Jumat, 23 September 2016

Bawang Merah Bawang Putih: cantik, lamban, dependen dan bimbang?



Peran Sinetron

Ketika hampir beranjak remaja, saya punya sebuah sinetron favorit: Bawang Merah Bawang Putih. Jujur saja, saya sering menyukai peran antagonis (“si jahat”, bahasa emak-emaknya). Mereka biasanya diperankan lincah, gesit, banyak ide, agresif, berani katakan “iya” dan “tidak”, blak-blakan tentang pendapat, optimis (yang mana sering digambarkan ekstrim oleh sutradara: ambisius). Dalam sinetron ini, siapa lagi kalau bukan si Bawang Merah. Dari namanya saja, “Merah”, asosiasi di kepala kita pasti langsung menuju ke bara api atau bahkan lidah api yang tajam nan runcing pula menjilat-jilat ke awang-awang. Pokoknya warna merah tidak pernah menyimbolkan yang lemah gemulai lah… seperti stereotip para protagonis (“pemeran utama” alias “si baik”, menurut bahasa emak-emak keranjingan sinteron).

Tokoh protagonis di sinetron-sinetron Indonesia dari waktu ke waktu sama saja.
stereotipnya:

-        cantik (supaya enak dilihat dan penonton segera memberi simpati/perhatian lebih kepadanya)

-        lemah gemulai (karena wanita diidentikan dengan bunga, secara sosial tidak  “diijinkan” untuk aktif dan sportif)

-        rada lamban (karena agresivitas diidentikan dengan sesuatu yang negatif)

-        bimbang (apa-apa harus tanya teman; tidak bisa ambil keputusan sendiri)

-        rada bodoh (berpikir kritis adalah pantangan bagi tokoh ini. Coba lihat Putri Salju yang dengan cerobohnya memakan apel dari orang asing)

-        sangat tergantung (entah terhadap nasib atau “sang pangeran”)

-        menunggu diselamatkan (oleh ibu peri atau “sang pangeran”)

-        serba takut: takut berbuat/berucap/bertutur salah, takut berdosa, takut berubah, dsb    

-        cenderung mengasihani diri sendiri (clueless … tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu sampai pangeran impian datang dengan kuda putihnya)

-        gampang meneteskan air mata (dilambangkan melankoli kesucian jiwa yang murni. Padahal saya lihatnya sebagai sebuah ketidakmatangan mental! Ketegaran hati hampir-hampir diartikan sebagai jahat)


source : http://www.mesra.net/forum/lofiversion/index.php/t54938-250.html

Saya selalu melihat fenomena ini sebagai pembodohan kaum perempuan (dan masyarakat pada umumnya!). Akhirnya kita sebagai perempuan selalu ingin mengidentikkan diri dengan si pemeran utama agar disukai oleh orang lain. Dan bagi lawan jenis, atau masyarakat pada umumnya, mereka juga mengharapkan supaya si perempuan berciri demikian! Ya seperti si pemeran protagonis tadi.  Akhirnya keorisinilan kita terpaksa harus kita lupakan. Contohnya, kita sebenarnya bisa mengangkat kardus-kardus kita sendiri ketika pindahan, namun karena terdoktrin idealismeseorang tuan potrin yang kita tonton di televisi, akhirnya kita harus meminta bantuan pacar untuk melaksanakannya. Padahal kita sebenarnya bisa. Siapa sih, yang kulitnya serta merta jadi keriput hanya karena angkat-angkat kardus? Atau yang harga dirinya langsung ambruk?! Takut amat

Berbahayanya, masyarakat kita banyak yang mengeyam “pendidikan” dari sinetron. (Coba saja bikin presensi seperti di kelas, mana ada hari yang bolong karena absensi di depan TV?!) Tidak heran jika bullying semakin mewabah di sekolah. Karena anak-anak yang menonton sinetron, mengerti secara harafiah saja. Mereka tahunya:

ü  gendut berarti jelek,

ü  berkulit hitam/berambut keriting berarti jadi bahan lelucuan,

ü  pria kemayu berarti banci, perlu di-bully

ü  cewek tomboy berarti disegani/di-bully juga

ü  adanya julukan anak rumahan/anak mami dsb (karena sebagai kaum adam harus berani, agresif, dst)



Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara: Ketidakadilan Gender


source http://www.clipartkid.com/step-sister-cliparts/

Ada masih banyak lagi contoh-contoh bully yang basisnya sinetronis banget di dunia nyata ini. Tren stereotip peran dalam sinetron ini memiliki sejarah peradabannya yang panjang. Mulai dari perbedaan jenis kelamin yang ujung-ujungnya melahirkan standar-standar tertentu, sampai dongeng Grimm Bersaudara yang sampai hari ini masyarakat kita baca secara membabi buta tanpa berpikir kritis. Ambil contoh Cinderella: lemah gemulai, boro-boro memperjuangkan nasib untuk keluar dari cengkraman si ibu tiri, dia malah menunggu diselamatkan oleh pangeran! Sebagai pelopor dongeng sedunia, Grimm Bersaudara telah menginvestasikan banyak stereotip gender dan tokoh protagonis dalam karya-karyanya. Sayangnya, populernya berabad-abad! Kembali ke sinteron Bawang Merah Bawang Putih. Mirip sekali kan dengan pola yang dipopulerkan Grimm Bersaudara: gadis lemah yang dijajah si ibu dan saudara tiri.

(Inilah salah satu alasan kenapa saya justru tidak tertarik dengan para lakon utama. Saya memiliki banyak ciri dari karakter yang dijubahkan ke si tokoh antagonis. Saya gesit, lincah, tahu apa yang saya mau dan butuh, mandiri, optimis, dst—dan saya tidak menemukan ada yang salah dengan hal ini (justru sebaliknya!)).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar