Sebagai
mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, kata au pair bukan lah sesuatu yang
asing di telinga. Saya kenal banyak teman/adik/kakak tingkat yang sudah/sedang
mengantongi pengalaman ini. Meskipun begitu, saya juga ingin tegaskan bahwa
untuk jadi au pair, orang tidak perlu ke bangku universitas. Banyak juga yang
menempuh jalan lain, misalnya lewat agen-agen au pair.
Jaman di
kampus dulu, saya suka menerawang, membayangkan bagusnya kesempatan ini jika dapat
saya raih. Saya sudah susun rencana setelah au pair: pengen kuliah master di
Jerman. Mimpi ini ternyata tidak selurus penggaris. Hingga hari ini pun saya
masih belum berstatus mahasiswa, meskipun kontrak au pair saya sudah saya arsipkan
3 tahun yang lalu.
Saya menulis
artikel ini bukan untuk menakut-nakuti siapa pun, saya hanya ingin berbagi
pelajaran yang saya dapat. Tidak semua au pair cukup beruntung untuk mendapat Gastfamilie yang bagus dengan wish list yang di cross-check dari A-Z… Misalnya ada au pair yang ongkos kursusnya
dibiayai 100 % oleh sang Gastfamilie,
ada yang dikasi karcis bus dan kereta gratis, dikasi pulsa, difasilitasi mobil
untuk dikendarai sendiri saat menjalankan dinas (baca: antar-jemput anak), dikasi
laptop, dikasi handphone, kerjanya
hanya 2-3 jam sehari, tinggal di pusat kota dan bebas kejenuhan, dibawa
berlibur ke Dubai dan dikasi kamar hotel sendiri, dsb… Ada pula yang….seperti
saya.
Tips untuk
tidak jadi au pair yang macam saya juga sudah saya cantumkan di bawah sana J
Januari 2015
saya mendapat konfirmasi dari sebuah keluarga bahwa mereka menginginkan saya
menjadi au pair. Senang! Di Profil mereka di website pencomblangan au pair-GF
(baca: Gastfamilie) itu tercantum
bahwa mereka memiliki empat anak (7,5,4,3 tahun usia mereka). Keempat-empatnya
harus saya “asuh”. Oke, saya memang penyuka anak-anak! Pada akhirnya memang
dari keempat anak itulah saya belajar dasar-dasar karakter orang Jerman.
Misalnya saya jadi tahu kenapa mereka sangat mandiri dan bertanggung jawab.
Well, lanjut. Maretnya saya berangkat. Keluarganya tinggal di sebuah kompleks
perumahan di sebuah kota kecil. Saya memang penyuka kota kecil, semakin kecil
saya semakin suka. Jenuh terhadap kecilnya sebuah kota belum pernah jadi dilema
saya, namun kalau kangen kampung halaman, jenuhnya terasa! Melihat manusia
(asing) lewat di jalan saja sudah senang, kira-kira begitu.
Itu tadi setting tempat, sekarang langsung saja
ke babak belurnya. Sejak di Indonesia saya sudah dikirimkan jadwal kerja lewat
email. Saya baca, cukup fair. Atau
lebih tepatnya saya tidak tahu saat itu, idealnya fair itu kayak apa, dan apakah itu masuk akal... Menurut jadwal
itu: Senin-Jumat itu hari dinas saya. Tiap hari, jam mulai dan jam berakhirnya
beda-beda. Sebagai contoh, Senin jam 6.45 -14.00 dengan satu jam Pause sekitaran jam 9 atau 10 pagi,
Selasa beda lagi, dst... Isinya mencakup menyiapkan sarapan untuk keluarga dan
bekal buat si anak cowoknya (7 tahun), merapikan dan membersihkan meja makan
setelah sarapan, piring dan perkakas kotor lainnya dimasukkan ke mesin cuci,
menyedot kotoran di ruang makan, dapur dan koridor, setrika, jika mesin cuci
sudah selesai: mengeluarkan perkakas makan dari mesinnya dan merapikannya ke
laci-lacinya, menyiapkan makan siang untuk anak-anak, diakhiri menjemput ketiga
anak gadis dari TK. Kelar. Ini benar-benar saya kutip dari hitam-di-atas-putih,
ya.
Implementasinya
sebagai berikut. Saya bekerja hampir tanpa istirahat sampai jam 19.00. Jika
saya ada waktu luang, anak-anaknya minta ditemani main. Saya tidak bisa tolak.
Mama-Papa mereka kerja seharian. Jam 8 pagi pergi, baru tiba rumah nanti jam
17.30/18.00. Selama itu masakan saya mempercayakan si bocah tiga tahun itu
turun naik tangga sendiri? Saya ingin total kerja, saya jagalah anaknya,
alhasil saya jadi sangat lelah karena lembur. Belum lagi hampir tiap hari saya
siapkan mereka makan malam juga. Memang sih makannya dingin (tanpa tindakan
masak-memasak: roti-rotian), tapi itu semua tenaga guys! Habis itu saya rapikan lagi mejanya, repeat! (lihat proses sarapan pagi deh!)
Dan nomor “setrika”
yang tercantum di skejul ternyata ada plus-plusnya: saya juga harus mengganti
seprei dan sarung bantal anak-anak (kalau tidak salah seminggu sekali),
memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, setelahnya ke mesin pengering
pakaian jika tidak digantung di… apa ya nama benda itu dalam Bahasa Indonesia?
Kalian tahulah yang saya maksud…Lantas kalau sudah kering yang perlu disetrika
harus saya licinkan, dihanger/dilipat, dibawa ke kamar mereka, dst… Aduh, tugas
saya itu kalau diinventaris tidak ada habisnya! Nanny merangkap babu lah kira-kira.
Ada lagi nih, “mengganti popok si bocah 3 tahun”
adalah tugas yang tercantum pada hari selasa. Logikanya kan itu bisa terjadi
pada hari apa saja! Lembur lagi, tenaga lagi, waktu lagi!
“Menjemput
gadis-gadis kecil dari TK” adalah travelling setengah bolah dunia! Letak TK
mereka jauh sekali dari rumah, sudah begitu kami memang dianjurkan jalan kaki (satu-satunya
halte bus terletak lumayan jauh dari rumah dan jam lewatnya tidak ngepas ke jam kelar TK nya anak-anak).
Sudah begitu si bocah 3 tahun itu masih harus didorong pakai kereta bayi. Maka
saya pun “menyetir” melewati lembah yang mendaki dan menurun (benaran demikian topografinya!) hingga
tiba rumah. Kalian silahkan tidak percaya, tapi batita itu montok banget,
ditambah keretanya didorong kosong saja sudah berat. Ketika itu musim semi,
masih dingin, selangkangan saya suka sakit pegal dan nyeri kalau kena dingin.
Dalam kondisi otot dan sendi yang malang seperti itu saya dorong keretanya jauh-jauh
hingga depan pintu rumah! Dingin lagi! Waktu saya ceritakan mama mereka tentang
keluhan saya, dia responnya, “Hm, aneh.” Sekian saja. Anak gadis yang umur 4
tahun itu sering rengek ala putri-putri dalam perjalanan pulang, lumayan susah
diarahkan dan suka menangis for noooooo
reason. Pernah itu gara-gara dia main drama pakai air mata akhirnya saya
dituduh penyebabnya.
Saya pangkas
saja ya keluhannya, nanti tidak kelar-kelar tulisan saya.
Intinya, saya
tidak diberikan kemewahan seperti pulsa, tiket bus, barang elektronik, 100%
biaya kursus, dst: memang sudah tercatum di kontrak seperti itu. Malah ketika
kami libur bareng pulangnya saya harus beli tiket sendiri; naik Flixbus lagi,
12 jam perjalanan demi tiket murah!!! Licinan bokong saya daripada papan
setrika, bu! Yah begitulah, sudah gaji kecil, saya perlu ekstra merogoh dari
saku sendiri 40 Euro lagi per bulan
untuk biaya kursus! Ongkos beli buku paketan di tempat kursus juga tanggungan
pribadi, bangkrut lah.
Empat bulan
kemudian saya mengundurkan diri.
Tips dan trik jadi au pair di Jerman
1. Baca profil GF mu di website nya baik-baik dan teliti
2. Sebaiknya carilah keluarga yang
sebelumnya sudah memiliki au pair (mereka tahu lebih baik bagaimana caranya
memperlakukan au pair)
3. Paling ideal kalau calon GF kamu itu
memiliki riwayat au pair-au pair yang langgeng hingga masa kontrak berakhir.
Itu sudah sinyal positif tentang siapa mereka.
4. Sangat disarankan membangun kontak
dengan mantan au pair terakhir mereka sebelum kesepakatan dibulatkan, tanya feedback sebanyak-banyaknya tentang
calon GF mu.
5. Dari awal banyak tanya: sebelum teken
kontrak, pastikan semua penasaranmu yang relevan dengan kerja tercentang.
Apa saja sih yang ditanya?
ü Berapa lama hari dalam seminggu dan jam
kerja?
ü Apa tugas saya?
ü Pekerjaan rumah tangga yang ringan?
Konkretnya seperti apa?
ü Berapa jarak dari TK/sekolah sang
anak ke rumah (jika kamu memang ditugaskan menjemput seperti saya)
ü Adakah bis yang melewati rumah GF?
Jika ada, bagaimana frekuensinya? sejam sekali? sejam dua kali? Atau malah
sehari tiga kali?
ü Berapa gaji saya?
ü Apa konsekuensinya kalau saya lembur?
(dalam bentuk apa pun itu)
ü Siapa yang bertanggung jawab atas
pembayaran perpanjangan visa saya setelah masa tiga bulan berlalu?
ü Akankah saya mendapat tiket bus?
ü Berapa lama libur saya dalam setahun?
ü Bolehkah saya menentukan sendiri
kapan saya ingin berlibur ataukah saya baru boleh dapat libur jika kalian
berlibur?
ü Apakah biaya kursus saya ditanggung
penuh?
ü Jika kursus saya telah tamat dan saya
ingin mengikuti ujian kelulusan, haruskah saya membayarnya dengan uang sendiri?
(kursus dan ujian dibayar terpisah, harga sebuah ujian 200-300 Euro)
ü Haruskah saya membayar dengan uang
sendiri buku wajib dari tempat kursus?
ü Bolehkah saya mendapat kunjungan atau
menginapkan teman di rumah?
ü Apakah saya diberikan/dipinjamkan
sepeda?
ü Boleh kerja sambil main handphone? Di depan anak-anak? (GF saya
dulu melarang ini, tidak boleh main hape di depan anak-anak)
6. Jika kamu melamar secara independen
alias lewat website, bacalah aturan main di situ baik-baik. Baca konsekuensinya
jika kamu misalnya dipecat (ini hampir tidak pernah terjadi) atau mengundurkan
diri, kepada siapa kamu melapor dan apa akibatnya terhadap ijin tinggalmu serta
pilihan apa yang masih tertinggal (saya sih
langsung banting stir ke Ausbildung
saat itu).
7. Inti dari au pair bukan saja untuk mengenal
Jerman, tetapi juga sub-sub budayanya. Apa itu? Para pendatang yang mengadu
nasib di jerman. Tahukah kamu Jerman adalah negara dengan jumlah imigran
terbesar di dunia? Di tempat kursus kamu akan mengenal “teman-teman
seperjuangan” yang datang dari berbagai negara. Tips saya: segera bergaul! Selain
menantang kemampuan Bahasa Jerman kamu, mereka bisa jadi pengobat rindu kampung
halaman. Siapa tahu mereka teman asyik untuk diajak ngopi pada saat weekend.
Sekali lagi
jangan sungkan bertanya, kalau perlu dikritisi jika sesuatu terasa janggal.
Orang Jerman sudah terbiasa kok
ditanya dan dimintai penjelasan, mereka tidak akan tersinggung, mereka bahkan
sudah terbiasa berdebat, berdiskusi sampai dikritisi, jadi jangan ada rasa tidak
enak ala nusantara dalam rangka menjaga perasaan. Kalau kamu merasa
terlemburkan, bilang saja! Mereka justru suka orang yang tidak hanya bisa
berpikir, namun juga bisa mengutarakan pemikiran itu kepada si lawan bicara.
Kalau kamu diam saja, ada kemungkinan kamu dimanfaatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar