Selasa, 27 September 2016

following, liking, adding, subscribing, stalking


 Sadar tidak sadar, internet telah meningkatkan angka penderita HIV/AIDS di dunia. Konon maraknya jumlah website/aplikasi smartphone untuk online dating adalah sebabnya.

Sadar tidak sadar, hidup kita diambil alih oleh internet. Mulai dari arus informasi, tekanan industri, bahkan sampai jumlah penduduk. Bagaimana tidak? Tetangga saya mau tahu saya sedang ngapain saja, bukannya mengirim saya sms/pesan online menanyakan kabar, malah men-stalking di Facebook. Ibu-ibu rumah tangga bukannya buka lapak di pasar, bakul lapaknya dijejer di internet. Jika industri naik, angka kelahiran menurun. Itu hukum alam jaman sekarang, teman.

Internet menyita banyak waktu manusia. Manusia sendiri merasa waktunya disita internet? Kelihatannya tidak. Mereka dengan suka rela membuka akun di sana-sini, bahkan rela membayar untuk akses-akses tertentu.

Saya suka miris jika sedang di kereta atau di taman, melihat sepasang kekasih duduk bersebelahan tapi tertunduk menatap layar di ganggaman tangannya masing-masing. Tiada kata. Tanpa percakapan. Kontak mata? Jika si kekasih bilang, “Eh sayang, lihat deh ini postingannya lucu banget kan?” Pacarnya menoleh, tapi yang dilihat toh si layar smartphone juga…

Rasa-rasanya manusia seperti ini adalah makhluk setengah-setengah: setengah hidup di dunia nyata, setengahnya maya. Jadi kayak pintu Doraemon begitu: masuk dimensi lain, keluar lagi, masuk lagi…

Banyak memang manfaat internet. Contohnya saya bisa tinggal dan mengenyam pendidikan di Jerman berkat kekreatifan saya menggunakan internet. Saya tidak bilang berkat internet loh… Toh banyak orang menggunakan internet dengan jumlah giga bite yang bombastis tapi di mana mereka sekarang?

Di rumah, di atas kasur, men-stalking instagram Kendal Jenner.

***
Bicara tentang stalking, bicara tentang media sosial. Sebut saja Facebook, Twitter, Instagram, dkk. Aturan main di sana memang: tunjuk pamerreaksi publikrepeat. Teman Facebook saya makan es cendol saja difoto dan diupload di Facebook, dapat like dari pemirsa. Besoknya dia foto lagi menu makan serba murah dari KFC— yang dia beli dari uang jajan terakhirnya (barangkali). Siklus ini (tunjuk pamerreaksi publikrepeat), herannya, tidak membuat mereka jengah. Boro-boro sadar kalau mereka sedang pasif!

Kata kolega saya, “Orang-orang begitu memang tidak punya hobi.”

Saya akhirnya jadi membenarkan hipotesis dia. Jika “semua” bisa diakses dari smartphone mungil, siapa lagi yang mau repot-repot memiliki hobi. Siapa yang hari gini masih melukis atau menggambar dengan mengandalkan imajinasi dan keaslian karyanya? Ngapain mikirin inspirasi dari dunia nyata, jika bisa saya tiru dari gambar-gambar di Google?

Hidup di jaman following, liking, adding, subscribing, stalking, lama-kelamaan saya merasakan kekeringan jiwa orang-orang di seputaran bumi ini beredar. Internet memang gratis, tapi justru kegratisan ini seperti membeliputus jiwa-jiwa manusia.

Blackberry messenger adalah sebuah media sosial di mana usernya hampir selalu aktual meng-update status. Senang, update status, patah hati, update status, jadian, update status, putus, update status, sedih, update status, lapar update status, tukang sate lewat pun dia update! … don’t these people have any other thing to do?
“Mereka nggak punya hobi, Mona,” suara kolega saya berdengung lagi.

***
Saya ingin sedikit berkisah tentang alpanya hobi.

Pernah ketika kuliah, teman saya mengeluh tentang hubungan cintanya yang kandas. Dia sangat sedih dan sampai berkeinginan bunuh diri. Saya tentu saja membelalak. Dia jauh-jauh datang ke Jawa hanya untuk patah hati dan bunuh diri? You gotta be kidding me. Saat itu dia meminta saran saya, bagaimana caranya mengalihkan pikirannya, supaya rasa sakit hati itu berkurang. Saya, yang saat itu sangat niat membantu, mengopikan film-film seru dari laptop saya ke laptop dia. Selain itu saya pinjamkan novel-novel seru (yah, menurut saya, seru) saya untuk dia dibaca. Lantas dia datang lagi ke saya. Novel di tangan. Mata putus asa. Dia tidak bisa pakai “terapi” saya. Saya tidak hilang akal. Saya ajak jalan-jalan. Dia menikmati ketika kami di jalan, tapi ketika pulang, dia kembali membiru. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Lalu saya menyerah. Masuk semester 5 dia dropped out dan menikah (dengan pria lain, tentu saja). Sangat disayangkan. Dan terlebih lagi, saya benar-benar menyayangi dia sebagai sahabat.

Saat berada di dunia kerja, seorang teman seperjuangan saya mengeluh hal yang sama: putus cinta,  putus asa. Teman saya ini unik: cerdas dan cantik. Di mata saya dia bisa jadi inspirasi untuk kerja keras dan perjuangannya meraih gelar master hingga mendapat beasiswa ke luar negeri. Tapi dia sendiri tersesat di sebuah arena tanpa petunjuk: what to do now???. Status dia di Facebook isinya jelas-jelas broken hearted. Penyesalan, cinta, ambisi, harga diri, kekecewaan, harapan, jengkel, putus asa, mau move on tapi malah jalan di tempat…ah, campur aduk. Dia beberapa kali minta saran ke saya: what should I do now.

Saya bukannya dokter cinta. Saya hanya teman biasa yang dimintai saran. Beberapa hari setelah dia putus cinta, ternyata saya pun mengalaminya. Lebih jelasnya, hubungan asmara saya berakhir dengan seorang pria Jerman. Saya menangis. Saya kan sudah bilang, saya bukan dokter cinta.

Hari ke dua. Masih di setiap pukulan jarum detik, saya memikirkan si yang baru saja jadi mantan—kecuali jika sibuk di tempat kerja atau tidur. Pagi-pagi mendayung sepeda di tengah dinginnya udara Jerman, saya pikirin dia. Sambil mengiris sayur di dapur mungil saya, muncul lagi ulah dia yang bikin geram. Sambil sedot debu kamar, teringat betapa lembutnya hati mantan yang kadang  malah saya tanggap angin lalu. Beberapa detik kemudian, saya mandi. Di tengah guyuran air hangat di atas bahu (saya seharusnya menikmati momen ini, tapi tidak. Kepala saya berasap) muncul penyesalan: kenapa saya begitu bodoh? Eh, besoknya ketika di dalam bis menuju sekolah, saya berhasil mengumpulkan 50 kesalahan si mantan terhadap saya. My mind was just like a roller coaster!
Dua hari kemudian, saya mencapai klimaks. Saya tidak akan keluar dari lubang jika saya tidak tegakkan lutut dan bangun, pikir saya. Selama dua hari ini saya hanya seperti bola yang ditendang sana sini oleh pikiran saya sendiri. Sempat gol? Ya, habis gol dioper-oper lagi ke depan, ke belakang, kanan kiri.

Layaknya manusia dan perasaan: mereka memang saling tergantung. Bahkan at some point kamu malah terbiasa dengan itu, dan justru menikmati keterpurukkan tersebut. Ujung-ujungnya kamu mendapati diri kamu berjalan di tempat. (Boro-boro move on) And I don’t want it!

Singkatnya, sebelum genap hari ke tiga, saya sudah semangat lagi dan berpikir positif. Hubungan cinta yang sempat berlangsung lebih dari setahun sekarang bukan lagi monster di kepala saya.
Pelajaran saya selama ini simpel saja: kenali apa yang kamu mau dan terlebih lagi apa yang kamu butuh. Prinsip ini yang mengantarkan saya ke sebuah movement. Adalah hobi dan interes. Saya menyukai fotografi, jalan-jalan, dan menulis. Dan ketika putus cinta, saya akhirnya menemukan lapangan luas di mana saya bisa mengekspresikan hobi dan interes. Now I have mooooreee quality time for most all of them J Janji-janji weekend saya dipenuhi nama-nama dari ujung-ujung bumi, sebut saja Armenia, Madagaskar, Meksiko, Equador, Iran, Afghanistan, China, dan Indonesia (can be more). Dan kami melakukan banyak aktivitas yang mungkin: memasak menu tradisional, jalan-jalan ke kota tua, shopping, sekedar piknik di danau, saling mendandani, belajar salsa dan bachatta, makan-makan di restoran (kalo ini sangat jarang J) Caffee and Cake, atau party dan bir… You decide. Smartphone? Silahkan tinggal di tas.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar