Selasa, 30 Agustus 2016

You can be moslem, vegan, jews, gay… I can be single.

Selagi kita menikmatinya, tidak ada detik yang sia-sia.

Saat istirahat kerja siang tadi, saya membaca sebuah artikel online dari seorang jurnalis Jerman yang tampaknya… single. Artikel ini memang sudah saya tongkrongi berhari-hari. Tulisannya polos. Penulis sama sekali tidak ada maksud men-single kan umat manusia lainnya, namun pemikirannya benar-benar autentis.  Saya tertarik dengan kepolosannya dalam bercerita. Dia tidak malu jadi dirinya sendiri. Malah membalikkan “aib” single nya untuk jadi berita di blog nya yang “vintage”.
Saya tidak sendiri. Di seberang meja di mana kedua tangan saya membingkai smartphone saya, duduk seorang kolega kerja yang manis dan mungil nan ramah. Hanya kami berdua di dapur Praxis  itu. Sambil memoles keju di atas roti yang telah terbagi dua, dia mendengarkan saya yang membacakan blog ini tadi, dengan tujuan menjadi bahan bahasan. Siang yang panas di musim panas Jerman yang kadang panas kadang dingin. Meskipun lebih sering dinginnya… Daripada tidak ada bahan celotehan, saya berinisiatif membahas artikel di blog si jurnalis single.
Swantje nama kolega saya itu. Di usianya yang menginjak kepala tiga 3, ingin betul dia menikah, tuturnya beberapa waktu yang lalu. Saya tahu, dia bukan ingin menikah karena usianya, namun karena ia telah menemukan pasangan yang tepat. Summer tahun depan dia akan menikah dengan sang pria beruntung itu. Menurut pengakuan Swantje, hubungan mereka belum berlangsung lama. Baru dua tahun:  bagi orang Jerman, dua kali 365 hari terlalu cepat untuk terjerumus ke pelaminan. But after all, I’m happy for her…
Masuklah kami ke artikel ini. Bertemakan single. Seperti biasa, saya memang suka membuka tema dengan lawan bicara yang saya rasa cukup open minded untuk diajak berbuka pendapat. Semakin banyak kata yang terurai di antara kami, semakin terang di mata saya bahwa umur memainkan peran.

“Saya juga pernah ada di masa-masa di mana saya berkata pada diri sendiri : no marriage, no kids, meskipun saat itu saya sedang berpacaran dengan seseorang, hubungan kami sempat bertahan selama enam tahun.”

Saya juga pernah ada di masa-masa… Kalimat ini terdengar seolah-olah “Suatu saat juga pasti kamu ingin menikah dan mempunyai anak.” Saya memang tidak mengelak. Saya belum pernah berusia 31, sementara 6 tahun yang lalu Swantje berusia seperti saya.
Baiklah. Seperti saya bilang, tidak berniat membangkangi kalimat Swantje barusan. Dia tahu arah bicara saya. Saya menjalani gaya hidup single, pemikiran dan prinsip single. Swantje paham itu dan setuju bahwa itu tidak salah. Meskipun, ‘salah atau benar’ sebenarnya hanyalah interest orang jaman adam dan hawa…

“Lalu saat saya berkenalan dengan tunangan saya, saat itulah semuanya berubah. Semua rencana banting stir, dan mendadak saya menginginkan pernikahan dan anak. Saya bahkan tidak bisa lagi sabar,” Lanjutnya lagi dengan tatapan seperti seorang ibu ke anaknya: Nduk, ikut nasihat ibu, nak…

Saya hanya menjawab, “Akan datang waktunya.”

Itulah letak permasalahannya. Orang mengukur seberapa jauh jarak ke-single-an dari masa di mana kita in relationship. Kalimat gampangnya: ketika kita single, bukannya malah menikmati masa-masa berkenalan dengan diri sendiri, kita malah menanti-nanti, “Kapan yah aku dipacari?” Akhirnya kita kelewatan memaknai arti single. Padahal momen pemaknaan itu begitu indah dan jujur.
Bicara single memang rawan. Yang pertama, status ini dipandang sebagai aib. Tuntutan sosial seolah-olah memaksa kita untuk berpikir,

“Si X yang jelek aja nggak jomblo… Berarti.. saya lebih jelek dari X? Oh tidaaak… Apa kata dunia!”

atau karena desakan usia,
“Jangan-jangan saya jadi perawan tua besok-besok!!”

Yang ke dua, ada rasanya kesepian dan kurang percaya diri.

“Kalo ada pacar kan yang bantu pindahan, anterin ke kampus, ngajak nonton di bioskop…”

dan seterusnya.

Artikel yang saya maksud di paragraf teratas bisa kamu temukan di sini http://dieschreibmaschine.net/2016/08/11/kurioses-single/ (Bagi yang bisa berbahasa Jerman, silahkan baca.)

Secara ringkas, artikel ini bercerita tentang seperti apa kamu memandang single itu? Banyak orang menganggap single itu aneh, tapi si penulis menganggapnya sebuah fase yang tidak ada bedanya dengan berpacaran. Salah satu contoh: penulis menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri secara “mewah”. Bahkan penulis menambahkan, menjadi single adalah juga sebuah pandangan. Artinya, sekalipun kita mempunyai pacar, kita tetap bisa menerapkan gaya hidup single.

 http://weheartit.com/entry/83348880

Single bukan berarti memperlakukan diri sendiri secara “kurang berharga”. Setiap momen adalah berharga! Setiap momen single itu berharga. Sebagai seorang perempuan, kamu pasti bosan mendengar tuduhan klasik ini kan: wanita berdandan untuk menarik perhatian laki-laki. Kalian sendiri tahu, itu tidak benar. Ketika berdandan, kamu sebenarnya sedang menyenangkan diri sendiri. Dalam hal makan pun demikian. Bukan hanya karena sang kekasih duduk di seberang meja makan, jadi segalanya pun harus dibuat rapi, segelas anggur merah di antara tepi piring dan nyala lilin… Saat single pun kamu bisa mengalami semua kemewahan itu. Ciptakanlah kemewahanmu sendiri dalam ke-single-anmu. Kembali ke artikel tadi: tergantung dari sudut mana kamu memandang single itu.
Menjadi single= mencintai diri sendiri.


Artikel ini berlanjut J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar