Terlahir di
sebuah desa kecil yang isinya orang-orang berambut lurus memang sebuah
tantangan psikologis bagi saya bertahun-tahun yang lalu. Bukan hanya rambut
saya yang beda tekstur, otot saya juga! Orang-orang sering mencela saya, di
manapun saya berada. Termasuk di sekolah. Kalimat-kalimat itu hadir dalam rupa
yang beda-beda: kadang cuma berupa seruan, kadang cuma berupa pertanyaan. Kalo
lagi sial, ya berupa sindiran.
Saya berambut sangat ikal (atau sedikit ikal, atau terlalu
amat ikal, terserah… bagi orang Jawa saya selalu dibilang keriting—bagi mereka
ikal sedikit saja itu sudah masuk golongan keriting), berkulit sangat coklat (atau sedikit coklat…terserah), dan berotot besar.
Pada masa
kecil saya sering terdengar kalimat-kalimat seperti:
“Mona
rambutnya keriting.”
“Pantat Mona
besar amat.”
“Kaki Mona
besar-besar.”
Saya tidak
tahu kalimat-kalimat ini, sebenarnya komentar, pertanyaan, pernyataan, igauan, atau
gumaman…atau apa?
Terucap
begitu saja. Tiba-tiba saja.
Kalau
sering-sering diucapkan, tidak heran kalau saya akhirnya jadi terganggu.
Maka
mulailah saya mengartikan itu sebagai sesuatu yang non-pujian. Sebab mereka
yang berciri fisik yang berlawanan dari saya pasti dapatnya pujian. Setidaknya
sejauh ingatan saya, mereka itu adalah yang berkulit putih atau terang, berambut
lurus dan berbadan kurus (kurus dalam pengertian benar-benar tanpa otot).
Image cantik
ala Indonesia adalah ayu, lembut, kemayu. Itu sama sekali bukan saya. Saya
terlahir beda. Sejak kecil saya suka memanjat pohon, meskipun tidak tahu cara
turunnya. Saya suka ketinggian. Dan kecepatan.
Di masa remaja saya suka tertawa keras dan
terpingkal-pingkal, tapi sering dilarang atas nama “kamu itu perempuan, jaga sikap!”.
Saya saat itu tidak bisa menerima dilarang dengan pasal tersebut. Janggal saja:
banyak larangan yang harus saya hafal. Hanya karena saya perempuan. Supaya
dipuji, disukai dan dibilang anak manis
dan sopan: taat, ikut, patuh, manut, mengangguk, pasrah. Jika saya melanggar,
hukumannya bisa berat sekali. Hukuman sosial. Rupanya bisa dari gossip sampai
fitnah. Bangun-bangun kau sudah tanpa
teman: sendirian di dunia. Parah lagi, tanpa
jodoh (meskipun nomor terakhir ini paling tidak menarik perhatian saya)
Jari jempol
saya tidak diciptakan untuk Smartphone
Di film-film
Jane Austen, ada adegan pria bangsawan dalam setelan lengkap yang mencerminkan
kasta, mencium tangan mulus nan lembut si wanita yang ingin ia rebut hatinya.
Setiap kali menonton adegan seperti itu, saya tiba-tiba jadi merasa bodoh. Saya
merasa intelegensi saya terhina. Tayangan romantisme di kepala saya adalah: piknik
di atas rumput, bercerita, saling mendengarkan, bertukar interest, tentang
segala sesuatu, tentang apa pun, berjam-jam tanpa sentuhan.
source: http://janeaustenfilmclub.blogspot.de/2012/11/pride-and-prejudice-1940.html
Iri? Sama
sekali tidak. Saya tidak menyesal terlahir begini. Saya justru merasa unik dan
berharga.
Jika melihat
adegan elus-elusan tangan dan mencium punggung tangan yang dilakukan oleh
seorang pria, saya takutnya si perempuan jadi “terbina” untuk berpikir, “Saya harus rawat
habis-habisan kelembutan tangan saya, ini aset: tanpa kemulusan tangan saya, saya
kehilangan rasa percaya diri jika disentuh lagi.”
Logis kan?
Tentu saja si perempuan akan berpikir demikian. Saya tidak mau dong, adegan
panjat pohon saya batal hanya karena saya harus polesi tangan saya berjam-jam
sambil menanti disentuh lagi. Haduh, jadwal panjat pohon bisa terbengkelai!
Di masa
kuliah saya, tenar-tenarnya smartphone
beredar. Semua teman-teman saya beralih dari blackberry ke benda ini. Saya? Sampai lulus pun belum beli-beli.
Selain kemahalan, saya tidak paham letak pentingnya memiliki smartphone! Lebih tepatnya, saya tidak
mau paham. Apalagi melihat image smartphone
yang dipresentasikan orang-orang sekitar: saya jadi makin skeptis adanya!
Suatu ketika
saya diperbolehkan otak-atik ketik sms di layar smartphone teman saya yang lebarnya sedaun kelor. Perasaan, jempol
saya saya letakkan di atas huruf d, yang muncul malah huruf f! Terjadi lagi dan
lagi. Saya jengkel. Mau tulis satu kalimat saja hapus edit berkali-kali. Ini kan tidak perlu terjadi kalau saya pake
hape senter (istilah untuk hape jadul yang ada senter manualnya) Teman saya
tertawa. Menertawakan gaptek saya sambil berkata, “Makanya jempol tu jangan terlalu
besar!” Dia benar sih…jari jempol saya memang besar. Saya tertawa juga, tapi
balas sindir dong…heheh
Bukan hanya
jari tangan, jari kaki saya pun semuanya seperti anak catur. Kakak saya suka
meniru lelucon di tv untuk membuat saya jengkel: “Jari kaki kau semua jempol
ya.”
Bukan hanya
jari-jemari saya, kaki saya pun besar-besar. Lahir besar di tahun 90-an dengan image kuat Jeniffer Aniston, Christina
Aguilera, Heidi Klum, dkk… saya melewati depan cermin dengan perasaan takut
mengintip, takut lihat pantulan sendiri. Karena setiap kali melihat cermin,
saya teringat komentar-komentar “mistis” dari orang-orang di sekitar saya yang
tadi sudah saya sebutkan paling atas.
Di usia 15
saya meninggalkan pulau saya, demi sekolah dan kuliah. Akhirnya terlepas dari bully yang pragmatis? Tidak juga. Saya
masih dihantui aturan estetika ini. Bayangkan, begitu kuatnya peranan media
cetak dan elektronik. Pesan yang mereka sampaikan ke kepala seorang manusia
bisa menyisakan jejak yang luar biasa dalam nan lebar: butuh keberanian dan
kecerdasan untuk memandang itu sebagai sebuah ketidakadilan. Yang namanya
ketidakadilan, jangan sekali-kali berlutut di depannya!!
Singkat cerita,
di tempat-tempat baru yang saya kunjungi (yang mana saya habiskan 10 tahun
terakhir ini di sana), saya belajar banyak tentang stereotip, perspektif
manusia, opini, argument, ketidakadilan gender, logika, kesadaran, percaya
diri, feminisme self-esteem/mencintai
diri sendiri, mengahargai karunia, merayakan hidup dan kesehatan…
Saya akhirnya
belajar memaknai kaki saya yang besar: they
are so strong. Kami bersama telah melewati banyak jalan dan lika-liku, petualangan
dengan tikung tanjaknya yang ekstrem. (Saya memang Dora: saya hampir tahu lebih
banyak daripada google map :P) That’s why I find them—my legs—beautiful.
Baru-baru
ini saya terperanjat dengan sebuah video motivasi tentang mencintai diri yang sangat
positif dari seorang YouTuber. ( https://www.youtube.com/watch?v=Dzx7HDJ6jJw ) Terlahir
di dekade yang sama, dia bercerita tentang bagaimana dia melewati masa kecil
sampai remaja dengan tuntutan estetika: berkaki belalang, langsing nan panjang,
kurus berambut lurus, dst… Kedengarannya sepele. Bagi beberapa di antara kalian
mungkin terlalu memble, tapi bagi mereka yang mengalami dan menjalani tanpa
klu, itu tidak semudah cerita di majalah remaja!
Ada yang
putus asa dan tersesat ke diet yang doktrinnya: muntahkan kembali makanannya!
Ada banyak yang mengalami trauma rasa percaya diri dan mulai memandang dirinya
sebagai minus. Sayangnya, hanya karena berat badan, pipi tembem, tubuh berotot,
rambut keriting, atau berkulit gelap. Semua kualitas intelegensi seseorang
serta merta dilupakan hanya karena dia berambut ikal? Luar biasa menyesatkan
aturan estetika ini.
SMA saya
terdapat di Pulau Flores; sebuah pulau dengan populasi yang 90% nya berambut
ikal sampai keriting. Ini berbanding terbalik dengan pulau sebelumnya yang saya
tinggali 15 tahun lamanya.
Selama tiga
tahun saya tinggal di asrama putri milik sekolah. Hampir semua teman-teman
sekolah dan seasrama berambut demikian khas. Banyak yang mencatoknya (ioning) supaya kelihatan lurus. Saya
juga pernah dicatok/mencatok tentu saja… tapi tidak ingin saya permanenkan,
karena saya sebenarnya punya aturan estetika buat diri saya sendiri. Saya suka
rambut hitam panjang dan ikal: that’s
what I wanted! Sayang: tapi kenapa masyarakat dan segenap standar
kecantikannya “tidak mengijinkan” saya berpenampilan begitu?
Tulisan ini
berlanjut ke Part II J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar