Minggu, 12 Januari 2020

Maksimalisme yang Tidak Maksimal

Satu jam lagi Saya harus berangkat naik kereta ke Altona, ke tempat kerja Saya di restoran asia. Tapi sebelum meninggalkan rumah Saya harus cuci piring, sedot debu, menjemur pakaian dan menyiram tanaman. Lagi-lagi Saya harus menjalankan jurus angin: bekerja secepat kilat karena tekanan waktu.
Satu jam berlalu, sudah saatnya berangkat, tetapi kamar tamu belum selesai juga Saya bereskan: ada terlalu banyak benda berhamburan di sana, bahkan beberapa hiasan rambut Saya, buku-buku, majalah, lilin, gelas-gelas, syal, beberapa potong pakaian, sisir, jarum dan benang yang tadi malam Saya pakai merombak BH melorot pun masih ada di sana, bantal tidur di atas sofa, dan surat-surat yang belum Saya buka. Surat-surat itu tentu saja setelah dibuka harus dibaca, dibalas (bila perlu) lalu disortir ke dalam map surat-surat yang tebalnya sudah bukan main (tentu saja proses panjang ini Saya undur-undur karena tidak ada waktu).
Saya sudah hafal jalan cerita hari ini. Karena hari ini akan berahir dengan lelah yang sia-sia dan Saya bahkan akan tidak bisa menjawab jika ada yang bertanya, "Hari ini tadi sudah ngapain saja?"
Kenalkah kalian dengan kesibukan sia-sia macam begini? Ya, Saya sebut sia-sia karena siapa suruh punya banyak pakaian? Siapa suruh punya banyak tanaman? Siapa suruh punya banyak perlengkapan dapur dan perabotan? Ujung-ujungnya Benda-Benda itu hanya merepotkan pemiliknya sendiri. Menghisap habis waktu dan tenaga yang Saya punya. Yang mana barangkali bisa Saya lakukan untuk berolahraga, meditasi, membaca buku, atau sekedar jalan-jalan sore. Apa? Jalan-jalan sore? Sejak kapan saya punya waktu untuk menghibur jiwa seperti itu? Huh!
Oh, Tuhan Saya merasa diteror oleh harta benda milik Saya sendiri. Saya tidak lagi merasa Saya yang memiliki mereka, tetapi merekalah yang memiliki Saya: mereka membuat hidup Saya hanya berputar-putar seputar bersih-bersih dan rapih-rapih. Yang mana jika dilaksanakan bisa makan waktu 4-5 jam-- yang mana tidak Saya punyai! Hari-hari Saya serasa semakin pendek karena selalu ada adegan rapih-rapih dan bersih-bersihnya. Saya sudah sering kepikiran untuk menyumbangkan sejumlah kepemilikan Saya, tetapi sayang. Sial, kenapa Saya menyayangi benda? Bukankah benda-benda tidak aka mengisi kekosongan di hati? Ya, tapi Saya tidak bisa buang begitu saja baju kaos pemberian adik sepupu Saya, atau kado perpisahan lucu dari Melanie, atau buku-buku penting yang memberi saya pelajaran-pelajaran berharga, apalagi yang sudah saya tandai dengan warna-warni dan ada catatan pinggir Saya, atau kartu-kartu ucapan selamat dari kolega dan teman-teman, apalagi kartu-kartu pos dari seluruh penjuru Dunia! Mereka berarti untuk Saya! Mereka mengingatkan Saya akan memori di balik itu yang mana mungkin suatu waktu nanti di saat renggang Saya akan bernostalgia dan bahagia akan segala hal keren yang pernah Saya lakukan. SAAT RENGGANG? Jika begini modelnya, konsep hidup saya, gaya konsum saya, saya tidak  yakin suatu hari nanti akan punya yang namanya Saat renggang!
Saya kangen momen-momen liburan: Saya hanya perlu memikul sebuah ransel berisi 9 kilogram dan saya bisa hidup dengan sempurna dari 9 kilogram isi itu. Saya tidak perlu menyiram tanaman, tidak perlu cuci piring yang rasanya tidak habis-habis kalau dicuci, Saya tidak perlu bongkar-bangkir lemari dan bingung mau pakai apa, karena dalam satu rogohan tangan ke dalam ransel saja sudah berarti sebuah jawaban pasti: Saya pakai ini hari ini. Saya tidak perlu bingung pakai sepatu apa, hanya ada sepasang sepatu. Betapa indahnya hidup dalam "Di sini dan Sekarang". Dan betapa indahnya hidup berkecukupan.

Tulisan ini adalah dialog hati dan kepala saya tentang tema materialisme, konsumerisme dan minimalisme. Tulisan terkait berikutnya menyusul. Terimakasih.



1 komentar: