Si Pasif yang Suka Memainkan Peran Korban
Saya sering dengar orang
mengomentari, „Kasian ya, dia cuma dimainin
saja!“ Ketika sebuah hubungan cinta di antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan berakhir. Dan dia di sini selalu dialamatkan
kepada pihak perempuan. Bahkan komentar macam begini bukan saja datang dari
pihak ketiga (baca= komentator alias biang gosip) melainkan juga dari diri sang
perempuan sendiri.
„Cuma dimainin“ adalah
ungkapan yang naas sekali, terdengar seolah dia tertimpa tragedi dan dialah
korbannya. Padahal percintaan adalah sebuah proses memberi dan menerima, di
mana keberlangsungannya terjadi karena ada yang menginginkan dan ada yang
menyetujui. Atau kedua belah pihak sama-sama meenginginkan dan sama-sama pula
menyetujui. Lantas kenapa setelah putus si wanita mengklaim diri sebagai
korbannya? Mari kita recheck!
Di dalam budaya
patriarki para pemilik phallus
dianggap memiliki hak istimewa untuk menentukkan keinginan dan keputusannya. Sebaliknya
kaum hawa diidealkan menjadi subordinat, submasiv. Keinginan untuk setara tanpa
perbedaan jenis kelamin itu tentu saja ada di lubuk hati setiap wanita. Namun dalam
usaha merealisasikannya mereka dihalang oleh ikatan-ikatan sosial dan politik. Kehendak
akan penyetaraan mereka ini menerima penolakkan di berbagai konteks dan
kesempatan sampai akhirnya mereka lantas sadar, terbuka matanya bahwa mereka
memang „hanyalah perempuan“. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak
penolakkan yang mereka terima, semakin banyak pengalaman „trauma-trauma“ yang
mereka kumpulkan hingga mereka kapok juga dan menyerah. Pada akhirnya mereka
menerima status subordinat itu dan mengamini kesubmasivan mereka. Mereka pun
ikut main dalam arena sosial, pakai aturan patriarkal: Jadilah pasif, wahai kau perempuan!
www.thinkstockphotos.de/royalty-free/david-pictures |
Saya tau, kata-kata
saya di atas itu keras sekali bagi beberapa orang yang membaca. Namun begitulah
kenyataannya. Kenyataan memang pahit, makanya banyak orang lebih suka
bersembunyi di balik ketidaktahuan atau kefiksian atau sekalian saja mitos dan
dongeng.
Kepasifan perempuan
dalam budaya patriarki itu pada umumnya dilakukan secara tidak sadar oleh sang
perempuan sendiri. Saya ulangi, mereka tidak sadar bahwa mereka memainkan peran
pasif dalam berbagai hal. Pertanyaannya: memangnya salah kalau mereka tidak
sadar? Dalam banyak hal iya. Kehilangan kesempatan adalah salah satu
kerugiannya. Contoh, saya hampir belum pernah mendengar seorang perempuan
menembak seorang laki-laki, atau melamar untuk bertunangan. „Will you marry me?“ selalu ditunggu
untuk keluar dari mulut laki-laki. Perempuannya lagi apa? Dia ke mana saja? Dia
sedang menunggu. Dia sedang menunggu untuk dikatain seperti itu oleh seorang
laki-laki. Saya yakin ada perempuan pemberani di luar sana yang percaya diri
dengan kekuatannya sebagai perempuan dan berinisiatif untuk maju duluan sebelum
si laki-laki buka mulut, namun kebanyakan lebih suka bersembunyi dan berharap. Kalau
harapannya ini yang lama-lama menjelma jadi ekspektasi tidak terpenuhi, dia
kecewa. Sebenarnya solusinya gampang saja, kenapa tidak ambil alih kendali? Kenapa
harus menunggu si pria yang buka mulut? Kenapa tidak mau pro aktif? Supaya kalau
besok-besok kalian pacaran kamu bisa dengan bangga bilang ke semua orang, „Dulu
dia yang kejar-kejar saya, sayanya sih santai-santai saja.“? Oh, wanita,
sadarlah!
Satu bulan yang lalu
saya men-download App Tinder, sebuah aplikasi bursa percintaan
(online dating) karena saya merasa siap berkenalan dengan orang baru. Seorang
teman cewek saya bertanya apakah saya yang memulai duluan perbincangan via chatting atau si laki-laki. Saya jawab
dengan percaya diri, „Saya yang mulai.“ Lalu teman saya mulai membandingkan
dengan pengalaman pribadi dia saat masih aktif di dunia kencan virtual,
katanya, „Kalau saya dulu sih saya nggak
pernah mulai, selalu cowoknya yang mulai. Kalau dia nggak chat, saya nggak akan duluan.“
https://mubi.com/de/films/kejarlah-daku-kau-kutangkap |
Kejar Daku Kau Kutangkap
Di sini saya melihat pola wanita patriarki yang tunggu disenggol dulu baru bereaksi. Tunggu aksi supaya puya kesempatan untuk bereaksi. Tunggu orang lain buka mulut dulu baru kita menyahut karena kita mau cari aman. Tunggu ada yang mulai, supaya kita punya seseorang yang bisa disalahkan kalau-kalau nanti sesuatu yang tidak diinginkan terjadi (contohnya putus cinta yang saya sebutkan di atas tadi). Pasif, bukannya aktif. Jangan salah mengerti ya, teman-teman. Bersabar itu hal lain lagi, pasif dan sabar jangan dikait-kaitkan satu sama lain ya. Dari artinya saja sudah beda sekali.
Di sini saya melihat pola wanita patriarki yang tunggu disenggol dulu baru bereaksi. Tunggu aksi supaya puya kesempatan untuk bereaksi. Tunggu orang lain buka mulut dulu baru kita menyahut karena kita mau cari aman. Tunggu ada yang mulai, supaya kita punya seseorang yang bisa disalahkan kalau-kalau nanti sesuatu yang tidak diinginkan terjadi (contohnya putus cinta yang saya sebutkan di atas tadi). Pasif, bukannya aktif. Jangan salah mengerti ya, teman-teman. Bersabar itu hal lain lagi, pasif dan sabar jangan dikait-kaitkan satu sama lain ya. Dari artinya saja sudah beda sekali.
Kalau kita pasif kita
kehilangan banyak kesempatan: ya, saya yang mulai duluan perbincangan di bursa single itu. Saya seleksi baik-baik para
pria di sana melalui foto-foto di album mereka dan dari catatan profil mereka,
sehingga saya bisa tahu seberapa persen ada kecocokan. Dan pria-pria yang saya
sapa hampir semua membalas. Sampai saat ini saya masih menjalin kontak dengan
beberapa dan kami mengalami perbincangan di dunia nyata yang sangat menyenangkan.
Jadi saya tidak perlu repot-repot kecewa kalau mereka besok-besok tidak mau
berpacaran dengan saya (saya hanya ingin mengenal orang dan cerita baru saja sih) karena saya pun turut ambil bagian
dalam proses ini. Saya tidak menunggu. Saya tidak menanam saham harapan. Saya aktif
menjalankan tujuan saya, yaitu saya ingin mendengar kisah-kisah baru dituturkan
oleh wajah-wajah baru. Dan yang lebih penting lagi, saya tahu apa yang saya
mau. Kalau kita tahu apa yang kita mau, ada kemungkinan besar kita mampu
mengatakan TIDAK begitu seseorang menawarkan sesuatu yang kurang bonafit kepada
kita. Sehingga kalau sang pria menawarkan sesuatu yang hati kita sebenarnya tidak
suka dalam sebuah hubungan pria-wanita, kita bilang saja TIDAK. Karena itu
tadi: kamu mengenali kemauanmu. Dan kebetulan kemauan si pria tidak sejalan
dengan kemauanmu. Kalau kita mengorbankan
keinginan hati kita hanya karena percaya bahwa kesubordinatan kita tidak
memiliki privilleg untuk menentukkan keinginan, maka tidak heran jika kita
memadang diri kita sebagai korban pada saat kisah cinta kita berakhir.
Kesimpulan: kalau kamu
juga merupakan pemain yang pro aktif dalam sebuah hubungan, kamu tidak akan
berkomentar, „Aduh, kasian ya saya cuma dimainin!“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar