Sampai dua
tahun yang lalu belum ada yang mengatakan kepada saya kalau saya bertubuh
pendek. Kecil sudah, mungil sudah, imut sudah, pendek? Baru ketika saya tinggal
di Jerman! Di Jerman ini semuanya diciptakan besar-besar. Rumahnya besar-besar,
atapnya tinggi-tinggi, meja dapurnya tinggi-tinggi, lemari/rak mencapai atap,
cerminnya tertempel tinggi di dinding, sampai kita benar-benar sadar: kita ini
pendek sekali!
Secara orang
Eropa rata-rata memang lebih tinggi dari orang Asia, orang Jerman apalagi! Yang
saya maksud di sini adalah Jerman di mana saya tinggal: Hamburg. Ada sebuah
mitos orang sini yang mengatakan, “Semakin ke utara, semakin tinggi-tinggi manusianya.
Sebaliknya semakin ke selatan (ke arah Jerman bawah, Italia, Prancis, dst)
tinggi badan manusianya semakin rendah.” Mitos ini sebenarnya tidak 100 % benar
juga karena toh ada tuh orang Hamburg
yang lebih pendek dari orang MΓΌnchen! Tapi memang saya akui, menemui
pria/wanita dengan tinggi badan 185 cm ke atas di jalanan Hamburg ini memang
sudah bukan hal yang eye catching. Sejarah ziarahnya suku bangsa
Viking (Skandinavia) ratusan tahun lalu ke si kota pelabuhan memang memainkan
peran besar dalam evolusi tubuh manusia di Hamburg dan sekitarannya.
Di Kleine Mona (Si Mona Kecil/Pendek) : Nama panggilan = labelisasi
Sebagai
orang Asia yang juga lahir besar di Asia, saya tentu tidak pernah merasa wajib
gelisah dalam mempertanyakan tinggi badan saya: toh hampir seluruh suku bangsa
saya tingginya seperti saya. Domisili saya di Jerman mengubah persepsi saya
terhadap tubuh saya. Saya tadinya lumayan terganggu jika semua meja yang ada di
mana pun tingginya melelahkan bahu kanan kiri saya. Namun kesadaran akan
kecilnya tubuh saya ini masih terbilang normal, karena saya belum merasa ada
yang kurang, atau bahkan ada yang salah dengan tumbuh kembang tubuh saya (yang
mana sejak 8 tahun yang lalu sudah tidak saya pertanyakan lagi!). Sampai suatu
ketika saya menyadari sesuatu: orang-orang di sekitar saya sering memanggil
saya “Die kleine Mona” yang artinya “Si
Mona Kecil/Pendek”. Kadang ada variasinya, seperti, “Na, da ist die kleine!” (Nah, itu dia si Kecil/Pendek!). Seruan ini
saya dengar se-ti-ap hari. Baik oleh ‘orang-orang rumah’ maupun kolega kerja
saya (Mendapati orang pendek di Jerman itu memang eye catching banget!). Saya akhirnya merasa seperti ditepuk di bahu,
“Eh, Mona, kau itu kecil.” Coba bayangkan kalau kau dibilang kecil/pendek
terus-menerus, lama-kelamaan kau jadi yakin bahwa kau memang kecil/pendek. Coba
ini saya bandingkan seorang gadis yang tembem kalau sejak kecil dikasi nama
panggilan “Eh Ndut!” dan setiap hari harus berkali-kali mendengar dirinya
dipanggil dengan nama si Gendut, maka sampai kapan pun dia akan merasa dirinya
gendut. Jika di Asia orang paling takut jadi gendut, di Jerman orang paling
takut jadi kecil, dalam artian pendek. Dan yang saya pertanyakan, kenapa yah,
nama panggilan itu selalu dicari dari kekurangan fisik seseorang. Coba lihat,
mana ada cewek cantik sejak kecil dipanggil teman-teman sebangku sekolah
dasarnya, “Eh cantik!”. Yang ada diamati dulu kelemahannya sampai ketemu.
Tiba-tiba, “Eh Tukang Contek!”
Napoleon Bonaparte, Kaisar Mungil
yang Menaklukan Eropa
Suatu ketika
saya terlibat obrolan dengan seorang Jerman bertubuh 190 cm. Kami mengobrolkan seorang
pria kecil yang mana tidak lain adalah mantan bapak kos saya sendiri. Beliau
itu cerewet orangnya, selalu mencari pujian dan pengakuan, seperti pernah dia
bilang ke saya, “Mona, saya ini dulu mudanya ganteng!” Ketika itu saya anggukan
saja sambil tersenyum ala Asia. Tapi si bapak kos ini memang bukan jenis yang
peka, dia malah semakin ngoceh
tentang kelebihan-kelebihannya yang mana… saya harus tahu begitu. … Dia sama
sekali tidak tertarik untuk tahu apakah saya tertarik untuk tahu itu! Yang
penting ngomong tinggi sampai dipuji.
Nah, menurut teori si Alfred Adler, psikolog yang menemukan sindrom pria kecil
ini, perilaku haus akan pujian yang dilakukan oleh para pria bertubuh kecil di
sebut Napoleon Kompleks.
Menurut
Wikipedia, Napoleon kompleks adalah sindrom yang “diidap” oleh para pria bertubuh
kecil dengan ditandai adanya perilaku sosial yang terlalu agresif atau
mendominasi. Penemuan teori ini dinamakan menurut Kaisar Prancis yang sangat
terkenal, Napoleon Bonaparte. Konon untuk mengimbangi kurangnya tinggi badannya
yang kira-kira hanya 170 cm (untuk ukuran Eropa itu sudah termasuk kecil,
apalagi untuk seorang kaisar!) adalah sebab mengapa ia bersikeras mencari
kekuasaan, tahta, melepas perang dan penaklukan di mana-mana sampai Eropa
selebar yang kita kenal sekarang.
source: https://northtexasdrifter.blogspot.de/2015/05/napoleon-complex.html
Kenapa Nenek Sihir dan Bukan Kakek
Sihir?
Menurut si
Pria 190 cm, mantan bapak kos saya itu absolutely
mengidap Napoleon Kompleks. Saya memang sudah pernah dengar istilah itu, tapi
saking sering si pria 190 cm mengecap orang-orang yang kami temui dengan label “Dasar
Napoleon!”, saya jadi penasaran untuk meng-google pendapat para penduduk dunia
maya tentang Napoleon kompleks. Saya pengen tahu, apakah itu mitos atau nyata,
saya penasaran, berapa di antara mereka yang benar-benar yakin, seyakin si pria
190 cm, bahwa kompleksitas ini murni penyakit. Terlebih dalam lagi, saya
mempertanyakan, kompleksitas ini jangan-jangan hanyalah fenomena yang muncul
sebagai korban diskriminasi masyarakat. Persamaannya seperti sejarah wanita penyihir.
Pernah dengar sebelumnya? Jadi konon, fenomena wanita penyihir atau kerap disebut
nenek sihir itu muncul gara-gara wanita sering tidak dikasi podium di masyarakat,
wanita banyak yang dikecewakan oleh kaum lelaki, diselingkuhi, ditinggalkan,
cinta bertepuk sebelah tangan, dst… Dan si kaum laki-laki ini sialnya memegang
posisi-posisi penting dalam masyarakat atau birokrasi, si perempuan semakin
merasa tidak punya otoritas. Nah, untuk memenangkan/melampiaskan dendam/impian/harapannya,
wanita mempelajari ilmu sihir, jadi dendam mereka terhadap diskriminasi
masyarakat itu terbalas di situ. (Itulah mengapa penyihir itu biasanya
digambarkan dalam wujud wanita; emang ada
yang pernah dengar istilah ‘kakek sihir’?). Begitu ceritanya. Jadi kalau
saya sinkronkan dengan teori Napoleon Kompleks, saya bisa tarik benang merah
sendiri: Bagaimana si pria pendek tidak mati-matian unjuk kemampuan, jika di
masyarakat mereka selalu dianggap si kecil/pendek, selalu diremehkan hanya
karena kurangnya sekian centimeter di tubuh vertikal mereka, selalu
dibandingkan dengan pria lain yang lebih tinggi, gagal meraih hati wanita
pujaan karena si pujaan kawin lari dengan si yang lebih tinggi…. Mujurlah saya
terlahir sebagai wanita, jadi menurut standar masyarakat saya tidak perlu
tinggi-tinggi amat, toh menjadi model bukan ketertarikan saya. Syukurlah saya
bukan si jenis kelamin yang diwajibkan oleh masyarakat untuk lebih tinggi dari
lawan jenis saya. Tapi coba lihat para pria, yang mana dijadikan objek untuk
teori kompleksitas ini. Mereka didiskriminasi, mereka disepelekan hanya karena fisik
yang kurang sekian inchi view di atas
kepala orang lain. Saya terus terang merinding baca komen-komen di halaman
online itu, rasa penasaran saya menelantarkan saya di antara ratusan komenan
sadis-diskriminatif tentang tubuh pendek para lelaki dan hubungannya dengan “ketimpangan”
perilaku mereka. Para komentatornya mencaci maki pria-pria bertubuh kecil.
Mereka dengan blak-blakan melabeli hal yang sama: haus pujian, lucu tapi
kurang serius, bahkan tidak bisa diajak serius, hiruk-pikuk, haus perhatian,
butuh pengakuan, dst, dst. Oke, wait,
Bapak kos saya tadi itu memang nyata-nyata mengidap Napoleon kompleks. Namun
hanya karena satu laki-laki yang saya temui seperti itu, bukan berarti saya
harus melabeli semua pria pendek dengan cap yang serupa, kan?
Sebagai
orang yang pernah ditolak bekerja di dua tempat, salah satunya di Pizza Hut,
karena alasan tinggi badan yang tidak mencukupi, saya bisa (terpaksa) paham:
Itu area professional. Namun di Jerman ini beda: tinggi badan jadi bahan sebutan
sehari-hari. Rasa-rasanya terlahir pendek itu sama dengan terlahir cacat
kira-kira begitu. Atau terlahir tanpa sebuah indra, atau apalah yang nilainya
bisa bikin minus rasa percaya diri kita. Saya belum pernah sebelumnya ada di
sebuah masyarakat di mana tinggi badan menjadi diskusi seringan snack, yang rankingnya berada tepat di
samping cuaca (orang Jerman membicarakan cuaca sehari bisa 10 x). Lama-kelamaan
saya memahaminya begini: orang Jerman ini punya krisis, namanya krisis tinggi
badan.
Seperti
analisis saya di atas, semakin seseorang dianggap/dipandang/dikatakan pendek,
semakin ia membangun sebuah rasa citra diri bahwa ia MEMANG pendek. Dan menjadi
pendek itu mengesalkan jika harus selalu dibandingkan dengan mereka yang lebih
tinggi. Rasa kesal ini lantas lahir ke permukaan namun malah ditolak oleh
masyarakat. Padalah yang membuahkan rasa kesal ini siapa kalau bukan si
masyarakat itu sendiri? Mereka malah dengan pongahnya meluncurkan teori
psikologi baru dalam hal kompleksitas, bernama Napoleon Kompleks. Haduh,
masyarakat ini bodoh betul ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar