Sekitar 17-18 tahun yang lalu, saya masih memiliki indra
penciuman yang sangat kuat. Saya bahkan punya sebuah hobi yang janggal: membaui
(baca: mencium-cium suatu jenis bau). Saya katakan hobi ini tergolong janggal
karena saya tidak pernah lihat tuh,
orang cium-cium bangke belalang, tapi
saya pernah… Saya bahkan bisa sampai memarahi diri saya sendiri jika itu tidak
saya lakukan (menciumi bau).
Saya ingat betul, betapa isnting saya suka menantang saya.
Jika melihat sebuah serangga, dia bilang “Kalau rupanya begitu buruk, pasti
baunya pun tak sedap. Ayo cium! Cari tahu, seberapa busuk baunya!” Kita semua
tahu bentuk serangga kebanyakan “asing”, “tidak indah”, “mirip mesin/monster”. Jenis
serangga yang biasanya saya cium adalah yang sudah mati dan tergeletak tanpa
“nyawa” di mana pun itu.
Ternyata bukan hanya serangga. Pada suatu musim hujan di
masa kecil saya yang penuh rasa penasaran itu, bertumbuhan di sekitaran halaman
rumah kami sebuah jenis jamur aneh berwarna orens, tudungnya berwarna orens
menyala. Belum pernah seumur hidup saya yang masih sedikit saat itu, melihat
jamur dengan warna se-ngejreng itu.
Bagaimana tidak menyedot rasa ingin tahu, dia tumbuh di cela-cela kerikil membosankan
di depan rumah saya. Satu-satunya yang berwarna di situ hanyalah si jamur dan
sejumput rumput hijau kesepian sekitar satu meter di sampingnya. Lagi-lagi
insting saya menyeret saya ke situ. Selama beberapa hari mekar-mekarnya, saya duduk
jongkok di samping mereka, mengamati jamur-jamur itu berlama-lama. Saya tahu
usia jamur hanya sekejap mata. Tidak ingin melewati kesempatan langka ini. Saya
tahu rupanya terlalu berlebihan menarik, artinya beracun (sesuatu yang bagi
sensor penasaran saya justru menarik). Aromanya pun dari jarak 50 centi sudah
tercium: busuk. Sudah jelas-jelas busuk, dengan rayuan yang keras, insting saya
menyuruh “Mendekat, letakkan tepat di depan lubang hidung.” Dan saya yang tak
berdaya, melakukannya.
Memang benar-benar busuk.
Jamur sialan.
Jamur orens sialan.
Tapi anehnya saya puas. Sudah tahu rasa, ya sudah, puas.
***
Anekdot jamur orens dan baunya yang menyengat selesai. Sampai
saat itu indra penciuman saya memang tajam. Sekalipun sebagai anak kecil saya
tidak menyadarinya, di kemudian hari barulah saya tercengang oleh perbedaannya.
Saat itulah saya mulai menelusuri kembali riwayat indra penciuman saya sejak
saya punya ingatan. Anekdot dalam tulisan lepas ini adalah riwayat singkatnya.
***
Saya memiliki tetangga yang sangat suka kerapihan,
kebersihan, dan keindahan. Mereka sekeluarga memang doyan makan ikan, seingat
saya. Setiap kali selesai makan ikan, saya pasti turut mendengar si ibu menegur
anak-anaknya untuk mencuci tangan. “Bau amis!” tegurnya sedikit comel (namanya juga ibu-ibu). Lucunya, karena rumah kami itu
sangat berdekatan, saya sering mendengar suara ibunya. Memang beliau sangat
tegas dan disiplin kepada anak-anaknya. Percakapan normal yang terjadi di teras
belakang rumah mereka jarang saya dengar dari teras rumah saya, namun
teguran-teguran sang ibu terhadap anak-anaknya… sudah pasti saya turut dengar
juga. Terkadang beliau benar-benar tegas sehingga saya sebagai anak kecil saat
itu jadi sekejap diam tak berkutik, meskipun bukan saya yang sedang
dimarahi/diteguri.
Sekitar 18-19 tahun yang lalu. Di sekolah dasar. Teman-teman
sekelas saya sering membuat celotehan yang cukup bikin iritasi kalau saya
ingat-ingat. Salah satu contohnya, “Hmh, bau! Siapa yang kentut!!!” Meskipun
memang kentut itu bau, tapi cara mereka melebih-lebihkan bau sebuah kentut itu
selalu membuat saya gerah ketika kecil. Masih ingat betul, saya merasa tidak lucu jika ada yang
menistakan sebuah bau kentut. Come on,
setiap orang punya lambung kan… isinya apa kalau bukan calon hajat. Yang paling
membuat iritasi adalah jika yang kentut ketahuan siapa orangnya, pasti
diperhinakan habis-habisan, seolah baru bangkai pun masih harum. Setidaknya
begitulah pengalaman masa sekolah dasar saya. Entahlah bagaimana dengan kalian.
Kisah kecil ini ternyata berdampak besar ketika saya beranjak
dewasa. Sebagai anak kecil ketika itu, saya hanya tahu apa yang saya lihat dan
saya dengar. Karena selalu mendengar “ih, bauuu!!!” atau “idihhh, jijikkkk ah,
bau amis!!! sana cuci tangan!”, atau “Sana mandi!”, secara otomatis saya
mengartikan bau sebagai sesuatu yang menjijikkan, jahat, perlu dihindari, tidak
bisa ditoleransi, jelek, sampai memalukan. Perlahan-lahan tanpa sadar, saya
belajar berhenti menghirup lewat hidung setiap kali berpapasan dengan sesuatu
yang mengeluarkan bau busuk. Dengan demikian saya tidak perlu menanggung derita
bau. Ketika itu mana saya tahu akibatnya, namanya juga anak kecil. Tanpa sadar
saya lakukan penahanan napas tersebut secara otomatis, kapan pun saya melihat bangkai
atau mendeteksi bau.
Ketika remaja, mendengar teman sekelas atau seasrama berkata
“Hmh, bau! Mona kau cium itu tidak?” Dan saya menjawab polos “Apa? Apa yang
bau? Saya tidak cium apa-apa.” Kalau memang baunya busuk, saya tidak rugi,
justru untung: saya berhasil dan selamat melalui detik-detik kelam mencekam
ketika seseorang kentut di dalam ruangan. Semua orang memaki dan mengutuk
seraya saling melempar pandangan menuduh. Saya? Sibuk dengan kesibukan saya
sendiri, dengan damainya. Kalau pun angin jahat nan halus itu busuknya minta
ampun, pasti hidung saya ikutan tangkap juga, tapi biasanya paling terakhir,
terlambat loading sensornya.
Namun, jika yang saya lewatkan itu adalah aroma masakan….
Saya merasa sialan juga… “Ya ampun, harum bangettt… Jadi lapar…,” seru teman
saya sambil menarik napas dalam-dalam. Dan saya hanya berdiri bingung, mencari
sinyal, sambil membayangkan aroma masakannya. “Barangkali begini, ya,
pasti harum banget,” bisik hati saya sambil membayangkan tumisan sayur pakai
bawang merah dan putih. Mentok.
***
Sejak tahun lalu saya berdomisili di Jerman. Saat itu saya
berkenalan dengan seorang pria yang benar-benar jago masak. Kemampuannya
memasak membuat saya bungkam. Saya yang tadinya menghitamkan kosa kata dapur,
akhirnya jatuh cinta setengah mati dengan dunia gastronomi. Pria ini sangat
mencintai sayur-sayuran. Dia menguasai nama-nama bumbu, bahkan sampai yang
tidak saya temukan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Rosmarin. Dia tahu proses memasak, dan proses sebuah bahan
termasak. Dia bisa jelaskan semua itu dengan detail dan setiap deskripsi
masakannya tercium passion yang bisa
meleleh di ujung lidah. Dia bisa jelaskan kenapa dalam tumisan sayur kita
membutuhkan lemak hewani ; “It is the
trigger,” katanya dengan mata bernyala-nyala.
Dapur adalah kosakatanya. Memasak adalah panggilan hidupnya.
Makan adalah suka citanya. Kami sering menghabiskan waktu bersama memasak, dan
menikmati masakan kami. Koreksi: masakan
dia. Saya hanya bisa mengiris bawang. Namun saya belajar banyak hal dari
kebersamaan ini.
Saya ingat betul. Setiap kali dia memasukkan bumbu atau
bahan berikutnya ke dalam wajan, aduk, dia dekatkan hidungnya ke wajan dan
menghirup dalam-dalam. Mata terpejam. Saya terpana. Saya tidak tutup mata. Saya
menunggu. Dia mau bilang apa.
“Hmmm….” katanya dengan senyum bangga. “Mona, sini, coba
cium!” Saya mendekat, hidung kedap-kedip, dengan mata terbuka, lagi-lagi
mencari sinyal…
Saya tidak melihat adegan live mencium masakan ini sebagai sesuatu yang lebay. Insting saya
paham: kalau memang cinta, pasti jadi mellow…
Saya juga kalau lihat high heels di toko sepatu, saya bisa meleleh
bahagia. Itu baru melihat loh!
Kejadian narsis mencium masakan ini dilakukan si Pria Jerman
berkali-kali, setiap kali kami memasak. Lalu karena penasaran, saya bertanya di
suatu sore, ketika kami jalan-jalan ke hutan. Hutan-hutan di Jerman indah-indah
dan berpelindung hukum, benar-benar untuk mencari kedamaian.
“Kenapa kamu suka mencium masakan dan lebay cara ciumnya?”
tanya saya blak-blakan.
Lalu keluarlah anekdot masa kecilnya.
Ketika itu si Pria Jerman berusia 11 tahun. Bertiga dengan
ayah tirinya yang sarkastis dan ibunya, mereka duduk di bus. Bus ini berjalan
melewati pedesaan dan ladang. Kebetulan saat itu sedang musim menanam. Petani
di Jerman sejak dulu menggunakan kotoran hewan asli sebagai pupuk, demi menjaga
kesuburan dan humus tanah (super duper smart!—komentar penulis). Ketika Bus lewat, masuklah aroma kotoran
hewan itu ke lewat cela-cela lubang bus dan menyebar ke indra penciuman setiap
penumpang (bus-bus di Jerman tertutup rapat karena mereka mempunyai musim
dingin, sekalipun summer, mereka
tidak jalan dengan pintu/jendela terbuka seperti di Indonesia). Mencium bau tak
sedap, si ayah tiri berkata ironis “wah, benar-benar harum ya…”
Si Pria Jerman yang ketika itu masih anak-anak menerjemahkan
kalimat yang didengarnya tadi utuh-utuh seperti kedengarannya. Yang dia paham:
Oh, ini baunya enak. Sejak saat itu ia mengenali bau pupuk kandang sebagai
aroma yang bagus untuk hidung. Dia mengaku ke saya, sering mencium dalam-dalam
aroma pupuk kandang, sampai ia cukup besar untuk memahami kalimat ironi,
parabola, dan sarkasme.
Kebersamaan kami memang membuat saya menyadari satu hal:
indra penciuman si pria Jerman memang benar-benar tajam. Hipotesis saya, karena
dia tidak bersembunyi di balik paru-paru yang terbuka dan tertahan di sana.
Sebaliknya, dia menerima bau apa adanya. Sebagai sebuah proses kimia yang kadang
enak kadang tidak.
Saya akhirnya belajar, ketajaman indra, begitu pula dengan
ketumpulannya adalah kemampuan yang bisa dilatih, sama halnya dengan saraf,
sensor, otot, kemampuan berpikir, hati nurani dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar