Minggu, 12 Januari 2020

Fashion Bisa Jadi Jebakan: Ngawul Yuk!

Tulisan ini mengandung tema sustainability dan minimalisme.

Saya memang sangat mencintai fashion. Saya tergila-gila dengan pernak-pernik dan adalah kolektor anting-anting. Sering sambil membereskan, mensortir dan merapikan pernak-pernik, Saya menemukan banyak di antaranya yang Saya jarang pakai atau bahkan belum pernah sama sekali. Jadi gaunnya punya, sepatunya punya, tasnya ada, perhiasannya lengkap, Saya hanya butuh event untuk mengenakannya. Dan itu yang Saya tidak punya. Mana lagi lingkaran persahabatan Saya adalah para penggila Backpacker yang senantiasa hidup minimalis, mereka mana mungkin mengajak Saya ke pesta bergaya chi chi di mana mutiara bergelinding dan emas berkilau-kilau di lantai dansa. Aih, lebay.

Fashion is About an Outfit: Dari atas sampai Bawah Harus Senada.
Ya, jika tidak, percuma saja punya tas Gucci mahal kalau bawahnya pakai sendal jepit.
Contoh saja, Saya pernah membeli sebuah dress cantik tetapi cita rasa Saya bilang, dress itu baru maksimal kecantikannya kalau dia dilingkari ikat pinggang. Saya menengok ke dalam lemari, sudah ada 5 ikat pinggang nganggur di sana, tetapi mereka bukanlah pasangan serasi untuk dress Saya yang tanpa motif dan berwarna orens kecoklatan itu. Akhirnya daripada memubazirkan kehadiran sang dress, Saya pun harus membeli khusus ikat pinggang yang pas. Hal yang sama terjadi pada sepatu, ternyata sekian banyak sepatu di rak bukanlah pasangan ideal untuk si dress baru ini. Maka makin bengkaklah ongkos dan makin sempitlah ruang dalam rak dan lemari. Inilah salah satu perihal tentang fashion yang Saya sebut sebagai jebakan.

Kenapa Saya Bilang Fashion Bisa Jadi Sebuah Jebakan? 
Menurut pengamatan saya, karena fashion berkaitan erat dengan asesoris dan make-up. Punya baju mahal dan bermerek saja tidak cukup, tasnya harus Gucci juga, warna lipstiknya harus serasi juga. Sepatunya? Lalu tatanan rambunya? Tidak heran jika seseorang yang memiliki 12 jenis warna dress harus memiliki setidaknya 12 warna sepatu dan tas juga, selanjutnya 12 warna lipstik yang sepadan. Bukan saja koleksi  tata rias wajah dan rambut yang harus diperlengkap, tetapi produk-produk perawatannya jangan ketinggalan! Nanti kalau mukanya berjerawat bagaimana? (Siapa suruh kulitnya  ditempel-tempeli bedak?! Jadi orang kok suka merepotkan diri sendiri. Kata siapa kita lebih cantik saat berbedak?)

Dua Belas Warna Lipstik Yang Berbeda
Saya bicara begini karena Saya sudah melewatinya. Saya memiliki puluhan warna lipstik, bertumpuk-tumpuk bahan make-up dan puluhan Dress dan beberapa tas tangan beserta tetek-bengek perihal penampilan. Yang mana hampir tidak pernah saya pakai.
Sering Saya menatap semua itu dan mencoba mengingat-ingat berapa juta rupiah yang saya keluarkan untuk semuanya itu. Semakin hari saya semakin mempertanyakan keberadaan mereka: kenapa saya saat itu merasa harus memiliki mereka.
Pada suatu hari Saya menyadari: kenapa Saya membeli barang-barang yang asasinya tidak Saya butuhkan? Pertanyaan ini sudah saya coba jawab, dalam perenungan-perenungan di dalam kereta, bus, di atas sofa, di meja kerja, ketika jalan kaki, dan akhirnya Saya menyimpulkan beberapa jawaban pribadi. Saya mendapati bahwa pertanyaan ini mengantar saya menuju perenungan eksistensialis. Sepertinya saya ingin memvalidasi status sosial saya lewat penampilan, saya ingin melihat diri saya mampu dan layak untuk terlihat, dan juga sebagai bukti independensi saya. Tapi terkadang juga saya membeli sesuatu karena ada kekosongan di dalam hati. Terkadang saya membeli karena saya mau membeli, dan sanggup membeli. Bukan karena butuh.
Seperti yang John Strelecky tulis dalam novelnya, Return To The Why Cafe: saya ingin menjadi bagian dari sesuatu yang media janjikan. Saya ingin pengakuan bahwa saya adalah bagian dari sesuatu yang membuat saya merasa diri sesuatu. Sesuatu itu sayangnya semu. Ini adalah motivasi utama dari banyak di antara kita dalam hal penampilan. Baik kita sadari atau tidak.

Tukar Pakaian Sebagai Wujud Nyata Sustainable Fashion
Jadi begini, Saya tidak bilang orang tidak boleh bergaya dan menjadi fashionable, namun fashion telah menjadi salah satu pintu masuk menuju budaya konsumerisme yang tidak sehat jika kita tidak cermat dan kritis. Kita bisa tetap menjadi fashionable dengan konsep sustainable fashion. Ada beberapa cara untuk bisa hidup minimalis, ramah ekologi tapi juga sekaligus fashionable. Patokannya satu: membenahi pola konsum. Daripada menghabiskan uang dengan cara selalu membeli barang baru, kita bisa ngawul alias membeli barang bekas, pergi ke pasar loak atau jelajah lapak berlabel vintage di media online. Berikutnya adalah mengadakan atau mengikuti gerakan clothing swap atau aksi tukar baju. Dengan demikian kita memberi kesempatan pada pakaian-pakaian tak terpakai di sudut lemari kita (daripada menumpuk tak berguna) untuk mendapat kehidupan baru, dihidupi, dikenakan, dimanfaatkan. Oleh orang yang membutuhkan.
Kebanyakan kita membeli pakaian  baru atas alasan bosan dengan yang lama, atau "Yang model itu Saya belum punya!" sehingga Clothing Swap adalah jawaban yang ideal untuk kebutuhan kita itu. 
Di Hamburg, tempat Saya tinggal, masyarakatnya sudah sangat sadar lingkungan, mereka secara pro aktif membentuk organisasi-organisasi peduli lingkungan. Di bidang pakan mereka mengadakan acara tukar baju. Madani banget lah! Keren abis, Saya hanya bisa bermimpi di Tanah Air juga bisa ada kesadaran lingkungan yang sangat positif semacam ini. Berikut adalah kisah Saya mengawali dunia eko-fashion di tahun 2018.

Clothing Swap in Hamburg, Germany

Adalah sebuah Winter di tahun 2018.
Dengan bermodalkan Google Map Saya mencari gedung itu, melewati belukar di belakang Sternschanze dalam rimba kegelapan dan akhirnya... Papan nama yang tertempel di dinding depannya membenarkan pertanyaan di benak Saya. Ini tempatnya. Dari luar terlihat seolah di dalamnya tidak sedang terjadi apa-apa. Pintu besi yang berat itu Saya buka dan mendapati puluhan anak muda dengan pundi-pundi bawaan mereka berbaris rapih di setiap anak tangga menuju lantai 3! Kami menunggu 30 menit sampai tiba giliran kami. Bir di bagi-bagikan supaya kami tidak kebosanan lalu pulang.
Para partisipan dibelah ke dalam kelompok-kelompok sesuai dengan urutan berdiri di anak tangga tadi. Dalam hati kecil Saya berharap semoga ada pakaian yang berukuran XS karena pengalaman Saya selalu buruk jika berbelanja pakaian. Secara orang Jerman memiliki standar tubuh S dan M, hampir tidak ada pakaian XS, kalau pun ada pasti langsung sold out
Pemuda-pemudi aktivis lingkungan itu dengan ramah mempersilahkan kami masuk. Di sebelah kanan pintu adalah sebuah meja besar tempat meletakkan bawaan pundi-pundi kami. Masing-masing membawa lima potong pakaian bersih yang masih layak pakai untuk ditukarkan dengan 5 potong "baru" bawaan partisipan lainnya. Pakaian pun dikumpulkan, disortir berdasarkan jenis dan ukuran. Ada yang digantung, ada yang dilipat untuk disirkulasikan kembali kepada para partsipan.
Pakaian-pakaian yang dipertukarkan di sana masih sangat layak pakai, pemiliknya pasti sudah merasa bosan mengenakannya. Oke, bosan mungkin bukan kata yang cocok, lebih tepatnya pakaian itu telah kehilangan sinar gemilangnaya di mata sang pemilik, sama seperti banyak pakaian bagus di lemari saya. Kejenuhan itu terkadang datang satu tahun setelah pembelian baju tersebut, tetapi bisa juga satu minggu setelah. Pola konsum manusia telah menjadi sangat instan dan gesit dan ini sadar tidak sadar sangat mengancam ekosistem.
Ruangan hangat itu dipenuhi sekitar 30 pengunjung secara bersamaan, dan di tangga masih berbaris pengunjung-pengunjung berikutnya yang juga sama pedulinya terhadap lingkungan, atau sekedar bosan dengan isi lemarinya. Saya pulang dengan membawa 2 jaket musim semi/gugur berukuran XS (yang begini jarang sekali saya dapatkan) yang sudah selalu saya cari-cari tetapi selalu salah ukuran, rok dan baju kaos yang masih suka saya pakai sampai hari ini.

Semenjak hari hari itu saya selalu mendatangi acara tukar baju. Dengan demikian isi lemari saya tidak saya tumpuk, tetapi saya sirkulasi: ada yang keluar dan ada yang masuk. Acara tukar baju di Hamburg pun semakin bertumbuh dan berkembang, bahkan ada yang rutin diadakan setap bulan dan kita diperbolehkan membawa pulang pakaian lebih dari jumlah yang kita bawa, saking banyaknya pakaian-pakaian bekas nganggur tanpa peminat: daripada jadi sampah, mendingan diadopsi.


Tulisan terkait berikutnya menyusul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar