·
Apa sih menurut kalian didikan itu?
·
Didikan seharusnya datang dari siapa?
·
Apakah orang tua kalian mendidik kalian dengan
baik?
·
Dari mana kamu tahu kalau didikan mereka baik?
·
Dari mana kamu tahu kalau didikan mereka tidak baik?
·
Pernahkah hati nuranimu mengejarmu dengan seribu
tanda tanya, atas apa yang kamu (tersuruh/terpaksa) telan dari kitab ajaran dan
didikanmu?
Saya akan mencoba menulis artikel
ini dengan tidak terlalu banyak melibatkan teori/bahasa buku pengantar, karena
kenyatannya adalah saya sedang pengen banget. Tapi agar mudah dipahami, artikel
ini saya sajikan lebih ke arah monolog-dialog antara pembaca yang bungkam dan
penulis yang sedang curhat. Curhatan dalam pengertian pengamatan-pengalaman-pemahaman-kritik
sosial & politik.
Masa kecil saya penuh dengan
rekaman dialog-dialog dan monolog-monolog dari orang-orang sekitar saya: orang
tua, kakak, teman bermain, teman sekelas, teman gereja, pastor-pastor, kepala
sekolah, guru-guru, tetangga, keluarga, kolega orang tua saya, teman-teman
mereka, atau bahkan hanya tamu yang sekedar numpang singgah minum air putih.
Saya suka mendengar, dan saya menikmati kata-kata. Kadang kata-kata hadir berupa
dialog antara dua orang, kadang di antara banyak orang, kadang kata-kata itu
hanya berupa keluh kesah atau sindiran, sinis, caci maki, pujian,
cerita-cerita, dongeng, anekdot, perumpamaan, peribahasa, analogi, nasihat,
omong kosong, bualan sembrono, dan masih banyak lagi. Saya rekam semuanya. Saya
masih ingat dengan jelas beberapa di antaranya, dan jika hari ini saya “putar
ulang rekaman-rekaman itu” … saya temukan banyak sekali ketidakadilan: seksismus,
stereotip, diskriminasi, nepotisme, korupsi, dll. Kenyataannya adalah saya
sering berdialog dengan “rekaman-rekaman” tersebut. Saya “putar” mereka kadang
tanpa sadar, kapan pun saya mau jika saya sadar, dan terlebih lagi ketika tiga
tahun lalu saya menyusun skripsi jenjang sarjana tentang dominasi laki-laki,
setiap hari kerjaan saya membongkar “rekaman-rekaman” berdebu dari peti memori
saya.
Bicara tentang seksismus, saking
biasanya, barangkali pula sudah basi di telinga kita: anak perempuan harus
begini begitu, anak laki-laki harus begini begitu. Lantas ketika mereka menjadi
wanita dan pria dewasa pun nanti perannya dibagi-bagi lagi, dst… Pembagian sesuai
jenis kelamin ini disertai dengan larangan-pembolehan tertentu yang nanti
muaranya terjadi ketidakadilan. Di situlah letak masalahnya.
Bicara tentang stereotip, misalnya
kalau ada anak gadis berdandan, apalagi berlebihan, datanglah suara teguran
dari si Ibu: “Nak, jangan bergaul sama dia.”
Biasanya stereotip kita gunakan
sebagai alat untuk mengumpulkan ciri-ciri agar bisa mendeteksi “mana teman yang
baik mana yang bukan”. Kita pikir itu sah-sah saja. Kita pikir kita sedang
terjun dalam dunia norma…mana ada! Kita pikir kita sedang mengajarkan rumus
yang benar kepada orang lain/anak cucu kita, kenyataannya tidak, sodara-sodara.
Karena beberapa alasan tersebutkan
tadi, makanya kerap si pelaku stereotip sendiri tidak sadar bahwa dia sedang
tidak adil (sedang menjalankan ketidakadilan).
Bicara tentang diskriminasi. Di
artikel ini saya lebih ingin tonjolkan sisi gelap yang satu ini. Tampaknya
memang akan selalu aktual untuk kembali menjadi bahan berpikir, bertimbang dan
diskusi.
Diskrimasi memiliki berbagai
jenisnya. Bukan saja suku, agama, ras, jenis kelamin, usia, tapi juga kelas
sosial tertentu.
Sejak saya kecil, saya sering
mendengar ucapan-ucapan yang berbau sinis terhadap orang dari kalangan/kelas
sosial tertentu.
Lucunya, diskriminasi yang satu ini
bukan si kaya ke miskin seperti “lumrahnya” terjadi, tapi si miskin ke kaya.
Karena si miskin iri, maka diskriminasi ini ditutupi dengan judul “diskriminasi
suku (etnis)”. PADAHAL bukan, mereka cuma iri karena si X punya lebih, karena rumput tetangga lebih hijau. Yah,
sebelas dua belas lah, sama orang yang membenci suku Yahudi.
Sinisme itu tadi sering terdengar janggal
dan tidak pakai logika, contohnya “Dasar orang kaya.” atau “Orang kaya itu
memang pelit.” dsb.
***
Coba sebutkan siapa yang paling kaya di Indonesia.Ya, kaya harta.Ya, yang banyak uang dan asetnya!Mereka adalah “orang Cina” atau benarnya etnis Tionghoa.
***
Banyak dijumpai di wilayah lokal kita,
bukan? Apalagi di ranah nasional! Artinya setiap orang Indonesia pasti sudah
tidak asing lagi dengan diskriminasi yang satu ini. Pengalaman penulis sendiri
begini: pemilik toko terbesar pertama di desa saya adalah etnis Tionghoa. Dia
ramah banget kok, anak cucunya pun ramah-ramah, tapi tetap saja jadi bahan gossip.
Sayangnya, hanya karena dia kaya L
Tulisan ini mereferensi sebuah thread (http://m.kaskus.co.id/thread/537590fb9acf17e95f000044/logika-orang-indonesia-makin-miskin-makin-benar) di kaskus yang ditulis sangat kritis
dan blak-blakan. Penulis mengambil contoh yang sangat relevan dan nyata,
keliatan sehari-hari, bahkan bisa dirasa pula. Dalam tulisan ini titik beratnya
adalah logika berpikir orang Indonesia yang sangat disayangkan terpengaruh
sinteron. Sangat menarik digambarkan penulisnya :
"Artis yang dibayar mahal tersebut, disuruh memerankan orang super miskin
namun baik hati dan selalu benar, walau endingnya dengan sedemikian rupa bisa
jadi orang kaya juga. Di sisi lain, tokoh antagonis selalu orang kaya yang
jahat absolut, menyeringai dengan kelicikannya, tidak ada satu pun kebaikan
tersisa dalam peran tokoh antagonis ala sinetron Indonesia. Tidak perlu riset
mahal untuk memahami bahwa sinetron turut berperan. Sinetron yang terus
menjejali kalangan bawah justru menciptakan ilusi perbedaan kelas yang mana
kaya=jahat dan miskin=baik. Melihat punya mobil sedikit (yah elah, mobil bukan
berarti kaya kali), sudah dicurigai antagonis” contoh salah yang dibenarkan."
Jika ditelaah, dua anekdot yang ada
dalam tulisan saya ini dan yang di tulis penulis kaskus ini memang sangat
berhubungan. Saya sangat merekomendasikan tulisan ini untuk dibaca. Orang
Indonesia cenderung menginterpretasikan sebuah ajaran dengan salah. Salah satu faktor
yang mendukung adalah… lagi-lagi agama. Contohnya dalam agama Katolik, dikenal
yang namanya “kaul kemiskinan”.
Menurut Wikipedia:
“Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukerela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan Allah.”
Banyak umat akhirnya jadi salah
paham: mereka mengira, Tuhan hanya akan senang jika umatnya miskin. Ya, miskin
yang itu tadi, miskin uang dan harta!
Masih pada trotoar salah paham itu
tadi, maka mulailah mereka untuk tidak menyukai/tidak menyenangi/menyindir/menghujat/memfitnah/menggosip
mereka-mereka yang beruang, berharta, berbenda, bermilik, dst…
Di suatu masa hidup saya, saya
pernah dengar kalimat ini terucap.
“Banyak orang kaya tidak masuk surga”
Tidak heran banyak orang memusuhi
orang kaya; siapa juga yang mau temenan sama
si calon neraka? Ya nggak?
Saking takutnya dengan neraka,
tidak ada yang ingin berusaha mengembangkan talentanya. Padahal kalau dia religius,
harusnya jeli melihat talenta, bukannya malah “dikubur di tanah”.
Melihat kekayaan sebagai hasil usaha,
bukan dari sudut pandang agama yang salah terinterpretasi
Uang itu tidak jahat. Buang
jauh-jauh perspektif ini, ini sudah tidak jaman lagi untuk menjadi cukup bodoh
dan berpikir seperti itu. Menjadi kaya itu REJEKI! Bukan serta merta calon
neraka. Namun ingat, kekayaan tidak turun dari langit, kita perlu niat, usaha
dan kerja keras. Niatnya tentu saja bukan untuk jadi kaya atau memiliki banyak
uang, namun niatnya:
ü mendapatkan
gizi yang lebih baik
ü memiliki
rumah sendiri
ü kendaraan
sendiri
ü menikah
tanpa mengemis (mencekik) orang tua
ü berlibur
ke mana pun mau/mampu
ü membiayai
kelahiran, makan-minum anak
ü menyekolahkan
anak hingga selesai
ü menyekolahkan
anak di sekolah yang bermutu
ü menyenangkan
orang tua
ü beramal,
dst
Coba lihat, uang
sama sekali tidak jahat. Justru sebaliknya, uang bisa menjadi sangat baik jika
penggunanya bijaksana.
Teramat
disayangkan bahwa di Indonesia, jika ada yang berusaha dan bekerja keras,
segera dilabeli ambisius, serakah, dan macam-macam. Kasihan benar kan? Energi
positif, semangat, optimisme dan motivasi orang difitnah sebegitu rupa hanya
karena rasa iri…ck ck ck
Orang Kaya tidak selamanya dari hasil korupsi
Saya rasa orang yang beranggapan
seperti ini hanya orang iri, kecuali dia punya bukti-buktinya. Namun jika hanya
bualan seorang pecundang belaka, saya pun tidak suka dengarnya :D
Curhatan ini sudah mengorek-ngorek
saya sejak kecil, betapa inginnya suatu hari saya beberkan secara terbuka. Saya
tidak ingin sok pintar (demi Tuhan, saya cuma insan bernurani, saya mendeteksi ketidakadilan
menggunakan hati yang jernih) atau kedengaran peduli, karena faktanya adalah
saya memang peduli. Jika saya diam, kasihan suara yang terbungkam. Jika saya pendam,
siapa lagi yang mau berjuang buka suara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar