Jumat, 25 November 2016

Stereotip: Sepatu Nike, Donor Darah Sampai Cina yang Pelit


Suatu ketika saya jalan-jalan di jejeran toko di Hamburg. Sampai di toko sepatu saya berhenti dan masuk. Di rak Nike saya sisir teliti dengan mata, sampai mata terhenti. Sepatu berwarna coral itu duduk di atas rak dengan warna yang “tidak sabaran”, layaknya seorang atlet lari menanti aba-aba “Siap-sedia-ya”. Sebelum keburu menghayal tinggi, saya lihat harganya. Sedikit di atas 100 Euro. Layak. Lalu saya mendapati sebuah label di dalamnya yang membuat saya serta merta meragu. Bak kitab pedoman shopping, saya seperti dibisik sebuah “kebijaksanaan” yang entah sejak kapan ada di ingatan saya. Ini barang Cina (barang yang diproduksi di negeri Cina)!!! Hati-hati pemalsuan! Ini bukan Nike asli, sekalipun harganya “asli”!



Saya lepas seketika jemari saya dari sepatu itu, seolah ia bawa hama penyakit. Tapi lalu  kembali merampasnya tidak sabaran, saking penasaran dengan keasliannya. Sambil berharap mata saya cukup cerdik membedakan barang asli dan palsu, saya bolak balik si Nike, depan-belakang, dalam-luar, bawah-atasnya, lalu menelusuri dengan mata tajam setiap jaring serat yang terkukuhkan oleh “lem” di setiap sendinya: dari tangan kiri, oper ke tangan kanan. Adegan ini menunjukkan betapa phobianya saya dengan barang produksi Cina. Selama di Indonesia saya berkali-kali beli produk Cina, dan saya memang tahu dan sengaja: they are fake. Misalnya anting-anting berwarna emas, tapi bukan emas benaran dsb. Tapi ini Nike!!! Dengan harga di atas 100 Euro! Mana rela saya keluarkan uang sebanyak itu untuk barang Cina. Persepsi saya terhadap barang Cina ini, yang entah diciptakan kapan dan oleh siapa, bukanlah sesuatu yang secara sosial positif! Persepsi ini bisa merugikan kelompok yang bersangkutan, karena terlanjur dicap negatif. Persepsi ini disebut stereotip.



Menurut Wikipedia, Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotip dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Stereotip jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Asal mula stereotip adalah perbedaan yang dialami kelompok dengan kelompok lainnya; pola komunikasi tentang kelompok tersebut; dan konflik antarkelompok.  Berikut adalah contoh-contoh stereotip:

Ø  Barang Cina: pasti imitasi, murahan
Ø  etnis Tionghoa : pasti kaya dan pelit
Ø  Islam: pasti teroris (banyak orang barat yang berpikir begini)
Ø  Wanita berambut pirang : pasti bodoh dan penakut
Ø  Wanita yang suka berpakaian mini: pasti “murahan”
Ø  Guru: pasti jujur dan berakhlak mulia
Ø  Laki-laki: selalu pake otak, kuat, tidak pernah (tidak boleh) menangis
Ø  Perempuan: selalu pake perasaan, lemah, gampang meneteskan air mata
Ø  Insinyur: pekerjaannya laki-laki
Ø  Guru/pustakawati: pekerjaannya perempuan

Heyyy, memangnya kalian tidak pernah ketemu barang Cina yang bagus, orang Cina yang hidup sederhana dan murah hati, orang Muslim yang baik dan sangat berperikemanusiaan, cewek pirang yang cantik dan pintarnya ekstrim, cewek menor yang hatinya bersih, laki-laki yang menangis, perempuan yang berotot dan mandiri, insinyur perempuan, guru laki-laki?????

Bicara tentang stereotip, saya punya segudang cerita dari pengalaman sendiri. Dua hari lalu saya berdiri di antrian donor darah di sekolah saya. Hampir semua partisipan orang Jerman (ini saya nilai dari warna kulit mereka ya, entah mereka orang rantauan dari Polandia…who knows…). Tiba saat saya mau menunjukkan kartu identitas diri, saya sudah ditatap tidak simpatik oleh si wanita penjaga stand yang kerjanya gesek-gesek kartu di mesin aneh di depan batang hidungnya. Saya tanya, “Boleh tidak saya mendonor, jika berat badan saya 46 kg?” “Tidak,” jawabnya culas tanpa ampun. Serius, saya bukannya mematok nilai ramah tamah ala Nusantara ke beliau ini ya, tapi dia memang ketus banget terhadap saya. Saya pun angkat bahu dan balik ke kelas sebelum beberapa menit sempatkan diri baca “aturan main” donor darah di Jerman. Karena ini kali pertama saya, saya buta dan gelap tentang poin-poin yang harus ditaati. Saat baca, ada sebuah poin bilang, “Anda tidak berhak mendonor darah jika dalam 6 bulan terakhir ini berada di Asia Tenggara….dst dst dst”… Oh… saya paham. Dengan rating HIV/AIDS yang tinggi di tempat saya, tidak heran jika tatapan waspada tadi dilemparkan cuma-cuma ke arah saya. Lagi-lagi stereotip! Siapa yang mau “pakai” darah Asia Tenggara saya?


Contoh yang saya ceritakan di atas termasuk ke golongan stereotip yang negatif, jadi artinya ada yang positif juga (contohnya orang latin pintar dansa). Stereotip yang negatif selalu merugikan masyarakat yang bersangkutan, jika stereotip ini tentang etnis/suku/kelompok masyarakat tertentu. Stereotip tidak kenal individualitas, bro. Stereotip sapu rata! Stereotip sangat subjektif, kebenarannya bisa sampai nol persen!

1 komentar: