Rabu, 24 Agustus 2016

Dari Cina yang didiskriminasi hanya karena kaya sampai katolik dan kaul kemiskinan

·        Apa sih menurut kalian didikan itu?
·        Didikan seharusnya datang dari siapa?
·        Apakah orang tua kalian mendidik kalian dengan baik?
·        Dari mana kamu tahu kalau didikan mereka baik?
·        Dari mana kamu tahu kalau didikan mereka tidak baik?
·        Pernahkah hati nuranimu mengejarmu dengan seribu tanda    tanya, atas apa yang kamu (tersuruh/terpaksa) telan        dari kitab ajaran dan didikanmu? 


Saya akan mencoba menulis artikel ini dengan tidak terlalu banyak melibatkan teori/bahasa buku pengantar, karena kenyatannya adalah saya sedang pengen banget. Tapi agar mudah dipahami, artikel ini saya sajikan lebih ke arah monolog-dialog antara pembaca yang bungkam dan penulis yang sedang curhat. Curhatan dalam pengertian pengamatan-pengalaman-pemahaman-kritik sosial & politik.

Masa kecil saya penuh dengan rekaman dialog-dialog dan monolog-monolog dari orang-orang sekitar saya: orang tua, kakak, teman bermain, teman sekelas, teman gereja, pastor-pastor, kepala sekolah, guru-guru, tetangga, keluarga, kolega orang tua saya, teman-teman mereka, atau bahkan hanya tamu yang sekedar numpang singgah minum air putih. Saya suka mendengar, dan saya menikmati kata-kata. Kadang kata-kata hadir berupa dialog antara dua orang, kadang di antara banyak orang, kadang kata-kata itu hanya berupa keluh kesah atau sindiran, sinis, caci maki, pujian, cerita-cerita, dongeng, anekdot, perumpamaan, peribahasa, analogi, nasihat, omong kosong, bualan sembrono, dan masih banyak lagi. Saya rekam semuanya. Saya masih ingat dengan jelas beberapa di antaranya, dan jika hari ini saya “putar ulang rekaman-rekaman itu” … saya temukan banyak sekali ketidakadilan: seksismus, stereotip, diskriminasi, nepotisme, korupsi, dll. Kenyataannya adalah saya sering berdialog dengan “rekaman-rekaman” tersebut. Saya “putar” mereka kadang tanpa sadar, kapan pun saya mau jika saya sadar, dan terlebih lagi ketika tiga tahun lalu saya menyusun skripsi jenjang sarjana tentang dominasi laki-laki, setiap hari kerjaan saya membongkar “rekaman-rekaman” berdebu dari peti memori saya.

Bicara tentang seksismus, saking biasanya, barangkali pula sudah basi di telinga kita: anak perempuan harus begini begitu, anak laki-laki harus begini begitu. Lantas ketika mereka menjadi wanita dan pria dewasa pun nanti perannya dibagi-bagi lagi, dst… Pembagian sesuai jenis kelamin ini disertai dengan larangan-pembolehan tertentu yang nanti muaranya terjadi ketidakadilan. Di situlah letak masalahnya.

Bicara tentang stereotip, misalnya kalau ada anak gadis berdandan, apalagi berlebihan, datanglah suara teguran dari si Ibu: “Nak, jangan bergaul sama dia.”
Biasanya stereotip kita gunakan sebagai alat untuk mengumpulkan ciri-ciri agar bisa mendeteksi “mana teman yang baik mana yang bukan”. Kita pikir itu sah-sah saja. Kita pikir kita sedang terjun dalam dunia norma…mana ada! Kita pikir kita sedang mengajarkan rumus yang benar kepada orang lain/anak cucu kita, kenyataannya tidak, sodara-sodara.
Karena beberapa alasan tersebutkan tadi, makanya kerap si pelaku stereotip sendiri tidak sadar bahwa dia sedang tidak adil (sedang menjalankan ketidakadilan).

Bicara tentang diskriminasi. Di artikel ini saya lebih ingin tonjolkan sisi gelap yang satu ini. Tampaknya memang akan selalu aktual untuk kembali menjadi bahan berpikir, bertimbang dan diskusi.
Diskrimasi memiliki berbagai jenisnya. Bukan saja suku, agama, ras, jenis kelamin, usia, tapi juga kelas sosial tertentu.
Sejak saya kecil, saya sering mendengar ucapan-ucapan yang berbau sinis terhadap orang dari kalangan/kelas sosial tertentu.
Lucunya, diskriminasi yang satu ini bukan si kaya ke miskin seperti “lumrahnya” terjadi, tapi si miskin ke kaya. Karena si miskin iri, maka diskriminasi ini ditutupi dengan judul “diskriminasi suku (etnis)”. PADAHAL bukan, mereka cuma iri karena si X punya lebih, karena rumput tetangga lebih hijau. Yah, sebelas dua belas lah, sama orang yang membenci suku Yahudi.
Sinisme itu tadi sering terdengar janggal dan tidak pakai logika, contohnya “Dasar orang kaya.” atau “Orang kaya itu memang pelit.” dsb.
***

Coba sebutkan siapa yang paling kaya di Indonesia.Ya, kaya harta.Ya, yang banyak uang dan asetnya!Mereka adalah “orang Cina” atau benarnya etnis Tionghoa.

***

Banyak dijumpai di wilayah lokal kita, bukan? Apalagi di ranah nasional! Artinya setiap orang Indonesia pasti sudah tidak asing lagi dengan diskriminasi yang satu ini. Pengalaman penulis sendiri begini: pemilik toko terbesar pertama di desa saya adalah etnis Tionghoa. Dia ramah banget kok, anak cucunya pun ramah-ramah, tapi tetap saja jadi bahan gossip. Sayangnya, hanya karena dia kaya L

Tulisan ini mereferensi sebuah thread (http://m.kaskus.co.id/thread/537590fb9acf17e95f000044/logika-orang-indonesia-makin-miskin-makin-benar) di kaskus yang ditulis sangat kritis dan blak-blakan. Penulis mengambil contoh yang sangat relevan dan nyata, keliatan sehari-hari, bahkan bisa dirasa pula. Dalam tulisan ini titik beratnya adalah logika berpikir orang Indonesia yang sangat disayangkan terpengaruh sinteron. Sangat menarik digambarkan penulisnya :
"Artis yang dibayar mahal tersebut, disuruh memerankan orang super miskin namun baik hati dan selalu benar, walau endingnya dengan sedemikian rupa bisa jadi orang kaya juga. Di sisi lain, tokoh antagonis selalu orang kaya yang jahat absolut, menyeringai dengan kelicikannya, tidak ada satu pun kebaikan tersisa dalam peran tokoh antagonis ala sinetron Indonesia. Tidak perlu riset mahal untuk memahami bahwa sinetron turut berperan. Sinetron yang terus menjejali kalangan bawah justru menciptakan ilusi perbedaan kelas yang mana kaya=jahat dan miskin=baik. Melihat punya mobil sedikit (yah elah, mobil bukan berarti kaya kali), sudah dicurigai antagonis” contoh salah yang dibenarkan."

Jika ditelaah, dua anekdot yang ada dalam tulisan saya ini dan yang di tulis penulis kaskus ini memang sangat berhubungan. Saya sangat merekomendasikan tulisan ini untuk dibaca. Orang Indonesia cenderung menginterpretasikan sebuah ajaran dengan salah. Salah satu faktor yang mendukung adalah… lagi-lagi agama. Contohnya dalam agama Katolik, dikenal yang namanya “kaul kemiskinan”.

Menurut Wikipedia:

“Kaul kemiskinan adalah pelepasan sukerela hak atas milik atau penggunaan milik tersebut dengan maksud untuk menyenangkan Allah.”


Banyak umat akhirnya jadi salah paham: mereka mengira, Tuhan hanya akan senang jika umatnya miskin. Ya, miskin yang itu tadi, miskin uang dan harta!
Masih pada trotoar salah paham itu tadi, maka mulailah mereka untuk tidak menyukai/tidak menyenangi/menyindir/menghujat/memfitnah/menggosip mereka-mereka yang beruang, berharta, berbenda, bermilik, dst…
Di suatu masa hidup saya, saya pernah dengar kalimat ini terucap.


“Banyak orang kaya tidak masuk surga”



Tidak heran banyak orang memusuhi orang kaya; siapa juga yang mau temenan sama si calon neraka? Ya nggak?
Saking takutnya dengan neraka, tidak ada yang ingin berusaha mengembangkan talentanya. Padahal kalau dia religius, harusnya jeli melihat talenta, bukannya malah “dikubur di tanah”.

Melihat kekayaan sebagai hasil usaha,
bukan dari sudut pandang agama yang salah terinterpretasi
Uang itu tidak jahat. Buang jauh-jauh perspektif ini, ini sudah tidak jaman lagi untuk menjadi cukup bodoh dan berpikir seperti itu. Menjadi kaya itu REJEKI! Bukan serta merta calon neraka. Namun ingat, kekayaan tidak turun dari langit, kita perlu niat, usaha dan kerja keras. Niatnya tentu saja bukan untuk jadi kaya atau memiliki banyak uang, namun niatnya:

ü  mendapatkan gizi yang lebih baik
ü  memiliki rumah sendiri
ü  kendaraan sendiri
ü  menikah tanpa mengemis (mencekik) orang tua
ü  berlibur ke mana pun mau/mampu
ü  membiayai kelahiran, makan-minum anak
ü  menyekolahkan anak hingga selesai
ü  menyekolahkan anak di sekolah yang bermutu
ü  menyenangkan orang tua
ü  beramal, dst

Coba lihat, uang sama sekali tidak jahat. Justru sebaliknya, uang bisa menjadi sangat baik jika penggunanya bijaksana.
Teramat disayangkan bahwa di Indonesia, jika ada yang berusaha dan bekerja keras, segera dilabeli ambisius, serakah, dan macam-macam. Kasihan benar kan? Energi positif, semangat, optimisme dan motivasi orang difitnah sebegitu rupa hanya karena rasa iri…ck ck ck

Orang Kaya tidak selamanya dari hasil korupsi
Saya rasa orang yang beranggapan seperti ini hanya orang iri, kecuali dia punya bukti-buktinya. Namun jika hanya bualan seorang pecundang belaka, saya pun tidak suka dengarnya :D

Curhatan ini sudah mengorek-ngorek saya sejak kecil, betapa inginnya suatu hari saya beberkan secara terbuka. Saya tidak ingin sok pintar (demi Tuhan, saya cuma insan bernurani, saya mendeteksi ketidakadilan menggunakan hati yang jernih) atau kedengaran peduli, karena faktanya adalah saya memang peduli. Jika saya diam, kasihan suara yang terbungkam. Jika saya pendam, siapa lagi yang mau berjuang buka suara?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar