Selasa, 13 September 2016

Saya Memang Wanita Berotot (Part I)

  
Terlahir di sebuah desa kecil yang isinya orang-orang berambut lurus memang sebuah tantangan psikologis bagi saya bertahun-tahun yang lalu. Bukan hanya rambut saya yang beda tekstur, otot saya juga! Orang-orang sering mencela saya, di manapun saya berada. Termasuk di sekolah. Kalimat-kalimat itu hadir dalam rupa yang beda-beda: kadang cuma berupa seruan, kadang cuma berupa pertanyaan. Kalo lagi sial, ya berupa sindiran.

Saya berambut sangat ikal (atau sedikit ikal, atau terlalu amat ikal, terserah… bagi orang Jawa saya selalu dibilang keriting—bagi mereka ikal sedikit saja itu sudah masuk golongan keriting), berkulit sangat coklat (atau sedikit coklat…terserah), dan berotot besar.
Pada masa kecil saya sering terdengar kalimat-kalimat seperti:
“Mona rambutnya keriting.”
“Pantat Mona besar amat.”
“Kaki Mona besar-besar.”

Saya tidak tahu kalimat-kalimat ini, sebenarnya komentar, pertanyaan, pernyataan, igauan, atau gumaman…atau apa?
Terucap begitu saja. Tiba-tiba saja.
Kalau sering-sering diucapkan, tidak heran kalau saya akhirnya jadi terganggu.
Maka mulailah saya mengartikan itu sebagai sesuatu yang non-pujian. Sebab mereka yang berciri fisik yang berlawanan dari saya pasti dapatnya pujian. Setidaknya sejauh ingatan saya, mereka itu adalah yang berkulit putih atau terang, berambut lurus dan berbadan kurus (kurus dalam pengertian benar-benar tanpa otot).

Image cantik ala Indonesia adalah ayu, lembut, kemayu. Itu sama sekali bukan saya. Saya terlahir beda. Sejak kecil saya suka memanjat pohon, meskipun tidak tahu cara turunnya. Saya suka ketinggian. Dan kecepatan.
 Di masa remaja saya suka tertawa keras dan terpingkal-pingkal, tapi sering dilarang atas nama “kamu itu perempuan, jaga sikap!”. Saya saat itu tidak bisa menerima dilarang dengan pasal tersebut. Janggal saja: banyak larangan yang harus saya hafal. Hanya karena saya perempuan. Supaya dipuji, disukai dan  dibilang anak manis dan sopan: taat, ikut, patuh, manut, mengangguk, pasrah. Jika saya melanggar, hukumannya bisa berat sekali. Hukuman sosial. Rupanya bisa dari gossip sampai fitnah. Bangun-bangun kau sudah tanpa teman: sendirian di dunia. Parah lagi, tanpa jodoh (meskipun nomor terakhir ini paling tidak menarik perhatian saya)


Jari jempol saya tidak diciptakan untuk Smartphone

Di film-film Jane Austen, ada adegan pria bangsawan dalam setelan lengkap yang mencerminkan kasta, mencium tangan mulus nan lembut si wanita yang ingin ia rebut hatinya. Setiap kali menonton adegan seperti itu, saya tiba-tiba jadi merasa bodoh. Saya merasa intelegensi saya terhina. Tayangan romantisme di kepala saya adalah: piknik di atas rumput, bercerita, saling mendengarkan, bertukar interest, tentang segala sesuatu, tentang apa pun, berjam-jam tanpa sentuhan.

source: http://janeaustenfilmclub.blogspot.de/2012/11/pride-and-prejudice-1940.html

Iri? Sama sekali tidak. Saya tidak menyesal terlahir begini. Saya justru merasa unik dan berharga.
Jika melihat adegan elus-elusan tangan dan mencium punggung tangan yang dilakukan oleh seorang pria, saya takutnya si perempuan jadi “terbina”  untuk berpikir, “Saya harus rawat habis-habisan kelembutan tangan saya, ini aset: tanpa kemulusan tangan saya, saya kehilangan rasa percaya diri jika disentuh lagi.”

Logis kan? Tentu saja si perempuan akan berpikir demikian. Saya tidak mau dong, adegan panjat pohon saya batal hanya karena saya harus polesi tangan saya berjam-jam sambil menanti disentuh lagi. Haduh, jadwal panjat pohon bisa terbengkelai!

Di masa kuliah saya, tenar-tenarnya smartphone beredar. Semua teman-teman saya beralih dari blackberry ke benda ini. Saya? Sampai lulus pun belum beli-beli. Selain kemahalan, saya tidak paham letak pentingnya memiliki smartphone! Lebih tepatnya, saya tidak mau paham. Apalagi melihat image smartphone yang dipresentasikan orang-orang sekitar: saya jadi makin skeptis adanya!
Suatu ketika saya diperbolehkan otak-atik ketik sms di layar smartphone teman saya yang lebarnya sedaun kelor. Perasaan, jempol saya saya letakkan di atas huruf d, yang muncul malah huruf f! Terjadi lagi dan lagi. Saya jengkel. Mau tulis satu kalimat saja hapus edit berkali-kali. Ini kan tidak perlu terjadi kalau saya pake hape senter (istilah untuk hape jadul yang ada senter manualnya) Teman saya tertawa. Menertawakan gaptek saya sambil berkata, “Makanya jempol tu jangan terlalu besar!” Dia benar sih…jari jempol saya memang besar. Saya tertawa juga, tapi balas sindir dong…heheh

Bukan hanya jari tangan, jari kaki saya pun semuanya seperti anak catur. Kakak saya suka meniru lelucon di tv untuk membuat saya jengkel: “Jari kaki kau semua jempol ya.”

Bukan hanya jari-jemari saya, kaki saya pun besar-besar. Lahir besar di tahun 90-an dengan image kuat Jeniffer Aniston, Christina Aguilera, Heidi Klum, dkk… saya melewati depan cermin dengan perasaan takut mengintip, takut lihat pantulan sendiri. Karena setiap kali melihat cermin, saya teringat komentar-komentar “mistis” dari orang-orang di sekitar saya yang tadi sudah saya sebutkan paling atas.

Di usia 15 saya meninggalkan pulau saya, demi sekolah dan kuliah. Akhirnya terlepas dari bully yang pragmatis? Tidak juga. Saya masih dihantui aturan estetika ini. Bayangkan, begitu kuatnya peranan media cetak dan elektronik. Pesan yang mereka sampaikan ke kepala seorang manusia bisa menyisakan jejak yang luar biasa dalam nan lebar: butuh keberanian dan kecerdasan untuk memandang itu sebagai sebuah ketidakadilan. Yang namanya ketidakadilan, jangan sekali-kali berlutut di depannya!!

Singkat cerita, di tempat-tempat baru yang saya kunjungi (yang mana saya habiskan 10 tahun terakhir ini di sana), saya belajar banyak tentang stereotip, perspektif manusia, opini, argument, ketidakadilan gender, logika, kesadaran, percaya diri, feminisme self-esteem/mencintai diri sendiri, mengahargai karunia, merayakan hidup dan kesehatan…

Saya akhirnya belajar memaknai kaki saya yang besar: they are so strong. Kami bersama telah melewati banyak jalan dan lika-liku, petualangan dengan tikung tanjaknya yang ekstrem. (Saya memang Dora: saya hampir tahu lebih banyak daripada google map :P) That’s why I find them—my legs—beautiful.

Baru-baru ini saya terperanjat dengan sebuah video motivasi tentang mencintai diri yang sangat positif dari seorang YouTuber. ( https://www.youtube.com/watch?v=Dzx7HDJ6jJw ) Terlahir di dekade yang sama, dia bercerita tentang bagaimana dia melewati masa kecil sampai remaja dengan tuntutan estetika: berkaki belalang, langsing nan panjang, kurus berambut lurus, dst… Kedengarannya sepele. Bagi beberapa di antara kalian mungkin terlalu memble, tapi bagi mereka yang mengalami dan menjalani tanpa klu, itu tidak semudah cerita di majalah remaja!

Ada yang putus asa dan tersesat ke diet yang doktrinnya: muntahkan kembali makanannya! Ada banyak yang mengalami trauma rasa percaya diri dan mulai memandang dirinya sebagai minus. Sayangnya, hanya karena berat badan, pipi tembem, tubuh berotot, rambut keriting, atau berkulit gelap. Semua kualitas intelegensi seseorang serta merta dilupakan hanya karena dia berambut ikal? Luar biasa menyesatkan aturan estetika ini.

SMA saya terdapat di Pulau Flores; sebuah pulau dengan populasi yang 90% nya berambut ikal sampai keriting. Ini berbanding terbalik dengan pulau sebelumnya yang saya tinggali 15 tahun lamanya.

Selama tiga tahun saya tinggal di asrama putri milik sekolah. Hampir semua teman-teman sekolah dan seasrama berambut demikian khas. Banyak yang mencatoknya (ioning) supaya kelihatan lurus. Saya juga pernah dicatok/mencatok tentu saja… tapi tidak ingin saya permanenkan, karena saya sebenarnya punya aturan estetika buat diri saya sendiri. Saya suka rambut hitam panjang dan ikal: that’s what I wanted! Sayang: tapi kenapa masyarakat dan segenap standar kecantikannya “tidak mengijinkan” saya berpenampilan begitu?

Tulisan ini berlanjut ke Part II J




Tidak ada komentar:

Posting Komentar