Senin, 24 Oktober 2016

Mengdeinstalasi Facebook dari Gadget: Bukan salah kacang melupakan kulitnya

Sebagai seorang perantau, saya sering merasa kangen rumah dan orang-orang tersayang saya. Sejak usia 15 tahun saya meniggalkan rumah dan orang tua demi sekolah. Yang letaknya di pulau seberang. Selama tiga tahun di sekolah berasrama tersebut, saya jadi memiliki banyak teman dan sahabat baik. Setamat SMA, saya kembali mengembara. Ke pulau yang justru lebih jauh, Jawa. Saya memilih Jogjakarta, kota kecil yang indah dan nyaman untuk mahasiswa. Selama kuliah saya sempat mengecap lima dunia kerja yang berbeda—part-full time. Kenalan saya mulai dari kaum akademik sampai para pedagang di Malioboro yang bahkan berteman sangat baik dengan mereka, sampai hari ini. Lima tahun kemudian saya pindah ke Jakarta dan bekerja setahun di sana. Sebagai seorang tenaga pengajar, saya tidak hanya menjadi bagian dari staf, melainkan juga dari murid-murid. Kalau ingat mereka yang baik hati, manis dan lucu, jadi benar-benar kangen.

Domisili saya yang sekarang di Jerman membuat saya merasa terampas oleh jarak dan waktu. Kalau di sini jam 7 malam (saya hampir selalu tiba jam 7 di kos sepulang kerja), di Indonesia sudah jam 1 pagi. Itu baru yang di Jawa. Kalau orang tua dan keluarga besar saya di NTT, sejam lebih awal lagi, jam 2 dini hari: bagaimana saya bisa telpon?! Sementara pekerjaan yang sangat menyita waktu ini membelenggu komunikasi kami. Waktu yang tersisa untuk memble dan kangen-kangenan kampong halaman rasanya seperti remah-remah waktu. Kadang tidak masuk akal saja jika saya harus mengirim pesan satu per satu keluarga/teman secara regular, “Hai, apa kabar? Saya kangen.” Bayangkan, dari keluarga/teman yang tersebar di beberapa pulau/propinsi/kabupaten/kota seperti itu, mana kebagian waktunya. Sementara dilihat dari realita Life is now and here: saya juga butuh kale, nongkrong dengan manusia-manusia yang wujud dan suaranya bisa saya lihat/dengar langsung. Weekend kadang saya habiskan dengan teman-teman yang saya kenal di Jerman. Bisa macam-macam orangnya, mulai dari yang saya kenal di tempat kerja, sampai yang saya kenal di situs online. Kadang saya menemukan diri saya dalam keadaan sedih dan lelah. Hanya karena saya tidak sanggup menjaga silahturahmi dengan “kulit kacang saya”. My family and my friends mean the world to me!



Saya masih ingat ketika SMA, saya masih kirim-kiriman sms dan telponan dengan orang tua saya. Hal yang serupa ketika saya kuliah di Jogja. Sejak di Jakarta, komunikasi kami berubah: saya hanya cek-cek di Facebook lewat postingan mereka, untuk mencari tahu apa kabar mereka. Saya paham, mereka sendiri punya hidup. Artinya saya juga tidak berharap jika ada kabar baru, sayalah orang pertama yang mereka cari untuk dikabari. Contohnya ipar saya yang melahirkan anak, saya awalnya tahu dari Facebook dulu. Kemudian baru dia berkabar, “Mona, kau sudah punya ponaan baru sekarang.” Bagi saya, telat tidak apa, toleransi saja, toh saya juga mengembaranya pake tingkat benua!

Pada fase ini jugalah saya yang gaptek mulai menggeser fungsi sms dengan Whatsapp. Tapi stalking di Facebook tetap saya jalankan, saya kangen! Serius, saya suka stalking bapa, kakak, sepupu, om/tante, teman masa kecil, sahabat kuliah, sahabat seperjuangan, kolega baik, konco-konco gila saya, abis itu saya like postingan mereka bertubi-tubi. Postingnya 2013, saya like di 2015. Kira-kira begitu. Ketahuan sekali ini orang kepo. But they just mean the world to me!!!

Suatu ketika, saya merasa kelabakan. Harus noleh kiri, kanan, tegak, depan, belakang, diam, nyahut… Saya bingung. Banyak yang ajak chat di Whatsapp, BlackberryMessenger, Line, Facebook dan Skype. Saya kasi respon “remah-remah”. Beberapa diamkan saja tapi beberapa took it too personal, dan itu membuat saya bingung. Saya berharap pihak seberang paham posisi saya, tapi barangkali dia sama lelahnya juga seperti saya. Saya bukannya tidak respek dengan yang namanya silahturahmi, tapi saya merasa kurang hidup. Waktu saya saya lempar ke belakang terus, kapan saya maju…. Rumusnya begini, kalau setiap kali ada waktu luang saya pakai untuk chat dengan keluarga/teman di Indonesia, kapan saya berkembang di Jerman? Saya selalu sempatkan diri untuk berkabar dan menyatakan how much I love my family/friends. Tapi kadang ada aja yang nuntut lebih… Maunya aku tongkrongi berjam-jam di skype atau Whatsapp. Kapan saya punya quality time dengan diri saya sendiri kalau begini?  Saya juga butuh malam-pengobat-lelah-sepulang-kerja: mandi air panas 20 menit, teh hangat, baca buku, dst tanpa dentang denting di handphone atau laptop. Yang kalau saya buka ternyata “hanya” pesan berulang dari orang yang sama.

Akhirnya solusi saya adalah menghapus semua media sosial tersebut (WA, FB, BBM, Line, Skype) dari handphone/laptop saya. Minggu pertama berlalu: saya merasa benar-benar nyaman. Tidak perlu lagi kebiasaan lama: sadar pagi-pagi langsung buka handphone dan cek pesan atau komen di Facebook. Tidak perlu lagi chat online di saat saya lagi hang out dengan beberapa teman di kafe. Tidak perlu lagi merasa wajib balas-balas pesan di media sosial capek-capek sepulang kerja. Daaaannn… tidak perlu lagi kesakitan mata karena terlampau lama menatap layar bercahaya. Lebih baik tertinggal daripada terkejar.

Minggu kedua saya mulai kangen. Saya tidak bisa obati kangen ini dengan meng-sms kaluarga/teman saya, mahal! Sempat terpikir instal ulang Whatsapp: ah kemudahan, nanti chat-chatan melulu! Akhirnya saya instal kembali Facebook di Smartphone saya. Saya jadi bisa berkiriman pesan, kepo orang-orang terdekat, dan sebaliknya mereka pun bisa kepoin saya kalau-kalau kangen.
Seminggu tanpa Facebook sangat menenangkan dan menyehatkan. Saya bisa tidur awal, bangun tanpa sengatan cahaya layar, dst.
Menurut BBC (http://www.bbc.co.uk/newsbeat/article/26780069/smartphone-overuse-may-damage-eyes-say-opticians), menatap layar smartphone dalan frekuensi yang intensif, menyebabkan gangguan tidur, mood yang tidak menentu, sakit kepala, jarak lihat yang semakin mendekat, dan macular degeneration.
Reinstalasi FB membuat saya pun jadi lebih bijaksana menggunakan media sosial ini: frekuensi cek update pun tidak dalam hitungan jam! Saya kadang bisa berhari-hari tidak cek Facebook: record yang dulu mana bisa saya pertahankan dalam waktu 5 menit!

Menjadi media social junkie bukanlah impian saya. Facebook adalah satu-satunya media sosial di smartphone saya saat ini. Barangkali teman-teman yang membaca tulisan bisa mengambil hikmah dan ini bisa jadi inspirasi buat kalian. Have a nice day J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar