya, apa yang saya
kerjakan, apa kebiasaan aneh saya, apa tujuan hidup saya, dst. Singkat kata
masih perawan dari Judgement.
Saat
solo trip, cerita dibelokkan pada tikungan yang harus kamu lalui seorang diri! Ironi pribadi saya telah berubah menjadi humor
pribadi. Jadi begini, saya itu manusia yang ingin terdengar, tapi bicara
lantang ogah. Saya ingin diajak bicara tapi membuka percakapan sungkan. Saya
ingin memiliki banyak teman, tetapi saya menemukan kenyamanan di sudut ruangan,
saat orang-orang asik ngobrol dan lupa memperhatikan. Saya ingin dihargai,
tetapi saya lagi dan lagi menoleransi orang-orang yang paksa masuk ke teritori
saya hanya untuk membongkar-bangkir batas kesabaran saya. Saya ingin konsekuen!
Saya ingin menjadi determined,
menjadi pemain, saya bosan menonton dari balik kaca jendela dan berkomentar. Saya
ingin terjun! Meskipun ke air dingin. Solo
Trip memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang suka tantangan, karena mereka
beranggapan zona nyaman hanya memberi cukup ruang bagi kreatifitas pake batas.
Private Party
Jadi
pada malam itu, Tommy, mengajak saya ke sebuah pesta ulang tahun temannya. Saya
senang akhirnya dipertemukan dengan warga lokal. Malam itu lumayan dingin, kami
menelusuri jalan-jalan sempit dan gelap untuk „jatuh“ ke dalam lubang bawah
tanah itu. Sebuah bar. Kami menuruni tangga dan hangatnya menyapa dalam
wajah-wajah berseri yang segera Tommy peluk sambil menyerahkan kado ke dua
perempuan kembar yang usianya tidak jauh beda dari kami. Bar unik itu ada di
bawah tanah. Tekstur dindingnya yang tidak rata dan atapnya yang rendah, yang
juga terbuat dari batu membuat saya merasa hangat-hangat nyaman. Kami dibawa
masuk ke ruangan sebelah, ternyata bar itu memiliki bilik lain, yang komplet
tertutup, kerapatannya hanya bisa dibuka oleh sebuah pintu. Pada daun pintu
tergantung tulisan „Private Party“. Now the story begins…
Sebelumnya
saya sudah diwanti-wanti oleh Tommy bahwa Duo Birthdaygirls menyewa tempat di sebuah bar. Tapi saya pahamnya,
mereka menyewa sebuah meja besar di sudut ruangan sebuah bar. Ternyata mereka
menyewa seluruh bar!
Di
dalam bilik itu, yang tidak benar-benar bisa disebut bilik juga karena lumayan
besar untuk berdansa dan lumayan panjang untuk menaruh DJ Set di sebuah kutub
dan 2 meja Kicker di kutub lainnya.
Dan di antaranya ada dua meja panjang. Dan yang lebih kerennya lagi, meja-meja kicker itu ditutupi selembar kaca selebar
lapangan mainnya, sehingga kamu bisa menaruh bir di atasnya selagi asik menjaga
pertahanan atau menjebol gawang lawan.
Ada
sekitar 19 orang berkebangsaan Hungaria dan satu orang Indonesia di dalam sana,
karena sang Duo Birthdaygirls membawa
„gang“ mereka masing-masing. Musik membawa suasana yang sangat positif dan
percakapan beralih dari meja panjang itu menuju meja kicker. Bir di tangan. Kami saling berkenalan di antara nada-nada
pop nostalgia dari era 90an. Britney Spears sedang beradu dengan Polyphonie saat kami saling mempertemukan
gelas-gelas bir di udara. Cherry Beer is
a dancer!!
Kembali
ke meja panjang—setelah lelah menyerang dan menjaga gawang di meja Kicker—mempertemukan saya dengan seorang
gadis berambut gelap tebal panjang ikal dan mempesona (terimakasih untuk darah Italianya)
dalam perbincangan seputar duo tripnya di Jepang bersama Tommy. Bahasa Inggrisnya
yang perfek tanpa dialek membuat saya terkagum-kagum dan terpingkal-pingkal
karena dia mengeluhkan betapa tidak asiknya nge-trip
sama Tommy dengan gaya ala manga namun dikemas dalam sinisme dan sarkasme yang
sangat Amerika. Menurut dia Tommy itu harap gampang… saya melihat komen dia tentang
Host Couchsurfing saya itu sebagai joke.
Seperti
yang sudah saya tulis di blog, awal musim panas itu saya sudah solo trip ke Praha—
dan saya sangat tidak heran bagaimana saya jatuhnya candu bukan kapok. Saya candu
akan mengembangkan batas-batas diri—batas-batas ilusional yang menjebak kita
pakai kedok selimut zona nyaman. Solo trip membantu saya membuktikan saya bisa
jadi siapa saja yang saya mau, kalau saya mau!
Saat kue
ulang tahun yang bermuatan seton gula sudah dibagi-bagikan, diteguk pakai bir yang
ke sekian dan musik menjadi pening dengarnya, Kicker sudah dimainkan sampai receh terakhir dipertaruhkan, puntung
rokok nyaris terakhir terhisap, semua ambruk ke kursi di meja panjang dengan
wajah lelah. Sejauh ini hanya si gadis manga berambut ikal mempesona yang
berbicara dengan saya dalam kalimat-kalimat panjang—saya hampir yakin dia
satu-satunya yang berbicara Bahasa Inggris dengan mapan. Lalu seorang pria
temannya Tommy menghampiri kursi kami. Tidak berapa lama kami terlibat
pembicaraan asik, saya kembali bersemangat dan mencetuskan permainan klasik Truth or Dare. The story began for the second time! Meja kembali ramai, yang lain ikutan
main. Dan saya tersenyum dalam hati karena berhasil membangkitkan yang hampir „mati“
dan ini sama sekali bukan diri saya yang biasanya saya kenal. Saya berhasil
jadi saya yang saya mau. (Does the
sentence make sense?)
At that game people said stuffs they would
have regretted the next morning but no one cared because no one would remember
anything tommorow— It was the funniest night of my 2018! Saya dedikasikan ucapan terimakasih saya yang tulus
kepada kebaikan hati Tommy yang meng-host
saya selama dua malam. He ist the best
Host in Budapest yang mengajarkan saya trik membawa vodka ke dalam bar
secara legal alias tanpa seorang pun tahu. The
funniest and dearest man I have ever met 😊 I was lucky to get to know him.
Sudah Tanam Harus Panen, dong!
Solo Trip memang patut dicoba, setidaknya
sekali seumur hidup—sejenis sebuah investasi mental. Berikut adalah
pembelajaran yang sangat personalized yang
saya dapatkan sejauh ini.Sudah Tanam Harus Panen, dong!
1.
Tiba-tiba
harus jadi menejer dan sekretaris untuk diri sendiri. Semua tetek bengek
logistk: saya yang bertanggung jawab atas tiketnya, bookingnya, keterlambatan
ke halte bis, kalau saya melakukan kesalahan atau keteledoran, saya adalah
satu-satunya untuk disalahkan.
2.
Saya
bisa menikmati seniman jalanan selama apa pun saya mau.
3.
Saya
belajar bahwa hal-hal indah di dunia ini tidak harus diperoleh melalui
pertukaran uang.
4. Belajar survive: tak-tik siap siaga berkonfrontasi dengan hal-hal spontan.
Saya belajar memecahkan masalah seorang diri. Di tepi keberhasilanmu, ada rasa
puas dan percaya diri yang baru dan
positif. Boro-boro kasihan diri sendiri, kamu layak dapat applaus!!
5. Traveling dengan teman/partner, ada
kecendrungan untuk malah bertahan dalam kubu itu. Justru karena kita sendiri,
mempermudah kontak dengan manusia baru: saya belajar untuk membuka diri secara
positif tapi tetap mempertahankan respek satu sama lain. Terlebih bagi yang
suka ber-Couchsurfing ria, yang Host nya adalah lawan jenis, saya selalu
jaga sikap sedemikian supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
6. Kebebasan memutuskan hari ini ke
mana, apa yang akan saya lakukan, telah membuat saya jadi lebih tahu dan yakin
tentang apa dan bagaimana yang saya mau. Bukan itu saja: karena saya sendiri,
saya jadi tidak peduli pada penampilan, karena saya tidak harus meng-adjust dengan si Princess atau Prince di sebelah.
7. Saya semakin yakin, dengan tema dan
topik mana dalam percakapan yang saya suka, begitu juga dengan lawan bicara
mana yang membuat waktu saya berkualitas. Saya semakin yakin bahwa saya tidak
suka kalau waktu saya dibuat basi oleh percakapan small talk, kan kalau begitu saya tidak perlu keluar negeri!
8. Ransel saya semakin ringan, dibandingkan
dengan Solo Trip pertama! Saya belajar survive
dengan hanya satu jaket, satu celana panjang jins, dan tiga biji baju.
9.
Kamu
mempersepsi dunia dari sudut yang berbeda dan orisinil, jika kamu traveling
seorang diri, karena kamu bisa fokus dan terlepas dari pendapat orang lain.
10. Saya belajar untuk menguasai rasa
takut. Contohnya takut tersesat: saya siasati dengan bertanya sekeliling. Saya
takut terhadap host saya yang
laki-laki: saya ajak dia ngobrol untuk membuat dia sadar bahwa saya hanya ingin
berteman. Sebenarnya rasa takut ada disebabkan karena kita kurang persiapan,
kurang siasat dan kurang kreatif saja sih.
Selamat ber Solo Trip Ria 😊
I am wishing you much much good luck and sunshine 😊