Kamis, 25 Agustus 2016

Pria Jerman, Sang Pahlawan Dapur

Sekitar 17-18 tahun yang lalu, saya masih memiliki indra penciuman yang sangat kuat. Saya bahkan punya sebuah hobi yang janggal: membaui (baca: mencium-cium suatu jenis bau). Saya katakan hobi ini tergolong janggal karena saya tidak pernah lihat tuh, orang cium-cium bangke belalang, tapi saya pernah… Saya bahkan bisa sampai memarahi diri saya sendiri jika itu tidak saya lakukan (menciumi bau).

Saya ingat betul, betapa isnting saya suka menantang saya. Jika melihat sebuah serangga, dia bilang “Kalau rupanya begitu buruk, pasti baunya pun tak sedap. Ayo cium! Cari tahu, seberapa busuk baunya!” Kita semua tahu bentuk serangga kebanyakan “asing”, “tidak indah”, “mirip mesin/monster”. Jenis serangga yang biasanya saya cium adalah yang sudah mati dan tergeletak tanpa “nyawa” di mana pun itu.

Ternyata bukan hanya serangga. Pada suatu musim hujan di masa kecil saya yang penuh rasa penasaran itu, bertumbuhan di sekitaran halaman rumah kami sebuah jenis jamur aneh berwarna orens, tudungnya berwarna orens menyala. Belum pernah seumur hidup saya yang masih sedikit saat itu, melihat jamur dengan warna se-ngejreng itu. Bagaimana tidak menyedot rasa ingin tahu, dia tumbuh di cela-cela kerikil membosankan di depan rumah saya. Satu-satunya yang berwarna di situ hanyalah si jamur dan sejumput rumput hijau kesepian sekitar satu meter di sampingnya. Lagi-lagi insting saya menyeret saya ke situ. Selama beberapa hari mekar-mekarnya, saya duduk jongkok di samping mereka, mengamati jamur-jamur itu berlama-lama. Saya tahu usia jamur hanya sekejap mata. Tidak ingin melewati kesempatan langka ini. Saya tahu rupanya terlalu berlebihan menarik, artinya beracun (sesuatu yang bagi sensor penasaran saya justru menarik). Aromanya pun dari jarak 50 centi sudah tercium: busuk. Sudah jelas-jelas busuk, dengan rayuan yang keras, insting saya menyuruh “Mendekat, letakkan tepat di depan lubang hidung.” Dan saya yang tak berdaya, melakukannya.

Memang benar-benar busuk.
Jamur sialan.
Jamur orens sialan.
Tapi anehnya saya puas. Sudah tahu rasa, ya sudah, puas.

***

Anekdot jamur orens dan baunya yang menyengat selesai. Sampai saat itu indra penciuman saya memang tajam. Sekalipun sebagai anak kecil saya tidak menyadarinya, di kemudian hari barulah saya tercengang oleh perbedaannya. Saat itulah saya mulai menelusuri kembali riwayat indra penciuman saya sejak saya punya ingatan. Anekdot dalam tulisan lepas ini adalah riwayat singkatnya.

***

Saya memiliki tetangga yang sangat suka kerapihan, kebersihan, dan keindahan. Mereka sekeluarga memang doyan makan ikan, seingat saya. Setiap kali selesai makan ikan, saya pasti turut mendengar si ibu menegur anak-anaknya untuk mencuci tangan. “Bau amis!” tegurnya sedikit comel (namanya juga ibu-ibu). Lucunya, karena rumah kami itu sangat berdekatan, saya sering mendengar suara ibunya. Memang beliau sangat tegas dan disiplin kepada anak-anaknya. Percakapan normal yang terjadi di teras belakang rumah mereka jarang saya dengar dari teras rumah saya, namun teguran-teguran sang ibu terhadap anak-anaknya… sudah pasti saya turut dengar juga. Terkadang beliau benar-benar tegas sehingga saya sebagai anak kecil saat itu jadi sekejap diam tak berkutik, meskipun bukan saya yang sedang dimarahi/diteguri.

Sekitar 18-19 tahun yang lalu. Di sekolah dasar. Teman-teman sekelas saya sering membuat celotehan yang cukup bikin iritasi kalau saya ingat-ingat. Salah satu contohnya, “Hmh, bau! Siapa yang kentut!!!” Meskipun memang kentut itu bau, tapi cara mereka melebih-lebihkan bau sebuah kentut itu selalu membuat saya gerah ketika kecil. Masih ingat betul,  saya merasa tidak lucu jika ada yang menistakan sebuah bau kentut. Come on, setiap orang punya lambung kan… isinya apa kalau bukan calon hajat. Yang paling membuat iritasi adalah jika yang kentut ketahuan siapa orangnya, pasti diperhinakan habis-habisan, seolah baru bangkai pun masih harum. Setidaknya begitulah pengalaman masa sekolah dasar saya. Entahlah bagaimana dengan kalian.

Kisah kecil ini ternyata berdampak besar ketika saya beranjak dewasa. Sebagai anak kecil ketika itu, saya hanya tahu apa yang saya lihat dan saya dengar. Karena selalu mendengar “ih, bauuu!!!” atau “idihhh, jijikkkk ah, bau amis!!! sana cuci tangan!”, atau “Sana mandi!”, secara otomatis saya mengartikan bau sebagai sesuatu yang menjijikkan, jahat, perlu dihindari, tidak bisa ditoleransi, jelek, sampai memalukan. Perlahan-lahan tanpa sadar, saya belajar berhenti menghirup lewat hidung setiap kali berpapasan dengan sesuatu yang mengeluarkan bau busuk. Dengan demikian saya tidak perlu menanggung derita bau. Ketika itu mana saya tahu akibatnya, namanya juga anak kecil. Tanpa sadar saya lakukan penahanan napas tersebut secara otomatis, kapan pun saya melihat bangkai atau mendeteksi bau.

Ketika remaja, mendengar teman sekelas atau seasrama berkata “Hmh, bau! Mona kau cium itu tidak?” Dan saya menjawab polos “Apa? Apa yang bau? Saya tidak cium apa-apa.” Kalau memang baunya busuk, saya tidak rugi, justru untung: saya berhasil dan selamat melalui detik-detik kelam mencekam ketika seseorang kentut di dalam ruangan. Semua orang memaki dan mengutuk seraya saling melempar pandangan menuduh. Saya? Sibuk dengan kesibukan saya sendiri, dengan damainya. Kalau pun angin jahat nan halus itu busuknya minta ampun, pasti hidung saya ikutan tangkap juga, tapi biasanya paling terakhir, terlambat loading sensornya.

Namun, jika yang saya lewatkan itu adalah aroma masakan…. Saya merasa sialan juga… “Ya ampun, harum bangettt… Jadi lapar…,” seru teman saya sambil menarik napas dalam-dalam. Dan saya hanya berdiri bingung, mencari sinyal, sambil membayangkan aroma masakannya. “Barangkali begini, ya, pasti harum banget,” bisik hati saya sambil membayangkan tumisan sayur pakai bawang merah dan putih. Mentok.

***

Sejak tahun lalu saya berdomisili di Jerman. Saat itu saya berkenalan dengan seorang pria yang benar-benar jago masak. Kemampuannya memasak membuat saya bungkam. Saya yang tadinya menghitamkan kosa kata dapur, akhirnya jatuh cinta setengah mati dengan dunia gastronomi. Pria ini sangat mencintai sayur-sayuran. Dia menguasai nama-nama bumbu, bahkan sampai yang tidak saya temukan terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Rosmarin. Dia tahu proses memasak, dan proses sebuah bahan termasak. Dia bisa jelaskan semua itu dengan detail dan setiap deskripsi masakannya tercium passion yang bisa meleleh di ujung lidah. Dia bisa jelaskan kenapa dalam tumisan sayur kita membutuhkan lemak hewani ; “It is the trigger,” katanya dengan mata bernyala-nyala.



Dapur adalah kosakatanya. Memasak adalah panggilan hidupnya. Makan adalah suka citanya. Kami sering menghabiskan waktu bersama memasak, dan menikmati masakan kami. Koreksi: masakan dia. Saya hanya bisa mengiris bawang. Namun saya belajar banyak hal dari kebersamaan ini.
Saya ingat betul. Setiap kali dia memasukkan bumbu atau bahan berikutnya ke dalam wajan, aduk, dia dekatkan hidungnya ke wajan dan menghirup dalam-dalam. Mata terpejam. Saya terpana. Saya tidak tutup mata. Saya menunggu. Dia mau bilang apa.

“Hmmm….” katanya dengan senyum bangga. “Mona, sini, coba cium!” Saya mendekat, hidung kedap-kedip, dengan mata terbuka, lagi-lagi mencari sinyal…

”Ohhh…” Tidak dipungkiri, memang enak benar sih aromanya, hehehe.




Saya tidak melihat adegan live mencium masakan ini sebagai sesuatu yang lebay. Insting saya paham: kalau memang cinta, pasti jadi mellow… Saya juga kalau lihat high heels di toko sepatu, saya bisa meleleh bahagia. Itu baru melihat loh!

Kejadian narsis mencium masakan ini dilakukan si Pria Jerman berkali-kali, setiap kali kami memasak. Lalu karena penasaran, saya bertanya di suatu sore, ketika kami jalan-jalan ke hutan. Hutan-hutan di Jerman indah-indah dan berpelindung hukum, benar-benar untuk mencari kedamaian.
“Kenapa kamu suka mencium masakan dan lebay cara ciumnya?” tanya saya blak-blakan.

Lalu keluarlah anekdot masa kecilnya.

Ketika itu si Pria Jerman berusia 11 tahun. Bertiga dengan ayah tirinya yang sarkastis dan ibunya, mereka duduk di bus. Bus ini berjalan melewati pedesaan dan ladang. Kebetulan saat itu sedang musim menanam. Petani di Jerman sejak dulu menggunakan kotoran hewan asli sebagai pupuk, demi menjaga kesuburan dan humus tanah (super duper smart!—komentar penulis). Ketika Bus lewat, masuklah aroma kotoran hewan itu ke lewat cela-cela lubang bus dan menyebar ke indra penciuman setiap penumpang (bus-bus di Jerman tertutup rapat karena mereka mempunyai musim dingin, sekalipun summer, mereka tidak jalan dengan pintu/jendela terbuka seperti di Indonesia). Mencium bau tak sedap, si ayah tiri berkata ironis “wah, benar-benar harum ya…”

Si Pria Jerman yang ketika itu masih anak-anak menerjemahkan kalimat yang didengarnya tadi utuh-utuh seperti kedengarannya. Yang dia paham: Oh, ini baunya enak. Sejak saat itu ia mengenali bau pupuk kandang sebagai aroma yang bagus untuk hidung. Dia mengaku ke saya, sering mencium dalam-dalam aroma pupuk kandang, sampai ia cukup besar untuk memahami kalimat ironi, parabola, dan sarkasme.

Kebersamaan kami memang membuat saya menyadari satu hal: indra penciuman si pria Jerman memang benar-benar tajam. Hipotesis saya, karena dia tidak bersembunyi di balik paru-paru yang terbuka dan tertahan di sana. Sebaliknya, dia menerima bau apa adanya. Sebagai sebuah proses kimia yang kadang enak kadang tidak.
Saya akhirnya belajar, ketajaman indra, begitu pula dengan ketumpulannya adalah kemampuan yang bisa dilatih, sama halnya dengan saraf, sensor, otot, kemampuan berpikir, hati nurani dan seterusnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar