Berapa di
antara kita yang masih ingat selownya era di mana internet belum bermain dengan
anak-anak desa. Sumber informasi kita hanyalah radio, televisi dan surat kabar.
Sadarkah kita, bahwa zaman itu begitu indah, tenang dan damai?
Oke,
kita barangkali akan “kebagian” jatah tenar sebuah lagu bertahun-tahun setelah
ketenaran yang sebenarnya pertama kali meletus…
Kita juga bukan jadi yang pertama tahu kalau Si Band X
dari Amerika konser di Jakarta bulan sekian, tanggal sekian, sehingga kita
barangkali bisa menabung untuk menghadiri konsernya…
Kita juga bukan jadi orang pertama yang tahu, di dunia
sedang gempar isu X atau doktrin Y…
Namun memang ada
baiknya seperti itu, tertinggal dalam kedamaian.
***
Di smartphone saya pernah ada multi jenis
media sosial. Deringnya per menit. Bahkan Line, bisa beberapa kali dalam kurun
kurang dari semenit! Saya mengikuti beberapa akun yang membuat saya dikabari
tiada henti jika ada yang baru dari mereka. Tiba-tiba Starbucks, “Beli sore ini
pasti diskon!” Atau Plan Internasional, “Hentikan pernikahan dini di Indonesia!”
dengan segenap fakta yang terlampir. Gmail saya juga demikian. Tiba-tiba muncul
pesan dari ebay, “Mona, temukan barang yang paling dicari saat ini!” Dan dari
Quora, “Bagaimana rasanya kerja di Microsoft?” dan seterusnya, dan seterusnya.
Aliran informasi ini per detik, terkanal langsung dari penulis/pengiklannya, membuat
saya merasa terkomunikasikan atau dipaksa menjadi komunikatif. Komunikasi
searah atau dua arah, yang penting terima dulu informasinya! Kadang terasanya
seperti babak belur info. Bagi penggemar Twitter, pasti lebih babak belur lagi
di-hashtag sana sini.
Radio, televisi
dan surat kabar cetak tidak bakal bisa menandingi kecepatan media online.
Kelangsungannya, kecepatannya, dan kemultimediaannya membuat kita memasrahkan
ketiga media konvensional tadi dan beralih ke online. Ada gambar, ada video,
ada suara, ada feed back! Saling
berkomentar adalah fasilitas yang sangat mungkin di dunia online. Jadi si
penulis menulis, si pembaca beri masukan. Sikap responsif media online membuat
massa jadi kecanduan. Semakin disuguhi informasi, semakin lengket mata pembaca
ke layar computer/smartphone. Semakin
cepat, semakin berkembang topiknya, semakin maju arah perbincangannya, semakin
laku iklannya, semakin kuat dominasi internet terhadap kekaleman media
konvensional. Kalem, lamban, kemayu, cupu, jadul: barangkali itulah kata-kata
yang bisa saya “umpatkan” ke TV, radio, koran. Namun sadarkah kita, jika suatu
waktu nanti kita justru akan membutuhkan “kekaleman” media ini?
Jika dulu
kita duduk bersama di teras depan rumah dan menyanyi lagu kesayangan bersama
radio dan sahabat akrab, sekarang masing-masing dengan headset dan mendengarkan
lagu lewat Soundcloud. Jika dulu
tetangga mampir ke rumah untuk baca koran sore, sekarang si tetangga duduk di
toilet sambil baca detiknews di smartphone
sekian inchinya. Jika dulu jam delapan teng seisi rumah berkumpul untuk
menonton Indonesian Idol, sekarang masing-masing di kamarnya
dan memutar ulang dari YouTube. Di
manakah kebersamaan itu perginya? Menyatu bukan lagi berkumpul menjadi satu,
tetapi berpencar satu satu.
-bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar