Selasa, 22 November 2016

Napoleon Kompleks dan Krisis Tinggi Badan Ala Jerman

Sampai dua tahun yang lalu belum ada yang mengatakan kepada saya kalau saya bertubuh pendek. Kecil sudah, mungil sudah, imut sudah, pendek? Baru ketika saya tinggal di Jerman! Di Jerman ini semuanya diciptakan besar-besar. Rumahnya besar-besar, atapnya tinggi-tinggi, meja dapurnya tinggi-tinggi, lemari/rak mencapai atap, cerminnya tertempel tinggi di dinding, sampai kita benar-benar sadar: kita ini pendek sekali!

Secara orang Eropa rata-rata memang lebih tinggi dari orang Asia, orang Jerman apalagi! Yang saya maksud di sini adalah Jerman di mana saya tinggal: Hamburg. Ada sebuah mitos orang sini yang mengatakan, “Semakin ke utara, semakin tinggi-tinggi manusianya. Sebaliknya semakin ke selatan (ke arah Jerman bawah, Italia, Prancis, dst) tinggi badan manusianya semakin rendah.” Mitos ini sebenarnya tidak 100 % benar juga karena toh ada tuh orang Hamburg yang lebih pendek dari orang MΓΌnchen! Tapi memang saya akui, menemui pria/wanita dengan tinggi badan 185 cm ke atas di jalanan Hamburg ini memang sudah bukan hal yang eye catching. Sejarah ziarahnya suku bangsa Viking (Skandinavia) ratusan tahun lalu ke si kota pelabuhan memang memainkan peran besar dalam evolusi tubuh manusia di Hamburg dan sekitarannya.

Di Kleine Mona (Si Mona Kecil/Pendek) : Nama panggilan = labelisasi
Sebagai orang Asia yang juga lahir besar di Asia, saya tentu tidak pernah merasa wajib gelisah dalam mempertanyakan tinggi badan saya: toh hampir seluruh suku bangsa saya tingginya seperti saya. Domisili saya di Jerman mengubah persepsi saya terhadap tubuh saya. Saya tadinya lumayan terganggu jika semua meja yang ada di mana pun tingginya melelahkan bahu kanan kiri saya. Namun kesadaran akan kecilnya tubuh saya ini masih terbilang normal, karena saya belum merasa ada yang kurang, atau bahkan ada yang salah dengan tumbuh kembang tubuh saya (yang mana sejak 8 tahun yang lalu sudah tidak saya pertanyakan lagi!). Sampai suatu ketika saya menyadari sesuatu: orang-orang di sekitar saya sering memanggil saya “Die kleine Mona” yang artinya “Si Mona Kecil/Pendek”. Kadang ada variasinya, seperti, “Na, da ist die kleine!” (Nah, itu dia si Kecil/Pendek!). Seruan ini saya dengar se-ti-ap hari. Baik oleh ‘orang-orang rumah’ maupun kolega kerja saya (Mendapati orang pendek di Jerman itu memang eye catching banget!). Saya akhirnya merasa seperti ditepuk di bahu, “Eh, Mona, kau itu kecil.” Coba bayangkan kalau kau dibilang kecil/pendek terus-menerus, lama-kelamaan kau jadi yakin bahwa kau memang kecil/pendek. Coba ini saya bandingkan seorang gadis yang tembem kalau sejak kecil dikasi nama panggilan “Eh Ndut!” dan setiap hari harus berkali-kali mendengar dirinya dipanggil dengan nama si Gendut, maka sampai kapan pun dia akan merasa dirinya gendut. Jika di Asia orang paling takut jadi gendut, di Jerman orang paling takut jadi kecil, dalam artian pendek. Dan yang saya pertanyakan, kenapa yah, nama panggilan itu selalu dicari dari kekurangan fisik seseorang. Coba lihat, mana ada cewek cantik sejak kecil dipanggil teman-teman sebangku sekolah dasarnya, “Eh cantik!”. Yang ada diamati dulu kelemahannya sampai ketemu. Tiba-tiba, “Eh Tukang Contek!”

Napoleon Bonaparte, Kaisar Mungil yang Menaklukan Eropa
Suatu ketika saya terlibat obrolan dengan seorang Jerman bertubuh 190 cm. Kami mengobrolkan seorang pria kecil yang mana tidak lain adalah mantan bapak kos saya sendiri. Beliau itu cerewet orangnya, selalu mencari pujian dan pengakuan, seperti pernah dia bilang ke saya, “Mona, saya ini dulu mudanya ganteng!” Ketika itu saya anggukan saja sambil tersenyum ala Asia. Tapi si bapak kos ini memang bukan jenis yang peka, dia malah semakin ngoceh tentang kelebihan-kelebihannya yang mana… saya harus tahu begitu. … Dia sama sekali tidak tertarik untuk tahu apakah saya tertarik untuk tahu itu! Yang penting ngomong tinggi sampai dipuji. Nah, menurut teori si Alfred Adler, psikolog yang menemukan sindrom pria kecil ini, perilaku haus akan pujian yang dilakukan oleh para pria bertubuh kecil di sebut Napoleon Kompleks.

Menurut Wikipedia, Napoleon kompleks adalah sindrom yang “diidap” oleh para pria bertubuh kecil dengan ditandai adanya perilaku sosial yang terlalu agresif atau mendominasi. Penemuan teori ini dinamakan menurut Kaisar Prancis yang sangat terkenal, Napoleon Bonaparte. Konon untuk mengimbangi kurangnya tinggi badannya yang kira-kira hanya 170 cm (untuk ukuran Eropa itu sudah termasuk kecil, apalagi untuk seorang kaisar!) adalah sebab mengapa ia bersikeras mencari kekuasaan, tahta, melepas perang dan penaklukan di mana-mana sampai Eropa selebar yang kita kenal sekarang.

source: https://northtexasdrifter.blogspot.de/2015/05/napoleon-complex.html


Kenapa Nenek Sihir dan Bukan Kakek Sihir?
Menurut si Pria 190 cm, mantan bapak kos saya itu absolutely mengidap Napoleon Kompleks. Saya memang sudah pernah dengar istilah itu, tapi saking sering si pria 190 cm mengecap orang-orang yang kami temui dengan label “Dasar Napoleon!”, saya jadi penasaran untuk meng-google pendapat para penduduk dunia maya tentang Napoleon kompleks. Saya pengen tahu, apakah itu mitos atau nyata, saya penasaran, berapa di antara mereka yang benar-benar yakin, seyakin si pria 190 cm, bahwa kompleksitas ini murni penyakit. Terlebih dalam lagi, saya mempertanyakan, kompleksitas ini jangan-jangan hanyalah fenomena yang muncul sebagai korban diskriminasi masyarakat. Persamaannya seperti sejarah wanita penyihir. Pernah dengar sebelumnya? Jadi konon, fenomena wanita penyihir atau kerap disebut nenek sihir itu muncul gara-gara wanita sering tidak dikasi podium di masyarakat, wanita banyak yang dikecewakan oleh kaum lelaki, diselingkuhi, ditinggalkan, cinta bertepuk sebelah tangan, dst… Dan si kaum laki-laki ini sialnya memegang posisi-posisi penting dalam masyarakat atau birokrasi, si perempuan semakin merasa tidak punya otoritas. Nah, untuk memenangkan/melampiaskan dendam/impian/harapannya, wanita mempelajari ilmu sihir, jadi dendam mereka terhadap diskriminasi masyarakat itu terbalas di situ. (Itulah mengapa penyihir itu biasanya digambarkan dalam wujud wanita; emang ada yang pernah dengar istilah ‘kakek sihir’?). Begitu ceritanya. Jadi kalau saya sinkronkan dengan teori Napoleon Kompleks, saya bisa tarik benang merah sendiri: Bagaimana si pria pendek tidak mati-matian unjuk kemampuan, jika di masyarakat mereka selalu dianggap si kecil/pendek, selalu diremehkan hanya karena kurangnya sekian centimeter di tubuh vertikal mereka, selalu dibandingkan dengan pria lain yang lebih tinggi, gagal meraih hati wanita pujaan karena si pujaan kawin lari dengan si yang lebih tinggi…. Mujurlah saya terlahir sebagai wanita, jadi menurut standar masyarakat saya tidak perlu tinggi-tinggi amat, toh menjadi model bukan ketertarikan saya. Syukurlah saya bukan si jenis kelamin yang diwajibkan oleh masyarakat untuk lebih tinggi dari lawan jenis saya. Tapi coba lihat para pria, yang mana dijadikan objek untuk teori kompleksitas ini. Mereka didiskriminasi, mereka disepelekan hanya karena fisik yang kurang sekian inchi view di atas kepala orang lain. Saya terus terang merinding baca komen-komen di halaman online itu, rasa penasaran saya menelantarkan saya di antara ratusan komenan sadis-diskriminatif tentang tubuh pendek para lelaki dan hubungannya dengan “ketimpangan” perilaku mereka. Para komentatornya mencaci maki pria-pria bertubuh kecil. Mereka dengan blak-blakan melabeli hal yang sama: haus pujian, lucu tapi kurang serius, bahkan tidak bisa diajak serius, hiruk-pikuk, haus perhatian, butuh pengakuan, dst, dst. Oke, wait, Bapak kos saya tadi itu memang nyata-nyata mengidap Napoleon kompleks. Namun hanya karena satu laki-laki yang saya temui seperti itu, bukan berarti saya harus melabeli semua pria pendek dengan cap yang serupa, kan?

Sebagai orang yang pernah ditolak bekerja di dua tempat, salah satunya di Pizza Hut, karena alasan tinggi badan yang tidak mencukupi, saya bisa (terpaksa) paham: Itu area professional. Namun di Jerman ini beda: tinggi badan jadi bahan sebutan sehari-hari. Rasa-rasanya terlahir pendek itu sama dengan terlahir cacat kira-kira begitu. Atau terlahir tanpa sebuah indra, atau apalah yang nilainya bisa bikin minus rasa percaya diri kita. Saya belum pernah sebelumnya ada di sebuah masyarakat di mana tinggi badan menjadi diskusi seringan snack, yang rankingnya berada tepat di samping cuaca (orang Jerman membicarakan cuaca sehari bisa 10 x). Lama-kelamaan saya memahaminya begini: orang Jerman ini punya krisis, namanya krisis tinggi badan.

Seperti analisis saya di atas, semakin seseorang dianggap/dipandang/dikatakan pendek, semakin ia membangun sebuah rasa citra diri bahwa ia MEMANG pendek. Dan menjadi pendek itu mengesalkan jika harus selalu dibandingkan dengan mereka yang lebih tinggi. Rasa kesal ini lantas lahir ke permukaan namun malah ditolak oleh masyarakat. Padalah yang membuahkan rasa kesal ini siapa kalau bukan si masyarakat itu sendiri? Mereka malah dengan pongahnya meluncurkan teori psikologi baru dalam hal kompleksitas, bernama Napoleon Kompleks. Haduh, masyarakat ini bodoh betul ya!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar