Ingatkah kalian ketika kita dulu masih kecil, di mana yang
kita tahu hanyalah bermain dan hidup dalam kenaivan ala anak-anak yang
menyenangkan? Semua kita, asal-muasalnya, bahkan tidak tahu apa jenis kelamin
kita hingga usia tertentu di mana orang-orang di sekeliling kita mulai mewanti-wanti,
„Kamu itu anak perempuan, jangan begini, jangan begitu!“ Atau „Kamu itu laki-laki,
harusnya begini dan begitu!“ Dari situlah si anak, secara sadar, belajar
MENJADI perempuan atau MENJADI laki-laki. Hal yang sama terjadi dalam perkembangan
si anak selanjutnya. Termasuk ini: kita jadi tahu dari sekitar kita bahwa yang boleh
banyak bulu itu hanyalah laki-laki. Saya bahkan waktu kecil tidak tahu bahwa
saya banyak bulu—lebih tepatnya saya tidak perhatikan dan tidak peduli. Saya JADI
perhatikan dan peduli karena itu disebut-sebut terus oleh orang-orang sekitar
saya. Seolah itu momok yang menarik perhatian mereka, yang tidak akan mereka
biarkan lolos dari topik pembicaraan. Berapa lama kemudian saya rasa bulu-bulu
saya telah berubah menjadi SATU-SATUnya yang menarik perhatian orang-orang itu
dari penampilan fisik luar saya. Sementara saya tidak ingin diperhatikan hanya
karena saya berbulu. Hey, saya tidak hanya terdiri dari bulu-bulu. Setiap kali
saya diajak bicara tentang bulu-bulu badan saya tanpa dasar obrolan yang jelas,
saya selalu membatin, sebegitu pentingnyakah bulu saya bagi Anda?
Bulu badan adalah tema yang lumayan esensial di antara kaum
hawa. Saya sendiri adalah orang paling berbulu dengan jumlah yang cukup menarik
perhatian. Bulu-bulu badan saya tersebar secara merata dan berdomisili di
setiap sentimeter kulit saya. Saya „sempat“ kewalahan dibuatnya. „Sempat“ yang
saya maksudkan dalam kasus ini tidak terjadi suatu hari dan berakhir pada hari
berikutnya, namun terjadi dalam rentang waktu hampir dua puluh tahun.
Tumbuhnya Subur Tanpa Pupuk
Saya cukur, tumbuhnya kasar. Saya cabut, tumbuhnya bengkok. Mau
waxing, sayang duit. Kalau saya biarkan saja, nanti bulu-bulu saya sedot unnecessary
public attention lagi. Pakai baju yang buka perut tidak bisa,
yang buka bahu tidak bisa, lengan pendek tidak bisa, habisnya di
mana-mana berbulu sih. Aaargh, saya lumayan dibuat repot memikirkan itu.
Pasalnya kalau ingin total bebas bulu dan kinclong ala cacing tanah, saya harus
banting sekarung duit.
Beberapa waktu lalu saya akhirnya mengutarakan keisengan saya
yang banal ke teman-teman kerja saya: saya
ingin memiliki piercing di pusat. Ya, di perut. Mereka lantas ingin lihat perut
saya (mereka cukup normal?), saya angkat kaos polo kerja saya, „Kau mungkin
seharusnya waxing bulu-bulu itu. Musim panas begini keren kalau pakai Crop
Top dan tindik di pusat.“ Kalimat pertama mereka. Saya tidak kaget!!!
Ide piercing ini sudah datang beberapa bulan yang lalu dan
saya anggap enteng karena saya pikir itu ide banal yang saking banalnya akan
sirna kapan-kapan; saya akan melupakannya dan menganggapnya tidak pernah
singgah di kepala. Setengah tahun kemudian saya masih menginginkan piercing itu
di pusar saya, hingga saya menyerah, berpikir: Oke Ide, mungkin kita
berjodoh. Dan saya berjanji, seperti yang sudah saya lakukan beberapa tahun
belakangan ini, tidak akan mencukur hanya untuk menyenangkan mata orang lain, karena
jujur saja saya nyaman berada dan bertumbuh dalam tubuh berbulu ini. Kami
adalah satu paket lengkap yang bahagia.
Malu vs. Keep Rockin
Berbulu diidentikan dengan kejantanan. Terlalu jantan untuk
seorang perempuan bisa bersinonim tidak cantik. Sebanyak kaum adam membahas mesin
dan sepak bola, sesering itu juga kaum hawa membahas metode „memperempuankan“
badan berbulu. Mulai dari krim yang menjanjikan tumpas sampai tuntas, cukur,
cabut pakai benang, waxing pakai gula sampai laser yang mahal namun menjanjikan
keabadian. Tapi saya lelah. Asli. Saya lelah merasa asing dalam tubuh sendiri,
saya lelah memandang perempuan lain sebagai impian sementara diri sendiri
sebagai kenyataan yang gagal. Saya lelah „menghukum“ diri sendiri dengan rasa kurang
indah, kurang cantik, kurang ideal, kurang mancung, kurang putih, kurang ABCD….
Kalau kita terlahir kurang satu tangan, atau satu ginjal, atau satu lubang
hidung, itu bisa jadi kendala. Tapi saya, puji Tuhan, terlahir lengkap. Apa
salah tubuh ini? Tanpa tubuh ini saya hanyalah jiwa yang melayang-layang tanpa
merasakan kehidupan. Sudah dikasi gratis tidak tahu bersyukur. Come on, rock
them hair, boo!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar