Enam tahun
yang lalu….
Teater
adalah minat besar saya dalam dunia seni pertunjukan. Sewaktu kuliah di Jogja,
saya selalu berusaha mendatangi panggung-panggung sandiwara meskipun dompet
mepet. Ah, ingat masa itu, nostalgis! Terkadang Entrinya hanya 10 ribu rupiah,
maklum teater di kampus sendiri; Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta (kami memang beruntung). Selain sebagai pencinta kata-kata, saya
menikmatinya dengan lebih intensif kalau itu divisualisasikan, apalagi dengan tabur
irama dan musik! Ketika mata mengamat, telinga dan kepala aktif, di saat itu
emosi terprovokasi. Pertunjukan teater diakhiri dengan aplaus yang meriah dan
penonton pulang dalam diam yang damai. Mungkin juga sumringah.
Tiga tahun
lalu …
Sejak domisili
saya di Jerman, saya dikenalkan pada teater oleh pacar saya, yang juga penyuka
panggung. Antusias saya bak gayung bersambut. Kami mengunjungi teater
berkali-kali dalam setahun, maklum, harga tiketnya sudah bukan 10 ribu rupiah
lagi. Karena kami menonton teater tersebut bareng,
kami jarang mengupas ulang dramanya karena sama-sama sudah tahu jalan cerita.
Seringnya kami hanya mengulang-ngulang cuplikan-cuplikan lucu atau
kalimat-kalimat sarkastis yang terucap oleh para pemain yang layak kami kopi
sebagai bahan bercanda.
Sejak
setahun yang lalu…
Di tempat
saya bekerja, klinik gigi, kelamaran seorang dokter muda, Frau Mou, yang
usianya sama dengan saya. Begitu tahu kami memiliki ketertarikan yang sama, kami
selalu bertukar cerita tentang pengalaman mengunjungi teater; di mana
teaternya, apa judul dramanya, apa yang dipentaskan, alur cerita, sampai kritik dan berapa jempol yang layak
didapat teater itu. Dan itu kerap kami lakukan sambil membor gigi pasien
(karena memang jarang ada waktu ongkang-ongkang). Lewat pertukaran cerita kami
itulah saya jadi kepikiran satu hal. Dan ini menggelitik, sodara-sodara. Saya
tidak bisa lagi recall sebagian besar
drama yang pernah saya saksikan, baik yang di Jogja maupun yang di Jerman.
Waktu adalah faktor besar, memang. Tapi sebagian besarnya tidak ingat? Ini
tidak sehat! Kebalikannya, ketika saya menonton drama Cassanova’s Comeback tahun lalu, saya masih ingat betul plotnya
hingga hari ini. Tentu terlalu muluk untuk mengingat nama setiap pemain. Namun
saya sanggup menceritakan dari awal sampai akhir, jika diminta lagi. Pasalnya,
seminggu setelah pertunjukan, saya menceritakannya kepada Frau Mou. Kembali
lagi ke belakang kursi pasien, mengebor gigi berlubang. Kali itu saya benar-benar
mencurahkan banyak detail saat ditanya drama itu tentang apa. Kami bahas-bahas
sebentar tentang isi dan temanya, selesai. Gigi pasien tertambal.
Satu hal
yang menarik perhatian saya di sini: jika sesuatu itu saya ulaskan kembali,
apalagi dengan kata-kata sendiri, pasti akan tertanam lebih kuat di ingatan.
Dan itu tidak hanya terjadi dalam hal menonton teater, tetapi juga film, buku,
artikel, cerita anekdot, apa pun itu, bahkan pelajaran Kewarganegaraan
sekalipun!
Harapan
untuk mengingat dalam jangka waktu lama detail cerita dalam apa pun itu yang
pernah kita tonton, baca, dengar, memang rada mustahil. Kita bukan gajah! Tapi menanamkan
teknik daya ingat ke otak itu sederhana saja: narasi! Jika kita menceritakan
kembali sebuah pelajaran atau penjelasan atau teori (tentu saja pakai versi
bahasa kita sendiri), kita menjadi terlibat aktif di dalamnya. Ketika kita menjadi
moderator utama, kita akan menguasai jalan cerita, dan mengingatnya dalam
jangka waktu yang cukup lama, demikian menurut Profesor psikologi Dan Johnson,
dari Universitas Washington and Lee. (referensi ke teks )
sumber gambar |
Sepuluh
tahun yang lalu…
Seragam
putih abu saya adalah saksi jaman umur belasan di mana pelajaran di kelas
terasa lebih membosankan daripada hanya sekedar duduk bengong kemasukan lalat
di kantin sekolah. Hari Senin pelajaran X, Senin depannya, saya—kami—sudah lupa
minggu lalu diajarkan tentang apa. Kami lupa rumus, lupa kurva, lupa definisi
dan teori, lupa nama-nama senyawa… entah ke langit ke berapa terbangnya semua
itu! Tetapi kami ingat akan anekdot-anekdot yang guru-guru tersebut ceritakan
minggu lalu! Bagaimana bisa? Padahal pada jam yang sama mereka menjelaskan
tentang kurva/rumus sekian. Kenapa yang kurva atau rumusnya menguap keluar atap
sedangkan cerita anekdotnya malah mengendap di kepala? Jawabannya simpel saja:
otak kita menyukai narasi. Kita (atau otak kita) menyukai hal-hal yang
dijelaskan dalam bentuk cerita. Begitulah gaya kerja otak. Tetapi untuk
menyimpan ingatan ini lebih lama, kita harus menceritakannya kembali. Profesor
Johnson melakukan eksperimen dengan mahasiswa-mahasiswanya yang dia sebut nano-narratives. Mereka diberi tugas
untuk retelling story yang diberikan oleh professor Johnson menggunakan konsep ala mereka
sendiri. Alhasil sang professor tidak perlu lagi mengulang-ulang cerita yang
sama karena sekelas sudah hafal.
↞↠
Kenapa
mengingat itu sangat penting? Kita butuh mengingat untuk bisa belajar. Kita
butuh daya tahan ingatan dalam kantong memori kita.
wow sangat relevan buat kita yg pernah mengalami lika liku bangku sekolah & kuliah, ditunggu update selanjutnya mona ^^
BalasHapusTepat sekali, Mas Edi, Saya terinspirasi jaman sekolah dulu jadi nulis artikel ini. Makasih komennya mas, kamu kok nggak ngeblog lagi?
BalasHapus