Selasa, 21 Januari 2020

Tetangga Saya di Jerman

Tulisan ini ada kaitannya dengan tulisan-tulisan Saya sebelumnya terkait minimalisme dan konsumerisme.

Berangkat dari pengalaman pribadi Saya yang sangat bertentangan dengan pola hidup minimalis, batin saya terbawa dalam perenungan-perenungan yang berangkat dari realitas masa kini dan perbandingannya dengan masa lalu. Masa lalu Saya. Saya jelas-jelas bukan penggemar "Dulu lebih bagus dari sekarang", ya: Saya suka belajar dari masa lalu.
Sekalipun masa lalu Saya mengambil setting di sebuah desa di lubuk NTT dan Saya sekarang tinggal di Hamburg (penduduk: 1,5 juta jiwa), tetap saja ada relevansi yang bisa kita jadikan alat untuk survive

Kiriman dari Amazon
Jadi begini, karena Saya ini manusia vintage yang membaca buku, bukannya e-book, Saya butuh lampu baca (lampu LED portabel yang dijepitkan pada tepi buku). Sering di bis atau di pesawat Saya kewalahan cari cahaya. Maka itu Saya memutuskan untuk membeli lampu baca. Seminggu kemudian, seperti yang dijanjikan Amazon, Saya membuka kotak surat dengan hati penuh harap. Bukannya lampu baca terselubung amplop yang Saya temui di ruang redup mini itu, melainkan sehelai nota yang bertuliskan, "Kami tidak berhasil menemui Anda, Paket Amazon Anda telah kami titipkan ke tetangga Anda. Terimakasih telah berbelanja di Amazon." Di bawah tulisan itu ada sebuah kotak kecil yang ditulistangan: Herr Gaum. Bahu Saya merosot. Herr Gaum ini tetangga Saya (Saya juga baru tahu ini dari si nota tadi), tetapi Saya tidak tahu dia tinggal di lantai berapa! 
Tercatat sejak 4 bulan yang lalu Saya tinggal di sini, tepatnya di lantai 3, lantai teratas. Tapi semenjak kepindahan saya, Saya belum (baca: tidak akan pernah) berkenalan dengan satu pun tetangga Saya (yang mana-sayangnya- adalah normal di Jerman). Ada 5 flat lainnya di bagian tengah gedung ini yang berbagi satu pintu masuk utama dengan Saya. Total kami ada 6 flat. Tetapi di tetangga sebelah kiri dan kanan kami masing-masing terdiri dari 6 unit apartemen juga, sehingga total 18 unit flat. Saya tidak yakin mereka semua saling kenal..

Who is The Jenny from The Block?
Kehidupan di kota memang serba anonim. Jangankan pernah lihat batang hidung si Herr Gaum, Saya bahkan tidak tahu unit flat dia yang mana! Tidak satu pun pintu-pintu yang tampaknya selalu tertutup itu memajang nama mereka di samping tombol bel. Ini berbeda dari yang Saya kenal di gedung-gedung apartemen lainnya. Terus terang, ini agak mengerikan bagi Saya, membayangkan bahwa Saya harus menderingkan bel dari satu pintu ke pintu lainnya sambil tersenyum grogi dan bertanya, "Apakah Herr Gaum tinggal di sini?" Tidak lucu. Dan lagi creepy!
Bukan hanya di luar negeri, di Indonesia pun anonimitas semakin terasa sebagai hukum demografi. Makin padat penduduknya, makin cepat mobilitasnya, makin sempit ruang kenalnya. Ini sudah jadi konsekuensi logis dari mobilitas penduduk yang laju: People come, people go. Flat nomor X tidak akan selamaya ditempati Herr Y, bisa jadi besok Herr Z, dst… Perubahan terus bergerak, Nothing sleeps nowadays. Beda dengan 20 tahun yang lalu di desa: tetangga Saya Ibu As telah tinggal bersebelahan rumah dengan kami bahkan sebelum Saya lahir, sampai hari ini pun beliau masih tinggal di rumah yang sama.
Semakin modern suatu kelompok masyarakat, semakin individualis. Konon kata ahli sosiologi. Jumlah manusia yang semakin banyak membuat sistem kendali sosial jadi membludak dan identitas seseorang tidak lebih dari sekedar nomor. Ya, angka. Siapa, apa dan datang dari mana, apalagi bagaimana kisah hidupnya tidak masuk daftar pertanyaan lagi. Semata-mata nomor. Bagi beberapa pihak, perusahaan dan birokrasi saya juga tidak lebih dari seseorang yang tinggal di jalan XX nomor 19d, yang nomor paspornya sekian, nomor visanya sekian, nomor pajaknya sekian, nomor asuransinya sekian, dan nomor rekening banknya sekian. Siapa Saya, apa pekerjaan Saya, apa hobi Saya? peduli amat! Who the hell cares about the Jenny from the block?
Sementara itu mesin waktu diputar mundur….

Bokor dan Baskom dan Loyang
Dua puluh tahun yang lalu. Desa Saya.
Natal sebentar lagi tiba. Ibu-ibu jadi super sibuk. Bapak-bapak entah ke mana. Kehidupan tiba-tiba berpusat di dapur, yah mau di mana lagi! Sementara kompor dipanaskan, telur sudah digopok, adonan sudah disiapkan, mentega Margarin sudah dilumurkan ke sekujur loyang, kami hanya menunggu sampai Ibu As selesai memanggang kuenya (di Kupang, kami sebut Kue Keik, baca: Cake) supaya kami bisa meminjam ovennya. Loyang kami pinjam dari Mama Kai, tetangga di belakang rumah, karena kami sendiri tidak punya. Tidak berapa lama Ibu As datang membopong sang oven, pesta memanggang boleh dimulai. Kami anak-anak bersuka ria. Saya tidak akan lupa aroma baking soda dan fanili dan tepung… Aroma natal yang khas bagi Saya.
Tiga rumah bertetanggan ini saling meminjam dan berbagi. Kami tidak perlu beli loyang, pikir orang tua Saya, Mama Kai sudah punya. Kami tidak perlu beli oven, ibu As sudah punya. Demikianlah kehidupan mutualis itu berjalan selama puluhan tahun dalam lingkungan tempat Saya berasal. Sampai giliran kami, mereka akan meminjam sesuatu yang mereka belum punya atau kebetulan jumlahnya kurang karena mereka sedang kedatangan tamu dalam jumlah besar misalnya. Maka bokor dan baskom kami boleh berpindah tangan untuk sementara.
Saya bercermin dari masa lalu dan itu melempar Saya kembali ke masa sekarang….

Mau Ke Mana Dengan Segenap Kepemilikan ini?
Hari ini Saya tidak perlu pinjam apa-apa lagi dari tetangga karena Saya sudah memiliki semuanya.  Tetapi dengan demikian, apakah berarti saya sudah tidak butuh mengenali tetangga Saya lagi? Bagaimana dengan Herr Gaum yang menyimpan lampu baca Saya?! Apakah masih benar untuk menjaga jarak dari tetangga demi privasi? Tapi sayang juga jika Saya hanya mau mengenali Herr Gaum hanya karena paket kiriman dari Amazon...
Saya tidak bilang, adalah salah untuk memiliki, tetapi memiliki yang bagaimana? Sirkulasi perlengkapan dapur ala keluarga Saya dan para tetangga kami dulu telah membawa kami ke dalam kontak sosial yang lebih dekat dalam pengertian yang positif. Kami memiliki sejenis relasi kebergantungan yang tidak saja mutualis, tetapi juga harmonis, sekalipun itu tidak semata-mata tentang perlengkapan dapur! Namun seperti yang dijelaskan oleh Ruth Rohr-Zänker, seorang profesor ahli pertetanggaan Jerman dari Universitas Oldenburg, tumbuhlah sejenis rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok yang saling berbagi rasa empati. Dan ini sekali lagi disetujui oleh Regina Tödter, yang bukunya Saya baca dalam Bahasa Jerman (belum ada terjemahan Bahasa Indonesianya). Tödter sendiri hidup secara minimalis dan menekankan empati sebagai salah satu asas penting untuk menjadikan pola hidup minimalis nyata, tidak semata mimpi belaka.
Ada satu hal minus tentang kepemilikan yang kotraproduktif yaitu kita menampung banyak barang yang mana belum tentu selalu kita gunakan setiap saat. Sering Saya amati: banyak benda dalam rumah yang hanya Saya jamah setahun sekali. Lantas selama 12 bulan dalam setahun itu barang-barang itu tadi nganggur begitu saja? Ya, nganggur begitu saja. Dan selama masa nganggur mereka, mereka telah menempati laci-laci lemari, rak-rak dan ruang penyimpanan yang tentunya harus dibersihkan juga agar tidak terselubung debu. Oh, alangkah merepotkan! Itu dia! Lalu kenapa Saya tidak pakai gaya sirkulasi ala orang tua Saya, Mama Kai dan Ibu As saja? Yang hanya meminjam jika perlu supaya ruang gerak di dalam rumah menjadi semakin lapang. Tidak perlu beli buku, ke perpustakaan saja; tidak perlu naik mobil, naik subway saja; tidak perlu beli baju baru, ditukarkan saja lewat acara Clothing Swap; tidak perlu memiliki segalanya, pinjam dari tetangga saja.
Sialnya orang kita masih menganut kredo yang salah kaprah: punya banyak berarti kaya. Ah, sudah ngabis-ngabisin duit, menuh-menuhin tempat, menyita waktu dan merepotkan pula!! Mana ada kaya? 

Kebersamaan dalam Empati: Kaitannya Dengan Minimalisme Apa?
Menurut Regina Tödter, empati berarti memiliki kepedulian terhadap sesama manusia; tidak perlu ikut merasakan, tetapi cukup dengan apresiasi atas kesadaran bahwa orang lain mengalami sesuatu. Memang agak susah untuk dipahami, jadi Saya jelaskan saja dalam contoh. Perusahaan-perusahaan garmen raksasa seperti H&M menjual konveksi-konveksi super murah yang menjanjikan trend terbaru dan kelas sosial tertentu jika kita mengenakannya. Tetapi perlu disadari, di balik tas kulit tiruan itu ada seorang manusia di belahan bumi lainnya yang menjahit demi upah sangat kecil. Turut peduli dan berempati berarti kita tidak perlu selalu mengejar trend dan membeli pakaian yang baru demi mengikuti trend. Yang secukupnya saja, dan ingat, kalau bosan clothing swap! Jangan menggantungkan rasa percaya diri kita ke iklan-iklan yang ditawarkan media: pakailah celana jins ini dan kamu akan terlihat seperti Gigi Hadid!

Kebersamaan Yang Fungsional
Salah satu contoh konkret adalah menumpang kendaraan umum daripada membeli mobil. Selain mengurangi kemacetan, mengempiskan ongkos bulanan, Saya juga tidak perlu repot-repot cari tempat parkir. Bicara tentang mengendarai mobil ada kaitannya dengan kata kunci minimalisme tadi: empati. Dengan menyadari bahwa alam semesta adalah milik bersama, kita tidak bisa seenaknya menambahkan emisi CO2 ke lapisan ozon yang makin menipis, karena kita memiliki kesadaran: masih ada orang lain di planet ini yang berbagi udara dengan Saya dan membutuhkan udara bersih.
Tapi tunggu dulu, kebersamaan? Masih kah itu enforceable hari ini? Menurut Rohr-Zänker, kebersamaan ala tetangga di kota-kota besar tidak lagi merujuk pada keseragaman dan identifikasi, melainkan bersifat fungsional. Ya itu tadi, Saya akan mengenal Herr Gaum semata-mata karena paket Amazon. Apakah kisah persahabatan-sementara-karena-paket-Amazon kami akan berlanjut ke minum-minum teh sore di balkon Herr Gaum dan kami akan saling bertukar filosofi hidup, lihat saja nanti...

Dari Real Ke Virtual
Di Jerman sudah dimulai gerakan pinjam-meminjam atau pertukaran barang lewat portal-portal online. Jadi bukan tidak mungkin memiliki hubungan fungsional ala Mama Kai, Ibu As dan ortu Saya di Jerman sini. Kali depan Saya mau coba, ah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar