Sabtu, 14 Desember 2019

Resensi Buku "Sang Alkemis" karya Paulo Coelho

Dengarkan kata hatimu dan ikuti takdirmu!

Judul Buku: Sang Alkemis
Pengarang: Paulo Coelho
Genre: novel, fiksi petualangan
Tebal: 215 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 2005
Tempat terbit: Jakarta

Cerita dalam buku ini mengambil latar tempat di Andalusia, Spanyol dan latar waktu sangat jauh ke belakang, pembaca hampir tidak mengenali tepatnya kapan jika itu bisa dituliskan dalam angka. Jaman di mana menggembala domba masih salah satu jejak karir...

Catatan pribadi Saya (pembaca boleh loncati saja paragraf ini): Buku ini pertama kali diterbitkan di Brasil, asal sang pengarang, pada tahun 1988. Saya baru membacanya tahun 2018 pertama kali dan kesan Saya saat itu: buku ini bagus tapi Saya tidak merasa diajak berdiskusi olehnya.
Sekarang tahun 2019: Secara random Saya mulai baca kembali buku ini beberapa hari lalu, entah kenapa. Satu hal membuat Saya terperanjat: selama membaca, malam-malam Saya menjadi lebih menegangkan dalam pengertian positif. Saya jadi lebih banyak berdialog dan bermonolog dalam hati. Horison Saya seperti diperlebar dalam tingkat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Saya bahkan sampai merasa Paulo Coelho menuliskan ini semata-mata untuk seorang Mona baca! Berhubung beberapa hari sebelum baca buku ini Saya sudah baca buku-buku John Strelecky, maka di kepala Saya langsung muncul bunyi klik ketika Saya baca "Sang Alkemis" untuk yang ke dua kalinya, karena ke dua buku ini menyampaikan pesan moral yang sama persis namun dengan gaya dan latar penceritaan yang beda jauh.
Benar kata Guru Bahasa Indonesia Saya dulu di SMA dan dosen sastra Saya di kampus, pemahaman sastra seseorang berubah dari waktu ke waktu. Artinya, bisa jadi kalau Saya baca buku ini untuk ke tiga kalinya beberapa tahun lagi: Saya akan memahaminya dengan lebih baik atau bahkan mendapat pemahaman yang komplet berbeda dari yang sekarang Saya tulis.

Inti cerita:
Adalah seorang anak muda, Santiago, yang keluar dari seminari (sekolah pastor, sejenis pesantren) karena hatinya tergerak untuk mengembara. Berasal dari keluarga miskin, satu-satunya cara yang tersisa untuk bisa melancong ke seluruh penjuru negeri adalah dengan menggembalakan domba-domba. Santiago dengan keyakinan penuh terjun ke dunia penggembalaan pada usianya yang masih sangat belia, mengantarkan 60 domba-dombanya mencari rumput dan air; tidur di alam terbuka; bernegosiasi dengan para pedagang kain yang membeli bulu domba; terancam dirampok dan dibunuh; semua itu baginya bukan lagi risiko, melainkan bagian dari hidupnya: dia sudah terlanjur mendengarkan kata hatinya untuk bisa berkelana ke tempat-tempat baru karena jiwanya ingin sebebas angin.
Pada suatu waktu ia didatangi mimpi yang berulang, yang mengatakan bahwa ia harus ke Mesir untuk menemukan harta karunnya yang dikubur di piramida-piramida itu. Petualangan pun dimulai. Santiago yang pergi sebagai anak muda berambisi tidak pernah pulang sebagai orang yang sama lagi.

Toko-tokoh dan karakter:
Karakter yang mendominasi dalam cerita ini adalah protagonisnya, Santiago sendiri.
Petualangannya dari padang rumput di Spanyol sampai ke gurun Sahara dan Giza, di mana primaida-piramida bertengger, telah membuatnya bertemu dengan begitu banyak tokoh-tokoh yang mengesankan. Mereka semua memiliki kisah dan jalan hidup masing-masing yang sangat menarik untuk dicermati. Selama membaca buku ini Saya bahkan bisa merelasikan beberapa dari tokoh ini dengan orang-orang yang Saya kenal secara pribadi: ini menggambarkan betapa relevannya buku ini dengan kehidupan modern kita saat ini. 
Bagi Saya, Santiago adalah anak muda dengan karakter yang sangat kentara: intelegensinya menjadi senjata yang tak terkalahkan di padang gurun karena ia memiliki kepekaan terhadap naluri manusia dan suara-suara tak terdengar yang disampaikan alam sekitarnya. Biarpun terdengar cakap, Santiago tetap saja anak muda, darah muda, umuran jagung: sirat pola pikirnya yang naif, kadang "ceplas-ceplos", pernah teledor (membiarkan keseluruhan uangnya dipegang oleh tukang tipu di Tangier) dan nekat kadang bisa dirasakan dalam beberapa dialog dan/atau monolognya. Ini membuktikan bahwa Coelho tetap konsekuen dengan konstruksi karakter yang dia tampilkan dalam sosok seorang Satiago. Kalau seandainya dia terlalu serius dan bijaksana, bisa-bisa kesannya ketuaan.
Seperti yang kalian pembaca bisa rasa, Saya sangat mengagumi Santiago, dan terlebih lagi Paulo Coelho dalam keterampilannya menciptakan sosok anak muda ideal seperti Santiago: datang dari keluarga miskin, namun berjiwa besar; bermimpi tinggi, namun tidak egois apalagi narsis; berkeinginan keras nmun di saat yang bersamaan berhati peka dan lembut, mengejar mimpinya hingga terwujud, memiliki watak pejuang yang tangguh dan pantang mundur, yang menepati kata-katanya (sepersepuluh harta karunnya ia bagikan kepada si perempuan Gipsi dan ia juga kembali kepada Fatima untuk dinikahi) dan yang mempertanggungjawabkan cintanya!


Gaya bercerita:
Secara fisik: pilihan kata dan dialog dari awal sampai akhir buku ini rasanya seperti sudah dikalkulasikan secara matang: semua perumpamaan/dialog/anekdot sebenarnya hanyalah repetisi dari sebuah inti yang sama, sehingga saling relevan dan konsisten. Ciri fisik lainnya adalah kalimat-kalimat dalam novel ini pendek-pendek dan gampang dipahami, yang juga mengakibatkan terlalu sedikit penjelasan tentang emosi atau perasaan para karakter. 
Sebenarnya butuh daya imajinasi dan kedalaman berpikir untuk memahami buku ini lebih jelas karena banyak pesan-pesan moralnya dijabarkan dalam anekdot-anekdot dan perumpamaan-perumpamaan yang di dalamnya ada segudang kebijaksanaan yang teranggapremehkan dan akhirnya dilupakan. Contohnya ketika Santiago berdialog dengan Padang Pasir, Angin dan Matahari, Saya menafsirkan itu sebagai salah satu "gramatik" Bahasa Dunia yang terus-terusan disebut oleh Coelho dalam buku itu. Artinya kita, manusia, bukanlah ciptaan tunggal dan teristimewa, yang letaknya ada di puncak piramida hierarki alam semesta: kita masih butuh elemen-elemen lain. Kebenarannya adalah kita membutuhkan restu alam semesta dalam usaha perwujudan mimpi itu. Agak aneh memang untuk memahami Scene ini secara harafiah. Meskipun pertemuan Santiago dengan Raja Melkisedek dari Salem sudah lumayan tidak rasional untuk akal sehat kita di tahun 2019 ini.
Buku ini menceritakan kehidupan melalui perspektif eksistensialis. Artinya kita digugah terus-menerus oleh sang pengarang untuk memahami bahwa setiap manusia terlahir karena sebuah tujuan yang asal-muasalnya dari alam semesta--dari mana kita semua berasal. Kita diajak bertanya pada diri sendiri: apa takdirku? Apakah aku sudah berjuang untuk mengejar takdirku? Meski terdengar berat, sebenarnya sama sekali tidak. Karena Coelho tidak bergaya menggurui di sini, melainkan menggunakan anekdot-anekdot untuk menyampaikan hikmah-hikmah itu. Pembaca merasa seperti didongengi. Saya pribadi malah setengah merasa seperti sedang membaca kitab Perjanjian Lama (The Old Testament). Namun namanya juga karya sastra, gaya ceritanya mengalir, sampai-sampai kita bisa lupa bahwa ada berabad-abad terbentang di antara kalender aktual kita dan latar waktu terjadinya kisah ini.
Di beberapa celah yang lumayan jarang muncul terjadi pertukaran sudut pandang sehingga pembaca bisa meng-zoom in- zoom out secara objektif apa yang sedang terjadi dalam cerita. Selain membantu mengatasi monotonitas, pembaca juga jadi tahu apa pendapat tokoh-tokoh sampingan tentang si tokoh protagonis. Pertukaran perspektif ini tidak ada spasi panjangnya seperti yang orang biasa kenal dari buku-buku lain, namun Coelho menata karyanya serapih mungkin sehingga pembaca tidak iritasi: "He? Ini kalimat dipikirkan oleh?" (Kenalkah kalian momen di saat kalian diradang kecerobohan penulis?)

Pesan Moral:
Ada begitu banyak pesan moral dalam kisah buku ini, supaya tidak bertele-tele, Saya ceritakan Favorit Saya, dan supaya teratur, Saya nomorkan saja.

1. Ikuti suara hati! Bermimpilah dan wujudkanlah! 
Si anak keluar dai seminari untuk menjadi penggembala padahal itu sama sekali bukan hal yang membanggakan, tidak bagi dirinya sendiri maupun keluarganya; karena seseorang akan bisa lebih dihargai di masyarakat ketika berdiri di mimbar dan memimpin ibadah daripada melanglang buana dari satu padang rumput ke padang lainnya bersama domba-domba. Dalam roman ini sang pengarang sangat menitikberatkan pesan moral pada hasrat hati dalam mewujudkan panggilan hidup, terlepas dari status sosial dalam masyarakat nanti terlihat seperti apa.
Seperti yang dikutip di halaman 32 "...sebab ada satu kebenaran maha besar di planet ini: siapa pun dirimu, apa pun yang kaulakukan, kalau engkau sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu karena hasrat tersebut bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah misimu di dunia ini."
Berikut kutipan percakapan Santiago dengan Sang Raja Melkisedek (hal.28):
"...dan pada akhirnya dikatakan bahwa setiap orang percaya akan dusta terbesar di dunia."
"Apa gerangan dusta terbesar itu?" tanya si anak lelaki, dia benar-benar terkejut.
"Beginilah dusta terbesar itu: bahwa pada satu titik dalam hidup kita, kita kehilangan kendali atas apa yang terjadi kepada kita, dan hidup kita jadi dikendalikan oleh nasib. Demikianlah dusta terbesar itu."
"Itu tidak pernah terjadi padaku," kata si anak lelaki. "Orangtuaku ingin aku menjadi Pastor, tapi aku memutuskan untuk menjadi gembala."
"Begitu jauh lebih baik," kata si orang tua. "Sebab kau memang suka berkelaan."

2. Perubahan akan selalu datang
Hal. 39: ...Dan aku ada di sini, di Antara domba-domba dan harta karun itu, pikir si anak lelaki. Dia harus memilih antara cara hidup yang telah begitu dikenalnya dan sesuatu yang ingin dimilikinya.
Memang kebanyakan orang tidak suka menjerumuskan dirinya ke dalam hal baru, hal asing yang tidak dikenalnya. Santiago juga tadinya tidak! Dia sudah terlalu terbiasa dengan kehidupannya sebagai gembala sehingga muncul keraguan di benaknya apakah takdirnya itu masih layak diperjuangkan kalau sekarang saja dia sudah nyaman dengan 60 ekor dombanya… Perubahan terjadi supaya kita berkembang menjadi semakin matang secara mental, dan siapa bertahan samai garis finis mendapat upahnya. Santiago bukan saja dimedalikan harta karun pada akhirnya, melainkan juga dibekali sejuta pengalaman berharga yang menjadikannya sang Alkemis! 

Hal. 40:
Tak ada yang menahannya, kecuali dirinya sendiri. domba-dombanya, putri sang saudagar, dan padang-padang Andalusia hanyalah bagian dari rute yang ditempuhnya dalam perjalanannya mencapai takdirnya.
Terkadang kita harus meninggalkan rumah dan bahkan keluarga untuk mengejar takdir atau mimpi.  Pilihan yang sangat susah, namun suara dalam akal sehat kita mengatakan bahhwa ada harga yang perlu dibayar untuk itu. Yaitu membiarkan perubahan membuat kita tercungkil keluar dari zona nyaman kita dan mulai bergerak maju, menghasilkan karya dan bermanfaat bagi sesama.

3. Bahasa Dunia; Jiwa Dunia; Bahasa Universal; Bahasa Pertanda:
Inilah topik yang sangat relevan dengan 
"Tuhanlah yang menentukan jodoh orang: Kalau memang jodoh tidak akan ke mana!" itu peribahasa orang kita. Jodoh di sini bukan dalam pengertian kekasih atau suami-istri semata, melainkan makna yang lebih luas. Salah satu contoh adalah adegan di mana karavan yang ditumpangi Santiago menyeberangi Gurun Sahara dan para pemimpin karavan memperhatikan pertanda-pertanda yang disampaikan alam kepada mereka melalui "Bahasa Dunia": mereka menaati arah bintang sebagai penunjuk jalan, mereka mematikan lampu sebagai tanda waspada kalau-kalau pasukan-pasukan perang suku menghadang mereka sebelum karavan mereka tiba di Oasis, mereka menaati tradisi-tradisi gurun, dst… alam dan makhluk hidup sudah memiliki harmoninya sendiri, hewan-hewan tidak pernah kesulian memahami ini, tetapi manusia selalu mengabaikannya. Sebenarnya kita hanya perlu menjadi peka. Karavan itu harus membaca tanda bahwa padang pasir merestui kedatangannya, untuk menghindari kemungkinan bahaya.
Hal. 104
"Karavan dan padang pasir ini berbicara bahasa yang sama."

Di jaman yang modern ini, menurut hemat saya, mesin dan manusia terlalu banyak ikut campur dalam mempercepat dan mempermudah segala sesuatu hingga kita lupa menjadi dengar-dengaran terhadap suara-suara alam. Salah satu tema yang relevan adalah pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia yang tidak mengacuhkan bahasa-bahasa tanda yang alam coba komunikasikan ke kita. Padahal alam sudah mencoba mewanti-wanti kita sejak puluhan tahun lalu.
Hal. 104:
...segala sesuatu di muka bumi ini memiliki jiwa, entah itu mineral, sayuran, atau binatang--atau bahkan sekadar buah pikiran.
Kita membutuhkan restu alam semesta untuk membantu mewujudkan mimpi/takdir kita.

4. Kita semua satu adanya
Pesan damai ini sangat Saya sukai dari cerita ini. Santiago, yang dilahirkan dan dibesarkan secara Katolik, bahkan pernah membangku di seminari telah jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Fatimah, wanita gurun yang beragama Muslim dan berpegang teguh pada tradisi gurunnya. Mereka tidak lagi membutuhkan kata-kata sebuah bahasa manusia untuk menjelaskannya, mereka hanya perlu saling menatap dan merasakan. Inilah bahasa universal itu, bahasa tanpa gramatik yang mampu menjelaskan perasaan-perasaan yang tak teruraikan dengan kata-kata. Kekuatan bahasa ini menembus sampai ke hati dan membebaskan batas-batas geografi; tembok-tembok suku bangsa dan identitas, bahkan agama menghilang… apalagi sekadar warna kulit: semuanya menjadi satu dan sama.  

Kesan Pribadi Saya:
Eksistesialis. Seperti yang selalu ditekankan John Strelecky, motivator ternama: orang seharusnya bertanya pada diri mereka sendiri: kenapa Saya ada di dunia ini, kenapa saya dilahirkan. Paulo Coelho mencoba meracik pelajaran-pelajaran hidup secara holistis lewat kisah hidup sederhana seorang gembala, yang merasakan panggilan takdirnya dan lantas memutuskan untuk mengikutinya. Sekalipun hidupnya sederhana, pembaca dibuat cukup penasaran oleh pengarang sebab lika-liku perjuangannya menuju harta karun itu berbukit terjal dan berbatu kerikil. Ia harus menyaksikan dan turut ambil bagian dalam begitu banyak hal-hal aneh, asing, mustahil, menyeramkan, menegangkan, menakutkan, sampai yang supranatural.

Novel ini khas Coelho yang spiritual dan dari buku-bukunya bisa disimpulkan dia tahu-menahu tentang alkimia, alam supanatural, takhayul, dunia sihir, jin, hipnotis, dunia mimpi, perjalanan kembali ke masa lalu, reinkarnasi, seni meramal, dst… Bagi saya ini sangat menarik: sisi "gelap" dunia yang termarginalkan itu akhirnya diekspos dan dalam kisah-kisah yang bikin penasaran. Karena jaman kita ini, sihir mentok-mentok mengingatkan kita pada Harry Potter dan Hogwarts. Dunia spiritual, kurcaci, tuyul, tabib, dukun, shaman, kepala suku terhitung terlalu primitif untuk disajikan ke mata pembaca.

Orang-orang yang bisa mendengar, memahami dan berbicara Bahasa Dunia adalah orang-orang yang memiliki sensibilitas. Kepekaan hati ini membuat seseorang bisa memahami dunia sekitarnya dengan lebih baik dan memudahkannya meraih cita-citanya. 
Buku ini memiliki daya jebak spiritual yang bisa membuat kita terperangkap, sekali baca tak bisa lepas lagi. Ia adalah salah satu buku yang tidak bisa Saya biarkan tergeletak berlama-lama karena seolah jiwa Saya ingin segera meneguk pesan-pesan baru di lembar-lembar berikutnya. Hampir di setiap halamannya mengandung sesuatu yang bisa dipetik. Saya tidak heran jika buku ini telah diterjemahkan dalam 81 bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar