Empat minggu
lagi dari sekarang saya akan berlibur ke Indonesia selama tiga minggu.
Kedengarannya banyak, tiga minggu, padahal kalau dihitung dengan cermat, itu
bukan apa-apa! Waktu habis di jalan,
kata orang Indonesia. Bagaimana tidak: terbang dari Hamburg-Munich-Doha-Jakarta-
dan bermuara di- Kupang makan waktu dua hari (saya wajib harus mengunjungi orang
tua dulu di Pulau Timor), lalu berziarah ke makam leluhur di Pulau Flores, mengurus
“gudang” berjalan saya yang sudah dua tahun ini terlantar begitu saja di
Jakarta, dan sebagai perjalanan penutup saya sudah janji dengan seorang sahabat
untuk berlibur romantis ala gadis-gadis di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu.
Reuni-reuni kecil dan besar sudah saya set up, bahkan beberapa teman meminta
saya menset-up kan karena kangen, yang mana susah untuk saya tolak. Pelesir
kecil-kecil atau besar-besar sudah saya jadwalkan: di mana, ke mana, dengan
siapa, kapan, bawa apa, nanti buat apa saja… Lengkap di notebook saya. Saya
tidak bisa hidup tanpa rencana. Saya tipe yang suka listing. Ini tidak ada kaitannya dengan sifat pelupa. Lha, bayangkan saja kalau barang yang
harus dibawa ada 10 biji, emang situ hafal semua, apalagi dalam bingkai travel,
jadi Listing itu penting! Saya suka mendaftarkan per nomor poin-poin yang harus
saya ingat/beli/bawa/cari, supaya saya tahu mana yang sudah ter-cross-check, mana yang masih menggantung.
Secara liburan seperti ini tidak terjadi setiap tahun, enaknya kalau sekali
pergi, pulang-pulang semua yang diharapkan berhasil terkumpul di bakul hehehe! Kecenderungan
untuk planning dan/atau listing seperti ini bukan hanya terdapat
dalam diri saya, tapi hampir semua manusia. Rencana sudah jadi bagian dalam
hidup dan dunia. Dan memang tidak ada salahnya berencana!
Banyak Melihat Itu Memang Bagus,
Semua Orang Juga Bisa. Tapi Banyak Mengalami Itu Lebih Baik.
Dinginnya
Jerman membuat saya kangen pantai Indonesia yang sebiru batu safir. Sebagai
pembalasan dendam, saya ingin sekali menghabiskan waktu dengan teman-teman di
atas pasir pantai sambil bersenda gurau dan bernostalgia jaman di mana kita
dulu masih unyu. Harapan ini lalu
membawa kalender ke tangan saya, hampir setiap hari saya geser sana-sini
tanggal-tanggal mainnya. Tidak menentu. Sudah saya tetapkan harinya, tiba-tiba
teringat kendala biaya, saya hapus lagi, ganti tanggal lagi, ganti acara lagi.
Saya jadi pusing sendiri. Hingga muncul pertanyaan: ini liburan atau tur seminar? Rasa-rasanya saya hampir-hampir tidak
punya waktu untuk mneyeruput es kelapa karena tiket pesawat/kapal laut
berikutnya sudah berdetak layaknya jarum jam di teling saya. Saya tidak mau
menghitung hari atau jam atau menit pada saat saya berada dalam liburan. Bahwa
Indonesia memang isinya pulau-pulau, itu sudah tidak bisa kita rubah,
sodara-sodara. Artinya, kalau mau keliling-keliling pulau ya resikonya waktu
habis. Semakin tua saya semakin paham: lebih baik banyak mengalami daripada
banyak selfie!
Surprise Itu Tidak Selamanya Bad, Planning Itu Tidak Selamanya Under Control
Saya akhirnya
temukan satu solusi: jangan berencana. Kalau pun harus, ya garis-garis besarnya
saja.
Maka saya tetapkan untuk tinggal masa bodoh dengan orang tua saya
sampai muncul kesempatan atau tawaran berikutnya, ke mana saya harus pergi
selanjutnya. Saya tidak mau waktu berkualitas kami harus diinterupsi oleh listing yang sudah saya patokkan
sebelumnya. Setelah saya pikir-pikir, listing
itu bisa saja malah jadi mempersempit kemungkinan datangnya kejadian-kejadian
menarik lainnya ke lorong perjalanan saya, namun keburu kepotong si listing. Oh ya, bicara tentang lorong. Hidup
dengan planning (jadwal/rutinitas) sama analoginya dengan Highway. Sudah jalannya mulus, diberi nomor lagi, mana mungkin
nyasar! Tanpa planning? Analoginya seperti lorong dan gang: kau bahkan tidak
tahu apa yang ada di ujung sana, apakah gang itu buntu, tak ada yang tahu;
berapa cabang yang ada dalam lorong, jalani saja kalau mau tahu! Just let yourself be surprised! Tidak
semua kejutan serta merta bawa bencana.
Sejarah
manusia berencana itu simple saja:
manusia selalu ingin pegang kendali, manusia berharap segala sesuatu semaksimal
mungkin terjadi sesuai yang otak mereka bayangkan. Mereka lebih pilih jalur
aman ini karena takut terjadinya kejutan-kejutan dramatis yang mengseluncurkan mereka
ke kawah masalah sebecek lumpur dan selengket bubur. Tapi pengalaman saya
mengajarkan, seberencana apa pun saya, tetap juga tuh terjadi “kebocoran”. Hanya karena otak kita tahu masa lalu
kita, bukan berarti dia tahu masa depan kita. Listing yang otak kita sering catat, kerap disaring dari memori
masa lalu. But please, Hidup ini jauh lebih luas dari otak kita choy, jadi keluarlah dari lisitng-mu hari ini, dan coba lakukan
sesuatu yang berbeda, yang mungkin saja mengantarmu ke sebuah pencerahan atau
inspirasi, bahkan revolusi!
Berikan
kebetulan kesempatan untuk lewat atau mampir dalam perjalananmu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar