Kamis, 29 Maret 2018

Susah Payah Menjadi Au-Pair di Jerman



Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, kata au pair bukan lah sesuatu yang asing di telinga. Saya kenal banyak teman/adik/kakak tingkat yang sudah/sedang mengantongi pengalaman ini. Meskipun begitu, saya juga ingin tegaskan bahwa untuk jadi au pair, orang tidak perlu ke bangku universitas. Banyak juga yang menempuh jalan lain, misalnya lewat agen-agen au pair.

Jaman di kampus dulu, saya suka menerawang, membayangkan bagusnya kesempatan ini jika dapat saya raih. Saya sudah susun rencana setelah au pair: pengen kuliah master di Jerman. Mimpi ini ternyata tidak selurus penggaris. Hingga hari ini pun saya masih belum berstatus mahasiswa, meskipun kontrak au pair saya sudah saya arsipkan 3 tahun yang lalu.

Saya menulis artikel ini bukan untuk menakut-nakuti siapa pun, saya hanya ingin berbagi pelajaran yang saya dapat. Tidak semua au pair cukup beruntung untuk mendapat Gastfamilie yang bagus dengan wish list yang di cross-check dari A-Z… Misalnya ada au pair yang ongkos kursusnya dibiayai 100 % oleh sang Gastfamilie, ada yang dikasi karcis bus dan kereta gratis, dikasi pulsa, difasilitasi mobil untuk dikendarai sendiri saat menjalankan dinas (baca: antar-jemput anak), dikasi laptop, dikasi handphone, kerjanya hanya 2-3 jam sehari, tinggal di pusat kota dan bebas kejenuhan, dibawa berlibur ke Dubai dan dikasi kamar hotel sendiri, dsb… Ada pula yang….seperti saya.

Tips untuk tidak jadi au pair yang macam saya juga sudah saya cantumkan di bawah sana J

Januari 2015 saya mendapat konfirmasi dari sebuah keluarga bahwa mereka menginginkan saya menjadi au pair. Senang! Di Profil mereka di website pencomblangan au pair-GF (baca: Gastfamilie) itu tercantum bahwa mereka memiliki empat anak (7,5,4,3 tahun usia mereka). Keempat-empatnya harus saya “asuh”. Oke, saya memang penyuka anak-anak! Pada akhirnya memang dari keempat anak itulah saya belajar dasar-dasar karakter orang Jerman. Misalnya saya jadi tahu kenapa mereka sangat mandiri dan bertanggung jawab. Well, lanjut. Maretnya saya berangkat. Keluarganya tinggal di sebuah kompleks perumahan di sebuah kota kecil. Saya memang penyuka kota kecil, semakin kecil saya semakin suka. Jenuh terhadap kecilnya sebuah kota belum pernah jadi dilema saya, namun kalau kangen kampung halaman, jenuhnya terasa! Melihat manusia (asing) lewat di jalan saja sudah senang, kira-kira begitu.

Itu tadi setting tempat, sekarang langsung saja ke babak belurnya. Sejak di Indonesia saya sudah dikirimkan jadwal kerja lewat email. Saya baca, cukup fair. Atau lebih tepatnya saya tidak tahu saat itu, idealnya fair itu kayak apa, dan apakah itu masuk akal... Menurut jadwal itu: Senin-Jumat itu hari dinas saya. Tiap hari, jam mulai dan jam berakhirnya beda-beda. Sebagai contoh, Senin jam 6.45 -14.00 dengan satu jam Pause sekitaran jam 9 atau 10 pagi, Selasa beda lagi, dst... Isinya mencakup menyiapkan sarapan untuk keluarga dan bekal buat si anak cowoknya (7 tahun), merapikan dan membersihkan meja makan setelah sarapan, piring dan perkakas kotor lainnya dimasukkan ke mesin cuci, menyedot kotoran di ruang makan, dapur dan koridor, setrika, jika mesin cuci sudah selesai: mengeluarkan perkakas makan dari mesinnya dan merapikannya ke laci-lacinya, menyiapkan makan siang untuk anak-anak, diakhiri menjemput ketiga anak gadis dari TK. Kelar. Ini benar-benar saya kutip dari hitam-di-atas-putih, ya.

Implementasinya sebagai berikut. Saya bekerja hampir tanpa istirahat sampai jam 19.00. Jika saya ada waktu luang, anak-anaknya minta ditemani main. Saya tidak bisa tolak. Mama-Papa mereka kerja seharian. Jam 8 pagi pergi, baru tiba rumah nanti jam 17.30/18.00. Selama itu masakan saya mempercayakan si bocah tiga tahun itu turun naik tangga sendiri? Saya ingin total kerja, saya jagalah anaknya, alhasil saya jadi sangat lelah karena lembur. Belum lagi hampir tiap hari saya siapkan mereka makan malam juga. Memang sih makannya dingin (tanpa tindakan masak-memasak: roti-rotian), tapi itu semua tenaga guys! Habis itu saya rapikan lagi mejanya, repeat! (lihat proses sarapan pagi deh!)

Dan nomor “setrika” yang tercantum di skejul ternyata ada plus-plusnya: saya juga harus mengganti seprei dan sarung bantal anak-anak (kalau tidak salah seminggu sekali), memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, setelahnya ke mesin pengering pakaian jika tidak digantung di… apa ya nama benda itu dalam Bahasa Indonesia? Kalian tahulah yang saya maksud…Lantas kalau sudah kering yang perlu disetrika harus saya licinkan, dihanger/dilipat, dibawa ke kamar mereka, dst… Aduh, tugas saya itu kalau diinventaris tidak ada habisnya! Nanny merangkap babu lah kira-kira.

Ada lagi nih, “mengganti popok si bocah 3 tahun” adalah tugas yang tercantum pada hari selasa. Logikanya kan itu bisa terjadi pada hari apa saja! Lembur lagi, tenaga lagi, waktu lagi!

“Menjemput gadis-gadis kecil dari TK” adalah travelling setengah bolah dunia! Letak TK mereka jauh sekali dari rumah, sudah begitu kami memang dianjurkan jalan kaki (satu-satunya halte bus terletak lumayan jauh dari rumah dan jam lewatnya tidak ngepas ke jam kelar TK nya anak-anak). Sudah begitu si bocah 3 tahun itu masih harus didorong pakai kereta bayi. Maka saya pun “menyetir” melewati lembah yang mendaki dan menurun (benaran demikian topografinya!) hingga tiba rumah. Kalian silahkan tidak percaya, tapi batita itu montok banget, ditambah keretanya didorong kosong saja sudah berat. Ketika itu musim semi, masih dingin, selangkangan saya suka sakit pegal dan nyeri kalau kena dingin. Dalam kondisi otot dan sendi yang malang seperti itu saya dorong keretanya jauh-jauh hingga depan pintu rumah! Dingin lagi! Waktu saya ceritakan mama mereka tentang keluhan saya, dia responnya, “Hm, aneh.” Sekian saja. Anak gadis yang umur 4 tahun itu sering rengek ala putri-putri dalam perjalanan pulang, lumayan susah diarahkan dan suka menangis for noooooo reason. Pernah itu gara-gara dia main drama pakai air mata akhirnya saya dituduh penyebabnya.

Saya pangkas saja ya keluhannya, nanti tidak kelar-kelar tulisan saya.

Intinya, saya tidak diberikan kemewahan seperti pulsa, tiket bus, barang elektronik, 100% biaya kursus, dst: memang sudah tercatum di kontrak seperti itu. Malah ketika kami libur bareng pulangnya saya harus beli tiket sendiri; naik Flixbus lagi, 12 jam perjalanan demi tiket murah!!! Licinan bokong saya daripada papan setrika, bu! Yah begitulah, sudah gaji kecil, saya perlu ekstra merogoh dari saku sendiri 40  Euro lagi per bulan untuk biaya kursus! Ongkos beli buku paketan di tempat kursus juga tanggungan pribadi, bangkrut lah.

Empat bulan kemudian saya mengundurkan diri.

Tips dan trik jadi au pair di Jerman

1.     Baca profil GF mu di website nya baik-baik dan teliti

2.     Sebaiknya carilah keluarga yang sebelumnya sudah memiliki au pair (mereka tahu lebih baik bagaimana caranya memperlakukan au pair)

3.     Paling ideal kalau calon GF kamu itu memiliki riwayat au pair-au pair yang langgeng hingga masa kontrak berakhir. Itu sudah sinyal positif tentang siapa mereka.

4.     Sangat disarankan membangun kontak dengan mantan au pair terakhir mereka sebelum kesepakatan dibulatkan, tanya feedback sebanyak-banyaknya tentang calon GF mu.

5.     Dari awal banyak tanya: sebelum teken kontrak, pastikan semua penasaranmu yang relevan dengan kerja tercentang.

Apa saja sih yang ditanya?

ü Berapa lama hari dalam seminggu dan jam kerja?
ü Apa tugas saya?
ü Pekerjaan rumah tangga yang ringan? Konkretnya seperti apa?
ü Berapa jarak dari TK/sekolah sang anak ke rumah (jika kamu memang ditugaskan menjemput seperti saya)
ü Adakah bis yang melewati rumah GF? Jika ada, bagaimana frekuensinya? sejam sekali? sejam dua kali? Atau malah sehari tiga kali?
ü Berapa gaji saya?
ü Apa konsekuensinya kalau saya lembur? (dalam bentuk apa pun itu)
ü Siapa yang bertanggung jawab atas pembayaran perpanjangan visa saya setelah masa tiga bulan berlalu?
ü Akankah saya mendapat tiket bus?
ü Berapa lama libur saya dalam setahun?
ü Bolehkah saya menentukan sendiri kapan saya ingin berlibur ataukah saya baru boleh dapat libur jika kalian berlibur?
ü Apakah biaya kursus saya ditanggung penuh?
ü Jika kursus saya telah tamat dan saya ingin mengikuti ujian kelulusan, haruskah saya membayarnya dengan uang sendiri? (kursus dan ujian dibayar terpisah, harga sebuah ujian 200-300 Euro)
ü Haruskah saya membayar dengan uang sendiri buku wajib dari tempat kursus?
ü Bolehkah saya mendapat kunjungan atau menginapkan teman di rumah?
ü Apakah saya diberikan/dipinjamkan sepeda?
ü Boleh kerja sambil main handphone? Di depan anak-anak? (GF saya dulu melarang ini, tidak boleh main hape di depan anak-anak)

6.     Jika kamu melamar secara independen alias  lewat website, bacalah aturan main di situ baik-baik. Baca konsekuensinya jika kamu misalnya dipecat (ini hampir tidak pernah terjadi) atau mengundurkan diri, kepada siapa kamu melapor dan apa akibatnya terhadap ijin tinggalmu serta pilihan apa yang masih tertinggal (saya sih langsung banting stir ke Ausbildung saat itu).

7.     Inti dari au pair bukan saja untuk mengenal Jerman, tetapi juga sub-sub budayanya. Apa itu? Para pendatang yang mengadu nasib di jerman. Tahukah kamu Jerman adalah negara dengan jumlah imigran terbesar di dunia? Di tempat kursus kamu akan mengenal “teman-teman seperjuangan” yang datang dari berbagai negara. Tips saya: segera bergaul! Selain menantang kemampuan Bahasa Jerman kamu, mereka bisa jadi pengobat rindu kampung halaman. Siapa tahu mereka teman asyik untuk diajak ngopi pada saat weekend.

Sekali lagi jangan sungkan bertanya, kalau perlu dikritisi jika sesuatu terasa janggal. Orang Jerman sudah terbiasa kok ditanya dan dimintai penjelasan, mereka tidak akan tersinggung, mereka bahkan sudah terbiasa berdebat, berdiskusi sampai dikritisi, jadi jangan ada rasa tidak enak ala nusantara dalam rangka menjaga perasaan. Kalau kamu merasa terlemburkan, bilang saja! Mereka justru suka orang yang tidak hanya bisa berpikir, namun juga bisa mengutarakan pemikiran itu kepada si lawan bicara. Kalau kamu diam saja, ada kemungkinan kamu dimanfaatkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar