Selasa, 01 November 2016

Keterpaksaan Untuk Tahu (Part I)

Berapa di antara kita yang masih ingat selownya era di mana internet belum bermain dengan anak-anak desa. Sumber informasi kita hanyalah radio, televisi dan surat kabar. Sadarkah kita, bahwa zaman itu begitu indah, tenang dan damai?

Oke, kita barangkali akan “kebagian” jatah tenar sebuah lagu bertahun-tahun setelah ketenaran yang sebenarnya pertama kali meletus…
Kita juga bukan jadi yang pertama tahu kalau Si Band X dari Amerika konser di Jakarta bulan sekian, tanggal sekian, sehingga kita barangkali bisa menabung untuk menghadiri konsernya…
Kita juga bukan jadi orang pertama yang tahu, di dunia sedang gempar isu X atau doktrin Y…
Namun memang ada baiknya seperti itu, tertinggal dalam kedamaian.

***

Di smartphone saya pernah ada multi jenis media sosial. Deringnya per menit. Bahkan Line, bisa beberapa kali dalam kurun kurang dari semenit! Saya mengikuti beberapa akun yang membuat saya dikabari tiada henti jika ada yang baru dari mereka. Tiba-tiba Starbucks, “Beli sore ini pasti diskon!” Atau Plan Internasional, “Hentikan pernikahan dini di Indonesia!” dengan segenap fakta yang terlampir. Gmail saya juga demikian. Tiba-tiba muncul pesan dari ebay, “Mona, temukan barang yang paling dicari saat ini!” Dan dari Quora, “Bagaimana rasanya kerja di Microsoft?” dan seterusnya, dan seterusnya. Aliran informasi ini per detik, terkanal langsung dari penulis/pengiklannya, membuat saya merasa terkomunikasikan atau dipaksa menjadi komunikatif. Komunikasi searah atau dua arah, yang penting terima dulu informasinya! Kadang terasanya seperti babak belur info. Bagi penggemar Twitter, pasti lebih babak belur lagi di-hashtag sana sini.

Radio, televisi dan surat kabar cetak tidak bakal bisa menandingi kecepatan media online. Kelangsungannya, kecepatannya, dan kemultimediaannya membuat kita memasrahkan ketiga media konvensional tadi dan beralih ke online. Ada gambar, ada video, ada suara, ada feed back! Saling berkomentar adalah fasilitas yang sangat mungkin di dunia online. Jadi si penulis menulis, si pembaca beri masukan. Sikap responsif media online membuat massa jadi kecanduan. Semakin disuguhi informasi, semakin lengket mata pembaca ke layar computer/smartphone. Semakin cepat, semakin berkembang topiknya, semakin maju arah perbincangannya, semakin laku iklannya, semakin kuat dominasi internet terhadap kekaleman media konvensional. Kalem, lamban, kemayu, cupu, jadul: barangkali itulah kata-kata yang bisa saya “umpatkan” ke TV, radio, koran. Namun sadarkah kita, jika suatu waktu nanti kita justru akan membutuhkan “kekaleman” media ini?

Jika dulu kita duduk bersama di teras depan rumah dan menyanyi lagu kesayangan bersama radio dan sahabat akrab, sekarang masing-masing dengan headset dan mendengarkan lagu lewat Soundcloud. Jika dulu tetangga mampir ke rumah untuk baca koran sore, sekarang si tetangga duduk di toilet sambil baca detiknews di smartphone sekian inchinya. Jika dulu jam delapan teng seisi rumah berkumpul untuk menonton Indonesian Idol, sekarang masing-masing di kamarnya dan memutar ulang dari YouTube. Di manakah kebersamaan itu perginya? Menyatu bukan lagi berkumpul menjadi satu, tetapi berpencar satu satu.

-bersambung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar