Sabtu, 23 Mei 2020

Betis Kekar Saya: Body Positivity

Jogjakarta. Beberapa tahun yang lalu.

Hampir setiap bulan saya mendatangi sebuah klinik kecantikan yang bertempat di mal Galeria. Banyak teman-teman kuliah saya yang menjadi pelanggan setia di sana. Katanya bagus untuk orang yang berjerawat seperti saya. "Obat" jerawat itu sudah bau, mahal lagi! Well, beauty is pain, they say, so... Oh, bukan obat jerawat saja yang ibu-ibu klinik itu sarankan saya pakai, melainkan juga pembersih, penyegar, sabun wajah, krim wajah siang dan malam....yang konon, tidak hanya menghilangkan jerawat namun juga membuat kulit makin cerah. Semua produk itu hampir sama mahalnya dengan ongkos uang makan saya sebulan! "Cantik itu mahal!" kata teman saya dengan penuh keyakinan.
Tidak berapa lama ada sebuah klinik kecantikan baru dibuka di dekat kos saya. Yang ini lebih murah, lebih ramah mahasiswa. Dan memang kalau kita ke sana isinya mahasiswa semua. Tempat parkir klinik itu selalu dipenuhi sepeda motor. Ruang tunggunya besar, dan selalu penuh! Saya selalu rutin ke sana setiap bulan, bukan karena saya banyak uang, tetapi karena saya sangat takut jerawat saya menjelma menjadi monster dan tidak bisa dijinakkan lagi untuk selama-lamanya. Saya tidak pernah check-up medis atau dental, tetapi check-up estetik jalan lancar. Sekali saja saya alpa, saya akan terserang sejenis panik yang membuat saya paranoia. Saya akan diserang kecemasan bahwa kondisi kulit saya akan mengalami kemunduran dan progres yang sudah saya bayar mahal-mahal selama ini sia-sia karena sekalinya berhenti berarti mulai lagi dari nol! Kenalkah kalian jenis panik yang macam begitu? Ambil contoh kalian sudah diet berbulan-bulan, lalu ada sehari di mana kalian menghadiri pesta ulang tahun dan menyantap makanan secara lahap. Keesokan paginya, ada sejenis serangan moral dari dalam batin, seolah kita telah melanggar norma-norma ketat (diet kita). Rasa cemas saya itu berangkat dari rutinitas yang menjelma candu: Cosmetic/Skin Care addiction. Dan dia tidak berhenti di situ! Di saat yang bersamaan saya mengalami rasa takut: Bagaimana kalau saya sudah lulus dari kuliah dan harus meninggalkan Jogja? Siapa yang cukup ramah dan mau repot-repot mendistribusikan pesanan bulanan saya ke NTT? Pikiran-pikiran macam ini, serius, pernah menghantui saya bertahun-tahun saat di Jogja. Lantas setelah lulus saya benar-benar keluar dari Jogja, tapi "untungnya" ke Jakarta. Masih terikat candu skin-care, saya cari klinik kecantikan serupa dan segera menjadi member. Saat karir saya di Jakarta kehilangan harapan, saya takut lagi: "Waduh, siapa yang akan mengirimkan produk-produk ini ke Jerman?" pikir saya. Circulus Vitiosus! Paranoia estetik yang ternyata adalah bagian dari kecemasan eksistensial perempuan di muka bumi... they are so bothering! Saya sadar, sudah dari dulu,  tidak sehat untuk memiliki kekhawatiran konyol macam itu. Tapi saya masih belum sadar, dari mana asal datangnya kekhawatiran itu. Sampai saya berdomisili di Jerman. 

So, mari kita kembali ke tahun 2019.
Melanie dan saya melakukan liburan bersama di Bukarest, Romania. Ini pertama kali saya harus tidur sekamar dengan Melanie. Saat saya melihat isi etui kosmetiknya yang hanya terdiri dari sebotol kecil cairan (yang saya duga sebagai sabun merangkap sampo di masa-masa backpack) dan odol, saya bertanya, "Ist das alles was du brauchst?" "Ja," sahutnya dengan ringan. Tunggu dulu, whattth? Saya menghabiskan waktu berjam-jam di ruang tunggu klinik kecantikan itu dulu, menunggu giliran saya, membeli sebotol ini dan sebotol itu; saya menghabiskan terlalu banyak waktu keliling drogerie di Indonesia dan di Jerman, mencari krim untuk kulit berminyak; dan terlalu banyak waktu terbuang-buang setiap bulan karena saya harus menjemput produk rutin saya dari apotik: Avene (sebuah produk Prancis yang adanya hanya di Apotik). Dan bukan hanya waktu yang saya sia-siakan... uang juga, energi juga. Benarkah cantik itu harus mahal? Atau kita hanyalah terperangkap tak berdaya dalam jebakan iklan-iklan yang manipulatif? Iklan (TV) yang membuat kita meragukan keagungan ciptaan Tuhan lewat genetik orang tua kita? Iklan yang menyuntik akal sehat kita perlahan-lahan dengan kalimat-kalimat seperti  "Ingin cantik seperti Korea?"  atau "Kulit putih merona..." which is bullshit. Karena sebagai orang Nusantara, kita dikaruniai kulit sawo matang yang cantik. Dan kulit jenis ini tidak mungkin bisa merona di bawah kondisi temperatur dan iklim Indonesia yang tropis dengan curah matahari yang kaya. Yang ada pipi kita bukan merona, melainkan mencoklat, karena kadar melaninnya meningkat dalam paparan sinar ultravoilet.

Saya akhirnya sadar, saya sudah terlalu jauh dikibuli oleh media. Oleh image yang mereka bangun perlahan-lahan di kepala kita sebagai idealisme definisi kecantikan. Kenapa saya bilang image itu mereka bangun perlahan-lahan? Media selalu membuat kita merasa bahwa kita ini tidak cukup. Tidak cukup tinggi, tidak cukup langsing, tidak cukup cantik, tidak cukup mulus, tidak cukup berkulit lembut, tidak cukup putih, tidak cukup lurus rambutnya, dst... Kenapa kita tiba-tiba merasa diri tidak cukup kalau kita nonton iklan/televisi/baca majalah lifestyle? Coba kalian tebak kenapa!
Jawabannya adalah karena di televisi &co selalu ditampilkan sosok yang serba sempurna. Dipilih dari etnis yang dianggap "teladan"/"panutan", diseleksi dari konstruksi fisik yang disembah sebagai ideal. Mereka bahkan memiliki konselor diet pribadi, fitness trainer pribadi. Tentu saja mereka akan terlihat berbeda dengan kita, manusia dari kelas ekonomi menengah--ke bawah! Berdamailah dengan kenyataan bahwa kamera bukanlah full-time job kita, jadi sebenranya itu normal-normal saja untuk memiliki satu jerawat di dagu dan satu di dahi! Dan itu juga sah-sah saja untuk memiliki lemak di perut! Tidak perlu malu kalau rambut kamu tidak selurus siapa pun itu dari iklan Pantene atau whatever... Dan itu saya, sebagai wanita muda belia beberapa tahun yang lalu, tidak paham. Saya ingin terlihat seperti.... setidaknya tidak seperti saya sendiri. #bodynegativity. Ini satu lagi, krisis yang media timbulkan dalam diri kita: krisis eksistensi, obsesi terhadap appearance, kurangnya rasa penerimaan diri. Kalau kita tidak bisa terima diri sendiri, kita tidak bisa menghargai diri sendiri, kalau kita tidak bisa menghargai, bagaimana bisa mensyukuri? Kalau tidak mensyukuri, bagaimana kita bisa mencintai? Kalau kita sendiri tidak mencintai diri kita, bagaimana kita bisa memberi cinta kepada orang lain? Bagaimana kita bisa memberikan sesuatu yang tidak kita punyai?

Saya berasal dari keluarga di mana semua rambut kami ikal dan tebal. Yang mana dulu tidak saya sadari sebagai sebuah berkat. Sepupu saya memiliki rambut yang luar biasa panjang dan indah, yang mengingatkan saya pada seorang figur Disney, Vaiana, dari Film "Moana". Entah seberapa banyak kali kami mengingatkan dia betapa cantiknya dia dan rambutnya, dia tidak mau percaya. Saya tidak menaruh kesalahan pada sepupu saya ini, karena dia mengingatkan saya pada masa remaja saya sendiri. Saya generasi Britney Spears, Mandy Moore, Kate Moss, Ken dan Barbie.... coba sebutkan siapa di antara mereka yang mewakili rambut ikal!
Saya masih ingat dulu, betis saya adalah bagian tubuh yang saya paling "sesali". Dengan kata lain, saya bermimpi seandainya mereka ramping dan panjang, dan lebih bagus lagi kalau tidak berbulu seperti ayam pedaging siap diopor....Setelah saya banyak refleksi diri tentang tema bodyshaming, self-acceptance dan self-love, saya menyesali kekeliruan itu. Justru atas kekekaran betis saya, saya sanggup berjalan tanpa lelah, saya bekerja 40 jam/minggu di Praxis, 20 jam/minggu di restoran Asia, dalam berdiri! Menjadi asisten dokter gigi, seperti saya, pekerjaan saya 90% dilakukan dalam berdiri, sama seperti di restoran (parttime job saya saat itu). Berkat kekekaran betis saya, saya bisa keliling negara-negara, jalan kaki naik turun bukit dan melihat keindahan pemandangan. Tanpa betis-betis perkasa saya, saya tidak akan mengalami pengalaman-pengalaman itu. Karya Tuhan itu agung dan sempurna adanya, kenapa harus dikoreksi? Dengan skalpel surgery dan sebagainya?
Jerawat, kulit coklat dan rambut ikalku adalah sempurna. Biarkan saja "jenis" saya ini tidak ada representasinya dalam media di negeriku, justru itu bagus, karena saya bukan follower, saya trendsetter.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar