Jumat, 29 November 2019

Sendiri di Luar Negeri: Kok Betah?

Hampir lima tahun Saya tinggal di negeri dongeng, negerinya Grimm Bersaudara. Banyak yang bertanya, apakah Saya akan pulang ke Tanah Air, ada pula yang bertanya apakah Saya akan menetap di sini. Dua pertanyaaan yang berbeda ini selalu Saya jawab berbeda pula dari waktu ke waktu. Kadang Saya bilang A, besok Saya bilang B. Lusa lain lagi. Ini membuktikan bahwa Saya sendiri masih dalam pencarian dan Saya tidak berniat untuk mengikrarkan apa-apa. Bukan berarti Saya sendiri tidak memikirkan hal itu, justru karena Saya terlalu banyak menimbang. Menanyakan pendapat teman-temann terdekat, mereka lebih berat ke arah, "Sudah, di sana aja, Mon, kan udah enak!" Mereka memang benar, Saya mendapat banyak privileg di sini, yang Saya tidak dapatkan di tempat lain. 

Kemewahan Yang Semu
Jarak yang terpisah laut dan benua membuat kita hanya melihat "perkembangan" sesama teman lewat unduhan mereka di media online. Terlihat Foto wisuda master lah, video pesta pernikahan lah, liburan ke pulau-pulau terpencil lah…. Tentu saja momen-momen bahagia itu ingin orang rekam dan bagi dengan sesama, lewat bantuan media online tadi. But that´s not all their life is about.          
Pengalaman saya adalah ketika Saya posting foto-foto liburan di luar negeri dan teman-teman Saya turut bahagia dengan kebahagiaan Saya, yang mana sangat Saya apresiasi, banyak mulai membangun opini "Enak ya!"  Saya mau jawab, kalau boleh, "Iya, enak pas liburnya saja…. Yang hanya dijatah 20 hari kerja dalam kurun setahun." Artinya 337 hari sisanya adalah rodi. 

Harus Ada Yang Dikorbankan
Kalau saya menghitung hal-hal yang tidak ada di sini, tapi ada di Tanah Air, nanti Saya dituduh tidak tahu bersyukur. Tapi supaya teman-teman yang belum pernah berdomisili di luar negeri dapat sedikit gambaran, Saya boleh lah cerita sedikit. 
Saya tidak seberuntung orang lain yang sering berkesempatan menghadiri setiap acara keluarga. Ada berapa banyak kelahiran bayi, sambut baru, pernikahan, wisuda, kematian, makan malam keluarga, natal bersama keluarga, nongkrong dengan teman, reuni sekolah yang Saya lewatkan? Puluhan! Sebagai gantinya Saya ada di benua lain, bekerja dan bekerja sampai tiba masa emas 20 hari itu… untuk dilewatkan supaya bekerja lagi hingga 337 hari tadi lunas.

Sendiri Di Luar Negeri
Saya masih ingat decak kagum beberapa warga Jerman saat mendengar cerita eksistensi Saya di sini. Karena mereka sendiri tidak bisa membayangkan tinggal dan bekerja di negeri lain, dengan budaya dan  iklim beda drastis dari yang mereka sudah selalu kenal seumur hidup. Sudah begitu, bicara bahasa lokal lagi. Ini selalu Saya simpan di ingatan sebagai motivasi untuk menghargai hasil perjuangan diri sendiri yang mana sering kita lupa sebagai manusia.
Sebenarnya hidup tanpa keluarga di luar negeri itu seni sekali, Saya jadi belajar tentang banyak hal.  Sebagai contoh, kalau kita hidup di tempat asal kita, kita tidak perlu repot-repot cari teman dan menjalin hubungan yang konstruktif. Teman itu ada saja dengan sendirinya, Hashtag primordialisme. Contohnya tetangga, teman sekolah, teman kampus, kolega kerja, teman segereja, dst. Sebagai bandingan, di Jerman, hanya karena kita duduk berdampingan di sebuah meja di sekolah bukan berarti kita berkenalan apalagi berteman. Karena kedua kepala ini belum tentu mengenal dan mempercayai hal-hal yang sama atau nilai-nilai yang serupa, apalagi memiliki opini dan pandangan yang relevan terhadap tema-tema tertentu.  Inilah yang membuat Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk mempelajari bab yang ini lewat keterasingan Saya di negeri Antah Barantah ini. 

Cari yang Sesama
Awal tahun 80-an kedua orang tua Saya memantapkan fondasi keluarga mereka di Pulau Timor. Keduanya berasal dari Pulau Flores, sebuah pulau dengan populasi umat katolik terbanyak. "Terdampar" di Timor di mana hanya ada satu gereja Katolik kecil di setiap radius… idk. Intinya sangat sangat minor. Saya masih ingat, hanya ada 3 murid katolik dalam sebuah kelas berisi 36 siswa. Bisakah kalian bayangkan pas pelajaran agama hanya  ada empat kepala dalam ruangan? Kelas-kelas di sekolah dasar belum pernah seintim itu. Rasanya cukup asing bagi anak usia SD jaman 90an masa itu. Tahun 2001, saat kecamuk politik di Timor Leste, kami kedatangan satu "teman" baru dari TimTim yang orang tuanya pro NKRI. Terimakasih Habibie, kami pun akhirnya berempat! 
Yang ingin Saya ceritakan adalah bahwa kelompok minoritas tadi yang mayoritasnya berasal dari Manggarai (Flores) ini mulai membentuk sebuah kelompok arisan. Asal sama, Bahasa sama, agama sama, bentuk fisik sama (you know, we are made in Manggarai kalau kamu melihat betis-betis besar kami yang sangat beda jauh dari betis tipis ala orang Timor). Singkat cerita, sebagai anak kecil Saya merasa menjalani dua dunia yang berbeda. Di satu sisi Saya orang Timor, tali pusar saya dikuburkan di Tanah Timor, tetapi Saya dididik dan dibesarkan dengan cara Manggarai. Dua dunia yang cukup berbeda untuk skala lokal kita. Bagi seorang anak kecil itu cukup membingungkan.
Belajar dari pengalaman itu, Saya selalu mengijinkan diri untuk bergaul akrab dan bertata krama dengan warga lokal. Di mana pun Saya berada. Bahkan ketika Saya libur ke luar negeri, Saya selalu belajar bahasa standar lokal, untuk kontak yang lebih dekat dengan warga setempat, dan juga sebagai apresiasi budaya lokal. Karena Saya tidak ingin menjalani dunia A dan B bersamaan. Di mana kaki berpijak, di sana langit dijunjung. Saya tidak bisa mengharapkan orang Jerman selalu tersenyum ramah ala orang Timur, atau ketawa lepas ala orang NTT. Saya harus mengembik kalau masuk kandang kambing, meringkik di kandang kuda dst.

Kacang Lupa Kulit?
Ini tema yang belakangan ini suka Saya perdalam dengan beberapa teman. Komunikasi jadi jarang. Itu salah satu harga yang tertera di rekening rantauan Saya ini yang Saya harus bayar. Selain harga bahwa saya tidak bisa menikmati sinar matahari sepanjang tahun, tidak bisa makan Nasi Padang, tidak menghadiri acara keluarga, dst…. 
Setiap hari Saya bangun jam 6 dan mulai kerja jam 8 pagi sampai 19.00. Keluarga dan sahabat-kerabat Saya terletak di zona +7 jam, artinya mereka sudah tidur ketika Saya puang kerja. Secara saya bekerja dari Senin sampai Minggu, balik ke Senin lagi, kami putus komunikasi.
Beberapa teman mencoba merawat the good old times kami lewat berkomentar di Instagram Saya, yang saya balas berhari-hari kemudian. Pesan-pesan menumpuk di WhatsApp, Saya balas seada waktunya saja, dan karena pesan itu tiba di jam-jam saat mereka di zona seberang masih tidur, tentu saja mereka tidak langsung membalasnya. Tersendat-sendat gitu komunikasinya. Dan ini pun salah satu konsekuensi dari tinggal di luar negeri. Dan kalau kelian tertarik tanya, rasanya tidak enak. Saya lebih fokus ke efektivitas dan efisensi. Artinya Saya tidak suka Chat ala:
"Hai, Mon..." Begitu saja. Tidak ada lanjutannya.
Atau, "Hallo kaka Mona, apa kabar…?" Titik.
Karena saya akan jawab besoknya.
Baru lusa datang pesan berikutnya,
"Saya juga baik-baik saja."
Pada hari ke tiga ke dua belah pihak sama-sama menyerah dan vonisnya: Mona kacang yang lupa kulitnya.
Seorang sahabat Saya orang Indonesia yang sedang sekolah di Munich punya trik: teman-teman yang dia jarang temui dalam kehidupan sehari-hari dia per-pos-kann saja. Artinya dia tidak buang waktu untuk Chat ala remaja lagi, melainkan dia mulai bertukar surat. Dengan demikian dia bisa becerita panjang dan dalam kali lebar.
Mengatasi pembuangan waktu untuk chatting berjam-jam, teman kerja Saya, Sonita, punya tips yang sangat bagus: dia mengdeinstalasi WhatsApp dari Smartphone nya. "Saya tinggal telpon kalau Saya mau ngobrol."
Sonita memang benar, banyak orang kehilangan berjam-jam waktu mereka dalam sehari hanya dengan mengotak-atik WhatsApp, padahal obrolannya sebatas di permukaan saja, "Apa kabar?" Yang mana pastinya dijawab, "Baik, kau?"Sama seperti di kolom komentar di Instagram, kita tidak bisa memulai BigTalk di sana. Sebatas fasad, sebatas permukaan, sebatas basa-basi… Domisili Saya yang sangat terasing tidak mengijinkan Saya untuk terlalu lama berbasa-basi. Jika kangen, Saya tulis kartu pos, atau telpon atau Video call, itu lebih silahturahmi daripada harus me-like setiap postingan teman-teman saya.
"Sejak saya menghapus Facebook dan Instagram Saya, Saya jadi tahu siapa di antara teman-teman saya yang benar-benar peduli terhadap Saya. Saya tahu, mereka hafal hari ulang tahun Saya, karena tidak ada media online mengingatkan mereka tentang itu. Dan Saya sangat apresiasi itu," tambah Sonita lagi. Dan lagi-lagi dia benar.


Oke deh teman-teman, cukup senam jari hari ini. See you, love you :)