Kamis, 08 Maret 2018

Ceritakan saja! (Narasi adalah santapan lezat otak)



Enam tahun yang lalu….
Teater adalah minat besar saya dalam dunia seni pertunjukan. Sewaktu kuliah di Jogja, saya selalu berusaha mendatangi panggung-panggung sandiwara meskipun dompet mepet. Ah, ingat masa itu, nostalgis! Terkadang Entrinya hanya 10 ribu rupiah, maklum teater di kampus sendiri; Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (kami memang beruntung). Selain sebagai pencinta kata-kata, saya menikmatinya dengan lebih intensif kalau itu divisualisasikan, apalagi dengan tabur irama dan musik! Ketika mata mengamat, telinga dan kepala aktif, di saat itu emosi terprovokasi. Pertunjukan teater diakhiri dengan aplaus yang meriah dan penonton pulang dalam diam yang damai. Mungkin juga sumringah.


Tiga tahun lalu …
Sejak domisili saya di Jerman, saya dikenalkan pada teater oleh pacar saya, yang juga penyuka panggung. Antusias saya bak gayung bersambut. Kami mengunjungi teater berkali-kali dalam setahun, maklum, harga tiketnya sudah bukan 10 ribu rupiah lagi. Karena kami menonton teater tersebut bareng, kami jarang mengupas ulang dramanya karena sama-sama sudah tahu jalan cerita. Seringnya kami hanya mengulang-ngulang cuplikan-cuplikan lucu atau kalimat-kalimat sarkastis yang terucap oleh para pemain yang layak kami kopi sebagai bahan bercanda.


Sejak setahun yang lalu…
Di tempat saya bekerja, klinik gigi, kelamaran seorang dokter muda, Frau Mou, yang usianya sama dengan saya. Begitu tahu kami memiliki ketertarikan yang sama, kami selalu bertukar cerita tentang pengalaman mengunjungi teater; di mana teaternya, apa judul dramanya, apa yang dipentaskan, alur cerita,  sampai kritik dan berapa jempol yang layak didapat teater itu. Dan itu kerap kami lakukan sambil membor gigi pasien (karena memang jarang ada waktu ongkang-ongkang). Lewat pertukaran cerita kami itulah saya jadi kepikiran satu hal. Dan ini menggelitik, sodara-sodara. Saya tidak bisa lagi recall sebagian besar drama yang pernah saya saksikan, baik yang di Jogja maupun yang di Jerman. Waktu adalah faktor besar, memang. Tapi sebagian besarnya tidak ingat? Ini tidak sehat! Kebalikannya, ketika saya menonton drama Cassanova’s Comeback tahun lalu, saya masih ingat betul plotnya hingga hari ini. Tentu terlalu muluk untuk mengingat nama setiap pemain. Namun saya sanggup menceritakan dari awal sampai akhir, jika diminta lagi. Pasalnya, seminggu setelah pertunjukan, saya menceritakannya kepada Frau Mou. Kembali lagi ke belakang kursi pasien, mengebor gigi berlubang. Kali itu saya benar-benar mencurahkan banyak detail saat ditanya drama itu tentang apa. Kami bahas-bahas sebentar tentang isi dan temanya, selesai. Gigi pasien tertambal.

Satu hal yang menarik perhatian saya di sini: jika sesuatu itu saya ulaskan kembali, apalagi dengan kata-kata sendiri, pasti akan tertanam lebih kuat di ingatan. Dan itu tidak hanya terjadi dalam hal menonton teater, tetapi juga film, buku, artikel, cerita anekdot, apa pun itu, bahkan pelajaran Kewarganegaraan sekalipun!

Harapan untuk mengingat dalam jangka waktu lama detail cerita dalam apa pun itu yang pernah kita tonton, baca, dengar, memang rada mustahil. Kita bukan gajah! Tapi menanamkan teknik daya ingat ke otak itu sederhana saja: narasi! Jika kita menceritakan kembali sebuah pelajaran atau penjelasan atau teori (tentu saja pakai versi bahasa kita sendiri), kita menjadi terlibat aktif di dalamnya. Ketika kita menjadi moderator utama, kita akan menguasai jalan cerita, dan mengingatnya dalam jangka waktu yang cukup lama, demikian menurut Profesor psikologi Dan Johnson, dari Universitas Washington and Lee. (referensi ke teks )

sumber gambar

Sepuluh tahun yang lalu…
Seragam putih abu saya adalah saksi jaman umur belasan di mana pelajaran di kelas terasa lebih membosankan daripada hanya sekedar duduk bengong kemasukan lalat di kantin sekolah. Hari Senin pelajaran X, Senin depannya, saya—kami—sudah lupa minggu lalu diajarkan tentang apa. Kami lupa rumus, lupa kurva, lupa definisi dan teori, lupa nama-nama senyawa… entah ke langit ke berapa terbangnya semua itu! Tetapi kami ingat akan anekdot-anekdot yang guru-guru tersebut ceritakan minggu lalu! Bagaimana bisa? Padahal pada jam yang sama mereka menjelaskan tentang kurva/rumus sekian. Kenapa yang kurva atau rumusnya menguap keluar atap sedangkan cerita anekdotnya malah mengendap di kepala? Jawabannya simpel saja: otak kita menyukai narasi. Kita (atau otak kita) menyukai hal-hal yang dijelaskan dalam bentuk cerita. Begitulah gaya kerja otak. Tetapi untuk menyimpan ingatan ini lebih lama, kita harus menceritakannya kembali. Profesor Johnson melakukan eksperimen dengan mahasiswa-mahasiswanya yang dia sebut nano-narratives. Mereka diberi tugas untuk retelling story yang diberikan oleh professor Johnson menggunakan konsep ala mereka sendiri. Alhasil sang professor tidak perlu lagi mengulang-ulang cerita yang sama karena sekelas sudah hafal.

                                                                ↞↠
Kenapa mengingat itu sangat penting? Kita butuh mengingat untuk bisa belajar. Kita butuh daya tahan ingatan dalam kantong memori kita.


2 komentar:

  1. wow sangat relevan buat kita yg pernah mengalami lika liku bangku sekolah & kuliah, ditunggu update selanjutnya mona ^^

    BalasHapus
  2. Tepat sekali, Mas Edi, Saya terinspirasi jaman sekolah dulu jadi nulis artikel ini. Makasih komennya mas, kamu kok nggak ngeblog lagi?

    BalasHapus