Rabu, 20 Februari 2019

Liszt to Cherry Beer: Another Solo Trip in Budapest

Chasing the melody.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu saya dibuat jatuh cinta oleh ring tone hape senter (baca: hape monokrom) saya. Judulnya Liszt, yang pada akhirnya saya tahu itu bukanlah nama lagu tersebut, melainkan nama sang komponis. Namanya juga ring tone, kontennya sangat terbatas, tidak ada satu menit, namun sepenggal dentangan melodi piano yang terentang dalam ruang 30 detik itu sudah sanggup menyulap perasaan saya. Merepetisi berhari-hari saya mendengarkan segmen itu dan saya ingat betul betapa nyaman dan damai hati saya setiap kali saya dengar (jaman itu internet apalagi Spotify belum diimpor ke desa). Ya, saya tidak hanya emosional dan musikalis tetapi juga melankolis. 
Adalah Franz Liszt, seorang virtuoso piano yang sangat terkenal, berkebangsaan Hungaria, yang dengan mantranya berjudul Liebestraum (Love dream) telah merebut hati saya. Seperti judul lagu yang melegenda ini, begitulah perasaan saya ketika berada di Budapest. Keindahannya yang charmant dan karismatis membuat orang merasa seolah-olah mundur ke satu dua abad sebelum sekarang. Mulai dari gedung Opera yang megah, Cita Della yang bertahta anggun sebagai balkonnya kota Budapest, sampai sungai Danube yang membelah Buda di bukit barat yang terjal dan Pest yang terhampar di dataran timur. Kedua kota itu akhirnya bersatu pada tahun 1873.
Eropa memang benua dengan catatan sejarah terbanyak, bergolak ke sana ke mari hingga tahta dan mahkota berpindah kuasa, hingga teritori-teritori berganti nama, hingga batas-batas geografi bergeser, hingga gedung-gedung kokoh, kolosal nian menawan dari Epoche ke Epoche berikutnya runtuh lalu dibangun kembali… Eropa punya banyak cerita when it comes to games of thrones.

Hanya tidur di pemakaman yang tidak bisa!
Teman saya, Desty, membookingkan pesawat untuk saya. Murah meriah, kalau tidak mana saya mau terbang (Rekor terlama saya berjalan darat tanpa singgah adalah 12 jam 45 menit! Saya masih hidup!!). Sayangnya harus lewat Berlin, sementara saya hidup 4 jam perjalanan mobil dari sana. Kamis, sepulang kerja jam 8 malam saya menumpang Car Sharing yang mempersatukan saya dengan seorang Polandia dalam sebuah gubuk beroda empat. Dia tidak berbicara bahasa-bahasa yang saya bicarakan dan itu bagus, sehingga tidak terasa aneh kalau-kalau keheningan tercipta di antara kami. Saya lelah sudah bekerja seharian, jika ada sesuatu yang saya butuhkan sekarang, itu adalah istirahat di dalam mobil—kalau saya sanggup jatuh tertidur, itu sudah anugerah banget! Pesawat saya terbang besok pagi jam 6! Saya tidak memiliki akomodasi sehingga saya harus tidur di sofa di bandara. Terkadang saya berfantasi tentang tempat-tempat potensial mana lagi yang bisa saya tiduri; taman nasional di Afrika di tengah-tengah suaka singa, di tepi rawa buaya? Maybe? Hanya di taman pemakaman ogah!
 Solo trip= Bebas kompromi, tanpa diskusi
Menjadi sesorang yang „datang dari dunia antah berantah“ itu menarik. Di mata mereka saya adalah orang asing: mereka tidak tahu siapa saya, saya datang dari mana, apa sejarah hidup saya, apa masa lalu saya, apa luka-luka saya, apa yang saya kerjakan, apa kebiasaan aneh saya, apa tujuan hidup saya, dst. Singkat kata masih perawan dari Judgement
Saat solo trip, cerita dibelokkan pada tikungan yang harus kamu lalui seorang diri!  Ironi pribadi saya telah berubah menjadi humor pribadi. Jadi begini, saya itu manusia yang ingin terdengar, tapi bicara lantang ogah. Saya ingin diajak bicara tapi membuka percakapan sungkan. Saya ingin memiliki banyak teman, tetapi saya menemukan kenyamanan di sudut ruangan, saat orang-orang asik ngobrol dan lupa memperhatikan. Saya ingin dihargai, tetapi saya lagi dan lagi menoleransi orang-orang yang paksa masuk ke teritori saya hanya untuk membongkar-bangkir batas kesabaran saya. Saya ingin konsekuen! Saya ingin menjadi determined, menjadi pemain, saya bosan menonton dari balik kaca jendela dan berkomentar. Saya ingin terjun! Meskipun ke air dingin.  Solo Trip memang hanya diperuntukkan bagi mereka yang suka tantangan, karena mereka beranggapan zona nyaman hanya memberi cukup ruang bagi kreatifitas pake batas.

Private Party
Jadi pada malam itu, Tommy, mengajak saya ke sebuah pesta ulang tahun temannya. Saya senang akhirnya dipertemukan dengan warga lokal. Malam itu lumayan dingin, kami menelusuri jalan-jalan sempit dan gelap untuk „jatuh“ ke dalam lubang bawah tanah itu. Sebuah bar. Kami menuruni tangga dan hangatnya menyapa dalam wajah-wajah berseri yang segera Tommy peluk sambil menyerahkan kado ke dua perempuan kembar yang usianya tidak jauh beda dari kami. Bar unik itu ada di bawah tanah. Tekstur dindingnya yang tidak rata dan atapnya yang rendah, yang juga terbuat dari batu membuat saya merasa hangat-hangat nyaman. Kami dibawa masuk ke ruangan sebelah, ternyata bar itu memiliki bilik lain, yang komplet tertutup, kerapatannya hanya bisa dibuka oleh sebuah pintu. Pada daun pintu tergantung tulisan „Private Party“. Now the story begins… 
Sebelumnya saya sudah diwanti-wanti oleh Tommy bahwa Duo Birthdaygirls menyewa tempat di sebuah bar. Tapi saya pahamnya, mereka menyewa sebuah meja besar di sudut ruangan sebuah bar. Ternyata mereka menyewa seluruh bar! 
Di dalam bilik itu, yang tidak benar-benar bisa disebut bilik juga karena lumayan besar untuk berdansa dan lumayan panjang untuk menaruh DJ Set di sebuah kutub dan 2 meja Kicker di kutub lainnya. Dan di antaranya ada dua meja panjang. Dan yang lebih kerennya lagi, meja-meja kicker itu ditutupi selembar kaca selebar lapangan mainnya, sehingga kamu bisa menaruh bir di atasnya selagi asik menjaga pertahanan atau menjebol gawang lawan.
Ada sekitar 19 orang berkebangsaan Hungaria dan satu orang Indonesia di dalam sana, karena sang Duo Birthdaygirls membawa „gang“ mereka masing-masing. Musik membawa suasana yang sangat positif dan percakapan beralih dari meja panjang itu menuju meja kicker. Bir di tangan. Kami saling berkenalan di antara nada-nada pop nostalgia dari era 90an. Britney Spears sedang beradu dengan Polyphonie saat kami saling mempertemukan gelas-gelas bir di udara. Cherry Beer is a dancer!!  
Kembali ke meja panjang—setelah lelah menyerang dan menjaga gawang di meja Kicker—mempertemukan saya dengan seorang gadis berambut gelap tebal panjang ikal dan mempesona (terimakasih untuk darah Italianya) dalam perbincangan seputar duo tripnya di Jepang bersama Tommy. Bahasa Inggrisnya yang perfek tanpa dialek membuat saya terkagum-kagum dan terpingkal-pingkal karena dia mengeluhkan betapa tidak asiknya nge-trip sama Tommy dengan gaya ala manga namun dikemas dalam sinisme dan sarkasme yang sangat Amerika. Menurut dia Tommy itu harap gampang… saya melihat komen dia tentang Host Couchsurfing saya itu sebagai joke
Seperti yang sudah saya tulis di blog, awal musim panas itu saya sudah solo trip ke Praha— dan saya sangat tidak heran bagaimana saya jatuhnya candu bukan kapok. Saya candu akan mengembangkan batas-batas diri—batas-batas ilusional yang menjebak kita pakai kedok selimut zona nyaman. Solo trip membantu saya membuktikan saya bisa jadi siapa saja yang saya mau, kalau saya mau! 
Saat kue ulang tahun yang bermuatan seton gula sudah dibagi-bagikan, diteguk pakai bir yang ke sekian dan musik menjadi pening dengarnya, Kicker sudah dimainkan sampai receh terakhir dipertaruhkan, puntung rokok nyaris terakhir terhisap, semua ambruk ke kursi di meja panjang dengan wajah lelah. Sejauh ini hanya si gadis manga berambut ikal mempesona yang berbicara dengan saya dalam kalimat-kalimat panjang—saya hampir yakin dia satu-satunya yang berbicara Bahasa Inggris dengan mapan. Lalu seorang pria temannya Tommy menghampiri kursi kami. Tidak berapa lama kami terlibat pembicaraan asik, saya kembali bersemangat dan mencetuskan permainan klasik Truth or Dare. The story began for the second time! Meja kembali ramai, yang lain ikutan main. Dan saya tersenyum dalam hati karena berhasil membangkitkan yang hampir „mati“ dan ini sama sekali bukan diri saya yang biasanya saya kenal. Saya berhasil jadi saya yang saya mau. (Does the sentence make sense?)
At that game people said stuffs they would have regretted the next morning but no one cared because no one would remember anything tommorow— It was the funniest night of my 2018! Saya dedikasikan ucapan terimakasih saya yang tulus kepada kebaikan hati Tommy yang meng-host saya selama dua malam. He ist the best Host in Budapest yang mengajarkan saya trik membawa vodka ke dalam bar secara legal alias tanpa seorang pun tahu. The funniest and dearest man I have ever met 😊 I was lucky to get to know him.

Sudah Tanam Harus Panen, dong!
Solo Trip memang patut dicoba, setidaknya sekali seumur hidup—sejenis sebuah investasi mental. Berikut adalah pembelajaran yang sangat personalized yang saya dapatkan sejauh ini.
1.      Tiba-tiba harus jadi menejer dan sekretaris untuk diri sendiri. Semua tetek bengek logistk: saya yang bertanggung jawab atas tiketnya, bookingnya, keterlambatan ke halte bis, kalau saya melakukan kesalahan atau keteledoran, saya adalah satu-satunya untuk disalahkan. 
2.      Saya bisa menikmati seniman jalanan selama apa pun saya mau. 
3.      Saya belajar bahwa hal-hal indah di dunia ini tidak harus diperoleh melalui pertukaran uang.
4.       Belajar survive: tak-tik siap siaga berkonfrontasi dengan hal-hal spontan. Saya belajar memecahkan masalah seorang diri. Di tepi keberhasilanmu, ada rasa puas dan percaya diri yang  baru dan positif. Boro-boro kasihan diri sendiri, kamu layak dapat applaus!!
5.       Traveling dengan teman/partner, ada kecendrungan untuk malah bertahan dalam kubu itu. Justru karena kita sendiri, mempermudah kontak dengan manusia baru: saya belajar untuk membuka diri secara positif tapi tetap mempertahankan respek satu sama lain. Terlebih bagi yang suka ber-Couchsurfing ria, yang Host nya adalah lawan jenis, saya selalu jaga sikap sedemikian supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
6.       Kebebasan memutuskan hari ini ke mana, apa yang akan saya lakukan, telah membuat saya jadi lebih tahu dan yakin tentang apa dan bagaimana yang saya mau. Bukan itu saja: karena saya sendiri, saya jadi tidak peduli pada penampilan, karena saya tidak harus meng-adjust dengan si Princess atau Prince di sebelah. 
7.       Saya semakin yakin, dengan tema dan topik mana dalam percakapan yang saya suka, begitu juga dengan lawan bicara mana yang membuat waktu saya berkualitas. Saya semakin yakin bahwa saya tidak suka kalau waktu saya dibuat basi oleh percakapan small talk, kan kalau begitu saya tidak perlu keluar negeri!
8.       Ransel saya semakin ringan, dibandingkan dengan Solo Trip pertama! Saya belajar survive dengan hanya satu jaket, satu celana panjang jins, dan tiga biji baju.
9.      Kamu mempersepsi dunia dari sudut yang berbeda dan orisinil, jika kamu traveling seorang diri, karena kamu bisa fokus dan terlepas dari pendapat orang lain. 
10.   Saya belajar untuk menguasai rasa takut. Contohnya takut tersesat: saya siasati dengan bertanya sekeliling. Saya takut terhadap host saya yang laki-laki: saya ajak dia ngobrol untuk membuat dia sadar bahwa saya hanya ingin berteman. Sebenarnya rasa takut ada disebabkan karena kita kurang persiapan, kurang siasat dan kurang kreatif saja sih.

Selamat ber Solo Trip Ria 😊 I am wishing you much much good luck and sunshine 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar